Bab 19
Malam itu, di bandara New York yang dingin, langit gelap dihiasi oleh gemerlap lampu pesawat jet yang berderet di landasan. Evan berdiri tegap di bawah sinar lampu bandara, mengenakan mantel hitam panjang yang membuat sosoknya terlihat semakin berwibawa. Di sebelahnya, Janeth, asisten pribadinya, memeluknya erat. Wanita itu tersenyum kecil, meskipun matanya memancarkan keengganan untuk berpisah.
“Evan, aku tahu kamu bukan tipe orang yang suka memamerkan emosi, tapi tetap saja, jaga dirimu di sana,” ucap Janeth dengan nada lembut namun tegas.
Evan mengangguk kecil. “Jangan khawatir, Janeth. Fokuslah pada Chase Bank. aku mempercayakan semuanya padamu.”
Janeth menarik napas dalam, lalu melepaskan pelukannya. Sebelum pergi menuju jetnya, dia berbalik sekali lagi, memberikan Evan senyum penuh kesedihan tapi apa yang dia mampu ?. Di belakangnya, para bodyguard yang dia atur memberi hormat kepada Evan sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke jet pribadi mereka.
Di sisi lain, Stella berdiri terpaku. Gadis itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. “Evan, kenapa Janeth memeluk dirimu! Apa yang telah terjadi?” sambil menatap tajam Janeth
Janeth kemudian menatap Stella dengan tajam juga disertai senyuman kecil membuat keduanya menjadi rival.
Evan hanya tersenyum samar. “Hanya seseorang yang berusaha tetap hidup, Stella.”
Kata-katanya singkat, namun penuh misteri, membuat Stella semakin penasaran. Tanpa banyak bicara lagi, Evan menggiring Stella ke jet pribadinya. Pesawat itu tampak megah, dengan desain interior yang memancarkan kemewahan.
Saat pesawat mulai lepas landas, suasana di dalam kabin menjadi lebih tenang. Stella memandang ke luar jendela, sementara Evan tenggelam dalam pikirannya. Sebuah notifikasi muncul di sudut pandangannya, suara dingin dari sistem langsung menyampaikan misi baru.
(Misi: Hancurkan kelompok Red Scorpion di Kota Ariston. Buat mereka kehilangan sumber daya, anggota, dan reputasi mereka.)
(Hadiah: 500 juta dolar, 200 poin sistem)
Evan menghela napas panjang. Di dalam pikirannya, dia sudah bisa membayangkan kerumitan misi ini. “Sistem, kau benar-benar tidak memberi waktu istirahat, ya?” gumamnya pelan.
Namun, ia tahu misi ini tidak bisa dihindari. Red Scorpion adalah ancaman serius, dan perang dunia bawah antara kelompok Black Parade yang dipimpinnya dan Red Scorpion tidak bisa dihindari. Evan harus merencanakan strategi matang agar minim korban di pihaknya.
“Theo pasti harus dilibatkan. Dia lebih tahu soal struktur organisasi ini daripada aku,” pikir Evan.
Namun, daripada terus memikirkan strategi di udara, Evan memilih untuk memanfaatkan perjalanan ini untuk beristirahat. Dia menutup matanya, membiarkan dengung lembut mesin pesawat membawanya ke alam mimpi.
Di sampingnya, Stella melihat wajah Evan yang sedang tidur dan berkhayal tentang dirinya mempunyai suami tampan seperti evan dalam hidupnya.
—
Saat jet mendarat di Bandara Kota Ariston, suasana sudah sangat berbeda. Udara malam terasa dingin, namun atmosfer di sekitar bandara begitu tegang. Jonathan Yin sudah menunggu di sana, dikelilingi oleh bodyguard bersetelan jas hitam. Di sisi lain, Theo dan anak buahnya juga sudah tiba. Mereka mengenakan pakaian khas kelompok mafia dan yakuza, menciptakan aura intimidasi yang membuat orang-orang di bandara menjauh.
Jonathan Yin memperhatikan kelompok Theo dengan mata tajam. Dia tidak mengenali mereka, namun instingnya sebagai pengusaha memberinya firasat buruk. Di sisi lain, Theo juga memperhatikan Jonathan dengan penuh waspada. Anak buah mereka masing-masing sudah siap siaga, menunggu tanda untuk bertindak.
Ketegangan memuncak ketika kedua kelompok itu tanpa sengaja duduk bersebelahan. Theo, yang belum mengenal Jonathan, menatap pria itu dengan pandangan tajam, seolah mencoba menilai ancaman yang mungkin ada. Jonathan, merasa ditantang, balas menatap dengan sikap yang tak kalah tegas.
“Apa kau salah tempat?” tanya Theo dingin.
Jonathan tersenyum kecil. “Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kota ini bukan tempat untuk orang sepertimu.”
Anak buah mereka mulai bergerak, bersiap untuk saling serang, namun ketegangan itu tiba-tiba terhenti ketika dari kejauhan, mereka melihat Evan berjalan mendekat. Aura yang memancar darinya begitu kuat hingga semua orang di sekitar landasan menoleh. Bahkan dalam gelap, kharismanya membuat orang-orang memandangnya dengan penuh segan.
Stella, yang berjalan di sebelah Evan, langsung berlari ke arah ayahnya saat melihat Jonathan dari kejauhan. “Papa!” serunya.
Theo berdiri, namun gerakannya membuat anak buah Jonathan salah paham. Mereka segera bergerak maju, menciptakan suasana yang semakin tegang. Jonathan mengira mereka berniat menculik anaknya, tetapi sebelum dia sempat bereaksi, Theo tiba-tiba membungkuk hormat bersama anak buahnya di depan Evan.
“Selamat datang, Tuan Evan,” ucap Theo dengan suara penuh penghormatan.
Jonathan tertegun. Dia tidak pernah membayangkan pemuda yang selama ini ia kenal sebagai dokter hebat ternyata memiliki kekuasaan sebesar ini.
“Evan, apa artinya ini?” tanyanya dengan nada penuh kebingungan.
Evan melirik Theo. “Sudah cukup, Theo. Jangan buat keributan di sini.”
Theo segera berdiri tegap, sementara anak buahnya mundur dengan sikap hormat. Evan mendekati Jonathan, senyum tipis terlukis di wajahnya.
“Paman Jonathan, maafkan kekacauan ini. Theo dan anak buahnya hanya terlalu protektif,” ucap Evan tenang.
Jonathan mengangguk pelan, meskipun pikirannya dipenuhi pertanyaan. Sebelum dia sempat berbicara lebih lanjut, Evan melanjutkan, “Paman dan Stella pulanglah dulu. Ada urusan mendesak yang harus saya selesaikan.”
Stella menatap Evan dengan tatapan kesal. “Evan, kau selalu sibuk! Apa tidak bisa kau meluangkan waktu sedikit untuk makan malam bersama?”
Evan menghela napas, menyadari kekecewaan Stella. Namun, sebelum dia sempat menjelaskan, Theo berbisik sesuatu di telinganya. Raut wajah Evan berubah serius.
“Maaf, Stella. Aku janji akan menebusnya nanti. Sekarang, pergilah bersama ayahmu,” katanya tegas.
Stella mendengus kesal, lalu menarik tangan ayahnya. “Ayo, Papa. Dia terlalu sibuk untuk kita.”
Jonathan menatap Evan sekali lagi sebelum mengikuti putrinya. Setelah mereka pergi, Evan menoleh ke Theo. “Apa yang terjadi?”
Theo menjawab dengan nada rendah namun tegas, “Tuan, salah satu aset kita di pelabuhan diserang oleh Red Scorpion. Mereka sepertinya mulai bergerak.”
Evan mengepalkan tangannya. “Baik. Arahkan semua orang ke markas. Kita perlu merencanakan langkah selanjutnya.”
Theo mengangguk. “Mengerti, Tuan.”
Malam itu, perang dunia bawah yang panjang mulai terasa mendekat, dan Evan tahu bahwa langkah berikutnya akan menentukan segalanya.
Mobil-mobil hitam berderu dengan kecepatan tinggi, membelah malam yang gelap di jalan raya yang sepi. Mobil-mobil ini berjalan dalam konvoi, berisi Theo dan anak buahnya yang berpengalaman, siap menuju markas mereka—perusahaan bodiguard palsu yang berfungsi sebagai markas operasional mereka.
Theo duduk di kursi depan dengan penampilan yang tegas dan penuh kewaspadaan. Matanya menatap jalanan dengan konsentrasi penuh sambil berusaha menjaga komunikasi dengan anak buahnya melalui radio.
“Kita sampai dalam 10 menit. Semua tetap waspada. Jangan lengah!” perintahnya melalui komunikasi.
Anak buahnya yang mengemudi dan lainnya membalas dengan anggukan tenang. Namun, ketenangan mereka hanya berlangsung beberapa menit.
Sesaat setelah mereka berbelok di tikungan jalan, deru mesin yang tidak biasa mulai terdengar dari belakang. Mobil-mobil hitam bermuatan kelompok musuh dengan cepat mendekati mereka.
Tembakan pertama terdengar memecah udara. Dengan cepat, Theo merasakan ada yang tidak beres. Sekelompok mobil hitam bermuatan musuh dengan senjata mesin dan bazooka mulai mengejar mereka. Mereka datang dengan agresif, tanpa aba-aba, langsung menembaki konvoi mereka.
"Kontak! Semua tembak balik! Lakukan perlawanan!" seru Theo dengan nada serius sambil memutar kemudi untuk menghindari tembakan.
Suara mesin senjata memecah keheningan malam. Senjata mesin menderu tanpa henti dari mobil-mobil hitam yang datang dalam jumlah banyak. Suara peluru menghantam kaca mobil, memecahkan jendela, dan menghancurkan bagian mobil dengan kebut-kebut yang mematikan. Kaca pecah berhamburan di udara seperti hujan kecil yang mematikan.
“Pergilah ke neraka, dasar Parade sialan!” teriakan memekakkan terdengar dari salah satu mobil musuh yang memimpin serangan. Seorang pria bersenjata berat memegang senapan mesin sambil berteriak dengan antusias yang membara.
Mobil-mobil mereka berjumlah hanya delapan, sementara lawan mereka memiliki sepuluh mobil hitam. Tidak hanya menembak dengan senjata otomatis, mereka juga mengarahkan bazooka mereka—ledakan-ledakan kecil menghancurkan jalannya yang padat dan mobil-mobil konvoi mereka.
Di salah satu mobil mereka, Evan duduk dengan hati berdebar. Ia memeriksa pistol Glock dengan peredam yang diserahkan Theo sebelumnya. Ketika suara tembakan semakin mendekat, ia tahu bahwa dirinya harus ikut bertindak.
‘Aku tidak tahu bagaimana cara untuk menembak!’ gumam Evan dengan wajah panik.
Evan kemudian membuka toko sistem untuk mencari keterampilan menembak dengan cepat. Setelah mencari dengan cepat, dia menemukan apa yang ia cari.
(Keterampilan All Weapon Mastery)
-keterampilan yang bisa membuat Host bisa menggunakan semua jenis senjata dari senjata jarak dekat sampai jarak jauh.
30 Poin
Tanpa perlu untuk berfikir lagi, Evan langsung membelinya. Seluruh badan mulai dari kepala sampai kaki terasa memanas, keringat membasahi seluruh tubuh dirinya. Beberapa detik setelah itu, pengetahuan tentang semua jenis senjata sudah ada di kepalanya.
Dengan cepat, ia mulai membalas tembakan dari arah mobil-mobil musuh yang mendekat. Senjatanya mengeluarkan suara "BAAANG" setiap kali ia menarik pelatuk, peluru menembus kaca mobil dan mengarah ke target mereka.
Mobil-mobil mereka berputar-putar, menghindari serangan bazooka yang menghancurkan jalur mereka dengan kepulan asap dan ledakan besar. Setiap ledakan membuat mobil-mobil mereka berguncang dan nyaris terguling.
“Theo! Berikan instruksi! Perbaiki posisi kita!” teriak Evan sambil menembaki salah satu mobil musuh.
Theo meraih radio dengan cepat. "Tembakkan balik, semua senjata! Fokus pada mobil yang mendekat! Jaga formasi!"
Anak buahnya menembaki mobil musuh dengan senapan mereka, merespons setiap tembakan yang datang dengan serangan balik yang keras. Kaca pecah, peluru berhamburan, dan setiap serangan membuat satu mobil musuh hancur.
Suara ledakan kembali menggema. Salah satu mobil musuh meledak tepat di tengah jalur, memutus konvoi mereka sementara. Lalu dua mobil lainnya ikut hancur di serangan balasan yang dilakukan anak buah Theo.
Namun, dalam keganasan serangan ini, dua mobil mereka berhasil ditarik dari jalurnya. Salah satu mobil mereka menabrak tiang listrik akibat kecepatan tinggi dan peluru yang mengenai roda mereka, sementara yang lainnya hancur lebur akibat tembakan bazooka.
Mobil-mobil Red Scorpion terus mengejar mereka, tetapi anak buah mereka memberikan perlawanan yang brutal. Tembakan saling membalas antara kedua pihak dengan suara senjata yang memekakkan telinga.
Theo dan anak buahnya berjuang keras, namun dua mobil Red Scorpion berhasil lolos dari serangan mereka. Dengan cepat mereka berbelok ke jalur yang lebih kecil, menghilang di balik asap dan keheningan yang pekat.
“Kita kehilangan dua target! Lacak mereka! Jangan biarkan mereka pergi!” seru Theo dengan marah melalui radio.
Suara komunikasi terputus sesaat karena kecepatan mereka yang tinggi. Dalam sekejap, mobil-mobil mereka berputar kembali dengan suara knalpot yang berdebar, memindahkan posisi mereka untuk menghindari tembakan musuh lebih lanjut.
Perang ini belum berakhir. Red Scorpion telah menunjukkan kekuatan mereka, dan Evan tahu ini adalah pengalaman yang ia harus ketahui supaya kedepannya dia tidak panik. Pertarungan belum selesai, tetapi mereka berhasil mengurangi jumlah musuh dengan serangan balik yang efektif.
Namun, kerugian yang mereka alami dua mobil yang hancur, korban jiwa yang tidak bisa dihindari membuat Evan semakin serius mempertahankan posisi mereka.
“Kita akan bangkit dari sini... dengan kekuatan yang lebih besar.” bisik Evan sambil menatap jalan yang berasap dan berisi kekacauan.
Ledakan masih terdengar di belakang mereka. Asap dan suara senjata merayapi jalanan gelap, sementara mereka tetap melaju. Tiba-tiba dia merasa sakit dibahagian bahunya, dia memegang bahunya dan menyadari bahwa bahunya berdarah dengan banyak membuat penglihatannya kabur dan akhirnya hilang kesadaran.
…
Evan membuka matanya perlahan. Bau antiseptik menusuk hidungnya, mengingatkan pada suasana rumah sakit. Namun, ruangan ini berbeda dari rumah sakit biasa. Cahaya lampu neon putih terang memenuhi ruangan yang tertata seperti klinik modern, meski dindingnya dihiasi beberapa peralatan tak lazim yang tampak seperti campuran teknologi medis dan alat eksperimen.
Bahunya terasa kaku, meski sakitnya sudah jauh berkurang. Di sebelahnya, Theo berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tenang seperti biasa. Namun, suasana di ruangan itu terasa berbeda, terutama setelah pintu terbuka dan seorang pria masuk.
Pria itu mengenakan jas lab putih yang tampak kebesaran, dengan kacamata bulat yang membuatnya terlihat seperti kutu buku. Rambutnya acak-acakan, dan di kantong jasnya penuh dengan pena dan alat kecil yang sulit dikenali.
"Oh, ini dia pasien spesial kita. Si bos besar yang anonim akhirnya turun gunung. Bagaimana rasanya tertembak, anak muda? Seru, bukan?" Pria itu berjalan mendekat sambil menyeringai lebar, langsung berbicara tanpa henti.
Evan mengerutkan alis, menatap Theo seolah meminta penjelasan. Theo hanya mendesah, lalu memperkenalkan pria itu.
"Bos, ini Frankenstein. Kami memanggilnya Dr. Frank. Dia kepala medis di markas ini. Jangan terkecoh dengan penampilannya, dia jauh lebih berbahaya dari yang terlihat."
"Tentu saja aku berbahaya, Theo. Kalau tidak, aku tidak akan ada di sini, bukan? Lagipula, kau yang membawaku setelah pemerintah memutuskan aku 'tidak stabil secara mental.'" Dr. Frank memotong sambil mengangkat kedua tangannya, jari-jarinya bergerak cepat seperti sedang menggambarkan tanda kutip.
Theo mendengus kecil. "Pemerintah tidak mengerti bahwa kau bukan gila, tapi terlalu pintar untuk jenis mereka."
"Tentu saja. Otakku bekerja dua kali lebih cepat daripada rata-rata manusia biasa setelah insiden radioaktif itu. Kalau saja aku tidak dikeluarkan, aku mungkin sudah menciptakan metode pengobatan baru untuk luka tembak ini." Dr. Frank menunjuk bahu Evan tanpa permisi, membuat Evan sedikit meringis.
