Bab 7
Evan duduk di kursi kerjanya, dikelilingi oleh layar laptop dan tumpukan dokumen, memikirkan langkah besar berikutnya untuk mengembangkan JC Investment. Ia telah melihat potensi perusahaan ini menjadi raksasa global, tetapi dia tahu bahwa dirinya membutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan dasar bisnis untuk mewujudkan ambisi itu.
Evan hanyalah pemuda berumur 18 tahun, bagaikan berlian yang masih kasar. Evan tidak memiliki pengetahuan ataupun rencana kedepannya. Sebagai pemilik perusahaan besar, ambisi dan visi yang luar biasa harus lah selalu ada beserta tekad menjadikan perusahaan ini lebih maju.
Sekarang, Evan tiada ilmu apapun. Seketika dirinya menghadapi sebuah tembok yang tinggi. Tiba-tiba dia teringat bahwa dirinya mempunyai sistem. Seketika dirinya lupa hal itu.
Dengan fokus, Evan membuka toko sistem, menyusuri berbagai keterampilan yang tersedia, hingga menemukan apa yang ia butuhkan Pembisnis Legendaris. Sebuah keterampilan yang dirancang untuk mengubah seseorang menjadi ahli strategi bisnis dengan kemampuan mendominasi pasar global.
Dia membaca deskripsinya dengan seksama.
...Pembisnis Legendaris: Menguasai kemampuan strategis yang mampu meraih dominasi pasar, keterampilan komunikasi tingkat tinggi, kemampuan membaca dan menaklukkan pasar internasional, serta teknik negosiasi unggulan. Biaya: 40 poin....
Tanpa ragu, Evan menukar 40 poinnya untuk keterampilan tersebut.
Seketika, pengetahuan baru membanjiri pikirannya, seperti aliran deras yang tak bisa dihentikan. Strategi bisnis, pengelolaan keuangan perusahaan, cara membaca peta kekuatan di pasar internasional, hingga cara menjaga arus kas yang stabil. Evan merasakan setiap informasi itu menyatu dalam pikirannya, mengubah pandangannya dalam sekejap.
Ia menghela napas panjang, merasakan kekuatan baru yang menyelimuti dirinya.
“Sekarang, JC Investment, mari kita bawa kau ke puncak dunia,” gumamnya dengan tatapan penuh tekad.
Keesokan paginya, Evan berdiri di ruang konferensi utama JC Investment, siap memaparkan visinya. Para eksekutif menatapnya dengan rasa penasaran, sebagian dengan skeptis. Mereka belum pernah melihat sosok yang begitu muda dengan tekad yang begitu besar.
"Dengar, mulai hari ini, kita tidak lagi berpikir hanya sebagai perusahaan lokal atau nasional," Evan memulai. "Misi kita adalah menjadi perusahaan induk global dengan anak perusahaan di seluruh dunia. Untuk itu, kita akan memasuki pasar internasional secara bertahap."
Para eksekutif mulai memperhatikan lebih serius. Evan menyuruh mereka menampilkan laporan keuangan JC Investment di layar proyektor. Angka-angka besar terpampang di layar, menunjukkan kekuatan finansial perusahaan ini.
"Aset total JC Investment mencapai 3 miliar dolar," jelas Evan sambil menatap layar. “Namun, untuk bisa mendominasi pasar global, kita membutuhkan lebih dari sekadar modal besar. Kita memerlukan strategi yang tepat dalam mengelola arus kas dan modal kerja agar kita tetap likuid di tengah ekspansi besar-besaran ini.”
Albert Jay, sekretaris kepercayaan Evan, mengangguk sambil mencatat setiap instruksi. "Tuan Evan, apakah Anda ingin memulai dengan akuisisi atau membangun anak perusahaan dari nol di setiap negara?" tanyanya dengan hati-hati.
“Keduanya,” jawab Evan tegas. “Kita akan mulai mengakuisisi perusahaan-perusahaan kecil di sektor teknologi, keuangan, properti, dan transportasi. Aku ingin laporan detil tentang perusahaan-perusahaan yang memiliki potensi namun sedang dalam kesulitan finansial. Mereka harus jadi bagian dari portofolio kita dalam enam bulan ke depan.”
Albert mengangguk cepat, terkesima oleh kecakapan Evan dalam strategi bisnis dan keuangan. Para eksekutif yang lain mulai mengangguk, memahami visi besar Evan.
"Langkah selanjutnya," Evan melanjutkan sambil menatap peta dunia di layar besar, "kita akan fokus memperluas ke pasar Asia, Eropa, dan Amerika Utara. Aku ingin kita menjadi pemain utama di sana, tapi kita harus bijaksana dalam penggunaan modal."
Para eksekutif memperhatikan saat Evan menjelaskan perencanaan modal yang cermat—pembatasan anggaran, kontrol pengeluaran, serta alokasi dana khusus untuk berbagai tahap ekspansi.
“Perlu diingat,” tambah Evan dengan tegas, “jangan sampai kita merugi besar di tahap awal ekspansi. Pastikan setiap akuisisi yang kita lakukan memiliki potensi besar untuk mengembalikan investasi dalam waktu 1-2 tahun. Saya ingin fokus pada stabilitas modal dan arus kas agar kita tidak sampai kekurangan dana operasional.”
Beberapa eksekutif saling bertukar pandang, takjub dengan kedalaman analisis Evan. Dia tak hanya ingin mengembangkan JC Investment—ia ingin mendominasi.
"Dan satu hal lagi." Evan menatap Albert. "Seluruh gerakan kita harus dilakukan dengan hati-hati. Tidak boleh ada yang tahu bahwa aku adalah pemilik JC Investment. Sistem keamanan kita harus memastikan namaku tak pernah terhubung dengan perusahaan ini."
Albert mengangguk setuju, meskipun kebingungan terlihat di wajahnya. Mengapa seorang pemilik memilih untuk bersembunyi? Apa yang sebenarnya ia rencanakan?
Evan tersenyum tipis. Dia tahu bahwa anonimitasnya adalah kekuatan. Tak seorang pun, baik itu pesaing, pemerintah, maupun media, akan bisa melacaknya.
Pertemuan pun berakhir, dan Evan kembali ke ruang pribadinya. Sistem kembali berdering, memberinya pembaruan tentang JC Investment.
(Ding!)
Misi: Awal Dominasi Pasar Global. Tujuan: Memulai pembentukan anak perusahaan di tiga negara dalam enam bulan. Hadiah: 200 poin, sebuah villa mewah, jet pribadi
Evan menatap layar dengan senyum penuh arti. Ia merasakan tekadnya semakin kuat. Mimpi menguasai pasar global kini tak lagi hanya mimpi—itu sudah menjadi langkah nyata yang sedang berjalan.
“Waktunya menunjukkan pada dunia siapa JC Investment,” gumam Evan penuh percaya diri.
Namun, ia tahu bahwa untuk sukses, ia harus tetap menjadi sosok bayangan di balik layar. Anonimitasnya adalah perlindungan sekaligus senjata. Tak ada yang boleh tahu siapa dirinya sebenarnya, tak ada jejak yang boleh ditinggalkan.
Evan sedang memeriksa laporan keuangan JC Investment ketika teleponnya berdering. Sekilas melihat layar, ia melihat nama rumah sakit tertera di sana. Tanpa membuang waktu, ia segera menjawab panggilan.
“Halo, ini Evan Arnold.”
“Halo, Tuan Evan,” jawab suara perawat dari rumah sakit. “Kami ingin mengabarkan bahwa Tuan Jonathan Yin sudah siuman dan kondisinya mulai stabil.”
Evan menatap layar sejenak, merasa lega mendengar berita itu. “Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Dia sudah bisa bicara dan sangat tenang. Kami yakin kehadiran Anda akan sangat berarti baginya.”
“Terima kasih atas informasinya. Saya akan segera ke sana.”
