Bab 12

Bab 12

Seminggu telah berlalu sejak rapat strategis di JC Investment. Evan dan timnya bekerja tanpa lelah, melancarkan serangan sistematis terhadap bisnis keluarga Hensen. Dengan strategi yang dirancang dengan cermat, JC Investment memastikan setiap langkah mereka menghantam tepat pada titik-titik lemah perusahaan Hensen Group.

Di salah satu ruang rapat rahasia JC Investment, Diana memimpin diskusi. “Sektor properti adalah tulang punggung Hensen Group. Mereka memiliki proyek pembangunan di wilayah Ariston Barat yang melibatkan dana besar dari investor lokal dan asing,” jelasnya sambil menunjuk peta digital yang ditampilkan di layar besar.

Evan mengangguk. “Apa celahnya?”

Diana menyeringai kecil. “Setelah memeriksa dokumen mereka, kami menemukan bahwa mereka melanggar beberapa peraturan zonasi. Jika informasi ini sampai ke regulator, proyek mereka bisa dihentikan, bahkan terkena denda besar.”

“Bagus,” kata Evan dingin. “Kirimkan informasi itu ke pihak regulator secara anonim. Pastikan media juga mendapatkan laporan ini.”

Dua hari kemudian, berita tentang pelanggaran peraturan zonasi oleh Hensen Group muncul di berbagai media lokal. Proyek pembangunan besar mereka dihentikan, dan para investor mulai menarik dana. Arka, yang memimpin proyek tersebut, menerima telepon dari berbagai mitra yang marah.

“Arka! Apa-apaan ini? Kau bilang proyek ini aman!” bentak salah satu investor senior.

“Saya... saya akan mengurusnya,” jawab Arka, suaranya gemetar.

Tapi masalah terus berdatangan. Para investor kehilangan kepercayaan, dan proyek yang menjadi kebanggaan Hensen Group terhenti sepenuhnya.

Di sisi lain, Theo memimpin operasi untuk menghancurkan sektor keuangan Hensen Group. “Mereka sangat bergantung pada kredit jangka pendek dari bank untuk mempertahankan likuiditas mereka,” lapornya kepada Evan. “Jika kita bisa menggoyang kepercayaan bank terhadap mereka, perusahaan ini akan kehilangan akses ke dana segar.”

“Bagaimana caranya?” tanya Evan.

“Kami sudah menyebarkan rumor di kalangan perbankan bahwa Hensen Group sedang mengalami masalah keuangan serius. Laporan palsu tentang likuiditas mereka juga sudah kami kirim ke pihak-pihak yang berpengaruh.”

Hanya dalam beberapa hari, bank-bank besar mulai menarik kredit yang diberikan kepada Hensen Group. Keadaan semakin memburuk ketika saham mereka anjlok akibat laporan media yang terus memberitakan krisis internal perusahaan.

Di sebuah ruang tamu mewah di kediaman keluarga Hensen, Arka duduk dengan wajah kusut. Di depannya, ayahnya, Charles Hensen, berdiri dengan wajah merah padam, memegang laporan keuangan yang baru saja diterima.

“APA YANG KAU LAKUKAN, ARKA?!” teriak Charles, melemparkan laporan itu ke lantai.

“Ayah, aku... aku sedang mencoba memperbaiki situasinya aku tidak tau apa yang terjadi..”

“MEMPERBAIKI?!” Charles memotong dengan nada marah. “Kau bilang proyek properti itu akan menghasilkan miliaran! Sekarang dihentikan karena pelanggaran zonasi? Bank menarik kredit kita, investor kabur! Apa kau sadar ini menghancurkan keluarga kita?!”

“Ayah, aku tidak tahu siapa yang melakukannya! Ini pasti ulah seseorang…”

“SIAPA?! Jonathan Yin?! Jonathan Yin matamu!! Dia sedang terbaring di rumah sakit, tidak mungkin dia yang melakukannya!” Charles mendekat ke Arka, matanya menyala penuh amarah. “Kau telah menyeret keluarga kita ke jurang kehancuran dengan kesombongan dan ketidakmampuanmu!”

Charles mengangkat tangannya dan menampar wajah Arka dengan keras. Suara tamparan itu menggema di seluruh ruangan. “Aku mempercayakan semua ini padamu, karna kau adalah anakku! dan kau menghancurkannya! Jika bisnis kita jatuh, itu semua salahmu!”

Arka memegangi pipinya, matanya merah karena menahan rasa sakit dan malu. “Ayah, beri aku waktu... aku bisa memperbaikinya...”

“Tidak ada waktu lagi, Arka! Perusahaan kita di ambang kehancuran. Kau bahkan tidak tahu siapa musuh kita!” Charles menggeleng frustrasi. “Mulai sekarang, kau akan mengerjakan apa yang aku suruh, tidak lebih, tidak kurang!”

Sementara itu, tim JC Investment menyerang sisi logistik Hensen Group. Mereka menggunakan jaringan mitra baru yang telah dibentuk secara diam-diam untuk menawarkan kontrak lebih menguntungkan kepada pemasok utama Hensen Group. Perlahan, para pemasok mulai memutuskan kerja sama dengan Hensen.

Di ruang kerjanya, Evan menerima laporan dari Diana. “Tuan Evan, jaringan logistik mereka kini lumpuh. Tanpa bahan baku, mereka tak akan bisa menyelesaikan proyek apa pun.”

Evan menatap laporan itu dengan senyum tipis. “Bagus. Pastikan tak ada peluang bagi mereka untuk pulih.”

Seminggu setelah langkah-langkah ini dijalankan, Hensen Group resmi mengumumkan bahwa mereka menghadapi krisis keuangan besar. Di kediaman keluarga Hensen, Charles menerima kabar bahwa perusahaan mereka telah dinyatakan bangkrut.

Charles terduduk lemas di sofa, memegang kepalanya dengan kedua tangan. “Habis... semua habis...” gumamnya.

Di sudut ruangan, Arka berdiri kaku, merasa seluruh dunia runtuh di pundaknya. Namun, di dalam hatinya, kemarahan mulai membara. “Siapapun yang melakukan ini, aku akan mencari tahu dan membalasnya. Aku bersumpah.” Pikir Arka

Di malam yang sunyi, di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Charles Hensen duduk dengan gelas wiski di tangannya. Pikirannya kusut memikirkan kehancuran yang menimpa keluarganya. Perusahaan yang ia bangun selama puluhan tahun kini hancur hanya dalam beberapa hari. Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering. Suara itu memecah keheningan, membuatnya tertegun.

Charles menjawab panggilan itu dengan suara berat. “Halo?”

Suara dingin dari seberang menjawab. “Bagaimana hadiahku? Apa keluargamu baik-baik saja?”

Charles mendadak tegang. “Siapa ini? Apa maksudmu?”

Evan, di sisi lain telepon, duduk santai di kursinya, tersenyum kecil. “Itulah yang terjadi jika kau membiarkan anak anjingmu membuat sesuka hatinya.”

Charles menggenggam telepon dengan kuat, suaranya meninggi penuh kemarahan. “SIAPA KAU?!”

Evan tertawa ringan, sebuah suara yang terdengar menusuk di telinga Charles. “Kau tak perlu tahu siapa aku. Nikmati hari kalian.” Dengan kalimat terakhir itu, Evan menutup telepon tanpa memberikan kesempatan kepada Charles untuk bertanya lebih lanjut.

Charles menatap telepon di tangannya, matanya memerah karena amarah. Dengan gerakan kasar, dia melemparkan telepon itu ke lantai, membuatnya pecah berkeping-keping.

“ARKA!” teriak Charles dengan suara menggelegar. “ARKA, KEMARI SEKARANG!”

Arka, yang berada di lantai atas, terkejut mendengar nada ayahnya. Dengan langkah ragu, dia berjalan menuju ruang kerja. Pintu terbuka, dan dia melihat ayahnya berdiri dengan wajah penuh amarah. “Ada apa, Ayah?”

Tanpa basa-basi, Charles maju dan menampar wajah Arka dengan keras, membuat kepala anaknya terpelanting ke samping. “SIAPA YANG KAU GANGGU, ANAK SIALAN?!”

“Ayah, aku... aku tidak tahu apa yang kau maksud!” jawab Arka dengan suara gemetar, memegangi pipinya yang memerah.

“Kau benar-benar anak tak berguna! Karena kebodohanmu, seluruh keluarga kita hancur!” Charles mengangkat tangannya lagi, tapi sebelum tamparan kedua mendarat, suara seorang wanita memotong suasana tegang itu.

“Charles! Berhenti!” Istri Charles, Eliza, masuk ke dalam ruangan dengan wajah panik. Dia mendekat untuk melindungi Arka. “Dia anakmu! Jangan perlakukan dia seperti ini!”

Namun, Charles yang sudah terbakar amarah tidak mendengarkan. “Anak ini telah menghancurkan segalanya!” teriaknya. Dalam amarahnya, dia mendorong Eliza menjauh. Saat dia mencoba membela anaknya lagi, Charles menampar Eliza dengan kasar, membuatnya terjatuh ke lantai.

“Charles, kau sudah keterlaluan!” Eliza berteriak sambil memegangi pipinya yang memerah.

Arka berdiri dengan tatapan kosong, rasa malu dan marah bercampur aduk di dalam dirinya. Dia mengepalkan tangannya, tapi tidak berani melawan ayahnya. “Aku akan membalas dendam...” pikirnya dalam hati. “Siapapun yang melakukan ini pada keluarga kita, aku akan menghancurkannya.”

Sementara itu, Evan duduk di ruang kerjanya, memandang langit malam melalui jendela besar. Dalam benaknya, dia membayangkan kekacauan yang terjadi di keluarga Hensen. Suara cemoohan Charles tadi terngiang di telinganya, membuat Evan tersenyum dingin.

Theo masuk ke ruangan, membawa laporan terbaru. “Tuan Evan, keluarga Hensen berada di ambang kehancuran total. Semua aset utama mereka telah disita, dan mereka kini dibanjiri oleh utang.”

Evan mengangguk pelan. “Bagus. Pastikan kita tetap mengawasi mereka. Aku ingin memastikan mereka tak punya peluang untuk bangkit kembali.”

Theo tersenyum kecil. “Seperti biasa, Anda memang selalu langkah di depan, Tuan Evan.”

Evan menyandarkan tubuhnya ke kursi dan berkata dengan nada penuh keyakinan, “Ini belum selesai. Kita akan lihat sejauh mana mereka bertahan.”

Keesokan harinya, suasana di ruang rumah sakit terasa tenang. Jonathan Yin terbaring di tempat tidur, matanya masih penuh kelelahan meski ia telah menjalani beberapa minggu..mungkin hampir sebulan lebih perawatan. Stella duduk di kursi sampingnya, menatap layar ponsel sambil sesekali melihat ke ayahnya yang terpejam, berusaha tetap tenang. Meski perasaan cemas masih menguasai dirinya, Stella berusaha untuk tetap menjaga senyum di wajahnya.

Jonathan baru saja terjaga, dan seperti biasa, ia meminta untuk menonton televisi. Itu adalah rutinitasnya, mengisi waktu di rumah sakit dengan menonton berita atau acara yang ia sukai. Stella mengaktifkan televisi yang ada di samping tempat tiduran Jonathan, dan layar menampilkan berita utama tentang dunia bisnis di Ariston.

Tanpa diduga, sebuah berita menghentikan keduanya dalam sekejap.

Judul besar di layar "Keputusan Kejam Menghancurkan Hensen Group: Keluarga Hensen Terperangkap dalam Hutang, Perusahaan Salah Satu Raksasa Ekonomi Ariston Gagal Total."

Jonathan menatap layar dengan tatapan kosong, mengangkat tangannya untuk menekan tombol volume pada remote control. Suara berita itu kini semakin jelas terdengar di ruangan. “...dan dalam waktu singkat, Hensen Group, yang selama ini berada di jajaran lima perusahaan terbesar di Ariston, kini terpaksa ditutup dan seluruh aset mereka disita oleh pihak berwenang. Keluarga Hensen diduga terlibat dalam praktik korupsi yang melibatkan sejumlah pihak berpengaruh di luar negeri, yang mengakibatkan kerugian sangat besar...”

Jonathan semakin memicingkan matanya. Suara berita itu semakin tajam di telinganya. Hensen Group? Begitu cepat. Terbayang olehnya nama yang selama ini menjadi ancaman bagi putrinya, Arka Hensen. Jonathan berusaha menelan rasa cemas yang tiba-tiba datang, merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya.

“Hensen Group... gagal? Ada apa ini?” Jonathan bergumam pelan. Ia memandangi layar televisi itu dengan tidak percaya. “Begitu instan...”

Dengan sebuah gerakan yang agak kasar, Jonathan menurunkan remote control yang ia pegang dan menyandarkan tubuhnya di bantal. Wajahnya memucat sejenak, memproses apa yang baru saja didengarnya. Pikirannya terlempar jauh, mengingat kembali semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Arka, mengancam dirinya dan Stella, dan segala kecurigaan yang ia rasakan terhadap keluarga Hensen, kini sepertinya berakhir begitu saja.

