Bab 13
“Ding!”
Suara notifikasi sistem memecah keheningan di ruangan pribadi Evan. Sebuah layar kaca holografik muncul di hadapannya, menampilkan pesan berisi berita mengejutkan
Misi rahasia Selesai
Membuat salah satu perushaan terbesar di ariston bangkrut
Hadiah: $300 juta dolar, Kepemilikan Chase Bank (bank terbesar kelima di dunia) dan 500 poin
Evan tertegun, matanya tertuju pada kata-kata "bank terbesar kelima di dunia." Jantungnya berdetak kencang. Chase Bank? pikirnya. Sebuah bank internasional yang begitu besar, dengan pengaruh yang tersebar di seluruh dunia.
"Apakah ini berarti... aku sekarang salah satu orang terkaya di dunia?" gumam Evan, suaranya bergetar antara keterkejutan dan kekaguman.
Belum sempat Evan mencerna sepenuhnya, pintu ruangannya terbuka dengan cepat. Albert, sekretaris pribadinya, masuk dengan wajah tegang dan penuh keterkejutan.
"Tuan Evan!" seru Albert. "Barusan saya mendapat panggilan dari sekretaris Chase Bank! Mereka tahu identitas Anda dan mereka bilang sekarang ingin berbicara dengan Tuan Evan!. Bagaimana ini bisa terjadi? Saya tidak tahu bagaimana mereka mendapatkan informasi Anda!"
Albert tampak bingung dan sedikit panik. Kepemilikan sebesar ini adalah hal yang luar biasa, tetapi juga berisiko jika terlalu banyak pihak mengetahui identitas Evan.
Evan tetap tenang. Dia memberi isyarat agar Albert duduk dan menarik napas dalam-dalam. "Tenang, Albert," katanya dengan suara tegas namun tenang. "Pindahkan panggilan itu ke telepon di ruangan saya. Biar saya yang tangani."
Albert mengangguk cepat, lalu segera menghubungkan panggilan tersebut. Sesaat kemudian, suara wanita lembut namun penuh formalitas terdengar dari seberang.
"Halo, ini Evan," kata Evan, menyesuaikan nada suaranya menjadi lebih profesional.
"Selamat siang, Tuan Evan," balas suara itu. "Saya Janeth Morgan, sekretaris dari Chase Bank. Saya ingin menanyakan kapan Anda berencana untuk datang ke bank induk kami di New York guna menandatangani dokumen resmi perubahan kepemilikan?"
Evan berpikir sejenak. Meskipun tawaran itu penting, dia tidak ingin terlihat terburu-buru. Terutama, identitasnya sebagai pemilik baru harus tetap dirahasiakan.
"Saya akan mengatur jadwal untuk itu," jawab Evan dengan santai. "Namun, saya sedang menyelesaikan beberapa urusan penting. Saya akan menghubungi Anda kembali untuk konfirmasi jadwal."
"Tentu saja, Tuan Evan," balas Janeth sopan. "Kami akan menunggu kabar dari Anda. Oh, dan satu lagi, apakah ada permintaan khusus yang ingin Anda sampaikan terkait transisi ini?"
"Ya," jawab Evan tanpa ragu. "Pastikan bahwa identitas saya sebagai pemilik tetap anonim. Saya tidak ingin hal ini diketahui publik atau media."
Janeth terdiam sejenak, lalu menjawab dengan penuh keyakinan. "Tentu saja, Tuan Evan. Kami akan menjaga kerahasiaan ini sebaik mungkin."
Panggilan berakhir. Evan menyandarkan punggungnya ke kursi dengan perasaan campur aduk. Chase Bank kini menjadi miliknya. Sebuah entitas besar dengan kekuatan finansial luar biasa.
"Langkah berikutnya adalah memastikan bahwa aku tetap di balik layar," pikir Evan. "Aku tak ingin siapa pun tahu sejauh mana kekuasaanku sebenarnya."
Melihat raut wajah Albert yang masih tertegun dan tampak bingung, Evan memutuskan untuk membuka suara.
"Ada apa, Albert?" tanyanya, nada suaranya ringan namun menyiratkan rasa ingin tahu.
“Aku penasaran saja Tuan Evan, kenapa Bank terbesar di dunia dan sekretaris bank induk langsung ingin berbicara dengan anda..”
Evan melihat Albert dengan senyuman saja, dia tau bahwa Albert orang yang sangat loyal. Apalagi dia sudah bekerja di perusahaan Jc 15 tahun dan umurnya sekarang 40 tahun. Bagi Evan Albert adalah orang yang akan melakukan apa saja demi perusahaan.
“Albert itu karna aku adalah pemilik chase bank, tapi aku penasaran kenapa mereka tidak menelpon ku secara pribadi?” Evan mengecek benar saja ada 5 panggilan yang tidak terjawab karna ponselnya berada dalam mode hening.
Wajah Albert sangat terkejut medengar hal itu. “Ada apa Albert? Apa ada sesuatu yang salah?”kata Evan kembali
Albert tergagap, berusaha menyusun kalimat. "Ti… tidak, Tuan Evan. Aku… aku hanya… sangat tidak percaya dengan semua ini," jawabnya, dengan nada yang terdengar jujur. "Di dalam kepalaku masih banyak pertanyaan, tapi… aku bahkan tidak tahu harus bertanya apa dulu."
Evan tersenyum tipis, lalu melepaskan tawa keras yang memenuhi ruangan.
"Hahaha! Tidak perlu khawatir, Albert," kata Evan dengan santai. "Kau hanya perlu melakukan pekerjaanmu seperti biasanya. Pastikan informasi tentang identitasku tetap rahasia. Tidak ada yang boleh tahu aku pemilik Chase Bank. dan aku mempercayaimu Albert jadi jangan mengecewakanku."
Albert mengangguk cepat, tapi wajahnya masih menunjukkan kecemasan yang samar. Evan, yang menyadari itu, menambahkan dengan nada bercanda, "Oh, dan satu hal lagi, Albert. Kalau identitasku sampai bocor... orang pertama yang akan kucari adalah kau!"
Nada suaranya penuh canda, tapi efeknya berbeda pada Albert. Pria itu langsung berkeringat dingin, punggungnya terasa meremang.
"Ti-tidak, Tuan Evan. Saya akan memastikan tidak ada yang tahu. Anda bisa percaya pada saya!" jawab Albert dengan nada tegas, meski tangannya tampak sedikit gemetar.
Evan menepuk bahu Albert dengan ringan, menyeringai kecil. "Santai saja, Albert. Aku hanya bercanda. Tapi tetap, jangan sampai lengah. Dunia ini penuh dengan mata-mata yang suka menggali rahasia."
Albert menelan ludah dan mengangguk lagi, kali ini dengan lebih tenang. Setelah itu, ia meninggalkan ruangan untuk melanjutkan pekerjaannya, meninggalkan Evan sendirian.
Evan kembali bersandar di kursinya, senyuman tipis masih menghiasi wajahnya. Albert mungkin terlalu serius, tapi dia orang yang bisa diandalkan. Lagipula, setiap orang harus tahu di mana batasnya.
…
Malam yang Gelap di Kota Ariston
Langit malam dihiasi lampu-lampu kota yang berkilauan, namun suasana di jalan kecil yang dilewati Evan terasa berbeda. Udara dingin malam itu menyelimuti setiap sudut kota. Evan yang mengenakan setelan rapi tengah menuju restoran bintang lima untuk menghabiskan waktu santai. Namun perjalanannya tertahan ketika pandangannya menangkap sosok yang tidak asing.
Di sebuah bangku jalan, Arka duduk dengan keadaan lusuh. Botol alkohol kosong tergeletak di dekatnya, sementara tubuhnya goyah seperti kapal yang kehilangan arah. Matanya memandang langit dengan kosong, seolah mencari jawaban yang tidak pernah datang.
Evan menghentikan mobilnya, membuka pintu, dan berjalan mendekati Arka. Tatapannya tajam, penuh dengan campuran kebencian dan rasa jijik.
Ketika Evan berdiri tepat di depan Arka, pria yang mabuk itu mengangkat pandangannya namun tidak mengenali siapa yang ada di hadapannya.
"Kau… siapa?" gumam Arka dengan nada mabuk.
Evan hanya menyeringai kecil, memandang Arka dengan penuh rasa hina. "Jadi ini dirimu sekarang, Arka. Kau bahkan lebih sampah dari yang pernah kubayangkan."
Kata-kata itu membuat Arka merasa dipermalukan, dan meskipun mabuk, ia masih punya cukup tenaga untuk berdiri dan menarik kerah kemeja Evan.
"Apa maksudmu?! Jangan memandangku seperti itu, brengsek!" bentaknya, meski suaranya terdengar serak.
Namun sebelum Arka bisa mengatakan lebih banyak, Evan melayangkan tinjunya ke perut Arka, membuat pria itu terjatuh dengan kesakitan. Tanpa memberi waktu untuk pulih, Evan menarik tubuh Arka dan menyeretnya ke sebuah gang kecil yang gelap, jauh dari pandangan orang-orang.
Arka, yang masih meringis kesakitan, berusaha melawan. "Siapa kau, bajingan?! Apa maumu?!"
Evan tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia melempar tubuh Arka dengan keras ke tembok bata, hingga suara tulang berbenturan dengan dinding terdengar menggema di gang tersebut.
Evan menatap Arka dengan pandangan dingin, matanya berkilat penuh kebencian. "Kau bahkan lupa siapa aku, ya?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh dengan ancaman.
Arka mengerang, mencoba bangkit meskipun tubuhnya lemah. "Apa yang kau bicarakan…? Aku tidak mengenalmu!"
Evan mendekat, mengangkat tinjunya, dan memukul wajah Arka dengan keras. "Kau bahkan lupa tentang diriku, Arka?!"
Setiap pukulan yang dilayangkan Evan semakin mengaburkan kesadaran Arka, hingga akhirnya, di antara rasa sakit yang melumpuhkan, bayangan Evan mulai terlihat jelas di benaknya.
"E… Evan?! Bukankah kau sudah mati?!" teriak Arka dengan nada terkejut dan ketakutan. "Aku… aku sudah memastikan memukulimu sampai kau tidak bisa bergerak!"
Evan menyeringai tajam. "Seharusnya kau memastikan aku mati, Arka. Karena sekarang, aku akan memastikan kau tidak pernah bangkit lagi!"
Tinjunya menghujani wajah Arka tanpa ampun, penuh dengan amarah yang sudah lama terpendam. Darah bercipratan ke dinding gang, membentuk jejak kekerasan yang brutal. Tangannya berlumuran darah, tapi Evan tidak berhenti.
"Berhenti… kumohon, Evan!" Arka akhirnya memohon, suaranya lemah dan bergetar. "Ampuni aku… aku salah!"
Namun, permohonan itu seperti angin lalu bagi Evan. Rasa dendam yang ia rasakan lebih kuat dari rasa iba. Dengan geram, ia mematahkan kedua tangan dan kaki Arka, membuat pria itu menjerit kesakitan hingga suaranya serak.
Setelah tiga puluh menit berlalu, Evan keluar dari gang itu. Tangannya memegang saputangan untuk mengelap darah yang menodai wajah dan tangannya. Ia tampak tenang, seperti tak ada yang terjadi.
“Sangat menyegarkan..”
Sambil melangkah menuju mobilnya, Evan mengeluarkan ponsel dan menelpon Theo. "Theo, aku punya tugas untukmu. Datang ke lokasi ini," katanya sambil menyebutkan alamat gang. "Ambil tubuh Arka dan masukkan dia ke keranda. Hantarkan dia ke kediaman keluarga Hensen."
Evan mengakhiri panggilan itu dan melanjutkan perjalanannya dengan tenang dan perut yang lapar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Knox Arcadia
HAHAHAHHAHAHA PADAN MUKA KAU ARKA😊😊😆
2025-01-30
0
:3uana
Terima kasih supportnya
2024-11-27
0
Ryan Hidayat
anjing bnget gw ga sabar kelanjutan nya cug!!!!!
2024-11-26
0