Aku kembali lagi ke rumah sakit tempat Mama di rawat. Aku membuka pintu kamar perawatan dengan perlahan. Terlihat Vania duduk di samping tempat tidur Mama dengan setia.
"Kakak darimana saja?" bisik Vania pelan agar tak membangunkan Mama yang tengah tertidur lelap. Aku tersenyum miring mendengar pertanyaan itu.
"Bagaimana keadaan Mama?" tanya ku lirih.
"Dokter baru saja menyuntikkan obat penurun tekanan darah lagi. Mama langsung tertidur setelahnya." jawab Vania dengan tatapan yang masih menatap wajah Mama yang memucat.
Aku menghela nafas dengan berat. Ini sungguh tidak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiranku. Mama terlihat sehat dari siapapun, namun pada kenyataannya dia telah menahan lelah yang teramat sangat besar.
"Kamu pulang aja sekarang. Ambil beberapa baju dan handuk buat Mama. Sekalian bawa perlengkapan mandi. Bawa tikar, bantal dan selimut juga, dek. Untuk kita jaga nanti malam disini," tukas ku. Vania mengangguk mengiyakan ucapan ku. Dia segera bangkit meninggalkan duduknya.
"Kakak perlu dibawakan baju ganti juga?" tanyanya.
"Iya dek." jawabku.
Vania pun pergi meninggalkan rumah sakit dan kembali pulang ke rumah. Aku duduk di samping tempat tidur Mama. Ku usap tangan Mama dengan lembut. Aku menghela nafas panjang dan memejamkan mata sejenak.
Ma jangan seperti ini. Aku rapuh melihatmu terbaring seperti ini. Aku rindu senyuman Mama. Aku rindu omelan Mama. Cepat sembuh Ma. Maafin Rania. Maaf.
*****
Dua jam berselang, Vania kini tengah berdiri di sampingku sambil menepuk bahu ku dengan pelan. Ternyata selama Vania pulang tadi, aku tertidur dikursi samping tempat tidur Mama. Aku mengusap wajahku sejenak.
"Kamu sudah datang dek?" tanya ku saat melihat Vania di sana.
"Kak, ada kak Sean di depan." tukas Vania.
"Sean?"
"Iya. Tadi aku ketemu kak Sean di dekat rumah. Lalu dia juga yang mengantar ku kesini. Sekarang dia ada di depan. Kakak temui dulu sana," ujar Vania. Aku pun segera berdiri dan menghampiri Sean yang duduk di depan kamar perawatan Mama.
"Sean." seru ku saat melihat tubuhnya duduk di sana.
"Rania." Sean berdiri dan menghampiri ku. Dia mengusap lenganku lembut.
"Kenapa kamu gak kasih tau aku, jika Mama kamu masuk rumah sakit?" tanyanya lembut. Aku pun mendudukkan tubuhku di kursi yang ada di sana.
"Ini begitu mendadak Sean. Aku jadi belum sempat mengabari mu." jawabku. Sean mengusap kepalaku lembut.
"Sekarang gimana keadaan Tante Elis?" tanyanya khawatir.
"Ya masih harus di pantau terus selama beberapa hari ini." jawabku resah. Aku kembali teringat akan biaya rumah sakit yang masih belum aku lunasi. Aku menghela nafasku berat.
"Kenapa?" tanya Sean menangkap kegundahan yang aku rasakan saat ini. Aku masih terdiam tak menyahut.
"Rania, katakan ada apa?"
"Sean aku sedang bingung saat ini!" tukas ku sedih. Tiba-tiba saja air mataku menetes begitu saja dari tempatnya. Sean duduk berjongkok di depanku. Diusapnya air mata ku dengan ibu jari tangannya.
"Ceritakan ada apa Rania. Jangan di pendam sendirian seperti ini. Kita berjanji kan tidak akan ada yang disembunyikan satu sama lain." ujar Sean. Aku semakin menangis mendengar ucapan Sean. Rasanya aku sudah tidak bisa menahan sesak di dalam dadaku saat ini.
"Tenangkan dirimu Rania. Kamu harus kuat. Demi Tante Elis dan Vania juga," ujar Sean mencoba menenangkan diriku.
*****
"Berapa lama waktu yang diberikan pihak rumah sakit?" tanya Sean sesaat mendengar semua cerita ku tentang kegelisahan ku tentang biaya rumah sakit Mama yang belum terbayarkan.
"Batasnya sampai besok sore Sean." jawabku.
Sean tampak berpikir sejenak. Dia tersenyum dan mengusap rambutku dengan lembut.
"Kamu tidak usah khawatir. Aku akan coba cari pinjaman uang. Aku akan kabari kamu secepatnya," tukas Sean.
"Kamu tidak perlu repot-repot Sean. Aku akan coba pinjam dulu ke kas perusahaan besok. Kalau tidak, aku akan pinjam ke bang Tigor." ujar ku.
"Bang Tigor itu kan lintah darat Rania. Aku tidak setuju kamu pinjam duit sama dia." tolak Sean yang mengetahui latar belakang pekerjaan bang Tigor.
Ya aku dan Sean masih tinggal di satu tempat. Rumah kita hanya berbeda gang saja. Rumahku di gang tiga. Sedangkan rumah Sean ada di gang lima. Jelas saja dia tau siapa bang Tigor itu.
"Gak ada pilihan lain Sean. Aku akan cicil setiap bulannya saat aku gajian." ujar ku. Sean mendengus kesal mendengar bantahan ku.
"Lagian kamu mau pinjam ke siapa?" tanya ku.
"Aku akan coba pinjam ke teman-teman ku. Atau gak aku akan gadaikan BPKB motor ku itu," tukas Sean.
"Jangan Sean! Aku gak mau terima uang dari kamu. Udah kamu gak usah repot-repot sampai seperti ini. Biar aku aja yang usaha. Lagian Mama kan masih tanggung jawab aku." ujar ku.
"Tapi aku kan pacar kamu Rania!"
"Aku tau Sean. Tapi kamu gak usah sampai gadai BPKB segala. Apa kata orang tua kamu." tukas ku.
Sean terdiam. Dia tampak berpikir. Wajahnya terlihat cemberut akibat penolakan dariku tentang biaya rumah sakit Mama. Kami saling terdiam beberapa saat. Tak ada obrolan atau percakapan diantara kita berdua.
"Kamu sudah makan?" tanya Sean memulai percakapan.
"Belum." jawabku.
Aku teringat jika aku memang belum makan apapun dari tadi siang. Bahkan cilok pesanan ku pun belum aku sentuh sama sekali.
"Kamu tunggu sini. Aku akan belikan kamu dan Vania makanan," tukasnya. Aku mengangguk mengiyakan.
Sean pun beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan aku sendirian di sana.
*****
Malam ini aku di temani Sean berjaga di rumah sakit. Vania berada di dalam kamar perawatan menemani Mama. Sedangkan aku duduk di luar bersama Sean. Tadi Mama sempat bangun dari tidurnya dan mencari keberadaan ku. Vania keluar dan memanggilku. Aku pun masuk.
"Mama ..." seru ku saat melihat wajah Mama.
Mama yang terlihat pucat itu pun tersenyum di depanku. Aku menggenggam tangan Mama dan menciumnya.
"Kamu sudah makan nak?" tanyanya dengan suara parau.
"Sudah. Mama gak usah khawatir kan aku. Mama istirahat saja. Agar cepat sembuh." jawabku.
"Maafin Mama ya nak! Mama sudah merepotkan mu." ujarnya sedih. Air matanya pun mengalir dari sudut matanya. Aku mengusap cairan bening itu.
" Mama ngomong apa sih? Rania kan anak Mama. Jadi Mama sama sekali gak merepotkan kok." jelas ku.