Stella yang duduk di sebelahnya, mengangkat wajahnya dari ponsel dan melihat ke arah ayahnya. Ia belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi, namun merasakan sesuatu yang aneh ketika melihat ekspresi ayahnya yang berubah drastis. Jonathan memandangnya dengan mata yang penuh makna.

“Syukurlah, Stella,” Jonathan berkata perlahan, suaranya terdengar serius dan penuh beban. “Kamu sudah bisa hidup dengan tenang sekarang.”

Stella mendengarnya dengan kebingungan. Ia menatap ayahnya, masih tak sepenuhnya paham dengan maksud kata-kata Jonathan. “Ayah, apa maksudmu? Apa yang terjadi dengan Hensen Group? Aku... aku tidak mengerti.”

Jonathan menarik napas panjang, matanya tetap tertuju pada layar televisi yang masih menampilkan berita tentang runtuhnya Hensen Group. “Keluarga Hensen...” suara Jonathan bergetar pelan. “Semua yang mereka rencanakan untuk kamu... sekarang sudah berakhir. Semua itu selesai, Stella. Mereka tidak akan bisa lagi mengancam ku.”

Jonathan merasa lega, meski ketegangan di dalam dirinya tak bisa sepenuhnya hilang. Di saat yang sama, dia merasa aneh. Meskipun rasa bahaya yang mengancam putrinya telah menguap begitu saja, Jonathan tetap merasakan ada sesuatu yang belum selesai. Ada seseorang yang telah bermain di balik layar, seseorang yang telah mengatur segalanya dengan sangat rapi.

Stella merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata ayahnya, namun ia tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya memandang Jonathan dengan pandangan penuh rasa sayang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Meskipun rasa bingung tetap menggelayuti, ada ketenangan yang mulai merasuk ke dalam dirinya. Mereka berdua, ayah dan anak, akhirnya bisa bernafas lega. Tapi entah mengapa, ada sedikit rasa takut yang masih tersisa di hati Stella.

“Jadi... apa yang akan kita lakukan sekarang, Ayah?” tanya Stella dengan hati-hati, meski ia mencoba untuk tetap menjaga sikap tenang.

Jonathan menghela napas dalam-dalam, kembali memandang layar televisi yang masih menampilkan berita keruntuhan Hensen Group. “Kita harus tetap waspada, Stella. Dunia ini tak selalu seperti yang kita lihat. Tapi, setidaknya... ini adalah awal yang baru.”

Beberapa jam setelah berita kehancuran Hensen Group terdengar di televisi, suasana di ruang rumah sakit kembali sunyi. Jonathan dan Stella duduk bersama, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Jonathan yang masih merasa bingung dan lega, berusaha untuk menenangkan pikirannya. Namun, suasana tersebut berubah seketika ketika pintu ruangan terbuka, dan seorang pria berpakaian formal memasuki kamar dengan langkah mantap.

Evan.

Pakaian jas hitam yang dikenakannya tampak sempurna, menambah kesan elegan pada postur tubuhnya yang tinggi dan tegap. Mata tajamnya memancarkan ketenangan, sementara senyumnya yang tipis tampak penuh makna. Sebuah keranjang buah-buahan segar tergenggam di tangannya, mengingatkan pada kunjungan biasa, meskipun suasana hati di ruang itu jauh dari biasa.

Stella yang duduk di samping Jonathan, secara spontan menoleh, dan seketika matanya terfokus pada sosok Evan. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sebelumnya, ia hanya mengenal Evan sebagai dokter yang merawat ayahnya, tetapi kini, penampilannya yang rapi dan kehadirannya yang penuh wibawa membuatnya terdiam sejenak. Ada kilatan rasa kagum yang tak bisa ia sembunyikan.

Evan tersenyum ringan saat melihat Jonathan yang masih terbaring di tempat tidur, "Halo, Paman Jonathan. Bagaimana kabarmu?" Suara Evan tenang, seolah-olah ia baru saja datang dari perjalanan biasa.

Jonathan yang masih agak kebingungan, menatap Evan dengan tajam, dan perlahan-lahan menarik napas. Mungkin sudah saatnya untuk mengetahui lebih banyak. “Evan... Ini... ada sesuatu yang ingin aku tahu,” Jonathan memulai, suaranya sedikit cemas. “Apakah... apakah semua ini ada hubungannya dengan kamu? Hensen Group, mereka... aku tidak bisa mempercayainya. Keluarga Hensen hancur begitu cepat... apakah ini ulahmu?”

Pertanyaan Jonathan langsung menusuk, menantang dengan ketegasan. Matanya menatap tajam ke arah Evan, seolah berharap mendapatkan jawaban yang jelas. Namun, Evan hanya terkekeh kecil, suaranya terkendali, meski ada sedikit ketegangan yang terpendam di balik senyum itu.

“Hahaha... Paman Jonathan, itu mustahil,” Evan menjawab dengan sedikit tawa yang terpaksa. “Kamu tahu, saya hanya seorang dokter... Tidak mungkin saya bisa melakukan hal sebesar itu, bukan?”

Evan meletakkan keranjang buah di meja samping tempat tidur Jonathan, lalu duduk dengan sikap yang tenang, meskipun sorot matanya yang tajam tetap terjaga. Tawa yang terpaksa itu, yang terasa begitu canggung di telinga Jonathan, seolah menyiratkan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak terungkapkan dengan kata-kata.

Jonathan mengamati Evan dengan seksama. Ada sesuatu yang terasa janggal. Terlalu banyak kebetulan, terlalu banyak ketidaksesuaian. Namun, ia tidak ingin langsung menuduh tanpa bukti yang jelas. “Mungkin kamu benar,” Jonathan berkata dengan nada lebih tenang, meskipun raut wajahnya masih penuh pertanyaan. "Tapi, aku tidak bisa menahan rasa penasaran ini, Evan."

Stella yang duduk di sampingnya hanya mengamati mereka berdua dengan pandangan bingung. Dia merasa seperti berada di tengah perbincangan yang lebih dalam, sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami. Ada sesuatu di antara mereka yang terasa tegang, meskipun Evan masih tersenyum dengan santai.

“Evan...” Jonathan melanjutkan, memecah keheningan yang sempat terjadi, “Aku tahu kamu bukan orang yang biasa. Kamu telah banyak membantuku, tetapi... ada yang tak beres dengan semua ini. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku merasa ada tangan yang lebih besar di balik semua ini.”

Evan menatap Jonathan dengan sorot mata yang tajam, meskipun wajahnya tetap menunjukkan senyum tenang. “Paman Jonathan, semuanya akan baik-baik saja,” jawab Evan dengan tenang. “Hensen Group sudah hancur, tetapi ada banyak hal yang masih harus kamu pikirkan. Tentang masa depanmu, keluarga... dan banyak hal lainnya.”

Stella memperhatikan keduanya, ada sesuatu yang mulai terbentuk di pikirannya. Dia tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi, tetapi ada perasaan yang semakin tumbuh dalam hatinya. Rasa terima kasih kepada Evan karena telah menyelamatkan ayahnya, namun juga rasa khawatir. Ada banyak rahasia di balik senyum itu, terlalu banyak untuk ia mengerti.

“Ayo, makan buahnya,” kata Evan sambil tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan di ruangan itu. “Semoga bisa membantu untuk memulihkan keadaan.”

Meskipun kata-kata itu terdengar ringan, namun ada beban yang tersembunyi di dalamnya. Evan kemudian berdiri, menyendokkan sedikit buah segar ke dalam mangkuk kecil dan memberikannya kepada Jonathan. “Paman Jonathan, kita semua akan melalui ini dengan baik. Hanya perlu sedikit waktu.”

Jonathan menerima buah itu dengan tangan yang sedikit gemetar, masih terperangkap dalam kebingungannya. Tiba-tiba saja, ia merasa bahwa meskipun Evan berbicara dengan santai, ada sesuatu yang lebih gelap yang mengendap di balik semuanya. Sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“Terima kasih, Evan,” kata Jonathan pelan, meskipun rasa terima kasih itu terasa kosong. Dia merasa bahwa ada banyak yang belum ia ketahui tentang pria muda di depannya ini. Banyak hal yang masih harus ia cari tahu.

Evan hanya mengangguk, tetap dengan senyumnya yang penuh teka-teki, dan sesaat kemudian, dia berbalik untuk keluar dari ruangan. Sebelum menutup pintu, ia berkata tanpa menoleh, “semoga hari ini kalian baik-baik saja. Paman Jonathan, Semoga cepat sembuh.”

Dan dengan itu, Evan menghilang dari pandangan mereka berdua, meninggalkan sebuah jejak rasa penasaran yang semakin dalam di hati Jonathan dan Stella.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!