"Tenang, anak muda. Kau tidak akan mati karena ini. Kalau kau mati di bawah pengawasanku, reputasiku sebagai dokter akan hancur. Dan aku tidak bisa membiarkan itu. Sekarang, izinkan aku melihat lebih dekat."
Dr. Frank mengambil alat yang tampak seperti scanner kecil dari meja di samping tempat tidur. Dia mengarahkannya ke bahu Evan, memindai area yang terluka. Alat itu mengeluarkan cahaya biru yang bergerak perlahan.
"Peluru sudah keluar, syukurlah. Kau beruntung luka ini hanya menyentuh otot, bukan arteri utama. Tapi kau tetap perlu istirahat selama beberapa hari. Dan tidak ada aksi heroik, paham?" katanya sambil mengarahkan tatapan tajam ke Evan.
"Aku tidak punya pilihan tadi. Situasinya mendesak," jawab Evan, suaranya tenang.
"Tentu saja, kau tidak punya pilihan. Itu selalu alasan favorit orang-orang yang datang kepadaku dengan luka-luka bodoh seperti ini. 'Dr. Frank, aku tidak punya pilihan. Dr. Frank, aku tertembak karena aku pahlawan.' Omong kosong. Kalau kau punya pilihan, kau tidak akan di sini, kan?"
Evan hanya menghela napas, memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh. Theo menahan tawa kecil di belakangnya.
"Sudah cukup, Frank. Fokus pada lukanya, bukan ceramahnya," kata Theo akhirnya.
"Baiklah, baiklah. Kau tahu, Theo, kau tidak pernah tahu caranya bersenang-senang. Sekarang, diam dan biarkan aku bekerja."
Sambil merawat luka Evan, Dr. Frank mulai berbicara lagi. Mulutnya seperti tidak pernah berhenti.
"Kalian tahu, aku dulu adalah bintang di unit medis militer. Operasi di bawah tembakan, menangani kasus yang bahkan dokter bedah terbaik sekalipun akan lari ketakutan. Tapi satu misi mengubah segalanya. Ledakan radioaktif itu… ah, luar biasa.
Menyedihkan, tentu saja, tapi juga luar biasa. Karena setelah itu, aku merasa seperti manusia baru."
Evan menatap Dr. Frank, sedikit penasaran. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, anak muda, otakku bekerja seperti mesin superkomputer sekarang. Aku melihat dunia dengan cara yang berbeda. Solusi untuk masalah yang rumit menjadi jelas dalam sekejap. Tapi pemerintah bodoh itu memutuskan aku gila karena ide-ideku dianggap terlalu 'tidak konvensional.' Jadi, mereka memecatku. Lalu Theo menemukanku, dan sisanya adalah sejarah."
Theo menambahkan, "Dr. Frank bukan hanya dokter. Dia juga ahli racun, senjata biologis, dan—"
"Dan jangan lupakan senjata improvisasi. Aku bisa membuat granat dari barang-barang dapur. Kau tahu, seni kreatif!" potong Dr. Frank dengan bangga.
Setelah perawatan selesai, Dr. Frank menepuk bahu Evan (yang tidak terluka) dengan keras.
"Selesai. Kau akan baik-baik saja, bos besar. Tapi jangan lupa untuk kembali jika ada yang aneh. Dan jangan sekali-kali mencoba mengeluarkan peluru sendiri. Itu pekerjaan untuk profesional, paham?"
Evan mengangguk sambil duduk perlahan. Dia menatap Theo. "Markas ini lebih dari sekadar tempat persembunyian, ya?"
Theo mengangguk. "Kami membangunnya agar bisa mendukung semua operasi. Mulai dari perawatan medis hingga pelatihan taktis."
"Dan dokter seperti ini," Evan melirik Dr. Frank, "adalah bagian dari paketnya?"
"Hei, anak muda, tanpa aku, markas ini tidak akan sebagus ini. Ingat itu. Sekarang, pergilah beristirahat. Kau butuh energi”
Evan tersenyum tipis. "Terima kasih, Dr. Frank. Aku menghargai kerja kerasmu."
"Oh, tidak masalah. Aku senang jika pasienku tahu caranya bersyukur. Sekarang keluar dari sini. Aku butuh kopi."
Theo mengajak Evan keluar dari ruangan, meninggalkan Dr. Frank yang mulai merapikan alat-alatnya sambil bersenandung pelan.
Theo memandu Evan ke sebuah ruangan besar di lantai bawah markas Black Parade. Tidak seperti ruangan rumah sakit yang modern dan steril, ruangan ini memiliki atmosfer yang berbeda. Dindingnya dilapisi panel kayu gelap dengan ukiran logo Black Parade yang besar dan mengesankan di bagian tengah. Lampu gantung berbentuk minimalis memberikan cahaya hangat, sementara meja bundar besar di tengah ruangan dikelilingi oleh kursi kulit berwarna hitam yang terlihat elegan.
Evan memperhatikan dengan cermat setiap detail ruangan itu. Ini adalah pusat komando para pemimpin Black Parade markas dari organisasi yang diam-diam telah menguasai bagian tertentu dunia bawah. Dia merasakan beban yang mulai menggelayut di pundaknya. Sebagai pemimpin yang selama ini anonim, inilah saatnya dia benar-benar menunjukkan jati dirinya pada kelompok ini.
“Ruangan ini sudah lama tidak digunakan untuk rapat besar seperti ini, Theo,” ucap Evan, suaranya terdengar tenang.
Theo, seperti biasa, menjawab dengan nada datar. “Kepala Black Parade biasanya hanya saling berkomunikasi melalui saluran yang aman. Tapi setelah insiden tadi malam, sudah waktunya mereka bertatap muka dan melihat siapa bos besar mereka. Ini akan menjadi awal yang baru.”
“Aku tidak tau darimana Badjingan Red Scropion mengetahui informasi tentang aku Theo akan menjemput Anda.”
Evan mengangguk pelan. “Dalam satu jam, kumpulkan mereka semua. Aku ingin melihat dan mengenal langsung orang-orang yang bekerja di bawahku. Dan kau, Theo, perkenalkan mereka satu per satu kepadaku.”
Theo tersenyum kecil. “Bos, kau siap dengan tingkah Frank? Dia tidak akan diam selama pertemuan ini.”
Evan tersenyum tipis, meski bahunya masih terasa kaku. “Aku akan bertahan. Setidaknya dia aset yang berharga, meski mulutnya lebih tajam dari senjatanya.”
Satu jam kemudian, suasana di markas mulai ramai. Para kepala Black Parade mulai memasuki ruangan satu per satu. Mereka semua mengenakan pakaian formal yang mencerminkan posisi mereka sebagai pemimpin setiap defisi. namun tetap memiliki elemen taktis—seperti senjata tersembunyi di pinggang atau sepatu bot tempur yang senyap.
Theo berdiri di samping Evan, menyambut setiap kepala dengan anggukan hormat. Sementara itu, Evan duduk di kursi utama, memerhatikan mereka dengan tenang.
Tiba-tiba, suasana yang awalnya serius sedikit berubah ketika pintu terbuka dengan keras.
“Oke, siapa yang punya kopi di sini? Ini rapat atau pemakaman? Kenapa semua wajah seperti sedang melihat setan?” suara nyaring itu milik Dr. Frank. Dia masuk dengan langkah lebar, jas lab putihnya berkibar, sementara kacamata bulatnya sedikit melorot dari hidungnya.
Para kepala yang lain menoleh, sebagian dari mereka menunjukkan ekspresi bingung, sebagian lainnya sudah terbiasa dengan tingkah Dr. Frank.
“Oh, bos besar sudah di sini! Lihatlah dia, duduk seperti raja di singgasananya. Bos, kau seharusnya meminta mereka membawa karpet merah untukmu! Dan mungkin mahkota juga, siapa tahu itu menambah kesan megah!” katanya dengan nada bercanda, membuat suasana tegang menjadi sedikit longgar.
Theo menatap Frank tajam. “Frank, duduk. Jangan buat keributan.”
Frank mendengus sambil mencari kursinya. “Ya, ya, aku tahu aturannya. Tapi serius, Theo, kau harus belajar sedikit humor. Kau seperti batu karang yang terlalu serius.”
Evan menahan tawa kecil, namun langsung kembali ke sikap tenang dan berwibawa.
Setelah semua kepala hadir, Theo berdiri di samping Evan dan membuka pertemuan.
“Selamat malam semuanya. Hari ini adalah momen penting dalam sejarah Black Parade. Seperti yang kalian tahu, organisasi kita telah menghadapi ancaman serius dari Red Scorpion. Malam tadi, kami diserang di perjalanan, dan dua mobil kita hancur. Namun, delapan dari mereka juga berhasil dilumpuhkan. Dan hari ini, kita akan membahas strategi kita ke depan.”
Theo berhenti sejenak, menatap semua orang di ruangan itu. “Sebelum kita mulai, izinkan saya memperkenalkan seseorang yang selama ini memimpin kita dari balik layar. Pemimpin sejati Black Parade Tuan Evan.”
Semua kepala menatap Evan dengan berbagai macam ekspresi—kekaguman, penasaran, dan bahkan beberapa rasa hormat yang mendalam. Evan bangkit perlahan dari kursinya, melangkah maju ke meja, lalu berbicara dengan suara tenang namun penuh otoritas.
“Saya tahu kalian mungkin merasa heran kenapa saya baru muncul sekarang. Tapi percayalah, setiap langkah yang saya ambil selama ini adalah untuk menjaga keamanan dan keberlangsungan organisasi ini. Saya memilih untuk anonim karena saya ingin setiap dari kalian fokus pada peran masing-masing. Namun, situasi saat ini mengharuskan saya untuk tampil langsung.”
Evan berhenti, menatap mereka satu per satu. “Mulai sekarang, kita tidak akan hanya bertahan. Kita akan menyerang balik. Red Scorpion telah berani menunjukkan taringnya di kota ini, Kota kekuasaan kita Ariston , mencoba meruntuhkan kita. Tapi saya tidak akan membiarkan itu terjadi. Kita adalah Black Parade, dan saya tidak akan membiarkan siapa pun menginjak kita.”
“Luar biasa, bos! Kalau saja kau bukan bos besar, aku akan mencalonkanmu jadi presiden!” katanya sambil terkekeh.
Theo menutup matanya sejenak, lalu melanjutkan. “Sekarang, mari kita bahas langkah-langkah strategis untuk melumpuhkan Red Scorpion. Frank, kau akan memimpin divisi medis, sementara saya dan kepala taktik lainnya akan merancang serangan. Dan Tuan Evan... kau adalah otak dari semua ini. Apa perintah pertamamu?”
Evan menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Mari kita buat mereka menyesali hari mereka melawan kita.”
Pertemuan telah berlangsung sekitar sepuluh menit, dan setiap kepala divisi Black Parade mulai menyampaikan laporan masing-masing. Suasana yang awalnya serius tiba-tiba berubah menjadi kacau ketika Dr. Frank, yang duduk bersandar dengan santai, mulai berbicara tanpa henti.
“Dengar, dengar, aku punya ide brilian,” kata Frank, tiba-tiba memotong Theo yang sedang menjelaskan taktik pertahanan. “Kita bisa gunakan peluru berlapis uranium untuk menghancurkan kendaraan mereka! Atau, kalau kau mau lebih ekstrem, kita racun saja sumber air mereka! Siapa tahu, Red Scorpion itu kan manusia juga, mereka harus minum, kan?”
Seluruh ruangan langsung hening sejenak, dan tatapan kaget dari para kepala divisi lainnya tertuju pada Frank.
“Frank, kita bukan teroris,” ujar Theo dengan nada tegas, menahan rasa frustrasinya.
Namun, Frank hanya mengangkat bahu, menyeringai lebar. “Ah, Theo, kau terlalu konservatif. Kadang-kadang, kau harus berpikir di luar kotak! Hei, kau tahu? Aku punya akses ke senjata biologis tingkat rendah. Kita bisa buat mereka muntah darah selama tiga hari berturut-turut! Bayangkan betapa efektifnya itu!”
Salah satu kepala divisi, seorang pria besar dengan bekas luka di pipi bernama Victor, mengangkat tangan, wajahnya terlihat gelisah. “Bos, bisakah seseorang menyuruh Frank untuk diam? Aku tidak bisa berpikir dengan dia terus berbicara seperti itu.”
“Diam? Victor, kau hanya iri karena ide-ideku terlalu jenius untuk dipahami otak kecilmu,” balas Frank dengan nada mengejek, sambil menunjuk kepala pria besar itu dengan ujung pulpennya.
Victor menggeram, mengepalkan tangannya di atas meja. Namun, sebelum situasi memanas, Evan mengangkat tangannya, meminta semua orang tenang.
“Frank,” ujar Evan dengan nada rendah tapi tegas.
“Aku menghargai antusiasme dan kecerdasanmu, tapi rapat ini bukan tempat untuk eksperimen gilamu. Fokus pada tugasmu sebagai kepala medis. Kita butuh solusi praktis, bukan senjata pemusnah massal. Mengerti?”
“Mungkin jika aku perlu ide-mu yang jenius kedepannya, aku akan meminta saranmu” ucap Evan merasa ide Dr. Frank semuanya bagus untuk kedepannya.
Frank memutar matanya, lalu menghela napas panjang. “Baiklah, baiklah. Kalian semua memang terlalu serius. Kalau begitu, aku kembali ke tugas utamaku—merawat kalian ketika kalian semua akhirnya terluka parah karena rencana bodoh ini,” katanya sambil menyilangkan tangan di dada, pura-pura merajuk.
Setelah situasi kembali tenang, Theo melanjutkan rapat, menyampaikan rencana serangan balik mereka.
“Kita akan mengatur pengintaian untuk mengetahui lokasi gudang senjata utama Red Scorpion. Setelah kita mendapat informasi yang cukup, kita akan menyerang mereka di titik terlemah. Victor, kau akan memimpin tim serangan pertama,” kata Theo.
Victor mengangguk tegas, namun tatapan matanya masih menyimpan kekesalan terhadap Frank.
“Apa aku bisa membawa senjata favoritku?” tanya Victor, nada suaranya menyiratkan keinginan untuk melepaskan frustrasi.
“Bawa apa pun yang kau mau, asal kau tidak meledakkan seluruh kota,” jawab Theo sambil menghela napas.
Sementara itu, Evan mencatat semua masukan dan rencana di ponselnya. Pandangannya sesekali beralih ke Frank, yang sekarang sibuk menggambar sesuatu di buku catatan kecilnya.
“Frank, apa lagi sekarang?” tanya Evan, menyadari tingkah anehnya.
Frank mengangkat buku catatannya, memperlihatkan sketsa kasar sebuah alat yang tampak seperti pelontar granat berukuran besar. “Aku hanya merancang senjata medis. Bayangkan ini, kita tembakkan alat ini, dan bukannya granat, isinya adalah semprotan bius tingkat tinggi. Mereka semua akan tidur seperti bayi, dan kita tinggal menyeret mereka ke penjara bawah tanah kita. Efisien, bukan?”
Beberapa kepala divisi memegang kepala mereka, tampak mulai lelah. Bahkan Theo tampak kehilangan kesabaran.
“Frank, tolong. Simpan idemu untuk laboratorium, bukan rapat strategi. Kita butuh solusi nyata, bukan mimpi gilamu,” ujar Theo tajam.
Frank mengangkat kedua tangannya, menyerah. “Baiklah, kalian semua terlalu kolot untuk menghargai seni. Aku hanya mencoba membantu, tahu.”
Setelah dua jam diskusi yang intens, akhirnya rapat selesai. Evan berdiri dari kursinya, lalu berbicara kepada semua kepala divisi.
“Ini adalah awal dari langkah besar kita. Pastikan semua tim kalian siap. Kita tidak akan hanya bertahan. Kita akan mengakhiri dominasi Red Scorpion. Theo, pastikan semua detail rencana dieksekusi dengan sempurna. Frank, siapkan tim medis untuk kemungkinan korban. Kita tidak bisa menghindari kehilangan, tapi aku ingin seminimal mungkin.”
Semua kepala berdiri dan memberi hormat, kecuali Frank yang hanya mengangkat dua jari seperti tanda damai.
Saat semua orang keluar dari ruangan, Frank mendekati Evan, menepuk bahunya dengan penuh antusias.
“Hei, Bos, kau tahu, kalau kau butuh ide-ide baru, kau tahu di mana mencariku. Tapi serius, pikirkan senjata bius itu. Aku bisa membuatnya dalam seminggu.”
Evan hanya tersenyum tipis, menepuk pundak Frank. “Kita lihat nanti, Frank. Untuk saat ini, fokus pada tugas utama.”
Frank mengangguk dengan gaya berlebihan, lalu berjalan keluar sambil bersiul, meninggalkan Evan dan Theo yang hanya bisa menggelengkan kepala.
“Dia memang jenius, tapi aku harap dia tahu kapan harus berhenti,” gumam Evan.
Theo menatap Evan. “Setidaknya dia ada di pihak kita. Kalau tidak, mungkin kita semua sudah hancur oleh ide gilanya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments