Episode 9 - Kesaksian Burung Gereja

Sebab apa aku melamun? Memikirkan Roman, itu sudah menjadi hal yang biasa bagi seorang wanita. Sebab jatuh cinta. Apakah seorang muslimah boleh jatuh cinta? Aku tidak pernah tahu jelasnya. Sebab, ketika aku mengaji di mushola terdekat, pak ustadz hanya manggut-manggut. Mungkin, dia kelelahan mengajar mengaji, dimana hanya ada beberapa orang saja yang datang. Sehingga, tidak ada motivasi lagi untuk mengajar.

Serba tak jelas. Aku hidup di dalam kota yang semuanya tidak jelas, aku memakai jilbab, dan hidup di lingkungan maksiat, sedangkan yang lainnya, hidup di lingkungan nyaman, tetapi banyak melakukan maksiat. Di jalan-jalan raya, banyak wanita-wanita cantik memakai jilbab, banyak ibu-ibu muda memakai jilbab. Namun, mereka lupa menutup aurat sebab memadukannya dengan celana-celana ketat, baju-baju tipis, seolah jilbab hanya sebatas fashion.

Pikiranku terus menerawang kepada Roman dan segala sikapnya yang bertolak-belakang dengan gaya hidupnya, dengan lingkungannya. Laki-laki yang memiliki mimpi-mimpi, seharusnya aku belajar darinya. Sementara, sore ini banyak sekali burung-burung gereja ribut di samping kamarku.

Burung gereja yang meracau, menciptakan fantasi yang sempurna dalam pikiranku, seolah kicauan burung gereja adalah kicauan pikiranku. Dan ibu, entah pergi kemana, siang tadi dia melangkah keluar rumah hanya memakai hotpants, sudah pasti dia ke warung membeli sebungkus rokok.

“Apakah aku salah jika mengatakan cinta kepada Roman?”

Itulah perkataan dari pikiranku. Mungkin pikiran semua wanita muslimah di negeri ini, mengapa wanita harus memulai untuk sebuah cinta? Apakah memulai akan melahirkan kebahagiaan? Apakah menunggu hanya sebatas menerima luka? Tidak setiap pertanyaan itu terjawab, aku sadar, bahwa semua wanita lemah di depan laki-laki, begitu juga dengan laki-laki, mereka lemah di depan wanita. Tetapi, mengapa mereka selalu egois?

Cinta memang membentuk karakter seseorang. Dia hidup dalam jiwa-jiwa yang berpikir, cinta tidak pernah salah untuk menunjuk siapa jodohnya, siapa surganya. Cinta berdiri sendiri dalam diri sendiri, cinta bukan datang dari orang lain, melainkan dari diri sendiri, itulah mengapa setiap orang selalu mudah merasakan jatuh cinta. Cinta tak pernah ada paksaan.

Burung gereja mengepakkan sayap-sayap, mereka pasti sedang bersarang di atap-atap seng rumah. Aku senang mendengarkannya, burung-burung yang beterbangan di keramaian kota, seolah dia adalah penghuni abadi. Sementara aku, hanya seorang wanita yang terpenjara oleh kebebasan kota. Akankah aku bertahan?

“Sebenarnya, menjadi wanita itu sangat beruntung.”

Ya, wanita adalah surga bagi siapa saja. Mengapa harus menghancurkan kenikmatan menjadi wanita, mengapa harus meruntuhkan keberuntungan sebagai wanita? Sangat menguntungkan menjadi wanita. Keindahan, dimiliki oleh wanita. Dan jika wanita itu sadar, dia pasti akan mendapatkan lebih kemilau dari keindahan itu dalam kehidupan ini.

Wanita adalah perhiasan dunia. Itulah mengapa wanita sangat berharga di dunia ini, bahkan ketika wanita tak memiliki uang, dia bisa menjual dirinya sendiri, maka dari itu, wanita sangat mahal. Namun, aku tidak melihat berharga itu di dalam diri wanita dewasa ini, sebab sekarang kebanyakan wanita selalu merendahkan dirinya.

“Apakah aku seorang wanita rendah jika mengungkapkan perasaan pada Roman?”

Prak!

Seekor burung gereja menabrak kaca jendela kamarku. Aku tersentak, kemudian bangkit menatap ke luar jendela. Ku berdiri, lalu melangkah mendekati jendela, dibukalah jendela itu, terasa angin mengibas, menerpa tubuhku. Aku menatap kesekeliling luar kamar, bangunan berderet, rapat dan kumuh. Sebenarnya, aku melihat wilayah ini sudah tidak layak untuk ditempati.

Burung gereja itu terkulai lemas di tepi jalan, dia berusaha bangkit. Mungkin merasakan pusing, akibat menabrak kaca jendela, aku tidak tahu mengapa dia harus menabrakkan dirinya sendiri, bukankah jelas kaca ini buram, tidak bening, sehingga tidak tembus pandang. Dia terus menggerakkan kakinya, lalu bangkit. Kepalanya memutar ke kiri dan kanan, lalu bercicit dan terbang.

“Tidak, tak mungkin hanya karena cinta aku jatuh seperti burung itu.”

Cinta adalah kebahagiaan, bukanlah luka, bukan pula kegelisahan yang membuat jiwaku berantakan dengan tiba-tiba. Cinta bisa membuat seseorang menjadi romantis, pesimis atau gila. Cinta juga bisa menjadi jebakan. Dan karena itu, aku harus dapat menguasai diri ini, harus bisa. Titik.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Lamunanku buyar, aku menduga-duga siapa yang datang, ibu sedang tidak ada di dalam rumah. Pasti yang bertamu adalah laki-laki yang tidak aku kenal sama sekali. Haruskah aku buka?

Pintu diketuk kembali. Dengan berat hati, aku melangkah keluar kamar, kemudian membuka pintu. Seorang laki-laki separuh baya itu, dia yang kutemui di beranda rumah dengan rokok, dan senja yang terbit.

“Ibumu ada?” tanyanya.

“Dia lagi keluar, mungkin ke warung.”

“Boleh aku menunggu?”

Aku diam sejenak, mata menatap jauh ke gang, mungkin saja ibu datang sehingga aku tidak harus berurusan dengan laki-laki ini.

“Boleh?” tanya lelaki itu lagi.

“Sudah Bapak hubungi ponsel Ibu?”

“Sudah, tapi tidak ada jawaban.”

Kucoba untuk menenangkan diri, walau terganggu dengan tatapannya itu. Tatapan seorang laki-laki hidung belang, dia menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tak berkedip sama sekali. Untungnya, aku memakai jilbab dan pakaian yang longgar, sehingga dia tidak bisa menikmati lekuk tubuhku.

“Mungkin sebentar lagi Ibumu datang.”

Aku risih dengan tatapannya.

“Tunggu di luar saja!” kataku ketus.

Kemudian, aku menutup pintu dan masuk ke dalam kamar ibu. Kamar seorang perempuan yang ditinggalkan oleh laki-laki, berantakan. Pakaian dalam berserakan di atas kasur, beginilah ibu, mengurus diri sendiri saja tidak bisa. Bagaimana jika aku tinggalkan?

Kulihat ponsel yang tergeletak di atas kasur. Pantas saja ibu tidak tahu akan kedatangan tamu, dia lupa membawa ponselnya. Pasti tidak jauh dari rumah dia pergi, tapi mengapa lama sekali.

Mata ini tertuju ke lemari pakaian. Sudah lama aku tidak membuka lemari itu, sudah sangat lama aku tidak masuk ke dalam kamar ini. Kakiku mendekati lemari, dengan gemetar tangan ini meraih pintu lemari dan membukanya. Beberapa pakaian jatuh mengenai tubuhku, dan mengejutkanku. Ternyata, lemari ini sudah sangat penuh.

Ketika kecil aku sering berlari ke dalam kamar ibu. Mimpi buruk itu sudah pergi, mimpi buruk yang menakutiku saat tidur. Ibu biasanya memeluk tubuhku, walau badannya letih, dia menidurkanku di ranjang ini. Bagaimanapun seorang ibu tak akan pernah membiarkan anaknya menderita oleh mimpi buruk. Sekalipun dia adalah seekor singa, pasti akan menjaga anak-anaknya dari terkaman mangsa.

Setiap ibu, selalu menginginkan anaknya mendapat kebahagiaan, apapun bentuknya. Ibu memberiku arti hidup yang sesungguhnya, bahkan dia rela mati untuk anak-anaknya. Ibuku rela menderita demi aku, dia bekerja siang-malam hanya untuk membesarkanku. Sementara aku tidak pernah tahu apa yang dia lakukan, aku tidak pernah tahu apa yang dia perbuat waktu malam. Aku tidak tahu apa yang terjadi di kamar ini, ketika seorang laki-laki bertamu.

“Ibumu belum datang juga?”

Aku terperanjat, laki-laki itu berdiri di depan pintu kamar. Matanya menyala, seperti serigala. Mau apa dia masuk ke dalam kamar ibu?

“Sebaiknya Bapak tunggu di luar saja!”

“Sudahlah… jangan terlalu kaku. Buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya bukan?”

Dia menyeringai, giginya hitam akibat rokok dan alkohol. Dan aku semakin gelisah, tanganku mengepal.

“Maksud Bapak apa?”

“Jangan pura-pura tidak tahu. Ibumu pelacur!”

Setelah berkata begitu, dia maju ke depan dan mencengkram tanganku. Segera saja kutepiskan, namun genggamannya sangat kuat. Aku berontak, dia semakin liar, lalu mendorongku ke atas kasur.

“Bapak mau apa?”

“Hahahaha…”

Tawanya menggema di langit kamar. Aku bingung harus berbuat apa? Namun, sebelum ada jalan keluar dia sudah menindih tubuhku, tangannya dengan cepat merobek bajuku, aku terus berontak.

“Lepaskan!”

Dia tidak menggubris, Berusaha melepaskan jilbabku dan menciumku. Aku mencakar wajahnya, dia meringis. Tanganku terus berusaha mencari sesuatu untuk mempertahankan kehormatanku.

“Tolong! Lepaskan!”

Plak!

Dia menamparku. Kepalaku terasa pusing, tamparan yang sangat keras membuat tubuhku lemas, apa yang harus aku lakukan.

“Biadab kau!”

Tiba-tiba tubuh laki-laki itu ada yang menarik. Ibu segera membangkitkanku, aku memeluknya, tangisku pecah berkeping-keping. Hampir saja kehormatanku terenggut oleh seorang laki-laki kurang ajar.

“Anggun adalah anakmu! Tega kau!”

Wajah laki-laki itu terkejut, yang lebih terkejut adalah aku. Bagaimana mungkin dia adalah ayahku? Dia seorang ****, tidak mungkin. Aku tidak mungkin memiliki ayah seorang ****. Dan pasti aku tidak rela punya panutan hidup sepertinya.

“Anakku? Tidak mungkin!”

“Ya. Dia anakkmu, selama delapan belas tahun aku menyembunyikannya darimu. Aku tidak pernah mengatakannya, sebab kamu pasti akan membuang bayi yang kulahirkan jika tahu bahwa dia adalah anakmu.”

“Sulastri? Kau tidak membohongiku?”

“Sejak kapan aku membohongimu?”

Aku mengamati wajah ibu dan dia. Wajah-wajah yang tegang, wajah yang mendendam, dari mata mereka terlihat api amarah yang dahsyat.

“Ibu?”

“Ya, Anggun. Dia adalah Ayahmu? Laki-laki berengsek ini yang akan memperkosamu adalah ayahmu!”

Aku memandang mata ibu. Tidak ada air mata, ketegaran jelas terpancar dari matanya. Sementara aku tak kuasa menahan tangis, kepedihan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, bagaimana mungkin seorang ayah tega memperkosa anaknya.

“Kalau begitu serahkan dia! Aku tak akan membiarkannya tahu semuanya, aku tak ingin keluargaku hancur.”

“Kau yang menghancurkan keluargamu sendiri! Dengan kelakuanmu! Aku memang berniat untuk mengatakan ini semua di depan istrimu, biar kau jatuh miskin! Biar kau terusir dari rumah gedong itu!”

“Berikan dia padaku!”

Laki-laki itu menyerang, berusaha meraihku. Namun ibu melindungiku, dia menghalangi tubuhku oleh tubuhnya. Akan tetapi, tenaga wanita tidak sekuat pria, dia berhasil menarik ibu dan mendorongnya, hingga ibu terhuyung-huyung, lalu jatuh. Kepalanya menghantam lantai, sangat keras.

“Ibu!” aku menjerit, lalu berlari memeluk ibu yang pingsan.

Sebelum terlambat aku menjerit sekeras-kerasnya, dan meminta tolong. Orang-orang terdekat mendengar jeritanku, mereka berdatangan, sementara laki-laki itu panik, loncat dari jendela dan entah pergi kemana. Dan burung-burung gereja berterbangan dari atap kamar ini, mereka terusik dengan suara tangis pilu seorang anak, burung-burung gereja yang menjadi saksi tentang kisah ini.

Terpopuler

Comments

BEE (@tulisan_bee)

BEE (@tulisan_bee)

Thor sedih nya... 😭

2020-02-22

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 37 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!