Bab 14
Langit malam gelap, seakan menambah beban suasana di rumah keluarga Hensen. Ruang tamu besar penuh dengan wajah-wajah tegang. Charles Hensen, pemimpin keluarga itu, berdiri di tengah dengan tangan mengepal, napasnya berat. Para anggota keluarga duduk mengelilingi ruangan, tatapan mereka bercampur antara kebingungan dan kekhawatiran.
"Di mana Arka?" bentak Charles dengan nada yang menggema.
Tak ada yang menjawab. Hening menelan ruangan, sampai langkah tergesa-gesa seorang pembantu memecah keheningan.
"Tuan Hensen!" teriak pembantu itu, wajahnya pucat pasi seperti habis melihat hantu.
Charles berbalik tajam. "Ada apa?"
"Di depan... ada... keranda!" suara pembantu itu bergetar, tangannya menunjuk ke arah pintu.
Keranda? Charles merasakan jantungnya berhenti sejenak. Dia melangkah cepat ke pintu, diikuti oleh seluruh anggota keluarga yang penasaran. Di halaman depan, benar saja, sebuah keranda kayu berwarna hitam berdiri diam seperti saksi bisu yang membawa kutukan.
Dengan tangan gemetar, Charles membuka penutup keranda itu perlahan. Matanya membelalak ketika melihat siapa yang ada di dalamnya.
"ARKA!!" Suara teriakannya menggema, memecahkan keheningan malam.
Tubuh Arka terbaring penuh luka, darah kering menodai kulitnya. Wajahnya hampir tak dikenali—lebam, memar, dan goresan memenuhi setiap sudutnya. Charles terhuyung mundur, sementara istrinya, Eliza, jatuh berlutut di samping keranda, tangisnya pecah tanpa bisa dihentikan.
"Siapa yang melakukan ini padamu, anakku?!" Eliza memeluk tubuh Arka yang tak bergerak, suaranya penuh dengan kepedihan.
Charles mencoba memeriksa denyut nadi anaknya dengan tangan gemetar. Ada. Arka masih hidup, tapi lemah. “Panggil ambulans! Sekarang!” teriaknya.
Para dokter di rumah sakit kemudian mendiagnosis bahwa peluang Arka untuk sadar hanya lima persen. Pukulan berulang ke kepala telah merusak otaknya secara permanen. Kabar itu menghantam Charles dan Eliza seperti palu godam, menghancurkan semua sisa harapan mereka.
Di ruang tunggu rumah sakit, Charles menatap kosong ke dinding. “Siapa… siapa yang tega melakukan ini pada keluarga kami?” bisiknya. Air mata mengalir di wajahnya yang lelah.
Pagi itu, Evan memarkir G-Wagon hitamnya di depan rumah keluarga Yin. Dia tidak datang mengunakan mobil biasanya Karena banyak sekali bekas peluru. Dia datang untuk menjemput Stella, seperti biasa. Tapi sebelum sempat masuk, dia menghubungi Stella.
“Halo, Stella? Aku sudah di depan,” kata Evan santai.
Di dalam rumah, Stella duduk di ruang tamu bersama tantenya, Eloise Yin, dan dua tamu Jane dari keluarga Mercury Group, salah satu keluarga terkaya di Ariston, dan putranya, Ben. Mereka sedang mendiskusikan sesuatu yang membuat Stella merasa terjebak.
“Stella, pertunangan ini adalah peluang besar,” kata Eloise, nada suaranya tajam. “Ben adalah pasangan yang sempurna untukmu. Keluarga Mercury adalah keluarga berpengaruh. Kau harus menerima ini!”
Stella meremas tangannya di pangkuan, matanya berkaca-kaca. “Tapi aku tidak mencintainya, Tante.
Aku tidak ingin menikah hanya demi keuntungan keluarga. Dan tante tidak ada Hak untuk menyuruhku. Tante bukan ayahku!”
Jane tersenyum tipis. “Dasar anak ini, sudah berani meninggikan suara! Cinta itu bisa tumbuh, Stella. Kau hanya perlu memberinya waktu.”
