Bab 18

Bab 18

Ruang rapat Chase Bank terletak di lantai 50, dengan jendela besar yang menawarkan pemandangan kota New York yang sibuk. Matahari pagi memancarkan cahaya hangat, menerangi ruangan yang didominasi warna putih dan abu-abu modern. Di tengahnya, sebuah meja konferensi berbentuk oval dikelilingi para petinggi bank. Semua mata tertuju pada Evan, pria muda yang kini memimpin rapat.

Evan duduk dengan tenang di ujung meja, mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang disesuaikan sempurna dengan tubuhnya. tangan kanannya memegang dokumen yang ia baca dengan saksama. Aura kepemimpinan terpancar dari cara ia membawa diri, membuat suasana ruangan terasa berbeda dari biasanya.

Setelah beberapa saat memeriksa catatan terakhirnya, Evan mendongak dan berbicara dengan suara tenang namun tegas. “Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah bekerja keras dalam beberapa bulan terakhir,” katanya, mengarahkan pandangannya ke setiap orang di meja. “Kita semua tahu tantangan yang kita hadapi. Tapi bersama-sama, kita berhasil memulihkan reputasi Chase Bank.”

Semua orang di ruangan itu mengangguk. Beberapa dari mereka tersenyum, merasa lega bahwa usaha mereka mendapat pengakuan langsung dari Evan.

Evan melanjutkan, “Namun, ini baru awal. Ke depan, saya ingin memastikan bahwa standar tinggi tetap dipertahankan. Setiap divisi harus memastikan transparansi dan integritas dalam setiap keputusan yang diambil. Saya tidak mentolerir kesalahan yang sama terulang.”

Suasana ruangan menjadi serius. Para petinggi mengangguk, memahami pentingnya pesan Evan. Kemudian, Evan menyandarkan tubuhnya sedikit ke kursi dan menambahkan sesuatu yang membuat semua orang tercengang.

“Sebagai penghargaan atas kerja keras kalian, saya memutuskan untuk menaikkan gaji seluruh staf dari level terendah hingga tertinggi dua kali lipat untuk bulan ini.”

Ruangan hening sejenak, lalu gemuruh tepuk tangan memenuhi udara. Beberapa orang tampak terkejut, sementara yang lain tersenyum lebar, jelas sekali mereka tidak menyangka akan kabar baik ini.

“Ini adalah bentuk apresiasi saya untuk kalian semua,” kata Evan, suaranya tetap tenang. “Namun, saya juga ingin ini menjadi pengingat bahwa kerja keras dan dedikasi tidak pernah sia-sia. Jika kita terus bekerja seperti ini, saya yakin Chase Bank tidak hanya akan bangkit, tetapi juga menjadi yang terbaik di dunia.”

Setelah suara tepuk tangan mereda, Evan melanjutkan, “Ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan. Selama saya kembali ke Ariston, operasional Chase Bank di New York akan berada di bawah tanggung jawab Janeth.”

Mata Janeth melebar mendengar namanya disebut. “T-Tuan Evan... Saya?” katanya gugup, bahkan hampir menjatuhkan pulpen yang dipegangnya. Semua orang di ruangan itu memandangnya dengan kagum.

Evan mengangguk. “Ya, kamu, Janeth. Dalam beberapa minggu terakhir, kamu telah menunjukkan kinerja yang luar biasa. Dedikasi dan perhatianmu terhadap detail melebihi ekspektasi saya. Saya percaya kamu mampu memimpin.”

Janeth berdiri perlahan dari kursinya, menunduk dengan hormat. Matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Tuan Evan. Saya berjanji akan melakukan yang terbaik.”

Setelah rapat selesai, para petinggi meninggalkan ruangan dengan rasa hormat yang semakin besar kepada Evan. Janeth, yang masih duduk di tempatnya, mencoba mencerna tanggung jawab besar yang baru saja diberikan kepadanya.

Beberapa jam setelah rapat, Evan kembali ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan dokumen yang belum sempat ia periksa. Ruangan itu bergaya modern dengan dinding berwarna abu-abu muda dan perabotan kayu mahoni. Sebuah rak buku besar menghiasi salah satu dinding, sementara meja kerja besar dengan permukaan kaca terletak di tengah.

Ketukan pelan terdengar dari pintu. “Masuk,” ujar Evan tanpa mengangkat pandangan dari dokumen yang sedang ia periksa.

Pintu terbuka perlahan, dan Janeth masuk dengan nampan berisi secangkir teh hangat dan beberapa camilan kecil. Dia mengenakan setelan kerja berwarna biru gelap yang rapi, rambutnya diikat dengan sederhana. Meski wajahnya tampak tenang, hatinya berdebar keras.

“Ini teh Anda, Tuan Evan,” katanya sambil meletakkan cangkir di meja.

Evan mengangguk. “Terima kasih. Duduklah, Janeth.”

Janeth duduk di sofa kecil di depan meja kerja Evan. Dia terlihat gelisah, tangannya meremas-remas ujung roknya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya memberanikan diri berbicara.

“Tuan Evan, saya hanya ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi. Tidak ada yang pernah mempercayai saya seperti ini sebelumnya. Kata-kata Anda tadi di ruang rapat... itu benar-benar berarti bagi saya.”

Evan meletakkan dokumen di tangannya dan menatapnya. “Kamu pantas mendapatkannya, Janeth. Semua kerja kerasmu telah terbukti. Dan ingat, jika ada masalah yang tidak bisa kamu selesaikan, kamu selalu bisa menghubungi saya.”

Mendengar itu, mata Janeth mulai berkaca-kaca. Dia mengangguk pelan, lalu berkata dengan suara pelan, “Terima kasih, Tuan Evan. Anda adalah orang yang luar biasa.”

Evan tersenyum kecil, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, suasana hening itu terpecah ketika Janeth tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju pintu. Dia mengunci pintu dari dalam, membuat Evan mendongak dengan alis terangkat.

“Janeth? Apa yang kamu lakukan?” tanyanya dengan nada bingung.

Janeth tidak menjawab. Dia berjalan perlahan kembali ke arah Evan, wajahnya memerah seperti tomat. Langkahnya pelan namun penuh keyakinan. Evan menatapnya dengan tatapan bertanya, tetapi sebelum dia bisa berkata apa-apa lagi, Janeth sudah berada di hadapannya.

“Tuan Evan,” gumam Janeth, suaranya gemetar. “Saya... saya tidak ingin Anda pergi.”

Evan membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi sebelum dia sempat mengeluarkan kata-kata, Janeth sudah duduk di pangkuannya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci, dan Evan bisa merasakan napas hangat Janeth menyentuh kulitnya. Dia terlalu terkejut untuk bergerak.

“Janeth, apa yang kamu—” kata Evan, tetapi kalimatnya terpotong ketika Janeth mencondongkan tubuhnya dan mencium bibirnya dengan penuh gairah.

Ciuman Janeth begitu mendadak, tetapi tidak kalah intens. Bibirnya yang lembut bergerak seolah mencari jawaban dari hati Evan. Untuk sesaat, Evan hanya duduk diam, membiarkan pikirannya terombang-ambing antara kejutan dan ketertarikan. Tapi seiring dengan semakin dalamnya ciuman itu, gairah yang telah lama ia tahan mulai membuncah.

Janeth, yang sebelumnya merasa malu, kini semakin berani. Tangannya melingkar di leher Evan, menariknya lebih dekat. Napas mereka saling bertaut, dan suasana ruangan yang tenang berubah menjadi penuh dengan energi yang membakar.

Evan akhirnya menyerah pada momen tersebut. Ia membalas ciuman Janeth dengan penuh semangat, bibirnya menyatu dengan bibir wanita itu dalam tarian yang intens. Tangannya yang semula diletakkan di sisi kursi, kini perlahan bergerak, menyentuh pinggul Janeth. Sentuhan itu lembut namun mengisyaratkan bahwa Evan mulai menikmati situasi yang terjadi.

Janeth merasakan tangan Evan bergerak lebih berani, menyusuri punggungnya hingga menyentuh bagian pinggangnya yang ramping. “T-Tuan Evan...” bisik Janeth dengan suara yang hampir tidak terdengar, pipinya semakin merah. Tapi Evan tidak berhenti. Alih-alih melepaskan, dia justru semakin menarik tubuh Janeth mendekat.

Salah satu tangannya masuk ke dalam blazer Janeth, merasakan kehangatan tubuh wanita itu. Jari-jarinya menyentuh bagian punggung bawah Janeth, membuatnya menggigil. Janeth menutup matanya, menikmati setiap detik yang berlalu. Bibir mereka terus bertemu dalam ciuman yang semakin memanas, dan suasana ruangan berubah menjadi lebih intim.

Evan kemudian memiringkan wajahnya sedikit untuk memperdalam ciumannya. Lidah mereka bertemu, bergerak dengan ritme yang sempurna. Janeth tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya gairah yang meluap-luap, seolah-olah seluruh dunia hanya milik mereka berdua saat ini. Tangannya kini bergerak ke dada Evan, merasakan detak jantung pria itu yang berdetak cepat.

“Janeth,” ujar Evan di sela-sela ciuman mereka. Suaranya berat, hampir seperti bisikan. “Kamu tahu aku tidak seharusnya melakukan ini...”

Janeth membuka matanya perlahan, menatap wajah Evan dengan penuh harap. “Tapi Anda tidak menghentikan saya, Tuan Evan,” katanya sambil tersenyum kecil. “Itu berarti Anda juga menginginkan ini.”

Evan terdiam sesaat, menatap wajah Janeth yang begitu dekat dengannya. Ada sesuatu dalam matanya sebuah kombinasi antara keberanian dan kepasrahan yang membuat Evan sulit untuk berkata tidak. Meski hatinya tahu bahwa dirinya sudah memiliki Stella, tubuhnya berkata lain.

“Sial,” gumam Evan pelan sebelum kembali mencium Janeth. Kali ini, ciumannya jauh lebih agresif, seolah ingin meluapkan semua hasrat yang selama ini ia pendam. Tangan Evan bergerak lebih dalam, membuka beberapa kancing kemeja Janeth. Janeth menggigit bibir bawahnya, merasa tubuhnya semakin panas oleh sentuhan Evan.

Sementara itu, di hotel, Stella sedang duduk di sofa sambil menikmati segelas jus jeruk. Dia mengenakan pakaian santai kaus longgar dan celana pendek sembari menonton film favoritnya di layar besar.

Namun, pikirannya tidak sepenuhnya pada film itu. Berkali-kali, dia memikirkan Evan dan betapa sibuknya pria itu sejak tiba di New York.

Tanpa alasan yang jelas, Stella bersin beberapa kali berturut-turut. Dia mengusap hidungnya dengan tisu sambil bergumam, “Apakah ada seseorang yang sedang membicarakan aku, atau... sesuatu buruk akan terjadi?”

Dia menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan perasaan aneh itu, lalu melanjutkan menonton filmnya. Namun, jauh di dalam hatinya, dia merasa sedikit gelisah, meskipun tidak tahu mengapa.

Kembali ke Ruang Kerja Evan

Janeth kini bersandar di dada Evan, napasnya terengah-engah setelah momen panjang yang mereka habiskan bersama. Blazernya terlepas, dan rambutnya sedikit berantakan. Dia menatap Evan dengan tatapan penuh kelembutan, tetapi juga rasa bersalah.

“Tuan Evan,” bisik Janeth. “Saya tahu Anda memiliki Stella. Tapi saya tidak bisa menahan perasaan saya lebih lama lagi. Saya mencintai Anda.”

Evan terdiam, menatap wanita di pangkuannya. Ada banyak emosi yang berkecamuk di pikirannya rasa bersalah, kebahagiaan, dan kebingungan. Dia tahu apa yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, tetapi dia juga tidak bisa memungkiri bahwa ada sisi dari dirinya yang menikmati keberadaan Janeth.

“Janeth...” Evan akhirnya berkata, suaranya rendah.

“Aku... Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Tapi aku tidak ingin memberikanmu harapan yang salah.”

Janeth tersenyum kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. “Saya tidak meminta apa-apa, Tuan Evan. Hanya ini sudah cukup bagi saya.”

Evan menghela napas panjang. Dia mengusap rambut Janeth dengan lembut, mencoba menenangkan wanita itu. Namun, jauh di dalam hatinya, dia tahu bahwa hubungan ini akan semakin rumit ke depannya. Janeth adalah wanita yang tulus, dan Stella adalah wanita yang telah mengisi hidupnya. Pilihan itu tidak akan pernah mudah.

Evan masih duduk di kursinya, meresapi momen yang baru saja terjadi antara dirinya dan Janeth. Ciuman itu belum sepenuhnya menghilang dari ingatannya sensasi lembut bibir Janeth, panasnya tubuhnya yang rapat dengan tubuh Evan, dan suara detak jantung mereka yang saling bersaing. Namun, tiba-tiba, suara deringan telepon menginterupsi keheningan itu. Nama yang tertera di layar mengalihkan perhatian Evan seketika.

“Theo?” gumam Evan, sejenak melihat nama di layar. Dia mengangkat telepon tanpa ragu, meskipun masih ada rasa hangat di dalam dirinya yang belum sepenuhnya padam.

Janeth, yang masih duduk di pangkuan Evan, langsung merapikan bajunya dengan tangan gemetar, matanya terbuka lebar seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi. Rambutnya yang berantakan diatur kembali, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya. Meskipun situasi itu penuh gairah, Janeth tahu bahwa Evan kini harus kembali kepada dunia yang jauh lebih kompleks dari sekadar hasrat antara mereka.

Evan menatap Janeth dengan sekilas pandang, seolah mengatakan bahwa mereka akan kembali ke dunia nyata setelah momen itu. Kemudian, Evan menekan tombol hijau dan memulai percakapan dengan Theo.

"Ya, Theo, ada apa?" suara Evan terdengar tenang, meskipun dia tahu bahwa apa yang akan didengarnya bukan kabar baik.

Di ujung telepon, Theo, seorang pria berbadan kekar dengan wajah yang keras, terdengar cukup tegang.

"Tuan Evan, kami sedang dalam masalah besar," kata Theo dengan suara serius. "Beberapa waktu lalu, kelompok kami mulai berkembang dan mendapatkan perhatian dari kelompok lain di dunia bawah. Kami baru saja berhasil memperkenalkan diri kami, tapi ada satu kelompok yang mulai menghalangi jalan kami."

Evan mengernyitkan alisnya. "Kelompok yang menghalangi kita?" tanyanya, menahan rasa ingin tahu.

"Ya," jawab Theo. "Kelompok ini disebut Red Scorpion. Mereka adalah mafia yang beroperasi di luar negeri, dan sepertinya mereka sudah tahu tentang Black Parade. Mereka sengaja mencuri beberapa barang kami, yang kami bawa dari transaksi terakhir."

Evan merasa ketegangan semakin menguat. Black Parade kelompok yang ia dirikan baru saja dibentuk,dan Theo adalah pengurus kelompok itu dan namanya mulai dikenal di dunia bawah. Namun, sepertinya masalah baru ini datang terlalu cepat.

"Apa yang mereka ambil?" Evan bertanya, suaranya tetap tenang meskipun situasi semakin serius.

"Beberapa barang ilegal yang sangat berharga," jawab Theo, suara frustrasi terdengar jelas di telpon.

"Ada senjata dan lukisan langka yang kami curi untuk dijual di pasar gelap. Semua hilang, dan kami tahu siapa yang melakukannya. Red Scorpion sengaja beroperasi di Ariston, tahu kalau ini adalah area kita."

"Baik, Theo. Kita akan menyelesaikan masalah ini. Besok aku akan kembali ke Ariston dan kita akan bertemu nanti." Evan berbicara dengan suara yang lebih tajam, mengalihkan perhatiannya kembali ke tugasnya. "Aku ingin kau memeriksa semua koneksi kita di sana. Cari tahu siapa yang bisa memberi informasi lebih lanjut tentang Red Scorpion. Kita akan segera bertindak."

"Baik, Tuan Evan," jawab Theo, suaranya sedikit lebih lega mendengar keputusan Evan yang tegas. "Kami akan bergerak cepat."

Evan menutup telepon, lalu meletakkannya di meja. Dia menghela napas panjang dan mengalihkan pandangannya ke Janeth, yang masih tampak sedikit tertekan oleh percakapan yang baru saja berlangsung. Meskipun Janeth penasaran tapi dia tidak berani untuk bertanya lebih lanjut dan lebih memilih untuk diam saja.

Kelompok Black Parade yang ia bangun berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, namun ada satu hal yang menyatukan mereka. mereka semua adalah orang-orang yang berpengalaman dalam menghadapi dunia gelap, baik sebagai mantan tentara, pembunuh bayaran, atau individu yang memiliki keterampilan hidup dan mati.

Namun, kisah pembentukan Black Parade dimulai jauh sebelum masalah dengan Red Scorpion ini terjadi. Semua berawal dari pertemuan Evan dengan Theo, seorang mantan tentara yang kakinya tidak bisa digunakan lagi setelah menyelesaikan misi dan kembali deengan luka serius yang terpaksa dibuang oleh pihak militer karena sudah tiada gunanya. Setelah keluar dari militer, Theo terjebak dalam rutinitas sebagai pekerja kontruksi, hingga akhirnya dia bertemu dengan Evan. Evan melihat potensi besar dalam diri Theo, seorang pria yang memiliki taktik militer yang luar biasa dan pemahaman mendalam tentang medan perang.

Theo, yang awalnya ragu, akhirnya menerima tawaran tersebut, beralih dari seorang pekerja kontruksi menjadi seorang pemimpin dalam dunia gelap. Evan menamai kelompok mereka “Black Parade” karena filosofi di balik nama tersebut: “Black” yang melambangkan kegelapan dan dunia bawah yang mereka tuju, sementara "Parade" melambangkan keberanian mereka untuk keluar dan tampil di dunia gelap ini dengan kekuatan yang tak tergoyahkan. Seperti sebuah pesta malam hari.

Seiring waktu, Black Parade berkembang pesat. Kelompok ini mulai dikenal di kalangan kelompok dunia bawah lainnya sebagai kelompok yang sangat terorganisir dan disiplin, hasil didikan Theo yang selalu mengutamakan strategi dan taktik dalam setiap langkah mereka. Mereka memiliki hubungan yang erat dengan berbagai kelompok dunia bawah lainnya, dan Theo berhasil menyusun jaringan yang sulit ditembus. Namun, semakin besar nama mereka, semakin banyak ancaman yang datang.

Red Scorpion adalah salah satu kelompok yang mulai menandai Black Parade sebagai ancaman, dan tindakan mereka baru-baru ini adalah bukti nyata dari keinginan mereka untuk menghalangi kekuatan yang Black Parade berkembang.

Evan menatap layar komputer yang menampilkan peta dan berbagai informasi tentang Red Scorpion, kelompok mafia yang beroperasi di luar negeri.

Matanya penuh tekad. Kali ini, dia tidak akan mundur. Bagaimanapun, dunia yang ia bangun di Black Parade tidak akan dibiarkan hancur begitu saja. Dia mengingat misi yang diberikan sistem untuk membuat dunia berada di tangganya dan masalah seperti ini tidak bisa membuatnya mudah tergoyahkan. Dan berkat bantuan dari sistem dia sudah menginjak kakinya di dunia berbeda dari dunia biasa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!