Selama ini aku banyak memperoleh curahan hati dari Aisyah, tentang mimpi-mimpinya, dan Khodijah selalu memberikan titik terang, cara pandang dan wawasannya sangat luas. Tentu saja, mereka sangat cocok untuk diajak berdiskusi tentang permasalahanku ini. Siapapun pasti akan galau jika melakukan sesuatu yang bukan dari keinginan pribadi.
“Mengapa buku ini sangat menyentuh…,” Aisyah menghapus air mata.
“Buku apa?” tanya Khodijah.
Aisyah menutup buku itu, kemudian menyodorkan pada Khodijah. Setelah diterima, Khodijah membaca judulnya.
“Bangkit dari terpuruk? Bukankah ini novel karangan Ibu Masriyah?”
Aku melirik ke arah mereka, kemudian aku meletakkan buku syair-syair Jalalludin Rumi, dan bergabung dengan mereka. Di dalam kamar ini, kami membuat tiga kursi kecil, sebagai tempat untuk duduk dan berdiskusi. Ruangan ini tidak luas, tiga ranjang yang bertingkat tiga, sengaja kami pindahkan posisinya ke pojok ruangan, agar terasa luas.
“Ibu Masriyah menulis novel?” tanyaku, masih ada rasa tak percaya dalam hati ini.
“Kamu baru tahu?” Aisyah terkejut, namun berbeda denganku, dia terkejut bahwa aku tidak tahu jika ibu Masriyah adalah seorang penulis.
“Buku-buku karangan beliau sangat memotivasi, aku juga suka dengan gaya ungkapannya dalam menulis.”
“Lalu apa cerita dari buku itu sehingga Aisyah bisa menangis?”
Khodijah dan Aisyah saling pandang.
“Lebih baik kamu baca nanti, setelah aku selesai membaca ya… hehe,” kata Aisyah.
“Mmm… tidak bisa menceritakan sedikit saja…,” rayuku.
“Jangan dong, nanti nggak seru lagi! Betul kan Kak Khodijah?”
“Ya… gitu deh. Tapi, boleh sedikit kamu bocorin kok… biar tidak penasaran.”
Aisyah malah mengangkat kedua alisnya, dia pasti sedang berpikir, apakah dia akan memberi tahu atau tidak. Jika sudah seperti itu, muncul sifat kekanak-kanakkan, namun bagiku lucu. Sebenarnya, orang-orang yang kekanak-kanakan, mereka memiliki cara pandang yang luar biasa.
“Aku nggak mau cerita.”
“Boleh aku pinjam novelnya?”
“Boleh, tapi tidak sekarang.”
Khodijah hanya senyum saja melihat kelakuan Aisyah, sementara aku merasa sangat penasaran. Ibu Masriyah seorang penulis novel, dan itu luar biasa. Aku memang suka membaca novel, dan bagiku membaca novel adalah kegiatan yang bermanfaat. Aku biasanya tidak memilih tema yang ingin kubaca, tema apa saja akan kulahap, apalagi jika tentang motivasi. Membaca novel itu sangat menarik. Asal tidak membaca novel dewasa.
“Baiklah… aku akan tunggu,” kataku sambil tersenyum.
“Aku bercanda kok…”
Aisyah mengambil ponselnya. “Tapi foto dulu ya dengan novelnya!” pintanya.
Aku terdiam sejenak, jarang sekali aku berfoto, walaupun sering beberapa teman meminta. Aku ini memang kaku dalam urusan entertain, namun senang dengan dunia itu.
“Baiklah…”
Akhirnya aku menyerah, Aisyah girang, dia memberikan novel ibu Masriyah. Lalu aku berfoto dengan novel itu. Aisyah melihat hasil foto, kemudian dahinya mengkerut. Aku juga mengerutkan dahi, ada apa dengan hasil foto itu.
“Ih… kurang gereget. Nggak ada ekspresinya!”
“Ekspresi?”
“Ulangi lagi deh!”
Dan aku menjadi model Aisyah. Dia rupanya bukan membutuhkan fotoku dengan novel itu, melainkan mengajarkan aku untuk berseri-seri dalam berfoto, wajah yang menipu menurutku, sebab ketika kita berseri-seri di depan kamera, banyak juga hati yang sedang terluka, atau wajah itu yang menimbulkan luka.
Tetapi, Aisyah bersemangat. Sesekali mengubah posisi dudukku, dan memintaku untuk memasang wajah yang dia contohkan. Khodijah hanya tertawa menyaksikan kami berdua. Seolah dia menemukan sesuatu dari kami. Kelakuan Aisyah yang seperti gotografer ini membuat tertawa seisi ruangan pada akhirnya.
“Jadi ceritanya apa?” ketusku.
“Kamu udah nggak sabar ya…”
“Huf!” aku memasang muka bosan. Hanya bersandiwara.
“Sahabat kita ini rupanya sedang mengagumi Ibu Masriyah,” sahut Khodijah.
“Oke, oke.”
Dan Aisyah mulai bercerita tentang sebagian novel itu. Aku menyimaknya, dia seperti pendongeng, berkarakter dalam bertutur. Alhasil aku lebih tertarik pada gaya Aisyah dalam bercerita, jika ikut lomba story telling, pasti akan menang.
Namun tidak semua gaya bertutur Aisyah membuat aku tertarik, cerita yang didongengkan juga sangat menarik. Aku semakin penasaran dengan isi novel itu, apalagi katanya novel itu best seller. Tentu sebuah keberhasilan yang patut diacungkan jempol, aku pasti akan membaca novel itu.
“Cerita yang inspiratif bukan?” tanya Aisyah.
“Mmm… menarik. Tapi, tidak mudah untuk bangkit dari keterpurukan.”
“Tentu saja… dan dalam tulisan ini, Ibu Masriyah mengajak para pembacanya agar selalu tabah, semangat, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh keyakinan. Itulah kuncinya,” sambung Khodijah.
“Terkadang, banyak perempuan muslim yang mudah patah hati, kalah dalam rumah tangga, atau terbatas hidupnya. Padalah Islam sendiri memberikan kehormatan yang paling tinggi untuk perempuan. Sampai ada istilah Surga di bawah telapak kaki Ibu,” ucap Aisyah.
“Tapi, tetap itu membutuhkan latihan.”
“Kalau membutuhlan latihan untuk mengatasi keterpurukan, berarti kita harus sering terpuruk dong!” seru Aisyah.
Aku dan Khodijah berpandangan, lalu tertawa.
“Bukan itu juga Aisyah… Latihan untuk selalu tabah dan mandiri, itu bisa dilakukan dalam keadaan apapun, dan itu bisa berakibat kepada hal lainnya, sehingga kita, sebagai perempuan, bisa selalu menghadapi masalah tanpa ada masalah.”
“Wah… Kak Khodijah semakin bijak saja!”
Aku juga merasakan begitu, Khodijah semakin matang. Dan aku merasa bahwa aku juga mulai merasakan kematangan itu di sini, kematangan menjadi seorang perempuan dewasa. Itu berarti aku sudah bisa memilih jalan sendiri, melakukan hal sendiri. Ini sangat luar biasa, ternyata sebuah pondok pesantren bisa membentuk karakter yang kuat terhadap remaja.
“Kamu kenapa terlihat gelisah?” suara Khodijah mengejutkanku.
“Eh? Ak… aku hanya bingung,” jawabku.
“Bingung?”
“Iya… ada apa denganmu?”
“Mmm… Ibu Masriyah memintaku bergabung di kelompok majelis ta’lim bersama Fatimah.”
Khodijah dan Aisyah saling pandang.
“Itu bagus bukan?” tanya Khodijah.
“Iya… tapi, aku merasa tidak nyaman dengan pandangan Fatimah tadi…”
“Tidak nyaman apa… cemburu… hehehe,” Aisyah malah meledek.
“Ini bukan urusan cinta Aisyah…,” aku mulai kesal dengan tingkah kekanak-kanakan Asiyah.
Khodijah melihat gelagat itu. “Aku mengerti. Tapi… permintaan Bu Masriyah itu bagus untuk perkembangan belajarmu di sini,” ucapnya.
“Aku tak memiliki kenalan satu pun di sana!”
Semua diam, sepertinya kami sedang berusaha menerjemahkan pikiran masing-masing, mencari sebuah penerangan untuk kegelapan ini. Bukan masalah majelisnya, mungkin lebih kepada psikologiku yang tidak baik dalam bergaul, aku benar-benar kaku.
“Ketika kamu berdiri di atas panggung dakwah, apakah kamu kenal dengan semua orang yang hadir?” tanya Khodijah.
Aku menggelengkan kepala.
“Tidak semua harus kita kenal dalam urusan belajar. Dari siapapun, dan darimana saja ilmu itu datang, ikuti saja perintah itu… semoga itu bermanfaat dalam kehidupanmu nanti.”
Setiap ucapan dari Khodijah terdengar lembut dan merdu, aku sangat senang mendengarkannya. Dia bisa mengerti apa yang aku butuhkan, dan apa yang aku cemaskan, dia memberikanku harapan, selalu harapan yang berubah menjadi motivasi.
“Loh, bukankah Kak Khodijah juga diajak bergabung oleh Fatimah? Jadi, Anggun ada temannya,” kata Aisyah.
“Tidak untuk sekarang. Aku sedang tidak berminat untuk mengikutinya, mungkin aku akan mengikutinya tahun depan,” jawab Khodijah.
“Mengapa kamu tidak ikut?” tanyaku.
“Sebab aku belum merasa memerlukannya.”
Jawaban yang sederhana namun memiliki filosofi. Tidak memerlukannya, artinya untuk saat ini, Khodijah memerlukan hal lain.
“Lalu apa yang Kak Khodijah perlukan?”
“Berbanyak shalat dan mengaji,” ucapnya sambil tersenyum.
Jawaban yang sangat pribadi, namun memiliki makna yang umum. Sepertinya, Khodijah memerlukan kedekatan diri kepada Allah, dia tidak terlalu suka dengan urusan duniawi, apalagi yang berbentuk organisasi.
“Tapi, aku menyarankan kamu untuk mengikutinya,” kata Khodijah lagi.
“Mengapa kamu menyarankan sedangkan kamu saja tidak mengikutinya,” jawabku sedikit kesal.
Ya, sekarang kebanyakan orang maunya menggurui tanpa ingin digurui, maunya hanya memberi saran, tetapi dia sendiri tidak melakukan. Semakin banyak rahasia ilmu pengetahuan terbuka di dunia ini, justru semakin banyak orang-orang malas.
Khodijah hanya tersenyum saja, seolah perkataanku ini tidak mengandung makna apa-apa.
“Ibu Masriyah memintamu, itu tandanya kebutuhanmu. Kebutuhan untuk bersosialisasi, mencari banyak teman dan bertambah ilmu. Kamu yang paling membutuhkan itu, sebab Ibu Masriyah melihatmu sebagai pribadi yang tertutup, dia ingin kamu berkembang Anggun. Seharusnya kamu bersyukur mendapat perhatian lebih darinya… Masalah pandangan Fatimah, itu hanya prasangka burukmu, mungkin setelah kalian saling kenal, kamu sadar bahwa dia sebenarnya orang baik,” jelas Khodijah.
Aku terdiam. Dalam diri sadar bahwa aku memang terlalu kaku, walaupun aku sudah bisa berbicara di depan umum, namun aku masih belum bisa bergaul, selama aku di sini, temanku hanya Aisyah dan Khodijah, aku juga jarang berkumpul dengan yang lain, hari-hariku dihabiskan di perpustakaan, membaca apa saja.
Sementara Khodijah dan Aisyah, mereka selalu terlihat akrab dengan santri lainnya, dua orang ini sepertinya sudah sangat cocok, menjalin persahabatan sejati. Ada benarnya juga ucapan Khodijah, aku terlalu sering berprasangka buruk, sehingga dalam bergaul, aku tak bisa menempatkan diri. Sebab, dalam pikiranku selalu ada curiga. Oh Tuhan, inikah pribadiku yang sebenarnya? Jika iya, maka terkutuklah aku.
“Aku sependapat dengan Kak Khodijah,” kata Aisyah.
“Ya, sepertinya aku….”
“Jangan menyalahkan diri sendiri Anggun. Semua yang berada di sekitarmu, menginginkan kamu maju, menjadi yang terbaik, dan dapat bertahan hidup dengan Agama, Ilmu dan Akhlak.”
Aku terharu mendengar itu. Khodijah dan Aisyah ternyata perhatian padaku, mereka bukan hanya sekadar teman satu kamar, tapi teman sehati. Ya, aku harus bangkit, jangan selalu senang dengan sebuah kehilangan, aku akan menemukan jalanku sendiri, dan jalan itu pasti diridhoi oleh Allah, jalan menuju kebahagiaan. Aamiin…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments