Bab 16

Bab 16

Pagi menjelang di kota yang tidak pernah tidur, New York. Matahari pagi menyelinap masuk melalui tirai jendela kamar hotel, menyinari ruangan dengan cahaya keemasan.Stella membuka matanya perlahan, masih merasakan kantuk yang tersisa dari tidur malamnya. Namun, yang pertama kali ia sadari adalah sofa di sudut kamar tempat Evan seharusnya tidur kosong.

"Evan?" gumam Stella dengan suara setengah mengantuk, mengangkat tubuhnya dari tempat tidur. Ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menyelimuti tubuhnya dengan jubah kamar.

“Evan sepertinya sudah bangun lebih awal” pikir stella sambil melihat setiap sudut kamar tapi Evan tiada di dalam kamar, Dia hanya melihat sebuah cangkir kopi di atas meja dan kopi itu masih anget.

“Evan minum kopi tapi tidak habis”

Di bawah cangkir kopi tersebut terlipat sebuah kertas. Stella pun mengambil dan membaca isi kertas tersebut.

‘Jika kamu sudah bangun, dan membaca ini. aku sudah duluan ke restoran hotel untuk sarapan.’

“Evan sudah duluan untuk sarapan? Kenapa dia tidak membangunkanku” gerutu Stella karena merasa kesal dia ditinggalkan. Stella dengan buru-buru ke kamar mandi dan bersiap. Dia berharap Evan belum sarapan lagi karna dia ingin sarapan bersama-sama.

Sementara itu, Evan sedang berjalan ke restoran hotel, dia disambut ramah oleh seorang staff perempuan disana. "Hai, selamat pagi Tuan, boleh saya tahu nama Anda?" tanya seorang staff meminta namanya untuk mengecek di sistem hotel mereka.

"Ya, tentu. Namaku Evan Arnold." balas Evan

Evan duduk di meja sudut restoran hotel mewah, menikmati secangkir kopi hitam hangat yang baru saja disajikan. Restoran itu terletak di lantai atas, memberikan pemandangan kota New York yang megah dari jendela kaca besar.

Evan membuka ponselnya, memeriksa laporan keuangan harian dari Janet yang mengiriminya awal pagi. Data-data itu menunjukkan perkembangan positif, terutama dari Chase Bank yang baru saja resmi menjadi miliknya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, namun dia tetap terlihat serius dan fokus.

Sambil menyesap kopinya, pikirannya melayang ke berbagai strategi yang akan ia jalankan ke depan dan juga penasaran misi apa yang sistem akan berikan nanti.

Di sisi lain, Stella sudah selesai bersiap. Dengan mengenakan gaun kasual berwarna pastel dan rambut yang ia biarkan tergerai, dia tampak anggun meski wajahnya masih menyiratkan kekesalan kecil.

Saat naik dengan lift menuju restoran, Stella bergumam sendiri. "Kenapa dia harus meninggalkanku begitu saja? Bukankah dia tahu aku tidak suka sendirian di tempat asing?" Stella menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, hatinya masih sedikit kesal, terutama karena semalam kejadian antara mereka membuat dirinya merasa tidak habis pikir.

Saat tiba di restoran, Stella disambut oleh seorang staf perempuan yang berdiri di dekat pintu masuk.

"Selamat pagi, Nona. Boleh saya tahu nama Anda?" tanya staf itu dengan senyum ramah.

Stella tersenyum tipis, meski masih merasa sedikit gugup. "Selamat pagi. Saya Stella... eh, Stella Yin." jawabnya dengan sedikit ragu.

Staf itu mengetik namanya di tablet, lalu mengangguk. "Ah, Nona Stella Yin, rekan Anda, Tuan Evan Arnold, sudah ada di sini. Silakan ikuti saya."

Mendengar nama Evan disebut, Stella merasa lega sekaligus semakin kesal. "Dia sudah pesan atas namaku juga? Memang dia selalu terlalu terorganisir," pikir Stella sambil mengikuti staf itu menuju meja tempat Evan duduk.

Sedikit yang Stella tau, Evan bukanlah orang yang memesan semua ini melainkan Janeth yang sudah menyiapkan semuanya selangkah lebih didepan.

"Evan!" panggil Stella begitu melihat pria itu duduk santai sambil memegang ponsel.

Evan mengangkat pandangannya, lalu tersenyum. "Oh, kamu sudah bangun? Maaf, aku tidak mau membangunkanmu karena kamu terlihat lelah tadi."

Stella duduk di seberang Evan dengan wajah cemberut. "Tapi tetap saja, kamu bisa memberitahuku lebih dulu. Aku kan tidak suka ditinggal sendirian."

Evan hanya mengangkat bahu dengan santai. "Aku sudah meninggalkan catatan, bukan? Dan lagi, aku hanya pergi untuk sarapan. Tidak jauh."

Stella mendengus kecil, tapi akhirnya mengambil menu yang ada di meja. "Ya sudah, aku lapar. Aku pesan dulu."

Staf restoran datang menghampiri mereka untuk mengambil pesanan Stella. Wanita itu berbicara dengan sopan. "Selamat pagi, Nona. Apa yang ingin Anda pesan untuk sarapan?"

Stella, yang masih merasa gugup dengan bahasa Inggrisnya, sedikit berbisik kepada Evan. "Kamu pesan apa tadi? Aku mau yang sama."

Evan mendengar itu hanya mencoba untuk tidak ketawa. “Rupanya anak perempuan paman Jonathan dan merupakan keluarga terbesar di Ariston tidak lancar bahasa Inggris” kata Evan dengan iseng

Evan menahan senyum kecil, lalu berbicara kepada staf itu. "Dia pesan yang sama dengan saya—kopi, telur orak-arik, dan roti panggang, tolong."

Staf itu mencatat pesanan mereka, lalu bertanya lagi. "Apakah Anda ingin memesan yang lain, Tuan?"

Evan menggeleng. "Tidak, itu saja untuk sekarang. Terima kasih."

Setelah staf pergi, Stella melipat tangannya di dada sambil menatap Evan. "Kenapa kamu kelihatan santai sekali pagi ini? Dan apakah membully anak gadis menyenangkan?”

Evan menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Stella dengan tatapan yang sulit ditebak. "Santai itu penting, Stella. Tapi ya, setelah sarapan, kita harus pergi ke Chase Bank untuk beberapa urusan formal. Ada dokumen tambahan yang perlu kutandatangani."

Stella mengangguk, meski masih merasa penasaran. "Chase Bank lagi? Kamu sepertinya sangat sibuk Evan..kenapa tidak membiarkan Janeth yang mengurusnya, kamu sekarang kan pemilik Bank itu”

“Bukannya aku tidak mau, tapi aku anggap ini sebagai pengalaman buatku”

Evan hanya tersenyum, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Stella mengernyit, tapi memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Dia tahu, Evan sering kali menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri.

Setelah sarapan selesai, mereka bersiap meninggalkan restoran. Evan, dengan setelan kasual namun tetap elegan, berdiri dan memberikan tangannya kepada Stella. "Ayo, kita harus berangkat sekarang."

Stella menerima tangannya dengan malu, lalu mengikuti Evan menuju lobi hotel. Sebuah mobil mewah sudah menunggu mereka di depan pintu masuk. Sopir yang mengenakan seragam hitam membukakan pintu untuk mereka.

"Selamat pagi, Tuan Arnold. Mobilnya sudah siap." kata sopir itu dengan sopan.

Evan mengangguk. "Terima kasih."

Di dalam mobil, Stella terus melirik Evan dengan penasaran. "Apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini, Evan? Aku tahu ini bukan sekadar perjalanan biasa."

Evan menatapnya sekilas, lalu tersenyum tipis.

Jawaban itu membuat Stella semakin penasaran, tapi dia tidak ingin terlihat terlalu mendesak. Dia hanya menghela napas dan memalingkan wajahnya ke luar jendela, melihat gedung-gedung tinggi yang berjejer di sepanjang jalan.

Ketika mereka tiba di gedung Chase Bank, Stella tidak bisa tidak terpesona oleh arsitektur modern dan megahnya gedung itu. Pintu kaca besar terbuka otomatis saat mereka melangkah masuk. Di dalam, seorang wanita dengan setelan formal berjalan menghampiri mereka. Wajahnya cantik, dan senyumnya profesional.

"Selamat pagi, Tuan Arnold. Selamat datang kembali." sapa wanita itu dengan nada ramah. Dia adalah Janeth Morgan, sekretaris eksekutif di Chase Bank.

Evan mengangguk kecil. "Selamat pagi, Janeth. Apakah dokumennya sudah siap?"

Janeth mengangguk. "Ya, Tuan. Semuanya sudah disiapkan. Silakan ikuti saya ke ruang konferensi."

Stella yang berdiri di samping Evan merasa sedikit terintimidasi oleh kehadiran Janeth. Wanita itu terlihat sangat profesional, dan Stella tidak bisa mengabaikan kecantikannya yang menonjol.