Di Rumah Sakit
Ketika Evan sampai di rumah sakit, suasana kamar rawat Jonathan terasa tenang. Jonathan terlihat lebih segar meskipun masih lemah, dan ketika Evan masuk, mata Jonathan langsung berbinar.
“Evan… Kau benar-benar datang.”
Evan mendekati tempat tidur dengan senyum ramah. “Tentu, Paman Jonathan. Bagaimana kondisi Anda?”
Jonathan menghela napas lega, sambil menatap Evan dengan penuh rasa syukur. “Aku merasa hidup kembali. Terima kasih sudah memberikanku waktu untuk hidup lagi” ucap Jonathan dengan matanya mulai berbinar-binar.
Evan menunduk sedikit, merendah. “Itu adalah tugas saya. Saya hanya ingin memastikan Anda selamat.”
Jonathan menatap Evan lebih dalam, mengisyaratkan kekaguman yang tulus. “Aku tak tahu bagaimana harus membalas semua yang kau lakukan. Kau sudah seperti cahaya yang membangkitkan harapan dalam keluarga kami.”
Saat itu, pintu kamar terbuka dan Stella masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. Melihat ayahnya sudah sadar, mata Stella langsung berkaca-kaca, dan ia menghampiri Jonathan dengan setengah berlari.
“Ayah! Syukurlah… syukurlah Ayah sudah sadar!” Ia memegang tangan Jonathan erat-erat, matanya menyiratkan rasa lega yang mendalam.
Jonathan tersenyum lemah namun penuh kasih pada putrinya, lalu kembali menatap Evan. “Stella, kau harus tahu… Evan-lah yang melakukan operasi ini. Evan yang menyelamatkan hidupku.”
Stella menoleh kepada Evan dengan mata penuh syukur dan kekaguman. “Evan… Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan rasa terima kasihku. Kau menyelamatkan Ayah.”
Evan hanya mengangguk dengan tenang. “Senang bisa membantu.”
Jonathan terdiam sesaat, seolah memikirkan sesuatu yang penting. Ia menarik napas dalam sebelum berbicara lagi. “Evan, aku harus mengakui bahwa kau telah menjadi orang yang sangat berarti bagi keluargaku. Kau tidak hanya menyelamatkan hidupku, tetapi juga mengembalikan harapan keluarga Yin. Karena itu, aku ingin… aku ingin kau mempertimbangkan untuk menjadi bagian dari keluarga kami.”
Evan menatap Jonathan dengan mata bertanya, belum benar-benar memahami maksudnya. Stella tampak bingung, lalu mulai menyadari apa yang diinginkan ayahnya.
Jonathan melanjutkan dengan nada mantap, “Aku ingin menjadikanmu tunangan Stella. Kalian sudah saling mengenal dan bisa saling menjaga. Kau adalah orang yang tepat untuknya, dan aku ingin kau berjanji untuk menjaga putriku sebagaimana kau menjaga nyawaku.”
Stella tersentak kaget mendengar perkataan ayahnya. Wajahnya memerah, dan ia tampak tidak siap menerima ide ini. “Ayah… apakah ini perlu dibahas sekarang?”
Jonathan menatap Stella dengan lembut. “Ini bukan hanya soal nyawaku, Stella. Ini soal kepercayaan dan rasa terima kasih. Evan adalah orang yang kupercaya. Aku yakin dia mampu melindungimu dan menjadikanmu bahagia.”
Evan, yang tadinya terdiam, mengangguk perlahan. Ia merasakan beban tanggung jawab besar yang ditawarkan Jonathan kepadanya. Meskipun hatinya tergerak, ia juga memahami bahwa hal ini bukan keputusan yang bisa dibuat sepihak. Menyadari keraguan Stella, Evan memutuskan untuk bersikap bijak.
“Paman Jonathan, saya sangat menghargai rasa terima kasih Anda dan saya tersanjung atas kepercayaan ini. Namun, saya rasa keputusan besar seperti ini harus dibuat perlahan-lahan. Saya tidak ingin terburu-buru dan ingin menghormati perasaan Stella dalam hal ini.”
Stella menunduk, wajahnya sedikit lega mendengar jawaban Evan. Di sisi lain, ia juga tak bisa menyembunyikan bahwa tawaran ayahnya telah menggetarkan hatinya.
Jonathan mengangguk pelan, mengerti dan menghargai sikap Evan. “Baiklah, aku tidak ingin memaksa. Namun ketahuilah, Evan, harapanku adalah melihat kau dan Stella bersama suatu hari nanti. Kau adalah pria yang tepat untuknya.”
Evan tersenyum, merasakan perasaan hormat yang dalam kepada Jonathan. “Saya akan menghargai harapan Anda, Paman Jonathan. Dan saya akan selalu ada untuk menjaga keluarga Yin sebisa mungkin.”
Setelah percakapan mendalam di kamar Jonathan, Evan dan Stella berjalan berdampingan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi. Mereka berdua terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan emosi mereka.
Evan, yang biasa berpikir dengan tenang dan rasional, kali ini merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat dari biasanya. Dia tahu bahwa menjadi bagian dari keluarga Yin akan membuka babak baru dalam hidupnya, tetapi respons Stella yang tenang dan dewasa membuatnya merasa dihargai.
Di sampingnya, Stella sesekali melirik Evan, tampak ragu-ragu seperti ingin mengatakan sesuatu. Wajahnya sedikit memerah saat mengenang tawaran yang diajukan ayahnya tadi. Meskipun dia belum siap membicarakannya, tak bisa ia pungkiri bahwa kehadiran Evan telah membawa perubahan besar dalam hidupnya dan keluarganya.
Tiba-tiba, Stella berhenti melangkah, dan Evan, yang tidak menyadari, berhenti beberapa langkah di depannya. Saat ia berbalik, Stella melangkah mendekat.
"Evan…" panggilnya dengan suara lembut.
“Ya?” jawab Evan, bingung namun tetap tenang.
Sebelum Evan sempat bereaksi lebih jauh, Stella mendekat dengan cepat, mengangkat tubuhnya sedikit, dan mengecup pipi Evan dengan lembut.
Ciuman singkat itu membuat Evan terpaku, seakan waktu berhenti sejenak. Jantungnya berdetak kencang, dan tatapannya tertuju pada Stella, yang kini tersenyum manis dengan pipi merona.
“Aku… aku tidak tahu harus bilang apa untuk semua yang kau lakukan. Tapi… aku benar-benar berterima kasih,” ucap Stella lirih, namun dalam, sambil menunduk sejenak. Kemudian, ia menatap Evan dengan senyum penuh arti dan berbisik pelan, “Sampai bertemu lagi, Evan.”
Tanpa menunggu jawaban, Stella berbalik dan berlari kecil meninggalkan lorong rumah sakit, sambil melambaikan tangan tanpa menoleh. Wajahnya memancarkan kebahagiaan, seolah-olah ia berhasil mengekspresikan perasaannya yang selama ini terpendam.
Evan, masih berdiri mematung, hanya bisa mengangguk pelan, belum bisa benar-benar meresapi kejadian tadi. Wajahnya terasa hangat, dan ada perasaan asing yang bergejolak dalam dirinya. Ia tersenyum tanpa sadar, mengingat ciuman yang baru saja diterimanya, lalu menggelengkan kepala, seakan tak percaya akan momen yang baru saja terjadi.
“Ini pertama kalinya ada yang membuatku merasa seperti ini…” pikirnya sambil berjalan perlahan keluar dari rumah sakit, dengan senyum tipis yang tak hilang dari wajahnya.
Di luar rumah sakit, Evan merasa bahwa hidupnya telah berputar 180 derajat. Di samping rencana besarnya untuk JC Investment, sekarang dia mulai merasakan adanya ikatan baru yang tak terduga dalam hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments