Bab 10

Bab 10

Malam di Ariston diselimuti cahaya lampu jalan yang menerangi gedung-gedung tinggi dan jalan raya yang mulai sepi. Evan dan Stella baru saja selesai menikmati waktu mereka di pusat perbelanjaan dan kini dalam perjalanan untuk menjenguk Jonathan Yin di rumah sakit. Mobil sport hitam yang dikendarai Evan meluncur tenang, memecah sepinya jalan malam sambil menyusuri kota.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.

Evan tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang aneh di sekitar mereka. Matanya yang tajam menangkap pantulan lampu dari beberapa mobil hitam di spionnya. Empat mobil bergerak dengan kecepatan yang sama di belakang mereka, masing-masing tampak menjaga jarak dengan cara yang terlalu disiplin terlalu rapi untuk dianggap kebetulan.

Stella, yang sedang bersandar nyaman di kursinya, tidak menyadari perubahan kecil pada raut wajah Evan. Dalam keheningan, Evan terus mengamati melalui spion. Tepat pada saat itu, seorang pria berpakaian formal muncul dari jendela salah satu mobil hitam di belakang mereka, tubuhnya setengah keluar dan tangannya mengarahkan senjata api ke arah mereka.

Secepat kilat, Evan menekan pedal gas hingga ke lantai, melajukan mobilnya untuk menghindari peluru yang siap dilepaskan dari pistol dan Senjata api SMG pria tersebutdan yang lainnya mucul di jendela mobil lainnya. Mobil mereka berbelok tajam, melesat kencang meninggalkan lampu-lampu jalan di belakang. Stella yang terkejut, berteriak ketakutan dan segera menunduk.

“Evan! Apa yang terjadi?!”

Evan tetap fokus, tatapannya dingin dan penuh konsentrasi. “Stella, tetap rendah! Jangan angkat kepalamu!”

Bersamaan dengan peringatan itu, suara tembakan pertama menggema di malam yang sunyi, menggetarkan mobil mereka. Peluru itu meleset, tetapi Stella semakin cemas. Suara tembakan lain menyusul dan memecahkan jendela mobil belakang mereka, dan kali ini Stella menggenggam lengan Evan dengan erat, matanya penuh ketakutan.

Di tengah kekacauan ini, sebuah notifikasi dari Sistem muncul di pikiran Evan

"Misi Baru: Bertahan selama 1 jam. Hadiah: Private jet, $50 juta, dan 100 poin."

Meski godaan hadiah begitu menggiurkan, Evan punya rencana berbeda. Bertahan bukanlah caranya ia tidak akan menunggu mereka menembak sampai dia kalah. Tanpa senjata, ia memutuskan satu-satunya pilihan adalah menghancurkan satu per satu mobil pengejarnya.

Tembakan-tembakan dari empat mobil hitam itu semakin deras, memburu setiap manuver Evan. Jalan raya menjadi arena pertempuran. Setiap gerakan menghindar yang Evan lakukan penuh perhitungan, menempatkan dirinya dalam posisi sulit namun mampu menghindar dari peluru dengan presisi yang nyaris tak mungkin dilakukan orang biasa. Ia mengarahkan mobilnya menuju jalur yang sempit di antara dua tiang lampu, membuat mobil pertama yang mengejar harus mengerem mendadak, kehilangan keseimbangan dan menabrak tiang lampu dengan keras. Dentuman logam yang dihantam suara peluru membuat Stella semakin gemetar di sampingnya.

“Tenang, Stella. Aku tidak aka membuat dirimu terluka..mereka akan menyesal.” Suara Evan dingin dan tenang.

Mereka kembali melaju kencang, dan kali ini, dua mobil hitam lainnya mendekat dengan formasi rapat, berusaha mengapit mobil Evan. Stella memandang ke luar jendela, wajahnya pucat melihat betapa dekatnya mereka dengan bahaya. Tanpa mengurangi kecepatan, Evan mengarahkan mobilnya ke jalan kecil, menghindari lampu-lampu lalu lintas dan kendaraan yang tersisa di jalan malam. Dua mobil di belakang mereka berbelok mengejar, namun salah satu dari mereka kehilangan keseimbangan saat Evan tiba-tiba mengerem mendadak dan berbelok tajam. Mobil itu tergelincir, dan dalam sekejap, menghantam trotoar dan berhenti total, mesinnya berasap.

Sisa dua mobil hitam masih berada di belakang mereka, kali ini dengan gerakan yang lebih agresif. Evan memutar kemudi dengan cepat, menyusuri jalan yang semakin sempit dengan kecepatan penuh. Ia mencari celah lain untuk membuat mereka menabrak atau kehilangan kendali.

“Kamu gila, Evan! Kita tidak bisa terus seperti ini!” Stella menangis, ketakutan sambil menahan air mata.

“Aku tahu apa yang kulakukan, Stella. Percayalah padaku.”

Sebuah mobil hitam mendekat terlalu dekat, dan Evan mengambil kesempatan itu. Dengan gerakan cepat, ia menginjak rem sejenak lalu kembali menekan pedal gas keras, membuat mobil hitam di belakangnya kehilangan momen dan berbelok tajam ke kanan, menabrak pembatas jalan dan tersangkut di sana. Kini hanya tersisa satu mobil pengejar.

Evan memperkirakan gerakannya dengan cepat. Ia melihat ke arah jalan depan dan mempercepat laju mobil. Stella yang mencoba menahan ketakutan di tengah hiruk-pikuk aksi kejar-kejaran, tiba-tiba merasakan mobil mereka meluncur dengan kecepatan penuh menuju persimpangan.

“Tahan!” seru Evan sambil menginjak gas lebih keras. Mereka meluncur tajam melewati persimpangan, sementara mobil hitam terakhir mengejar. Namun, tepat sebelum mobil hitam itu berhasil menyusul mereka, Evan berbelok tajam ke kiri, melewati jalan kecil yang tidak terlihat jelas dari belakang. Mobil hitam yang mengejar kehilangan kendali, terus melaju lurus dan terpaksa menabrak kendaraan lain yang melintas di jalur tersebut. Dentuman keras terdengar di belakang mereka.

Evan melajukan mobil dengan cepat, meninggalkan suara kekacauan dan reruntuhan yang terjadi di belakang. Jalanan kini kosong, dan suasana sunyi kembali, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Setelah memastikan tak ada lagi mobil yang mengikuti mereka, ia memperlambat laju mobil dan menarik napas panjang, sementara Stella yang kelelahan hanya bisa bersandar di kursinya.

“Apakah kita… selamat?” bisik Stella pelan, suaranya masih terdengar bergetar.

Evan mengangguk, menoleh ke arah Stella dengan tatapan lembut. “Ya. Aku tidak akan membiarkan apa pun melukaimu, Stella.

Stella menatap Evan dengan pandangan penuh rasa syukur dan kebingungan. Dalam keheningan mobil, ia merasakan kehadiran sosok Evan yang lebih dari sekadar pria misterius.

Dan meski tak terlihat dari luar, Evan tersenyum tipis. Hadiah dari misi Sistem telah ia terima di dalam pikirannya, tetapi baginya, kemenangan terbesar adalah keselamatan dirinya dan Stella di sisinya.

Keheningan akhirnya menyelimuti mereka setelah aksi kejar-kejaran yang menegangkan. Evan menghentikan mobil di tepi jalan, menarik napas panjang, dan memastikan semuanya benar-benar aman. Matanya beralih ke arah Stella, yang masih tampak terkejut dan gemetar.

“Stella, kau baik-baik saja?” Evan bertanya lembut, mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangannya, berusaha menenangkan gadis yang terlihat masih terpukul.

Stella mengangguk pelan, meski wajahnya masih pucat. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat, ia mulai tampak lebih tenang, dan Evan memutuskan untuk keluar dari mobil sejenak, meninggalkan Stella yang kini mulai memulihkan dirinya.

Setelah memastikan Stella lebih tenang, Evan keluar dari mobil dan segera menelepon Theo. Ketika Theo menjawab, Evan tidak menunda untuk menceritakan kejadian malam itu.

"Theo, ada yang mengincarku saat aku bersama Stella. Empat mobil hitam mengejar dan menembaki kami tanpa henti," kata Evan dengan nada tegas, menggambarkan kejadiannya secara singkat.

Di seberang telepon, Theo terdiam sejenak, terkejut mendengar detail yang disampaikan Evan. "Empat mobil? Dan mereka bersenjata?" Theo terdengar tak percaya. "Siapa yang berani melakukan ini, Tuan Evan?"

"Itulah yang akan kita cari tahu," jawab Evan dengan nada dingin. “Aku berhasil membuat mereka menabrak beberapa tiang lampu dan kendaraan di sekitar jalan tol. Lokasi terakhir keempat mobil itu ada di sekitar jalan pintu keluar perempatan dekat tol utama.”

Theo mendengar dengan saksama dan mencatat dalam pikirannya. “Baik, Tuan. Saya akan segera mengirim orang-orang untuk mengamankan lokasi dan memeriksa kendaraan-kendaraan itu. Jika ada yang masih hidup, saya akan memastikan mereka dibawa ke markas untuk diinterogasi.”

“Jangan sampai ada yang lolos,” Evan mengingatkan dengan nada penuh ketegasan. “Aku ingin semua jawaban, Theo. Siapa yang berani mengancam dan menargetkan ku serta keselamatan Stella dan menyerangku malam ini.”

“Dipahami, Tuan. Saya akan langsung menuju lokasi dan menangani semuanya. Tak satu pun dari mereka akan lolos dariku,akan akan membuat mereka membuka suara” jawab Theo dengan nada tegas, siap menjalankan perintah Evan.

Setelah percakapan berakhir, Evan kembali ke dalam mobil dan mulai menyetir menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus memutar kejadian tadi. Meski situasinya berhasil dia kendalikan, dia tahu ancaman ini lebih serius dari yang ia bayangkan sebelumnya.

Setibanya di rumah sakit, mereka segera masuk ke ruang perawatan Jonathan. Melihat jonathan yang tampak lebih segar dan sehat, Stella berlari mendekat sambil menangis, seolah-olah ketakutan yang ia tahan selama perjalanan akhirnya meledak. Jonathan dengan tenang menenangkannya, sementara Evan menyaksikan dari kejauhan.

Sebelum pergi, Evan kembali berbicara singkat dengan Stella dan Jonathan, memastikan mereka tetap aman untuk malam itu. Namun, telepon Evan berdering menunjukkan nama Theo.

Theo menambah laporannya ada dua dari empat pengejarnya yang selamat dan sudah ditangani untuk interogasi. Evan berpamitan untuk menuju markas, bersiap mencari jawaban dan memastikan semua pihak yang terlibat di balik serangan ini menghadapi konsekuensinya.

Tetapi Stella menatap Evan penuh kekhawatiran. Ia tahu betul Evan tidak akan kembali begitu malam ini. “Evan… jangan pergi. Aku… aku takut.”

Evan menghampirinya dan menepuk-nepuk kepala Stella, memberikan sentuhan yang hangat dan lembut. “Stella, aku harus pergi…”

Meskipun air mata masih membasahi pipinya, Stella mengangguk, memahami bahwa apa yang harus dilakukan Evan adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda. Ia meraih tangan Evan untuk yang terakhir kalinya, menggenggamnya erat.

“Jaga dirimu, Evan,” bisik Stella.

Dalam perjalanan menuju markas, Evan merasa ada sesuatu yang mengganjal. Ia memutuskan untuk menelepon Theo kembali.

“Theo,” panggil Evan, suaranya tenang namun tegas. “Berikan aku lokasimu sekarang.”

Di seberang telepon, Theo terdengar terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Tuan Evan, saya tidak membawa mereka ke markas. Ini terlalu berbahaya jika musuh mengetahui lokasi kita. Saya memutuskan untuk membawa mereka ke dok perahu di tepi kota. Lokasinya lebih aman.”

“Bagus. Kirimkan lokasinya padaku,” jawab Evan singkat. Dalam beberapa detik, notifikasi lokasi masuk ke ponselnya, dan Evan langsung mengarahkan mobil ke titik yang diberikan Theo.

Tak lama kemudian, Evan tiba di area yang gelap dan sepi, jauh dari hiruk-pikuk kota. Bayangan dok perahu yang suram tampak di kejauhan, dan sosok Theo berdiri di sana, menunggu dengan sikap santai namun waspada. Begitu Evan turun dari mobil, Theo melangkah menghampirinya dengan senyum tipis.

“Mobil bagus seperti ini penuh dengan bekas peluru dan baret. Sangat rugi, Tuan Evan,” katanya sambil melirik mobil Evan yang tampak rusak parah.

Evan hanya tersenyum kecil. “Ini tidak seberapa. Nanti aku beli yang baru,” balasnya santai, meski dalam suaranya tetap terdengar ketegasan.

Theo tertawa kecil, mengangguk mengerti, lalu menunjuk ke arah dua orang yang sedang duduk di lantai kayu di tepi dok, terikat dan tak berdaya. Keduanya terlihat kesakitan, wajah mereka pucat dan beberapa bagian tubuh mereka dibalut perban sementara.

“Kedua orang ini cukup keras kepala,” ucap Theo. “Mereka belum bicara sepatah kata pun tentang siapa yang menyuruh mereka atau tujuan mereka sebenarnya. Tapi saya yakin, dengan sedikit motivasi, mereka pasti akan terbuka.”

Evan menatap kedua orang itu dengan sorot mata yang tajam, penuh perhitungan. Ia mendekati mereka perlahan, setiap langkahnya terdengar jelas di keheningan malam. Kedua penyerang itu mencoba menghindari tatapan Evan, meski tubuh mereka terlihat menggigil.

“Kalian berdua membuat kesalahan besar,” ujar Evan dingin. “Dan aku ingin tahu siapa yang mengirim kalian.”

Salah satu dari mereka mencoba menatap Evan dengan pandangan penuh kebencian, tapi tubuhnya yang lemah dan terluka tak bisa menyembunyikan ketakutan yang ada di matanya. Evan memperhatikan ekspresi itu, senyum tipis muncul di bibirnya.

“Jangan buang waktuku,” katanya, suaranya berubah menjadi lebih tajam. “Jika kalian ingin bertahan hidup, aku sarankan kalian mulai berbicara.”

Theo berdiri di samping Evan, diam-diam menunggu instruksi lebih lanjut. Evan tahu betul bahwa apa yang terjadi malam ini adalah peringatan seseorang sedang mencoba menguji batasnya, dan ia tak akan tinggal diam.

Setelah mendengar pengakuan itu, amarah Evan membara, namun wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi. Dengan tenang, ia melepas jasnya, lalu menggulung lengan kemejanya. Tanpa ragu, ia mulai menyiksa kedua pria itu, memastikan setiap aksi memberi dampak yang jelas. Lantai di sekitar mereka menjadi gelap, penuh darah, dan bau anyir mulai mengisi udara.

Butuh beberapa saat sebelum salah satu pria tak tahan lagi. Suaranya bergetar saat ia akhirnya mengakui segala rencana yang diperintahkan oleh Arka Hensen. “Itu semua… semua rencana Tuan Arka dari Hensen Group,” katanya tersengal, suaranya pecah di antara rasa sakit dan ketakutan.

Evan mendengarkan dengan seksama. Dengan penuh detail, pria itu menjelaskan rencana Arka menculik Stella sebagai alat untuk memeras Jonathan Yin, dengan tujuan menggeser keluarga Yin dari posisi mereka sebagai salah satu keluarga paling berpengaruh di Ariston, hingga keluarga Hensen bisa merebut peringkat kedua dalam tatanan kota.

Evan mengepalkan tinjunya, menahan emosi yang berkobar dalam dirinya. Arka telah melangkah terlalu jauh. Membahayakan nyawa Stella untuk kepentingan kekuasaan dan egonya sendiri hanya memperkuat niat Evan untuk menghadapinya.

Ketika pria itu selesai bicara, Evan menghela napas panjang, seolah menenangkan diri. Ia menoleh ke arah Theo dan memberi anggukan kecil.

“Theo,” katanya, suaranya rendah namun penuh perintah. “Ikat mereka. Pastikan tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk kabur. Ambil batu-batu yang cukup berat. Bawa mereka ke perahu, dan tenggelamkan mereka hingga ke dasar laut.”

Mendengar instruksi Evan yang tak terduga itu, kedua pria tersebut mulai menjerit, mata mereka membelalak penuh ketakutan. Jeritan mereka menjadi semakin histeris ketika Theo mendekat dengan tali di tangan, bersiap melaksanakan perintah. Mereka memohon ampun, menggemakan kata-kata yang putus asa, namun Evan tetap tak bergeming.

Theo, dengan wajah tanpa ekspresi, mengangguk. Tanpa bertanya lebih lanjut, ia mulai melaksanakan perintah Evan. Ia membawa kedua pria itu, yang kini ketakutan dan meronta, menuju tepi dok.

Dengan tatapan dingin, Evan berbalik, meninggalkan mereka di dalam keputusasaan yang mengerikan, sementara Theo menjalankan perintah sesuai instruksi yang diberikan.

Evan menatap kepergian mereka dengan tatapan dingin, hatinya dipenuhi tekad untuk memastikan tak seorang pun bisa mengganggu Jonathan dan Stella lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!