Ben, yang duduk dengan angkuh, menyela. “Kau seharusnya merasa beruntung. Banyak wanita ingin berada di posisimu, Stella.”
Saat itulah ponsel Stella berbunyi. Nama Evan muncul di layar, seperti secercah harapan di tengah keterpurukan. Dia segera mengangkatnya.
“Halo, Evan! Ya, aku akan segera keluar.”
Tantenya menatap Stella curiga. “Siapa itu?” tanyanya.
Stella tersenyum tipis, tapi matanya memancarkan keberanian yang baru muncul. “Itu tunanganku. Dan karna aku sudah bertunangan aku tidak Akan menerima pertungan dari Mercury Group!.”
Ruangan langsung hening. “Tunanganku sudah tiba untuk menjemputku. Ayahku sudah merestuinya.” Tanpa menunggu tanggapan, Stella berdiri dan melangkah keluar.
Eloise, Jane, dan Ben, yang tak percaya dengan ucapannya, mengikuti Stella ke luar rumah. Mereka ingin melihat siapa pria ini.
Evan keluar dari mobilnya dengan tenang. Dia mengenakan pakaian kasual, tapi setiap langkahnya memancarkan wibawa yang membuat orang-orang di sekitarnya menahan napas.
Stella tiba-tiba memeluk Evan erat, membuat pria itu terkejut. Evan membalas pelukan itu dengan lembut sambil berbisik, “Ada apa ini?”
“Tolong aku dan mainkan peranmu,” bisik Stella cepat, wajahnya tersipu.
Eloise mendekat, tatapannya tajam. “Siapa kau sebenarnya?” tanyanya, nada suaranya penuh keraguan.
Evan menatapnya dingin. “Evan,” jawabnya singkat, tapi penuh keyakinan.
Ben, yang merasa terhina oleh kehadiran Evan, maju mendekat. “Kau berani sekali datang ke sini dan mengaku sebagai tunangannya. Apa kau tahu dengan siapa kau berhadapan?”
Evan mendekat, jarak antara mereka hanya beberapa inci. Dia menatap Ben dengan dingin, lalu berkata dengan suara rendah yang penuh ancaman. “Apa aku harus mengetahui siapa dirimu dan takut kepada keluargamu?!”
“Jika Stella tidak ada disini..kau sudah terkapar di tanah! “
“Sebelum kau bicara lagi, pastikan kau tahu siapa lawanmu. Karena jika aku ingin, keluargamu bisa jatuh dalam semalam.”
Ben terdiam, matanya membelalak, tapi dia tak berani menjawab. Evan menarik Stella ke mobilnya dan pergi meninggalkan mereka, meninggalkan suasana tegang di belakang.
“Kenapa kau bilang aku tunanganmu?” tanya Evan dengan nada bercanda sambil melirik Stella.
“Karena kau satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanku,” jawab Stella, wajahnya masih memerah.
Evan tertawa kecil. “Kalau begitu, aku harap aku berhasil.”
Evan melirik Stella yang duduk di kursi penumpang. Gadis itu masih terlihat gugup setelah pertemuan dengan tantenya dan keluarga Mercury. Wajahnya menatap ke luar jendela, seolah mencoba meredakan pikirannya.
“Stella,” Evan memanggilnya dengan nada lembut.
“Hm?” Stella menoleh, matanya masih sedikit redup.
“Kau sudah sarapan?” tanyanya.
Pertanyaan sederhana itu membuat Stella tertegun sejenak. Dia menggeleng pelan. “Belum… aku bahkan tidak sempat makan apa pun sejak pagi.”
Evan tersenyum kecil, lalu menginjak pedal gas lebih dalam. “Kebetulan. Aku juga belum sarapan. Bagaimana kalau kita makan bersama? Aku tahu tempat yang bagus.”
Stella tersenyum untuk pertama kalinya hari itu. “Baiklah. Aku serahkan padamu.”
Pusat Perbelanjaan Terbesar di Ariston
Pusat perbelanjaan itu tampak megah dengan arsitektur modern, dinding kaca besar memantulkan sinar matahari pagi. Ketika G-Wagon hitam milik Evan berhenti di depan pintu masuk utama, beberapa orang yang lewat melirik mobil itu dengan rasa penasaran.
Evan keluar lebih dulu, membuka pintu untuk Stella. Gadis itu turun dengan anggun, mengenakan dress kasual berwarna putih yang membuatnya terlihat mempesona. Begitu mereka berjalan bersama, perhatian orang-orang langsung tertuju pada mereka.
“Siapa itu?” bisik seorang wanita muda kepada temannya.
“Apakah dia seorang artis? Atau model?”
“Aktor mungkin? Tapi aku belum pernah melihatnya…”
”Mereka sangat serasi, sial aku iri!”
Bisikan-bisikan itu terdengar dari berbagai arah. Tatapan penuh rasa ingin tahu mengarah ke Evan yang berjalan santai di samping Stella. Namun, Evan tidak menghiraukan mereka sedikit pun. Wajahnya tetap tenang, matanya hanya fokus pada jalan di depannya.
Sementara itu, Stella merasa sedikit canggung dengan semua perhatian itu. “Evan… mereka terus melihat kita,” bisiknya pelan.
Evan menoleh, menatap Stella dengan senyum tipis. “Biarkan saja. Mereka hanya penasaran. Lagipula, aku sudah terbiasa dengan ini.”
“Terbiasa?” Stella mengernyitkan dahi.
“Ya. Mungkin mereka mengira aku aktor terkenal,” jawab Evan dengan nada bercanda.
Stella tertawa kecil. “Tapi benar! Evan memang Tampak seperti Aktor “ balas Stella dan mereka pun menuju sebuah kafe
Kafe yang dipilih Evan berada di lantai tertinggi pusat perbelanjaan. Interiornya bergaya minimalis modern dengan dominasi warna putih dan emas. Jendela besar di sisi ruangan memberikan pemandangan kota Ariston yang menakjubkan.
Begitu mereka masuk, suasana di dalam kafe langsung berubah. Beberapa pengunjung berhenti berbicara, mata mereka terpaku pada pasangan itu. Pelayan bahkan terlihat sedikit gugup saat menyambut mereka.
Evan memilih meja di sudut ruangan yang agak terpencil. Dia menarik kursi untuk Stella sebelum duduk di depannya.
“Pesan apa saja yang kau suka,” kata Evan sambil menyerahkan menu padanya.
Stella menerima menu itu dengan senyum kecil. Tapi saat dia membuka halaman pertama, tatapan beberapa wanita dari meja lain membuatnya merasa risih. Mereka berbisik sambil melirik ke arah Evan, jelas-jelas membicarakannya.
“Aku tidak menyangka ini akan menjadi perhatian besar,” gumam Stella sambil menyembunyikan wajahnya di balik menu.
Evan, yang mendengar itu, hanya tersenyum kecil. “Biarkan saja. Kita di sini untuk sarapan, bukan untuk mereka.”
Seorang pelayan akhirnya datang dengan langkah canggung. “Selamat pagi. Apa yang ingin kalian pesan?” tanyanya, matanya sesekali melirik Evan.
“Aku ingin cappuccino dan croissant,” kata Stella sambil tersenyum ramah.
Evan menutup menunya dengan santai. “Untukku, espresso dan sandwich telur. Jangan lupa jus jeruknya.”
Pelayan itu mengangguk dengan cepat sebelum pergi. Namun, sebelum dia berbalik, dia sempat mencuri satu pandangan lagi ke arah Evan. “Pria itu sangat tampan! Astaga tapi pacarnya juga sangat cantik..aku sangat kesal “ batin pelayan tersebut
“Sepertinya kau benar-benar menarik perhatian di sini,” ujar Stella sambil tersenyum geli.
Evan menyesap air putih yang sudah tersedia di meja, matanya menatap Stella dengan tenang. “Jika aku tidak bisa menarik perhatianmu, setidaknya aku menarik perhatian mereka.”
Stella terdiam, wajahnya memerah karena ucapan Evan. Dia mencoba menutupi rasa malunya dengan mengambil gelas air di depannya.
Tak lama kemudian, pesanan mereka tiba. Aroma kopi dan makanan hangat memenuhi meja. Stella mulai menikmati sarapannya, perlahan-lahan melupakan perhatian orang-orang di sekitarnya.
“Evan,” panggil Stella tiba-tiba, suaranya lembut.
“Hm?”
“Terima kasih. Untuk hari ini. Untuk semuanya…”
Evan menatapnya dalam diam sejenak sebelum tersenyum. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya. Lagipula, aku harus memastikan kau tetap baik-baik saja,aku sudah berjanji dengan paman Jonathan.”
Hati Stella bergetar mendengar itu. Di tengah hiruk-pikuk pusat perbelanjaan, hanya ada satu hal yang benar-benar menarik perhatiannya Evan.
Setelah sarapan selesai, Evan bersandar di kursinya, memandangi Stella yang tampak menikmati sisa cappuccino-nya. “Aku ingin membicarakan sesuatu,” ucap Evan, suaranya dalam namun lembut.
Stella menatapnya. “Apa itu?”
Evan menarik napas pelan, lalu tersenyum samar. “Aku mungkin harus keluar negeri dalam beberapa hari ke depan. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan.”
Mata Stella membelalak sesaat, lalu tatapannya turun ke meja. “Keluar negeri?” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.
“Iya. Tapi ini tidak lama,” lanjut Evan, mencoba meredakan kegelisahan yang mulai terlihat di wajah Stella.
Namun, tak peduli seberapa tenang dia mencoba berbicara, Stella tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Jarinya yang memegang gelas bergetar sedikit. “Kau akan pergi...” katanya pelan.
Melihat itu, Evan tersenyum lagi, kali ini dengan kehangatan yang mampu mencairkan es di hati siapa pun. “Aku ingin bertanya… apakah kamu ingin ikut denganku?”
Stella menatapnya dengan kaget. “Ikut?” tanyanya, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
Evan mengangguk, matanya menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca pikirannya.
“Aku tidak boleh…” jawab Stella akhirnya, suaranya sangat kecil. Namun, Evan mendengar setiap kata itu dengan jelas. “Walaupun aku mau… aku harus kuliah dan aku juga bukan siapa-siapa. Aku takut hanya menjadi bebanmu disana”
Kalimat itu menusuk hati Evan. Dia tau Stella merasa tidak pantas, tapi dia tidak pernah memandangnya seperti itu. Sebaliknya, Stella adalah seseorang yang membuatnya lebih hidup.
Evan tersenyum, senyuman manis yang begitu memesona hingga membuat beberapa pengunjung lain terpana. Bahkan, seorang wanita yang sedang minum teh tanpa sadar menjatuhkan sendoknya.
“Apa yang tidak boleh, Stella?” tanyanya dengan nada bercanda. “Bukankah aku tunanganmu?”
Kata-katanya membuat Stella menatapnya, tercengang. Pipinya merona merah, campuran antara malu dan bingung.
Evan menyandarkan tubuhnya lebih dekat ke meja, pandangannya lembut namun tegas. “Aku akan berbicara dengan Paman Jonathan nanti. Kalau kamu ingin ikut, itu urusan selesai. Tidak ada yang melarang.”
Stella tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata Evan terasa begitu ringan, namun penuh kepastian. Dia hanya bisa menundukkan kepala, menyembunyikan senyum kecil yang mulai muncul di wajahnya.
Di tengah keheningan itu, Evan mengangkat gelas espresso-nya, menyesapnya dengan gerakan santai.
Tatapan orang-orang tetap tertuju padanya, tapi seperti biasa, Evan tidak peduli. Yang penting baginya saat ini adalah gadis di depannya.
“Jadi, bagaimana?” Evan bertanya lagi, kali ini dengan nada menggoda. “Apakah kau akan ikut denganku, tunanganku?”
Stella tertawa kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Kita lihat nanti,” jawabnya, akhirnya memberanikan diri untuk membalas tatapan Evan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments