Motor Sean berhenti tepat di depan perusahaan tempatku bekerja. Aku menyerahkan helm kepadanya.
"Terima kasih ya, Sean." ujar ku sambil mengulum senyum.
"Gak apa-apa Ran. Kamu jangan lupa makan ya. Aku gak mau kamu ikutan sakit," tukas Sean.
"Iya. Ya sudah aku masuk dulu ya. Bye." ujar ku lalu melangkah masuk ke dalam.
Ruang kerja ku ada di lantai lima. Untuk sampai di sana aku pun berjalan menuju lift yang ada di sana. Setelah sampai aku pun berjalan menuju kubikel tempatku bekerja. Terlihat Nova sudah datang dan duduk dikubikelnya.
"Pagi Nova." sapa ku.
"Pagi Rania. Kamu hari ini masuk? Aku pikir kamu bakal izin karena menjaga Mama mu di rumah sakit," tukas Nova.
"Tidak Nov, ada adikku yang menjaga. Hari ini kan ada rapat evaluasi. Mana mungkin aku sampai gak masuk kerja. Bisa ngomel tujuh hari tujuh malam mbak Riri nanti." jelas ku. Nova terkekeh mendengar ucapan ku.
"Tapi gimana kondisi Mama kamu sekarang?" tanyanya.
"Alhamdulillah sudah mendingan. Cuma harus istirahat saja." jawab ku.
Aku pun jadi teringat akan biaya rumah sakit yang belum terbayarkan. Aku menatap Nova sekilas.
Apa aku pinjam uang ke Nova aja ya? Siapa tau dia bisa bantu. batinku
"Ada apa Ran?" tanya Nova yang membuyarkan lamunanku.
"Ahh tidak. Nov, aku bisa minta tolong gak?" tanya ku hati-hati.
"Ada apa Rania?"
Aku menatap sekeliling ruang tempat ku bekerja. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada aku dan Nova. Namun aku ragu sekali untuk bilang ke Nova. Aku takut. Aku tidak pernah punya pengalaman berhutang kepada orang.
"Rania!" seru Nova yang membuatku tersentak.
"Hah?"
"Kamu mau minta tolong apa?" tanya Nova.
"Eehh. Gak jadi kok Nov. Bukan apa-apa kok." jawabku.
"Yakin?" tanyanya lagi. Aku mengangguk mantap.
Akhirnya aku tidak jadi mengutarakan niat ku untuk pinjam uang pada Nova. Aku takut jika dia sendiri pun juga butuh.
Aku pun membereskan berkas yang ada di atas meja ku. Memilah satu per satu dan memeriksanya. Mana yang akan menjadi bahan dievaluasi nanti siang.
*****
Saat akan menuju ruangan mbak Riri, aku tak sengaja menabrak seseorang yang sedang berbicara dengan ponselnya. Berkas yang ku bawa pun jatuh berhamburan dilantai.
"Oh maaf!" ujar orang tersebut.
Aku menghela nafas dengan berat dan berjongkok memunguti berkas yang jatuh di lantai. Orang tadi pun ikut berjongkok dan membantuku memunguti berkas yang berceceran itu.
"Kamu?" seru ku saat melihat lelaki yang membantuku
Lelaki itu pun tersenyum melihat ku. Bukan senyuman ramah. Tapi lebih ke senyuman seringai. Dia menatap ku dengan tatapan nakal.
"Waahh dunia ini sempit ya!," ujarnya.
"Sedang apa kamu disini? Kamu ngikutin aku ya?" tanya ku penuh selidik.
"Apa? Ngikutin kamu? Untuk apa? Kamu kali yang ngikutin aku!" tukasnya.
Aku menatap tajam wajah lelaki itu. Dia hanya menyeringai melihat ku lalu pergi meninggalkan aku yang masih berdiri di sana.
Dia adalah lelaki yang memakai kacamata hitam dan mobilnya yang menyerempet ku kemarin saat pulang dari rumah paman Soni.
Untuk apa lelaki itu ada di sini? Aku pun berjalan kembali menuju ruangan mbak Riri, kepala bagian administrasi.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Masuk!"
Aku pun membuka pintu dan masuk kedalam saat di persilahkan oleh pemilik ruangan.
"Mbak ini berkasnya," tukas ku
"Oohh iya. Kamu udah input semua data kemarin yang aku minta?" tanya mbak Riri tanpa melihatku. Matanya fokus ke layar komputer di depannya.
"Udah mbak." jawabku.
Aku masih berdiri sambil memandangi mbak Riri yang sibuk dengan layar komputernya.
"Ada apa Rania?" tanya mbak Riri sambil menatap ku sekilas.
"Mbak"
"Apa? Kamu mau izin lagi? Aduh Rania, kamu tau kan, kalau aku gak akan kasih izin lagi jika kamu bolos kerja lagi. Kerjaan kita lagi numpuk. Jangan aneh - aneh deh." tukas mbak Riri dengan mode galaknya.
"Bukan mbak. Aku bukan mau minta izin. Tapi ..."
"Tapi apa?" tanya nya sebal.
"Mbak, aku boleh kas bon uang koperasi gak?" pinta ku. Mbak Riri menatapku dengan tatapan menyelidik.
"Aku lagi butuh banget mbak. Mama ku masuk rumah sakit. Dan sore ini aku harus melunasi semua biaya administrasi itu. Kalau gak, Mama ku gak akan dapat perawatan mbak." jelas ku terus terang tanpa ada sedikitpun kebohongan.
"Ran, kamu tau kan aturan perusahaan. Kamu harus konfirmasi satu bulan sebelumnya jika ingin pinjam uang di perusahaan. Dan ini apa. Kamu datang tiba-tiba bilang mau kas bon. Aku gak bisa kasih Rania. Ini sudah aturan perusahaan. Aku gak mau kena semprot bagian lainnya ya." tukas mbak Riri.
Aku menunduk menatap tumpukan berkas yang ada di atas meja. Harapanku untuk kas bon di perusahaan pun sia-sia. Sepertinya memang tak ada jalan lagi untuk dapat uang untuk membayar biaya rumah sakit Mama selain berhutang kepada bang Tigor.
"Kalau gak ada lagi, kamu bisa kembali ke ruangan mu!" ujar mbak Riri.
"Baik mbak." tukas ku dengan lesu.
"Rania!"
"Iya mbak?"
"Maaf ya aku gak bisa bantu. Ini sudah peraturan perusahaan," ujar mbak Riri sambil menepuk bahuku.
"Aku ngerti kok mbak." jawabku lalu pergi meninggalkan ruangan mbak Riri.
*****
Saat keluar dari ruangan mbak Riri, aku pun melihat lelaki yang menabrak ku itu berjalan dengan para jajaran direksi yang ada. Aku semakin di buat heran. Siapa dia sebenarnya?
Aku pun kembali menuju kubikel tempatku bekerja. Aku menghela nafas berulang kali lalu kembali tenggelam dengan semua pekerjaan yang masih menunggu ku.
Aku juga melewatkan jam makan siangku. Aku masih harus menyelesaikan tumpukan berkas ini sebelum rapat jam dua nanti. Nova menyodorkan aku sebungkus cilok dan segelas es teh manis. Aku tersenyum berterima kasih dan kembali fokus dengan layar komputer di depanku.
Waktu rapat evaluasi pun di mulai. Para kepala bagian dan penanggung jawab setiap bagian pun hadir dalam rapat tersebut, termasuk aku dan Nova. Kami berdua adalah penanggung jawab bagian administrasi perusahaan. Sedangkan kepala bagiannya adalah mbak Riri.
Kami semua duduk dengan tenang sambil menunggu seseorang yang katanya akan ikut rapat dengan kita. Aku dengar dari Nova sih, katanya seorang investor muda yang memiliki perusahaan terbesar di Asia dan memiliki segudang prestasi dan tidak perlu diragukan lagi seperti apa perusahaan yang berhasil bekerjasama dengan perusahaannya. Dia akan menjadi perusahaan yang maju dan akan disetarakan dan diakui sebagai perusahaan yang berkompeten.
Aku penasaran seperti apa rupa pengusaha muda itu. Bisa memiliki tangan dingin yang mampu membuat semua pemilik perusahaan begitu ingin perusahaan mereka bekerjasama dengan perusahaannya. Pasti dia orang yang hebat dan memiliki karisma yang istimewa.
"Selamat siang semua. Maaf sudah menunggu lama," ujar salah seorang lelaki yang baru saja tiba.
Dia?
Aku melotot dengan kaget. Dia adalah lelaki yang memberiku uang setelah mobilnya menyerempet ku.
"Perkenalkan. Nama saya Alvian. Saya adalah assisten pribadi sekaligus sekretaris dari perusahaan MC group yang akan bekerjasama dengan perusahaan ini." ujar lelaki itu.
Tunggu! Kalau lelaki yang memberiku uang kemarin seorang sekretaris, jadi lelaki yang duduk di bangku belakang dengan kacamata hitam itu berarti ...
Saat aku masih berspekulasi dengan pikiranku. Tiba-tiba seseorang datang dan masuk ke dalam ruang rapat.
"Silahkan beri hormat kepada investor terbesar kita sekaligus CEO PT. MC group. Tuan Aditya Wijaya." ujar Pak Raka kepala bagian Humas di perusahaan kami.
Aku begitu terkesiap melihat lelaki yang diperkenalkan pak Raka. Dia lelaki yang memakai kacamata hitam itu. Dia seorang CEO perusahaan terbesar itu? Rasanya aku ingin tenggelam saja di lautan terdalam. Aku menunduk tak berani menatap wajah lelaki itu.
Sepertinya lelaki itu tau aku ada di ruangan ini. Buktinya dia menatapku terus sedari tadi. Dia menatapku dengan senyuman menakutkan. Dia pasti merencanakan sesuatu kepadaku. Jangan - jangan dia akan memecat ku. Aku merutuki mulutku dan perbuatan ku kemarin yang tidak sopan kepadanya.
"Tuan Aditya sangat tampan ya." puji Nova sambil menyenggol lenganku. Aku hanya bisa nyengir seperti kuda. Dalam hatiku aku panik dan cemas.
Rapat pun berlangsung dengan baik dan lancar. Hampir dua jam rapat berlangsung aku hanya menunduk. Karena lelaki yang ada di ujung meja sana sedang menatapku tajam. Dia seperti ingin menerkam dan memakan ku bulat-bulat. Bahkan saat aku meliriknya, dia tidak bergeming dan terus menatapku. Aku jadi salah tingkah dan takut di buatnya. Siapa saja, aku mohon tolong aku!
Aku menghela nafas dengan lega saat keluar dari ruang rapat. Akhirnya aku bisa bebas dan lepas juga dari tatapan singa kelaparan itu. Iihh menyeramkan sekali. Aku berjalan menuju kubikel tempatku bekerja sambil bergidik ngeri.
Aku merapikan meja tempat ku bekerja. Karena sepuluh menit lagi jam pulang kantor pun usai. Aku mengambil ponselku. Ada pesan dari Sean.
* Rania. Maaf aku tidak berhasil mendapatkan pinjaman uang. Aku tadi juga bertengkar dengan bunda. Gara-gara mau menggadaikan BPKB motor. Maafkan aku Rania. Kamu bilang sama pihak rumah sakit lagi. Untuk minta waktu lagi. Aku akan carikan pinjaman lagi.*
Aku menghela nafas berat melihat pesan dari Sean. Aku pun mengetikkan pesan balasan padanya.
"Sean. Kamu tidak perlu repot-repot lagi. Aku sudah dapatkan uangnya. Kamu tidak usah khawatir." balasku.
Berbohong. Iya aku harus berbohong. Jika tidak Sean akan terus seperti itu. Sepulang bekerja, aku akan pergi ke rumah bang Tigor untuk meminjam uang. Bang Tigor pasti memberiku pinjaman. Walaupun dengan bunga yang besar aku tidak masalah. Yang penting aku bisa melunasi biaya rumah sakit Mama.
Jam kantor usai pun telah tiba. Semua karyawan pun berjalan keluar gedung. Aku dan Nova pun berjalan beriringan menuju lift.
"Ran, berkas yang tadi aku kirim ke kamu jangan lupa diperiksa ya. Kalau sudah kamu kirim ke email ku aja.," tukas Nova.
Aku pun tercekat.
"Ada apa Ran?" tanya Nova.
"Aduh flashdisk nya ketinggalan di meja ku." ujar ku.
"Ya ampun Rania." desis Nova.
"Aku ambil dulu. Kamu duluan saja Nov." ujar ku.
"Ya sudah kalau gitu. Kamu hati-hati ya." tukasnya. Aku mengangguk dan berlari menuju ruangan kerjaku.
Akhirnya ketemu juga flashdisk nya. Kalau sampai hilang, bisa dicekek aku sama mbak Riri. Karena semua materi perusahaan dan berkas penting ada disini semua.
Saat aku berjalan meninggalkan ruangan ku, tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang.
"Kamu?" seru ku kaget. Orang itu pun tersenyum.
"Mau apa kamu? Lepaskan tangan ku!" pinta ku dengan nada yang tinggi.
"Waahh lihat siapa ini. Berani sekali kamu berteriak di depanku!" ujar Aditya.
Aku pun terdiam sejenak saat menyadari siapa lelaki di depanku ini.
"Kamu kalau dilihat dari dekat cantik juga." tukasnya sambil menyusuri wajahku dengan telunjuknya. Aku pun membuang muka ke arah lain.
"Mau apa kamu? Jangan aneh-aneh. Kalau gak aku akan teriak!" ancamku.
Aditya tertawa terbahak-bahak mendengar ancaman ku. Aku pun menatapnya dengan pandangan tak mengerti.
"Teriaklah sepuasmu, Rania. Di sini sudah tidak ada siapa-siapa," tukasnya.
Dia tau namaku! Kembali menatapku dengan pandangan yang tidak dapat aku mengerti
"Apa maumu?" ujar ku lirih.
"Aku mau kamu!," tukasnya. Aku mendelik kaget mendengar jawaban dari mulutnya.
"Kamu tau, kita sudah tiga kali bertemu. Bukan kah itu suatu takdir dari Tuhan?" ujarnya.
"Tiga kali? Apa maksudmu?" tanya ku tak mengerti.
"Kau lupa? Ok, aku akan ingatkan lagi." tukasnya.
"Pertemuan pertama kita ditoilet Gemilang agensi. Pertemuan kedua, kamu menabrak mobilku. Dan pertemuan ketiga, kamu menabrak ku di sini!." jelasnya.
Aku baru ingat. Iya! Dia lelaki yang sama ditoilet yang aku lihat. Dia yang bersama gadis cantik berciuman tidak tau malu itu. Cih, dasar lelaki mesum.
Saat pegangan tangannya sedikit mulai kendor, aku pun berusaha kabur. Namun apa yang terjadi, dia malah menarik pinggang ku dan langsung mencium bibirku.
Aku begitu terkesiap melihat kelakuan abnormalnya kepadaku. Aku meronta dan memukuli tubuhnya agar melepaskan ciumannya. Tapi sayang, dia semakin beringas ******* bibirku. Kedua tanganku ditariknya dan diangkat ke atas kepalaku dan dipegang dengan satu tangannya. Satu tangannya lagi memegang tengkukku agar ciuman bibir kami berdua lebih dalam.
Aditya mencium bibirku dengan ganasnya. Aku sudah tidak bisa melawannya. Tenaga ku sudah habis untuk meronta dari tadi. Yang hanya bisa aku lakukan sekarang adalah menangis. Aku menangis dengan keras dan tertahan bibir Aditya.
Aditya melepaskan ciumannya dan menatapku yang menangis tersedu-sedu. Diusapnya air mata yang mengalir dipipiku.
"Hei, kenapa kau menangis?" tanya nya tanpa dosa.
"Aku benci kamu. Aku benci kamu! Aku benci kamu, Aditya! Aku membencimu dengan seluruh hidup ku!" teriakku dengan sangat keras dan menggema ruangan kosong ini.
***
Masih lanjut yaa revisinya. Jangan lupa like, komen, dan vote ya. 🤗🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
HIATUS
Like ❤ like ❤ like ❤
2021-03-06
1