Mama makin terisak mendengar ucapan ku. Aku mencoba menenangkan Mama dan menghiburnya.
"Ma jangan seperti ini. Kalau Mama begini, nanti tekanan darah Mama naik lagi. Mama harus tabah dan ikhlas. Ini ujian dari Allah buat kita," ujar ku.
Mama mengangguk mengiyakan ucapan ku. Aku tau saat ini pasti Mama juga memikirkan besarnya biaya rumah sakit ini. Aku tersenyum sambil mengusap air mata Mama.
"Mama istirahat ya. Aku dan Vania ada di sini bersama Mama." tukas ku. Mama mengangguk dan memejamkan kedua matanya dan perlahan-lahan mulai terlelap. Mungkin efek dari obat yang tadi diberikan masih berfungsi. Aku mengusap punggung tangan ibu yang telah membesarkan ku dengan tetesan peluh dan kerja keras selama ini tanpa mengeluh sedikitpun.
*****
Keesokan paginya, aku mandi dan berganti pakaian di kamar mandi rumah sakit ini. Aku berdiri di depan cermin besar yang ada di kamar mandi rumah sakit. Sejenak aku memandang wajahku di dalam pantulan cermin besar itu. Wajah ku terlihat sembab dan lelah. Karena semalam memang aku tidak bisa tidur dengan nyenyak akibat banyaknya nyamuk di sana dan dinginnya hawa rumah sakit.
Aku menghela nafas berat. Aku pun memoleskan sedikit bedak di wajahku. Untuk menutupi wajah lelah ku. Setelah selesai aku pun kembali ke kamar perawatan Mama. Terlihat Vania tengah menyuapi Mama makan.
"Dek, kakak tinggal kerja gak apa-apa kan?Soalnya ini kan akhir bulan. Kakak gak bisa izin. Ada evaluasi pekerjaan yang gak bisa ditinggal begitu saja." ujar ku kepada Vania.
"Tidak apa-apa kok kak. Barusan aku juga udah izin beberapa hari ke wali kelasku. Dan beliau pun mengerti." tukas Vania.
"Vania, bentar lagi kamu kan ulangan semester nak. Kalau bolos sekolah nanti kamu ketinggalan pelajaran. Udah kamu berangkat sekolah saja. Mama gak apa-apa sendirian." tukas Mama.
"Jangan Ma! Mama masih belum sembuh benar. Kalau Mama mau ke kamar kecil gimana? Siapa yang nolong?" tolak ku dan di benarkan oleh adikku, Vania.
"Udah Mama gak usah khawatir. Vania kan anak yang cerdas. Masalah pelajaran itu mah, kecil." tukasnya sombong.
Mama dan aku tergelak mendengar ucapan Vania. Memang Vania adalah anak yang cerdas dan mudah sekali menangkap pelajaran di sekolahnya. Walaupun tidak rangking satu. Namun dia selalu menduduki peringkat ketiga di sekolahnya. Lumayan membanggakan untuk anak seusianya.
"Ya udah Ma, aku berangkat kerja dulu. Mama istirahat saja ya di sini. Jangan banyak pikiran. Serahkan semuanya sama Rania." ujar ku sebelum berangkat bekerja.
"Iya nak. Hati-hati ya." tukas Mama.
"Dek, jaga Mama ya. Kalau ada apa-apa, langsung kabari kakak. Ini ada sedikit uang buat beli makan atau apa lah nanti." ujar ku sambil memberikan selembar uang ratusan ribu kepada Vania buat pegangan dia.
"Iya kak. Terima kasih. Kakak gak usah khawatir. Aku akan selalu menjaga Mama." tukasnya.
Aku pun berangkat bekerja dengan di antar Sean. Sedari tadi dia menunggu ku di luar.
"Yuk, Sean!" ajak ku meninggalkan rumah sakit ini menuju perusahaan tempatku bekerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments