Bab 17

Bab17

Sudah lima hari berlalu sejak Evan dan Stella tiba di New York. Kota yang dikenal sebagai pusat dunia ini ternyata tak sepenuhnya menyenangkan bagi Stella.

Meski suasananya ramai, gedung-gedung tinggi menjulang, dan ada banyak tempat menarik, Stella merasa kesepian. Evan, di sisi lain, tenggelam dalam pekerjaannya sebagai pemilik baru Chase Bank. Setiap pagi, dia meninggalkan hotel untuk pertemuan, menandatangani dokumen, dan mengawasi transisi kepemilikan dengan ketat.

“Evan, kamu tidak pernah istirahat!” keluh Stella suatu pagi, sambil melipat tangannya. “Kamu sudah di New York, tapi yang kamu lakukan hanya bekerja. Apa tidak bisa ada waktu untuk santai?”

Evan menghentikan tangannya yang sedang mengetik di laptop. Dia menatap Stella, yang tampak kesal sambil duduk di sofa. "Aku tahu, Stella. Maafkan aku, tapi ini penting."

Namun, Evan juga menyadari bahwa Stella semakin tidak betah. Gerak-geriknya seperti "cacing kepanasan," dan dia tampak gelisah. Akhirnya, Evan mengambil keputusan.

“Baiklah,” kata Evan, menutup laptopnya. “Hari ini aku akan mengosongkan jadwalku. Kita akan keluar dan menikmati New York.”

Stella menatapnya dengan mata berbinar. “Benarkah? Kamu tidak sedang bercanda, kan?”

Evan tersenyum tipis. “Tidak, aku serius. Tapi karena aku tidak begitu mengenal New York, aku akan meminta Janeth menjadi tour guide kita.”

Stella terlihat sedikit tidak senang ketika mendengar nama Janeth disebut, tetapi dia memutuskan untuk tidak memprotes. Dia lebih fokus pada fakta bahwa akhirnya mereka bisa menghabiskan waktu bersama di luar.

Janeth tiba di hotel sekitar pukul sepuluh pagi. Wanita itu tampil anggun dengan blazer biru muda dan celana panjang putih. Rambutnya diikat rapi, dan dia membawa tas kecil yang terlihat praktis namun modis. Evan sudah memberitahu untuk memakai pakaian yang nyaman tapi Janeth beralasan untuk dirinya tetap terlihat profesional

“Good morning, Mr. Arnold. Miss Stella,” sapanya dengan senyum profesional.

“Pagi, Janeth,” balas Evan, sembari mengenakan jaket kasual. “Hari ini, kami ingin kamu menunjukkan tempat-tempat menarik di kota ini. Aku serahkan sepenuhnya padamu.”

Janeth mengangguk. “Tentu, Tuan Evan. Ada banyak tempat yang bisa kita kunjungi. Saya sudah merencanakan beberapa lokasi, mulai dari Central Park, Museum of Modern Art, hingga kawasan Times Square. Kita juga bisa mencoba restoran lokal terbaik di Soho.”

Stella terlihat sedikit ragu. “Kita tidak akan terlalu banyak berjalan kaki, kan?”

Janeth tersenyum. “Jangan khawatir, Miss Stella. Saya sudah mengatur kendaraan untuk sebagian besar perjalanan kita.”

”bukannya ingin jalan-jalan? Ya kita harus jalan bukan?” Ucap Evan penuh canda

”bukan seperti itu Evan! Masa dari hotel kita jalan ke setiap tempatnya? Aku tidak Mau” Stella cemberut

Dengan itu, mereka pun berangkat. Aktivitas hari itu dimulai dengan berjalan-jalan di Central Park. Mereka menikmati udara segar di taman yang hijau, mengunjungi danau kecil, dan bahkan mencoba menaiki kereta kuda. Stella terlihat lebih ceria, sesekali berlari kecil sambil mengambil foto.

“Bagaimana? Kamu senang sekarang?” tanya Evan ketika mereka duduk di bangku taman.

Stella mengangguk. “Iya. Ini lebih baik daripada terkurung di kamar hotel dan di kantor”

Saat sore menjelang, mereka melanjutkan perjalanan ke Times Square. Kawasan itu penuh dengan turis, lampu neon, dan papan iklan besar yang mendominasi pemandangan. Stella tampak terpesona dengan hiruk-pikuknya, sementara Evan tetap tenang, menjaga Stella agar tidak terpisah di keramaian.

Namun, suasana berubah ketika mereka bertemu dengan seorang pria berjas hitam yang berjalan dengan percaya diri. Dia adalah Ben Mercury, pria yang sebelumnya ingin melamar Stella di rumah keluarga Yin. Bersama Ben, ada seorang pria berpenampilan formal yang tampaknya adalah rekannya.

“Stella Yin! Sungguh tak terduga bertemu denganmu di sini,” kata Ben dengan nada tinggi. Matanya menyipit, menatap Evan dengan penuh penilaian.

“Dan kamu... Evan, kan? Wah, kalian masih bersama rupanya. Aku ingat kalian hanya berpura-pura.”

Stella memutar matanya. “Ben, apa yang kamu lakukan di New York?”

Ben menyeringai, lalu menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. “Aku ada di sini untuk urusan bisnis besar. Aku ditugaskan oleh perusahaan ayahku untuk menjalin kerja sama dengan Chase Bank.”

Mendengar itu, Evan tetap tenang. Dia melirik Janeth, yang terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi Evan mengangkat tangannya, memberikan isyarat agar Janeth diam. Dia ingin melihat sejauh mana kepercayaan diri Ben.

“Wah, hebat sekali,” kata Evan dengan nada datar.

“Kamu pasti sangat berkoneksi untuk bisa menjalin kerja sama dengan bank sebesar itu.”

Ben tertawa keras. “Tentu saja. Aku punya sumber daya dan orang-orang yang mendukung kelyarga Mercury. Lagi pula, siapa yang tidak ingin bekerja sama dengan keluarga Mercury? Kami adalah salah satu keluarga terkaya di Ariston.”

Evan menatap Ben dengan tatapan yang sulit ditebak. “Oh, begitu. Jadi, siapa yang membantu memuluskan langkahmu di Chase Bank?”

’Terkaya.. tapi bukan yang pertama , karna aku yang pertama’ Benak Evan

Ben terdiam sejenak, lalu dengan nada sombong, dia menjawab, “Ada beberapa eksekutif di dalam yang mengenal keluargaku. Mereka sangat membantu. Aku tidak perlu repot-repot melakukan segalanya sendiri. Orang sepertimu tidak akan mengerti.”

Mata Evan menyipit, namun dia tetap menjaga senyumnya. Informasi ini sangat penting baginya. Jika ada orang dalam yang terlibat, maka itu berarti ada potensi korupsi yang bisa merugikan bank miliknya.

“Menarik,” balas Evan. “Tapi aku penasaran, apa yang membuatmu yakin kerja sama ini akan berhasil?”

Ben mengangkat bahu dengan santai. “Karena aku punya modal besar, Evan. Dan Chase Bank pasti tahu bahwa bekerja sama denganku adalah keputusan terbaik.”

Percakapan itu berlangsung dengan ketegangan yang semakin terasa. Stella merasa tidak nyaman dengan sikap Ben yang arogan, sementara Janeth terus mencatat detail informasi yang Ben bocorkan tanpa sadar.

“Ngomong-ngomong,” kata Ben, mengalihkan pandangannya ke Stella, “aku dengar kamu sudah lama di New York dan akan segera kembali ke Ariston. Apa kamu sudah memikirkan tawaran keluarga ku?”

Stella mengerutkan dahi. “Tawaran apa?”

Ben tersenyum penuh percaya diri. “Tawaran untuk menjadi istriku, tentu saja. Kamu tidak perlu repot-repot lagi, Stella. Aku bisa memberikanmu segalanya.”

Sebelum Stella sempat menjawab, Evan melangkah maju, berdiri di antara mereka. Wajahnya masih terlihat tenang, tetapi matanya menunjukkan kilatan dingin.

“Ben, aku rasa pembicaraanmu sudah terlalu jauh,” kata Evan. “Stella bukan milik siapa pun, dan dia bukan alat siapapun. Dia tidak perlu mendengar omong kosong seperti itu.”

Ben tersentak, lalu tertawa kecil. “Kamu siapa, Evan? Seorang dokter? Jangan lupa, aku datang ke sini untuk sebuah Bisnis yang besar. Apa yang kamu lakukan di New York? Liburan?”

Evan menatap Ben tanpa ekspresi. Dia tidak merasa perlu menjelaskan siapa dirinya sebenarnya. “Aku rasa percakapan ini berakhir disini.” Kata Evan dan menarik tangan Stella pergi dari sana. Janeth yang melihat itu jutru cemburu kenapa dirinya tidak dilakukan seperti itu.

”Cih, dasar sialan. Tunggu saja Aku Evan.” Gunam Ben sambil melihat kepergian mereka.

Setelah pertemuan itu selesai, Evan, Stella, dan Janeth melanjutkan perjalanan mereka. Di dalam mobil, Janeth akhirnya angkat bicara.

“Tuan Evan, apa Anda ingin saya menyelidiki eksekutif yang disebut oleh Tuan Mercury tadi?” tanyanya dengan nada profesional.

Evan mengangguk. “Ya. Aku ingin laporan lengkap tentang siapa saja yang terlibat. Jika ada indikasi korupsi, kita akan mengambil tindakan.”

Stella, yang duduk di samping Evan, menatapnya dengan bingung. “Apa maksudnya, Evan? Apa ada masalah di bank?”

Evan menoleh padanya dan tersenyum kecil. “Tidak perlu khawatir, Stella. Aku hanya memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.”

Stella mengangguk, meski masih merasa penasaran. Namun, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Dia tahu bahwa Evan selalu memiliki alasan untuk setiap tindakannya.

Malam itu, New York bersinar dengan keindahannya. Dari lantai 35 suite hotel mewah tempat Evan menginap, panorama kota terlihat seperti lautan lampu yang berkilauan. Mobil-mobil melaju di jalanan sibuk di bawah sana, seperti semut yang tak pernah berhenti bekerja.

Evan duduk di kursi dekat jendela besar, memandangi kota sambil memikirkan informasi yang baru saja diterimanya. Di tangannya ada ponsel, menampilkan pesan panjang dari Janeth. Pesan itu mencantumkan nama dua eksekutif di Chase Bank yang terlibat dalam korupsi. Tidak hanya soal uang, tetapi juga tindakan-tindakan tidak manusiawi yang membuat Evan menggertakkan giginya.

“James Tully dan Richard Givens.”

Kedua nama itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Mereka tidak hanya mencuri uang dari bank, tetapi juga melakukan kejahatan yang lebih keji. Dari catatan yang dikumpulkan Janeth, ada laporan tentang pelecehan terhadap karyawan wanita, termasuk beberapa kasus pemerkosaan terhadap intern perempuan. Salah satu korban bahkan memilih bunuh diri karena trauma yang mendalam.

Evan mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih. Pikirannya penuh dengan rasa bersalah. Bagaimana dia bisa melewatkan ini? Sebagai pemilik baru bank, seharusnya dia bisa mencegah tragedi itu.

Ponselnya kembali bergetar. Janeth mengirim pesan lain”Tuan Evan, semua data sudah saya kumpulkan. Besok pagi saya akan menyiapkan rencana untuk menangkap mereka dan mengamankan semua bukti. Kami akan pastikan mereka tidak bisa melarikan diri.”

”saya akan segera membawa masalah ini ke perdida han besok pagi secepat mungkin, karna masalah ini juga membuat saya bertanggung jawab karna tidak mengecek dengan benar”

Evan mengetik balasan singkat “Bagus. Pastikan semuanya dirahasiakan. Kita akan bertindak besok pagi. Istirahatlah, kamu sudah terlalu banyak bekerja dan butuh istirahat.”

Setelah mengirim pesan itu, dia menghela napas panjang dan menutup matanya. Tapi bayangan wajah-wajah korban terus menghantuinya.

Kepalanya terasa berat. Rasa bersalah, marah, dan frustrasi bercampur menjadi satu. Evan meraih gelas yang berisi anggur merah di atas meja dan menyesapnya perlahan, berharap alkohol bisa sedikit meredakan pikirannya. Tapi tidak ada yang bisa menghilangkan beban itu.

Di saat dia sedang larut dalam pikirannya, sebuah suara lembut memecah keheningan.

“Evan...”

Evan tersentak. Dia tidak menyadari Stella mendekatinya. Tanpa berbalik, dia bisa merasakan kehadirannya. Suara langkah kaki Stella terdengar ringan di karpet, dan dalam sekejap, dia merasakan tangan halus Stella melingkar di bahunya.

Dia menoleh sedikit, hanya untuk melihat Stella berdiri di belakangnya. Seketika, napasnya tertahan. Stella mengenakan lingerie satin merah muda yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya tergerai bebas, memberikan kesan sensual yang tidak biasa.

“Stella... apa yang kamu lakukan?” tanya Evan, suaranya sedikit serak.

Stella tersenyum kecil, lalu membungkuk sedikit, mempererat pelukannya. “Aku tahu kamu sedang stres, Evan. Aku hanya ingin kamu merasa lebih baik.”

Evan menelan ludah. “Kamu tidak perlu melakukan ini. Aku baik-baik saja.”

Stella menggeleng. “Jangan bohong. Aku bisa melihatnya di matamu. Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri. Kamu selalu memikirkan orang lain, tapi kapan terakhir kali kamu memikirkan dirimu sendiri?”

Kata-kata itu menusuk hati Evan. Dia tahu Stella benar. Selama ini, dia memang selalu menempatkan tanggung jawab dan orang lain di atas kebahagiaannya sendiri.

Stella melangkah ke depan, berdiri di antara Evan dan meja. Dia membungkuk sedikit, meletakkan tangannya di kedua sisi wajah Evan, memaksa pria itu untuk menatapnya. “Evan, aku di sini untukmu. Kamu tidak perlu menanggung semuanya sendirian.”

Evan hanya bisa menatapnya, terdiam. Wajah Stella begitu dekat, matanya penuh dengan ketulusan dan sedikit keberanian yang jarang dia tunjukkan.

“Stella...” gumam Evan. Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, Stella sudah memiringkan wajahnya, menyentuh bibir Evan dengan lembut.

Ciuman itu awalnya lembut, seperti sentuhan angin musim semi. Tapi dalam beberapa detik, api di dalam diri mereka berdua mulai membara. Evan menarik Stella ke dalam pelukannya, merasakan kehangatan tubuhnya. Semua rasa stres dan tekanan yang dia rasakan seakan menghilang, tergantikan oleh dorongan primal yang sulit dia kendalikan.

Dengan gerakan yang cepat tapi penuh kehati-hatian, Evan mengangkat tubuh Stella. Wanita itu melingkarkan tangannya di leher Evan, dan mereka saling menatap dengan mata yang berbinar.

Evan membawa Stella ke kasur, lalu mereka jatuh bersama di atasnya. Ciuman mereka semakin intens, tangan Evan bergerak menyentuh pipi, leher, hingga pinggang Stella.

Namun, di tengah semua itu, Evan tiba-tiba menghentikan gerakannya. Napasnya berat, dan dia menatap Stella dengan pandangan penuh kebingungan dan rasa bersalah.

“Stella... aku tidak bisa,” katanya pelan.

Stella menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa tidak, Evan? Aku mencintaimu, dan aku tahu kamu juga mencintaiku. Aku tidak keberatan... aku ingin …”

Evan menggeleng. “Aku... aku belum siap. Aku takut kalau aku melakukannya sekarang, aku akan menyesal nanti. Aku ragu-ragu.”

Stella terdiam. Tapi kemudian, dia mengangguk pelan. “Baiklah, Evan. Aku mengerti.”

Evan mengusap pipinya dengan lembut, lalu mencium keningnya. “Terima kasih sudah mengerti, Stella. Aku hanya butuh waktu.”

Keesokan paginya, Evan bangun dengan tekad baru. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Setelah sarapan singkat bersama Stella dan Janeth, dia memanggil Janeth ke ruang kerja kecil yang ada di suite mereka.

Janeth masuk dengan membawa tablet di tangannya. “Tuan Evan, saya sudah menyiapkan semua rencana sesuai instruksi Anda. Data lengkapnya ada di sini.”

Evan menerima tablet itu dan mulai memeriksa dokumen-dokumen yang ditampilkan. Ada bukti transfer ilegal, email yang menunjukkan kolusi, serta laporan dari beberapa korban pelecehan.

“Kita akan bertindak hari ini,” kata Evan, suaranya dingin. “Aku ingin mereka ditangkap tanpa ada celah untuk melarikan diri. Pastikan semua bukti ini diserahkan ke pihak berwenang.”

Janeth mengangguk. “Tentu, Tuan. Saya juga sudah menghubungi seorang pengacara ternama yang bisa membantu menangani kasus ini. Dia akan memastikan para korban mendapatkan keadilan.”

Evan menatap Janeth sejenak. “Bagus. Dan pastikan nama Chase Bank tetap bersih. Kita harus menunjukkan bahwa kita tidak mentolerir perilaku seperti ini.”

“Dimengerti, Tuan muda.”

Di sebuah ruang sidang yang penuh sesak, James Tully dan Richard Givens berdiri di depan hakim dengan wajah yang terlihat campuran antara panik dan marah. Di sisi lain, tim pengacara mereka sibuk mempersiapkan dokumen-dokumen pembelaan, mencoba menyusun argumen terakhir untuk membela klien mereka.

Karena Janeth pagi ini memberitau mereka bahwa atas arahan Direktur, mereka harus hadir ke persidangan tapi tidak tau atas apa tujuannya. Walaupun mereka sudah mengetahuinya, itu sudah terlambat untuk mereka berdua.

Hari ini adalah sidang kasus yang mengguncang Chase Bank dan memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak. Media meliput setiap detailnya, dan masyarakat menunggu dengan napas tertahan untuk melihat bagaimana para pelaku kejahatan ini akan diadili.

Secara bersamaan, Janeth sudah menyuruh seseorang untuk menyebarkan keburukan kedua orang itu di media. Dan alhasil, mereka mendapat kecaman dari publik.

Hakim, seorang pria tua dengan wajah tegas, menatap James dan Richard dengan pandangan yang tajam. “Tuan Tully dan Tuan Givens, Anda didakwa atas beberapa kejahatan, termasuk korupsi, pelecehan seksual, dan keterlibatan dalam kematian seorang karyawan magang. Bagaimana Anda menjawab tuduhan ini?”

James, dengan wajah pucat, berbicara lebih dulu. “Yang Mulia, kami dituduh secara tidak adil. Semua ini adalah kesalahpahaman. Kami hanya mengikuti perintah!”

Hakim mengangkat alis. “Perintah dari siapa?”

Keduanya sangat panik dengan pertanyaan hakim, di pikiran mereka jika mereka memberitau hakim siapa dalangnya, mereka jelas akan dipecat dari Chase bank. Disisi lain, jika mereka tidak jujur sama saja sidangnya akan di tunda tapi akan membuat Direktur Chase Bank makin curiga dan akan membuat Direktur lebih mencari informasi dan itu akan memperburuk keadaan dan situasi bagi mereka.

James dan Richard tidak tau harus berbuat apa, mereka berdua seperti terhalang tembok. Membuat mereka makin panik dan berkeringat dingin.

Hakim bertanya kembali. “ Perintah dari siapa?!”

Richard, yang terlihat lebih emosional, memotong pembicaraan. “Ben Mercury! Dia adalah dalang sebenarnya di balik semua ini! Kami hanya pion dalam rencananya.”

Ruang sidang menjadi riuh mendengar tuduhan itu. Ben Mercury, yang duduk di bangku pengunjung dengan jas mahalnya, tampak kaget. Wajahnya memerah karena marah, dan dia berdiri dengan penuh emosi.

“Itu fitnah!” teriak Ben. “Saya tidak ada hubungannya dengan kejahatan mereka!”

Hakim mengetuk palu untuk meminta ketenangan. “Tuan Mercury, Anda akan mendapat giliran untuk berbicara nanti. Sekarang duduk.”

Ben menggerutu, tapi akhirnya duduk kembali, meski tatapannya tetap penuh amarah ke arah James dan Richard.

James, yang merasa lebih percaya diri dengan tuduhan terhadap Ben, melanjutkan argumennya. “Yang Mulia, semua transaksi mencurigakan yang terjadi di bank adalah atas arahan Tuan Mercury. Dia menggunakan koneksinya untuk menekan kami agar mengikuti instruksinya. Bahkan pelecehan terhadap karyawan wanita adalah bagian dari skema jahatnya untuk mendiskreditkan kami jika sesuatu seperti ini terjadi!”

Richard mengangguk dengan semangat. “Ben Mercury adalah pria berbahaya, Yang Mulia. Dia adalah seorang manipulator ulung yang telah menggunakan pengaruhnya untuk memanfaatkan kami. Kami hanya korban dalam situasi ini!”

Hakim kembali mengetuk palunya. “Cukup! Tuduhan Anda terhadap Tuan Mercury adalah hal serius. Apakah Anda memiliki bukti untuk mendukung klaim ini?”

James terdiam sejenak, lalu melirik Richard dengan gugup. Richard mencoba menjawab, tapi kata-katanya terdengar goyah. “Kami... kami tidak punya bukti fisik saat ini, tapi—”

“Cukup,” potong hakim dengan tegas. “Pengadilan ini hanya akan mempertimbangkan fakta, bukan spekulasi.”

Di bagian belakang ruang sidang, Evan duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Namun, di dalam hatinya, dia sudah menduga James dan Richard akan menggunakan taktik kotor ini. Sejak awal, dia tahu bahwa orang-orang seperti mereka tidak akan menerima tanggung jawab atas perbuatan mereka sendiri.

Evan menoleh ke arah Janeth, yang duduk di sampingnya. Wanita itu memegang tablet dengan data lengkap tentang transaksi dan bukti lainnya.

“Janeth,” bisik Evan. “Waktunya untuk memberikan kejutan kecil.”

Janeth mengangguk dan berdiri, memberikan tanda kepada pengacara yang mewakili pihak Chase Bank. Pengacara itu berdiri dan berkata, “Yang Mulia, kami memiliki bukti tambahan yang ingin kami serahkan kepada pengadilan.”

Hakim mengangguk. “Silakan.”

Janeth berjalan maju, menyerahkan tablet kepada hakim. “Ini adalah data lengkap yang menunjukkan alur keuangan ilegal yang dilakukan oleh James Tully dan Richard Givens, termasuk komunikasi email mereka yang merujuk pada aktivitas mereka di bank.

Tidak ada indikasi bahwa Tuan Mercury terlibat dalam kejahatan ini.”

Hakim memeriksa data itu dengan seksama, lalu menatap James dan Richard dengan pandangan yang lebih tajam. “Tuan Tully dan Tuan Givens, bukti ini bertentangan dengan klaim Anda. Apakah Anda masih bersikeras bahwa Tuan Mercury adalah dalangnya?”

James dan Richard saling pandang. Wajah mereka semakin pucat, mengetahui bahwa kebohongan mereka telah terbongkar.

Ben Mercury, yang sejak tadi terlihat tegang, akhirnya berdiri dan berbicara. “Yang Mulia, saya ingin menyatakan bahwa saya tidak terlibat dalam kejahatan apapun. Saya berada di sini untuk bekerja sama dengan Chase Bank, dan saya terkejut mengetahui bahwa dua orang ini mencoba mencoreng nama saya untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.”

“Bahkan saya tidak tau kenapa secara tiba-tiba saya dipanggil untuk hadir ke pengadilan ini!”

Hakim mengangguk. “Kami akan mempertimbangkan pernyataan Anda, Tuan Mercury.”

Ben melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih tajam. “Saya harap pengadilan ini memberikan hukuman yang pantas kepada mereka. Orang-orang seperti mereka adalah ancaman bagi integritas dunia bisnis.”

Setelah mendengarkan semua argumen dan memeriksa bukti, hakim akhirnya mengetuk palunya.

“Setelah mempertimbangkan semua fakta, pengadilan ini memutuskan bahwa James Tully dan Richard Givens bersalah atas tuduhan korupsi, pelecehan seksual, dan tindakan yang menyebabkan kematian seorang karyawan magang. Hukuman mereka adalah membayar kompensasi kepada setiap korban dan keluarganya dan dipenjara selama 20 tahun”.

Hal ini jika mereka sudah bebas tapi dengan riwayat kriminal mereka, perusahaan besar maupun kecil tidak akan menerima mereka. Apalagi karena mereka bekerja di Bank besar Chase Bank, dan membuat masalah di sana. Mereka tidak akan bisa hidup dengan mudah selepas ini.

Hakim menoleh ke Ben Mercury. “Mengenai tuduhan terhadap Tuan Mercury, pengadilan tidak menemukan bukti yang cukup untuk mendukung klaim tersebut. Namun, kami menyarankan Anda untuk menjaga reputasi Anda dengan lebih baik di masa depan.”

Ben mengangguk dengan lega, meskipun tatapannya masih penuh kemarahan terhadap James dan Richard. Ben adalah orang yang sangat licik. Walaupun dia terlibat tapi dirinya tidak pernah meninggalkan bukti apapun yang bisa mengklaim dirinya. Dan itu justru membuat hakim curiga.

Jika Ben tidak terlibat, kenapa james dan richard mati-matian mengunakan namanya. Evan yang melihat tatapan curiga hakim dan beberapa orang bahkan orang yang hadir juga hanya tersenyum tipis. “Semuanya sesuai rencana…” gumam Evan

Karena semua yang hadir adalah orang yang berkoneksi dan merupakan pembisnis juga, diantara meraka ada juga yang mengenal dan rapat dengan james dan richard. Dalam pikiran mereka juga sama seperti hakim. Kenapa mereka berdua mengeluarkan nama Ben Mercury dari mulut mereka?

Didalam dunia bisnis, yang terburuk adalah jatuhnya reputasi dan jatuhnya kepercayaan. Dan itu pasti akan membuat keluarga Mercury hilang muka.

Setelah sidang selesai, Evan meninggalkan ruang sidang tanpa banyak bicara. Stella dan Janeth mengikutinya di belakang.

“Kamu tidak mengatakan apa-apa tadi, Evan,” kata Stella sambil menatapnya. “Padahal kamu bisa membongkar segalanya.”

Evan tersenyum tipis. “Aku tidak perlu membuang waktu untuk meladeni orang-orang seperti mereka. Yang penting, mereka mendapatkan hukuman yang pantas. Dan aku melepaskan Ben untuk kejutan lain”

Terpopuler

Comments

Tama Go

Tama Go

lanjut Thor

2024-12-07

0

Dean Adam

Dean Adam

Kenapa Lama Thor Updatenya

2024-12-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!