Perasaan cemburu tiba-tiba muncul di hatinya, meskipun dia berusaha menyembunyikannya.

Di dalam ruang konferensi, Stella duduk di salah satu kursi, sementara Evan dan Janeth berbicara tentang detail dokumen yang perlu ditandatangani. Meski tidak sepenuhnya mengerti, Stella mendengarkan dengan seksama.

Janeth: "Tuan Arnold, ini adalah dokumen-dokumen akhir terkait dengan pengalihan kepemilikan. Bagian ini menjelaskan otoritas Anda sebagai pemegang saham utama di Chase Bank." (Janeth meletakkan dokumen-dokumen di atas meja dan menyerahkan pena kepada Evan.)

Evan: (dengan tenang membuka halaman pertama dokumen) "Bagus. Saya anggap semuanya sudah dicek ulang dan diverifikasi?"

Janeth: (mengangguk sambil tersenyum profesional) "Tentu saja, Tuan. Kami telah memeriksa ulang semua detailnya sebanyak tiga kali. Tim hukum telah memastikan semuanya sesuai dengan peraturan federal dan negara bagian. Yang tersisa hanya tanda tangan Anda pada halaman yang sudah ditandai."

Evan: (melihat detail di dokumen sambil sesekali mengangguk) "Sempurna. Bagaimana dengan anggota dewan yang sekarang? Apakah mereka sudah diberi tahu tentang transisi ini?"

Janeth: (menunjuk ke sebuah bagian di dokumen) "Ya, Tuan. Klausul 4.2 menjelaskan pemberitahuan resmi yang dikirimkan ke dewan. Pengakuan mereka sudah dicatat dalam risalah rapat terakhir. Jika Anda mau, saya bisa kirimkan ringkasannya ke email Anda."

Evan: (melanjutkan membubuhkan tanda tangan di halaman tertentu) "Tidak perlu. Saya percaya pada efisiensi kerjamu, Janeth."

(Sementara itu, Stella duduk di kursi dengan alis sedikit mengerut. Dia melihat Evan dan Janeth berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar, terlihat sangat profesional. Namun, Stella tidak mengerti detail percakapan mereka, membuatnya merasa sedikit terisolasi.)

Stella: (berbisik kepada dirinya sendiri) "Apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan? Kenapa dia yang menandatangani semua dokumen ini?" (Wajah Stella menunjukkan campuran kebingungan dan rasa penasaran.)

Janeth: (melanjutkan dengan suara profesional) "Dan terakhir, Tuan, dokumen ini meresmikan posisi Anda sebagai pengambil keputusan tunggal di Chase Bank. Semua otoritas dikonsolidasikan atas nama Anda untuk memastikan kelancaran operasional. Silakan tanda tangan di sini dan sini."

(Evan menandatangani dokumen terakhir dengan sikap santai, seolah ini adalah hal biasa baginya.)

Evan: (melihat Janeth setelah selesai menandatangani) "Kerja bagus. Apakah rencana strategis baru sudah disusun sesuai dengan diskusi kita minggu lalu?"

Janeth: (membuka tablet dan menunjukkan file di layar) "Ya, Tuan. Proposal rinciannya sudah siap. Saya bisa jadwalkan sesi peninjauan dengan tim eksekutif kapan pun Anda mau."

Evan: (berdiri sambil menutup dokumen dengan rapi) "Tunda dulu sampai minggu depan. Untuk sekarang, pastikan proses transisinya tetap berjalan lancar dan tidak menarik perhatian."

Janeth: (mengangguk penuh hormat) "Dimengerti, Tuan. Jika ada hal lain yang Anda butuhkan, silakan beri tahu saya."

(Stella yang tidak tahan lagi dengan rasa ingin tahu akhirnya angkat bicara dalam bahasa Indonesia, dengan nada yang agak protes.)

Stella: "Evan, sebenarnya kamu sedang apa di sini? Kenapa kamu yang tanda tangan semua dokumen ini? Apa yang sebenarnya terjadi?"

(Evan menatap Stella dengan senyuman tenang, tetapi tidak langsung menjawab. Dia berdiri, mengatur kembali jasnya, dan menoleh ke Janeth.)

Evan: (dalam bahasa Inggris) "Terima kasih, Janeth. Itu saja untuk sekarang. Pastikan dokumen-dokumen ini diarsipkan dengan aman."

Janeth: (mengangguk dan tersenyum sopan) "Tentu saja, Tuan. Semoga harimu menyenangkan."

Stella menatap Evan dengan bingung. "Apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini, Evan? Kenapa kamu yang menandatangani semua dokumen itu?"

wajar Stella bertanya begitu karna dia belum mengerti tentang dunia bisnis maupun urusan seorang pemilik sebuah perusahaan. Karna Jonathan Yin, ayahnya selalu memanjakan dirinya. Dia ingin Stella lulus kuliah terlebih dulu baru dia akan memberikan posisi di salah satu perusahaan keluarga Yin.

Evan menatap Stella dengan senyuman kecil, lalu menjawab dengan santai. "Aku hanya memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, Stella."

Namun, dalam senyum itu, ada kebimbangan yang ia rasakan. Hatinya yang biasanya begitu tenang dan terkendali, kini terasa kacau setiap melihat Stella. Tatapan matanya menangkap setiap detail wajah Stella matanya yang indah, senyum samar yang terkadang muncul, dan caranya yang polos bertanya.

"Stella," kata Evan dengan nada lembut, suaranya nyaris berbisik. Ia melangkah mendekat, membuat Stella yang duduk di kursinya merasa semakin gugup. "Kamu tahu... kadang aku bingung dengan diriku sendiri ketika berada di dekatmu."

Stella memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya menunjukkan rasa ingin tahu. "Maksudmu apa, Evan?"

Evan mendekat lebih lagi, hingga jarak antara mereka terasa begitu tipis. Ia menatap Stella, lalu tiba-tiba mengangkat tubuhnya dengan mudah. Stella terkesiap kecil, matanya melebar saat ia mendapati dirinya duduk di atas meja konferensi, tepat di hadapan Evan.

"Evan... apa yang—"

Kata-kata Stella terhenti ketika Evan mendekatkan wajahnya. "Aku... maaf, Stella. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku," bisiknya, suaranya serak namun lembut.

Tanpa menunggu balasan, Evan mencium Stella dengan perlahan, lembut namun penuh hasrat. Stella terdiam sejenak, tubuhnya kaku karena terkejut. Namun, perlahan-lahan, ia mulai merespons. Tangannya yang semula ragu kini terangkat, menyentuh bahu Evan dengan perlahan. Ciuman itu berubah semakin intens.

"Evan..." Stella berbisik saat mereka melepaskan ciuman itu untuk mengambil napas. Matanya menatap dalam ke mata pria itu. "Apakah... apakah kamu menyukaiku?"

Evan terdiam sesaat, mengatur napasnya yang tak beraturan. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Stella. Tapi, aku merasa tidak bisa mengabaikanmu. Kamu membuatku tergoda, membuatku lupa pada semua kendali yang selama ini kupunya."

Wajah Stella merona. Senyum kecil muncul di bibirnya, dan kali ini ia yang mendekatkan wajahnya pada Evan. "Aku tidak keberatan, Evan... untuk menjadi milikmu. Karena aku juga menyukai dirimu."

Evan tertegun mendengar pengakuan Stella. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa, melainkan menunduk lagi untuk mencium Stella. Ciuman mereka semakin dalam, penuh emosi yang mengalir bebas tanpa penghalang. Sentuhan tangan Evan di pinggang Stella dan cara Stella memeluk leher Evan seolah menghapus semua batas di antara mereka.

Namun, momen itu terhenti mendadak saat suara pintu terbuka. Janeth berdiri di ambang pintu, terdiam dengan ekspresi terkejut yang sulit disembunyikan. "I... I’m sorry to interrupt," katanya dengan nada gugup, mencoba menghindari kontak mata. "But Mr. Arnold, there’s an urgent matter that requires your attention."

Stella langsung mendorong Evan sedikit menjauh darinya. wajahnya memerah hebat. Sementara Evan hanya berdiri diam, mencoba menyusun kembali pikirannya yang sempat kacau. Ia melirik Janeth, lalu mengangguk pelan. "Alright, Janeth. I’ll be there in a moment."

Janeth mengangguk cepat dan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Stella, yang masih duduk di meja, menundukkan wajahnya, tidak berani menatap Evan. "Aku... aku harus pergi," katanya terbata-bata, mencoba melompat turun dari meja.

Namun, Evan menahan tangannya. "Stella, tunggu." Suaranya lembut, tapi tegas.

Stella mendongak, menatap Evan dengan tatapan malu-malu namun penuh rasa ingin tahu. "Apa?"

Evan tersenyum kecil, lalu menyentuh pipinya dengan lembut. "Aku tidak menyesal. Kamu harus tahu itu."

Pipi Stella semakin memerah, tapi senyum kecil muncul di wajahnya. "Aku juga tidak," bisiknya.

Dengan itu, Evan membantu Stella turun dari meja. Meski mereka tidak mengatakan apa-apa lagi, keduanya tahu bahwa hubungan mereka baru saja berubah.

POV Janeth

Saat pintu terbuka dan pemandangan itu menyambut mataku, aku merasa jantungku berhenti sejenak. Stella duduk di meja konferensi, dan Evan... Dia mencium Stella dengan begitu intens, begitu penuh emosi, seolah dunia di sekitarnya tidak ada lagi. Aku terpaku di tempatku, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

Evan... pikirku, hatiku terasa seperti ditusuk. Aku mencoba mengendalikan ekspresi wajahku, mencoba tidak menunjukkan gejolak dalam dadaku. “I... I’m sorry to interrupt,” suaraku terdengar bergetar saat aku akhirnya berbicara.

Evan langsung menjauh dari Stella dan menoleh padaku. Matanya yang tadi penuh gairah kini berubah tenang, tapi aku bisa merasakan sisa-sisa emosinya. Stella, dengan wajah merah, buru-buru membetulkan posisinya.

Aku hanya bisa berusaha menjaga profesionalitasku. “But Mr. Arnold, there’s an urgent matter that requires your attention,” kataku dengan nada yang kupaksakan agar terdengar stabil.

Evan mengangguk pelan, lalu menjawab dengan tenang, “Alright, Janeth. I’ll be there in a moment.”

Aku membungkuk sedikit, lalu bergegas keluar dari ruangan itu, menutup pintu di belakangku. Begitu aku di luar, aku menempelkan punggungku ke dinding dan menarik napas dalam-dalam. Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam dadaku.

Aku tidak menyangka akan seperti ini. Saat pertama kali mendengar bahwa aku akan bekerja untuk seorang pria bernama Evan Arnold, pemilik baru perusahaan ini, aku membayangkan seseorang yang jauh dari menarik mungkin pria paruh baya yang gemuk, sombong, dan penuh tuntutan. Tapi semua dugaanku hancur berkeping-keping saat aku menjemputnya di bandara.

Aku masih ingat momen itu. Sosok Evan yang tinggi, tampan, dengan aura dingin dan tegas. Dia mengenakan jas hitam yang sempurna melekat di tubuhnya, dan tatapan matanya yang tajam langsung membuatku kehilangan kata-kata. Aku seperti jatuh cinta pada pandangan pertama.

Namun, aku tahu batasanku. Aku hanyalah seorang asisten. Meski aku merasa ada koneksi aneh setiap kali kami berbicara atau bekerja bersama, aku mencoba menepis perasaan itu. Tapi hari ini, melihat dia mencium Stella, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.

“Apakah aku masih punya ruang di hatinya nanti?” tanyaku dalam hati, nyaris berbisik.

Aku memegang dadaku, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk. Stella jelas cantik, lembut, dan berasal dari keluarga yang kaya raya. Mereka berdua tampak seperti pasangan yang sempurna. Sementara aku... hanya seorang wanita biasa yang kebetulan bekerja untuknya.

Namun, di satu sisi, aku juga tidak bisa menghilangkan harapan kecil yang masih ada di hatiku. Selama ini, Evan selalu memperlakukanku dengan baik—bukan hanya sebagai bawahan, tapi sebagai seseorang yang ia percayai. Apakah mungkin ada tempat untukku di hatinya, atau semua ini hanyalah anganku saja?

Aku menggeleng, mencoba menghapus pikiran itu. Aku harus profesional. Jika dia memang bahagia dengan Stella, aku harus merelakannya, gumamku dalam hati. Tapi kenapa rasanya begitu sulit?

Tidak..aku tidak boleh merelakannya, ibuku pernah mengatakan padaku jika aku benar-benar menyukai seseorang aku harus berjuang membuatnya menyukaiku.

Terpopuler

Comments

R€§§∆H

R€§§∆H

povnya bahasa indo, tapi percakapan tetap bhs inggris, tetep rancu walaupun outhornya mahir bhs inggris..😇

2025-04-03

0

Apud Tahu

Apud Tahu

ga ngertin ahh!!!!

2025-04-12

0

Dean Adam

Dean Adam

Ga Ngerti Bangsa Ingris

2024-11-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!