Bab 15
Bandara Kota Ariston, Pagi Hari
Pagi itu, Bandara Internasional Ariston tampak sibuk seperti biasa, dengan suara-suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan pengumuman-pengumuman dari pengeras suara. Namun, di antara keramaian itu, ada satu sosok yang dengan tenang berjalan menuju kaunter yang berbeda dari kebanyakan orang, kaunter jet pribadi. Pria itu, Evan, mengenakan jas hitam yang sempurna dengan garis potongan yang sangat rapi, tampak tenang meski di sekelilingnya orang-orang bergerak dengan cepat.
Stella yang berjalan di sampingnya, menatap arahnya dan tiba-tiba berhenti. "Evan, ke mana kita?" tanyanya, sedikit bingung, karena mereka tidak menuju gerbang penerbangan komersial biasa.
Evan menoleh dan melihat ekspresi kebingungan di wajah Stella. "Ke kaunter jet pribadiku," jawabnya sambil melanjutkan langkahnya tanpa memperlihatkan ekspresi khusus.
"Jet pribadi?" suara Stella sedikit tercekat. Ia mengikuti Evan yang terus berjalan tanpa ragu.
"Kamu... punya jet pribadi?" tanyanya, suaranya mengandung keraguan.
Evan tidak berhenti berjalan. "Tentu saja," jawabnya singkat, namun dengan nada yang tidak memberi ruang untuk bertanya lebih lanjut.
Stella berjalan di belakang, menatap Evan dengan rasa penasaran. ‘Kenapa aku baru tahu sekarang?’ pikirnya, tetapi tidak ingin terlalu banyak bertanya, merasa seperti ada banyak hal yang masih belum ia pahami tentang Evan. Sebelumnya, ia hanya tahu tentang keterampilan medis Evan yang luar biasa, dan sedikit tentang masa lalu Evan yang misterius. Namun, ada bagian dari dirinya yang belum pernah ia ketahui dan itu menggelisahkan Stella.
Pesawat pribadi Evan terparkir di area eksklusif, jauh dari kebisingan bandara utama. Begitu mereka memasuki pesawat, Stella merasa semakin terasing. Interior jet itu megah, dengan kursi kulit hitam yang nyaman, serta perabotan dengan desain elegan yang mencerminkan status tinggi sang pemilik. Semua terasa begitu mewah, namun Evan tampak santai dan tenang, duduk di seberang Stella tanpa tampak terbebani sedikit pun.
Stella duduk, tetap merasa canggung. "Aku benar-benar tidak tahu kalau kamu..." suara Stella perlahan terhenti, tidak tahu harus melanjutkan kata-katanya.
Evan hanya tersenyum tipis, masih terlihat tenang. "Ada banyak hal yang harus kamu pelajari, Stella," jawabnya, seakan tidak memberi penjelasan lebih lanjut, tetapi cukup untuk membuat Stella semakin penasaran.
Bandara Internasional New York, Pukul 11:30
Setelah penerbangan yang mulus, mereka akhirnya mendarat di New York. Bandara Internasional New York, yang selalu sibuk, kini terasa lebih besar dan lebih riuh dibandingkan dengan Bandara Ariston.
Namun, yang menarik perhatian Stella bukanlah keramaian itu, melainkan seorang wanita yang berdiri menunggu di area VIP. Wanita itu mengenakan jas kantor berwarna hitam dan sepatu hak tinggi, tampak sangat profesional dan anggun.
Wanita itu tersenyum begitu Evan dan Stella keluar dari pintu kedatangan, menyapa mereka dengan penuh perhatian. "Selamat datang di New York, Tuan Evan," kata wanita itu dengan suara lembut namun penuh keyakinan. "Saya Janeth Morgan, yang menelpon anda tempo hari, saya sudah menyiapkan segalanya yang diperlukan."
Stella yang berdiri di samping Evan, menatap wanita itu dengan tajam. Ada sesuatu dalam diri Janeth yang membuatnya merasa tidak nyaman, meskipun Janeth hanya tampak profesional. ‘Apa dia tahu lebih banyak tentang Evan daripada yang aku ketahui?’ pikiran itu melintas di benak Stella. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi perasaan aneh itu semakin membesar saat melihat betapa dekatnya Janeth dengan Evan.
Evan mengangguk sopan dan mengulurkan tangan kepada Janeth. "Terima kasih, Janeth. Aku juga ingin segera menyelesaikan urusan ini."
Mereka beranjak menuju kendaraan yang sudah disiapkan. Selama perjalanan menuju gedung Chase Bank, Stella mencoba untuk fokus pada pemandangan kota, namun matanya tetap melirik ke arah Janeth yang duduk di kursi depan, seakan menunggu kesempatan untuk berbicara lebih banyak dengan Evan. ‘Kenapa dia selalu terlihat begitu dekat dengan Evan?’ pikir Stella dengan rasa cemas yang mulai tumbuh dalam dirinya. ‘Jangan-jangan dia punya perasaan terhadap Evan?’
Stella mencoba untuk menenangkan perasaan cemburunya, tetapi tetap saja, ada semacam ketegangan yang menggelayuti hatinya. ‘Apa aku sudah terlalu terlambat?’
Chase Bank, New York - Ruang Pertemuan Utama
Setibanya di gedung Chase Bank, Evan dan Stella disambut dengan penuh kehormatan. Janeth memimpin mereka langsung ke lantai tertinggi gedung, tempat ruang pertemuan utama berada.
Lantai itu menawarkan pemandangan luar biasa dari jendela-jendela besar yang menghadap ke seluruh kota New York. Di dalam ruangan, meja besar dengan kursi kulit hitam sudah tertata rapi. Di atas meja, beberapa dokumen tampak menunggu untuk ditandatangani.
Janeth menunjuk pada kursi di seberang meja dan berkata dengan suara lembut, "Silakan duduk, Tuan Evan. Semua dokumen yang diperlukan sudah siap untuk ditandatangani."
Evan duduk dengan tenang dan memandang dokumen-dokumen itu satu per satu. Tanpa berkata apa pun, ia mulai menandatangani lembar demi lembar dengan gerakan tangan yang cepat namun penuh ketelitian. Stella yang mecuri-curi pandangan sedikit ke arah dokumen yang ditandatangani oleh Evan, dia makin terkejut dengan apa yang dilampirkan ‘Dokumen Pemindahan Kepemilikan Chase Bank?’ pikirnya
Stella, yang duduk di samping Evan, terdiam. Ia merasa seolah dunia di sekitarnya berhenti sejenak saat melihat Evan menandatangani dokumen itu. ‘Jadi, ini semua... milikmu?’ pikirnya, matanya menatap Evan dengan penuh kebingungan. Kenapa dia tidak memberitahuku lebih awal?
Setelah Evan menandatangani dokumen terakhir, ia meletakkan pena dengan mantap, lalu menoleh ke Stella. "Selesai," kata Evan dengan nada yang sangat tenang.
Stella memandang Evan dengan wajah terkejut, seolah baru menyadari betapa besar perubahan yang baru saja terjadi. "Jadi, kamu... benar-benar pemilik Chase Bank?" tanya Stella, suaranya bergetar, antara tidak percaya dan kagum.
Evan hanya tersenyum tipis, mata tajamnya berkilau tanpa menunjukkan emosi berlebihan. "Iya, dan Sekarang Chase Bank ada di bawah kendaliku."
Kata-kata itu terucap dengan sangat tenang, namun bagi Stella, itu seperti guntur yang mengguncang pikiran dan perasaannya. Ia ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu lebih banyak, namun ia merasa ada batas yang tak bisa ia lewati. Evan tidak akan memberinya penjelasan lebih jauh, seperti biasanya.
Janeth yang ada di sisi ruangan, mendengarkan percakapan mereka dengan seksama. Ia tersenyum tipis, mengerti betul bahwa hubungan antara Evan dan Stella tengah berada di persimpangan jalan. Janeth tahu bahwa meskipun Evan sudah membuat keputusan besar dalam hidupnya, ada banyak hal yang belum terungkapkan, Janeth juga tahu hanya dengan sekilas bahwa perasaan yang tumbuh di antara mereka berdua masih belum sepenuhnya tumbuh. Mungkinkah bagi dirinya dia juga mempunyai kesempatan?
Stella duduk di kursinya, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Evan... dia lebih dari yang aku bayangkan. Pikiran itu terus berputar di benaknya, bersama dengan perasaan tak terungkapkan. Kenapa dia begitu misterius? Mengapa dia tidak memberitahuku lebih banyak?
Setelah menandatangani dokumen penting yang memverifikasi pengalihan kepemilikan Chase Bank, Evan perlahan meletakkan pena di atas meja. Lembar-lembar dokumen itu kini sah dan sudah menjadi bagian dari perjalanannya. Semua langkah administrasi yang rumit sudah terlewati, dan satu babak baru dalam hidupnya telah dimulai. Namun, ada satu dokumen terakhir yang memerlukan perhatian khusus dari Evan sebuah kontrak yang menandai persetujuan penuh atas segala kebijakan pengelolaan keuangan yang berlaku di bank tersebut.
"Ini dokumen pengesahan kontrak manajemen jangka panjang," kata Janeth dengan suara lembut, sambil menyorongkan lembaran terakhir itu kepada Evan. "Tuan Evan perlu menandatanganinya juga untuk finalisasi seluruh proses pengambilalihan."
Evan membaca dengan teliti dokumen itu. Berkat keterampilan bisnis yang ia beli dengan menggunakan poin di toko sistem, hampir semua rincian tentang struktur manajerial dan kebijakan bank sudah ia ketahui melalui laporan internal, dia selalu memeriksa dengan cermat setiap detailnya. Ini adalah langkah terakhir yang akan mengikatnya pada tanggung jawab besar sebuah jaringan keuangan yang mempengaruhi banyak sektor ekonomi di dunia.
Sambil menandatangani dokumen tersebut, Evan bisa merasakan tekanan yang datang dengan jabatan barunya. "Setelah ini, semuanya akan berubah," pikirnya, matanya tetap fokus pada tulisan di atas kertas. Ia menyelesaikan tanda tangan dengan gerakan cepat dan mantap, menandai berakhirnya proses administrasi yang panjang ini.
Evan selesai dengan semua dokumen yang harus ditandatangani. Janeth, yang telah berada di sana sepanjang proses, terlihat lega. "Semua sudah beres, Tuan Evan. Semua dokumen yang diperlukan sudah diselesaikan," kata Janeth, memastikan semuanya sudah tertata rapi di atas meja.
Evan berdiri dari kursinya dan mengangguk. "Terima kasih, Janeth. Sekarang saya akan menuju ke hotel." Ia melirik ke Stella yang duduk di sebelahnya, matanya penuh pertanyaan. "Sudah ada reservasi di hotel?"
Janeth mengangguk dengan senyum profesional. "Tentu saja, Tuan Evan. Saya sudah memesan dua kamar di hotel bintang lima terdekat," jawab Janeth sambil menunjuk ke arah layar ponselnya, memperlihatkan detail reservasi tersebut.
Namun, di saat Evan bersiap untuk pergi, Stella tiba-tiba bersuara. "Evan... bisa kita... bisa kita tinggal di kamar yang sama?" suaranya terdengar agak cemas, hampir seperti meminta izin. Evan menoleh ke arah Stella, terkejut mendengar permintaannya.
"Kamar yang sama?" Evan bertanya dengan nada bingung.
Stella menggeleng pelan, matanya teralihkan ke luar jendela, tidak ingin membuat situasi semakin canggung. "Aku hanya merasa... lebih aman kalau kita tinggal di satu kamar. Ini kota yang asing bagiku, dan aku merasa lebih baik jika aku tidak sendirian di tempat yang belum aku kenal."
Evan merenung sejenak. Stella jelas merasa tidak nyaman dengan perubahan besar ini dengan New York yang begitu megah dan sibuk, tentu saja perasaan asing itu bisa menghantui siapa saja. Apalagi, ini adalah kali pertama dia berada di tempat yang benar-benar baru tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kamu yakin?" Evan bertanya dengan nada yang lebih lembut, ingin memastikan keputusan itu benar-benar datang dari Stella sendiri dan bukan karena rasa cemas yang berlebihan.
Stella mengangguk cepat. "Ya," jawabnya, lebih percaya diri sekarang. "Aku... aku merasa lebih baik jika kita tinggal di satu kamar. Aku tidak ingin ada hal-hal tak terduga."
Meskipun sedikit bingung dengan permintaan Stella, Evan mengerti. "Baiklah," jawabnya singkat. "Kalau begitu, kita akan tinggal di satu kamar. Aku akan memberitau Janeth untuk mengubah reservasi."
Janeth, yang sejak awal mengamati percakapan ini dengan diam, akhirnya berbicara. "Tentu, Tuan Evan, saya akan segera mengubahnya." Janeth tersenyum sopan dan kemudian menghubungi pihak hotel untuk memperbarui reservasi mereka.
Setelah semuanya terurus, mereka bertiga keluar dari gedung Chase Bank dan menuju mobil yang telah disediakan. Stella yang duduk di kursi belakang, sesekali melirik ke arah Evan, merasa sedikit tidak nyaman dengan kenyataan bahwa mereka akan berbagi kamar yang sama. Namun, perasaan tidak nyaman itu lebih kepada kegelisahan dirinya sendiri yang merasa lebih asing dengan keadaan di kota sebesar New York ini.
Evan yang duduk di kursi depan tampak tak terganggu oleh situasi ini. "Ini bukan pertama kalinya kamu ke New York, kan?" Evan bertanya kepada Stella, ingin mengalihkan pikirannya.
"Belum," jawab Stella singkat. "Aku hanya pernah mendengarnya saja. Tidak pernah merasa benar-benar berada di sini."
Setibanya di hotel, suasana langsung terasa lebih elegan. Hotel bintang lima itu tampak megah dengan desain arsitektur yang mencerminkan kelas dan kemewahan. Lobi hotel luas dengan lampu kristal yang menggantung indah di langit-langitnya. Suasana di sekitar mereka terasa sangat berbeda dengan kesibukan kota di luar sanamseolah-olah dunia di dalam hotel ini jauh lebih tenang dan penuh kenyamanan.
Janeth memimpin mereka menuju resepsionis, menyelesaikan proses check-in. Stella, meskipun merasa tidak nyaman, tetap mengikuti Evan dengan langkah tenang. "anda akan berada di sini selama beberapa hari," ujar Janeth, memberikan informasi singkat. "Saya akan selalu ada untuk anda jika ada yang perlu."
Begitu mereka sampai di lantai atas, Janeth menyerahkan kunci kamar mereka. Namun, ketika mereka tiba di depan pintu, Stella menoleh ke arah Evan dengan sedikit keraguan di wajahnya.
"Evan..." suara Stella terdengar sedikit ragu. "Mungkin... mungkin aku sebaiknya tidur di tempat lain?" Ia tidak ingin membuat Evan merasa canggung, tapi perasaan cemas itu masih menghantuinya.
Evan menggelengkan kepala. "Tidak perlu," jawabnya dengan tegas, namun dengan suara yang penuh pengertian. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita akan tidur di sini, bersama. Aku janji tidak akan ada yang terjadi."
Mendengar jawaban itu, Stella merasa sedikit lebih lega, meski masih ada perasaan tidak pasti yang melingkupi dirinya. "Baiklah," katanya pelan.
Setelah pintu kamar ditutup dan mereka berada dalam ruangan yang sama, Stella duduk di tepi tempat tidur, merasa sedikit lebih tenang, meskipun hatinya masih diliputi kegelisahan. Evan... siapa sebenarnya dia? pertanyaan itu kembali muncul di pikirannya. Dia begitu banyak menyembunyikan diri, tapi kenapa aku merasa semakin tertarik padanya?
Perasaannya seperti berperang antara rasa cemas, kekaguman, dan ketertarikan. Ini adalah kota yang asing, dan semuanya terasa begitu besar terlalu besar untuk dipahami sekaligus. Tapi satu hal yang pasti, bersama Evan, semuanya terasa sedikit lebih aman.
Dengan hati yang penuh pertanyaan dan pikiran yang tak terucapkan, Stella menutup matanya, berusaha untuk tidur dan merenung tentang perjalanan yang baru saja dimulai.
Evan mengalihkan pandangannya ke layar ponselnya Agar tidak dicurigai stella. Dia membuka status di sistem untuk memeriksa status keuangannya. Angka yang muncul di layar membuatnya tersenyum tipis. Total kekayaannya kini melampaui $50 miliar, ditambah dengan aset-aset berharga yang tersebar di berbagai sektor. Keberhasilan yang dia raih hingga saat ini bukan hanya hasil dari strategi bisnis cerdas, tetapi juga berkat hadirnya sistem yang membantunya. Namun, meskipun banyak hal yang telah dia capai, ada satu hal yang masih membuatnya merasa kekosongan. Adalah pencapaian dalam hubungan manusia yang terasa lebih rumit bagi Evan.
Di sisi lain, Stella tidak bisa tidur karna merasa semakin canggung. Kamar hotel yang luas dan mewah memberikan rasa asing baginya. Meski baru pertama kali berada di New York, ada sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya perasaan yang mulai tumbuh terhadap Evan. Dia tahu, seiring dengan perjalanannya yang semakin dekat dengan dunia Evan yang misterius, banyak hal yang belum dia pahami tentang pria itu. Sesekali, matanya mencuri pandang ke arah Evan, namun hatinya bingung dan tak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi yang terbuka memecah kesunyian. Evan keluar dengan tubuh masih basah setelah mandi, mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. Sejenak, dia melupakan keberadaan Stella di ruangan yang sama.
Tubuhnya yang tampak tegap dan terawat membuatnya terlihat sangat berbeda dari pria yang Stella kenal sebelumnya. Wajahnya yang serius dan pandangannya yang penuh ketegasan hanya semakin membuat ketegangan di ruangan itu semakin nyata.
Stella terkejut, matanya langsung terbelalak dan dia langsung menutup mata dengan kedua tangannya, namun tubuh Evan yang atletis tak bisa sepenuhnya ia hindari dari pandangannya. Suasana semakin memanas, dan wajah Stella pun memerah. Dengan cepat, dia berlari ke kamar mandi, menutup pintu dengan keras seakan ingin menghindari kenyataan bahwa dirinya terperangkap dalam situasi yang lebih rumit dari yang dia bayangkan.
Di dalam kamar mandi, Stella menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Perasaannya bergejolak, ada campuran antara rasa malu dan ketertarikan yang tak bisa ia pahami. Dia memikirkan Evan pria yang kini terlibat dalam hidupnya dengan cara yang jauh lebih kompleks dari sekadar seorang teman atau rekan.
Setelah beberapa saat, Evan yang telah mengenakan pakaian kasual kembali ke ruang tamu dengan wajah tenang. Di luar, dia mendengarkan suara kamar mandi yang terbuka perlahan. Stella keluar dengan mengenakan piyama, wajahnya masih merah, namun berusaha terlihat santai. Namun Evan tahu, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
Ketika Stella keluar, dia melihat Evan yang tengah duduk dengan tatapan yang tak bisa dia artikan. Namun, Evan tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan intens. Bau harum parfum Stella menyeruak di udara, semakin memperdalam atmosfer yang sudah terasa tegang di antara mereka.
"Apakah kamu melihat sesuatu yang tidak seharusnya?" tanya Stella dengan nada sedikit defensif, berusaha menutupi perasaan canggungnya. "Jangan lihat aku seperti itu, Evan!" kata Stella dengan tegas, meskipun ada sedikit gemetar dalam suaranya.
Evan hanya tersenyum tipis, dan kemudian berdiri dari duduknya. Tanpa berkata-kata, dia mendekati Stella, yang kini berada hanya beberapa inci darinya.
Udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih pekat. Nafas mereka bisa terdengar satu sama lain, dan setiap detik terasa semakin intens. Stella merasa jantungnya berdetak lebih cepat, namun tubuhnya seperti kaku, seakan tak tahu apa yang harus dilakukannya dalam situasi ini.
Evan menatapnya dengan penuh keyakinan, dan dalam sekejap, dia merangkul Stella, menariknya lebih dekat ke tubuhnya. “Maafkan aku Stella..” lirih Evan. Wajah mereka hampir bersentuhan, dan tanpa diduga, bibir mereka bertemu. Ciuman itu bukan hanya tentang gairah atau dorongan fisik ada emosi yang tertahan, kebingungan, dan ketegangan yang terungkap dalam setiap gerakan mereka. Stella yang terkejut sempat terdiam sejenak, tapi seiring waktu, dia membiarkan dirinya tenggelam dalam ciuman itu.
Beberapa detik kemudian, Evan menarik dirinya mundur, dan mereka saling memandang. Wajah Stella masih tampak merah, matanya yang sedikit basah terlihat bingung dan terkejut.
Evan berbicara dengan suara pelan, "Stella, aku tidak pernah berniat membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya… tidak bisa lagi menahan diri."
Stella tak bisa menjawab, perasaannya campur aduk. Dia ingin berbicara, tapi kata-kata terasa sulit untuk keluar. Stella dengan cepat berbaring di ranjang dan menenggelamkan dirinya menggunakan selimut sebagai penutup. Di sisi lain, Evan menyadari bahwa aksinya sudah terlalu berlebihan.
Hubungan mereka kini memasuki wilayah yang lebih sulit dipahami baik bagi dirinya maupun bagi Stella. Namun yang jelas, meskipun masa depan mereka penuh dengan ketidakpastian, Evan merasa ada sesuatu yang tak bisa diabaikan.
Malam itu mereka berdua terdiam, masing-masing merenung dalam keheningan kamar yang mewah. Ketegangan yang sebelumnya ada kini digantikan oleh sebuah rasa yang lebih mendalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments