Malam ini, aku tidak bisa tidur. Pikiran yang mengganggu kantuk, tentang Roman, tentang bapak-bapak yang duduk di beranda rumah, tentang ibu dan hidupku. Siapa yang tidak bisa tidur jika teringat tentang senyum seorang laki-laki, seorang yang dikagumi. Tapi, apakah aku bisa mengatakan itu semua di depannya. Bukan hal yang luar biasa seorang perempuan menyatakan cinta terhadap laki-laki, di zaman sekarang, semua bebas melakukan keinginan masing-masing.
Tetapi, keluarga dalam keadaan yang seperti ini. Apakah Roman bisa memahaminya, atau sebaliknya? Ini yang membuatku selalu tertutup terhadap semua orang, terutama teman-teman di sekolah. Sedangkan orang-orang di sekitarku mencibir, dan itu pasti akan dilakukan oleh mereka jika mengetahuinya.
Aku sering berpapasan dengan Roman di sekolah. Dia berbeda, tidak seperti yang lain, pandangannya terkesan dewasa. Suatu hari aku pernah bertemu dengannya di sebuah persimpangan jalan. Sepertinya, dia sedang menunggu bis kota yang sama, menuju ke sekolah. Aku tak kuasa menahan gejolak hati, Sementara Roman menatap sendu dengan gitar di tangannya.
Dalam keadaan yang seperti ini, tentu sebuah kesempatan untuk seorang wanita yang mengagumi laki-laki dengan tebar pesona. Akan tetapi, harus seperti apa? aku sendiri tidak bisa melakukannya, aku bukan seorang wanita modern, wanita yang biasa menjerat laki-laki.
“Nggak usah jauh-jauh, gue nggak gigit!” katanya.
Tersentak aku mendengar ucapannya. Namun, aku masih mematung di trotoar ini. Roman sadar bahwa aku kaku dihadapannya. Dia mendekat, dan jantungku berdetak lebih kencang.
“Mau naik bis gratis nggak?”
Aku malah bengong.
“Mau naik bis gratis nggak?”
“Eh? Maksudnya?”
Roman menarik tanganku, kemudian dia loncat ke dalam bis kota yang jalan perlahan. Aku masih ketinggalan, namun tanganku masih dipegang olehnya sehingga mau tidak mau aku juga ikut loncat ke dalam bis. Dalam bayanganku, bis ini masih kosong, namun salah, di dalam bis kota ini sudah sesak penumpang. Roman menerobos penumpang yang berdiri, dan tanganku ditariknya.
Sesampainya di tengah bis kota, dia malah berpidato.
“Mohon maaf kepada para penumpang telah terganggu dengan kehadiran kami, pengamen jalanan. Kami hanya butuh uang receh untuk makan sehari-hari dan melanjutkan sekolah.”
Aku masih bengong.
“Satu lagu, dari kami anak jalanan, semoga bisa menghibur Bapak-bapak dan Ibu-ibu, Om, Tante dan Kakak sekalian.”
Roman memainkan gitarnya, lalu dia bernyanyi. Suaranya memang merdu, cocok untuk menjadi seorang penyanyi, namun mengapa harus ngamen? Apakah dia sering melakukan ini semua? Penumpang-penumpang yang merasa jenuh di dalam bis kota, merasakan hiburan sesaat dari Roman, atau sebaliknya, dia terganggu dengan kebisingan suara gitar dan suara Roman. Aku hanya diam mematung. Ada rasa malu, namun tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menikmati suara Roman dan rasa panas di dalam bis kota.
Sepertinya, Roman memang tidak peduli dengan suasana di dalam bis kota. Teriakan kondektur dan sesaknya penumpang, menambah energi bagi dirinya untuk terus bernyanyi. Suaranya menguasai bis kota ini, dan aku semakin menatap cemas, khawatir ada orang yang menghentikan aksi ngamen Roman.
Akan tetapi, semuanya nampak baik-baik saja. Ya, mengamen di dalam bis kota memang bukan hal yang asing, hampir semua orang telah melakukannya, mereka yang hidup di jalanan pasti mengamen dijadikan solusi untuk mencari uang dan bertahan hidup. Dan bagiku, ini pengalaman pertama.
Tanpa terasa, satu lagu telah selesai dinyanyikan. Lalu Roman menutup dengan kata-kata yang membuatku semakin bingung.
“Itulah sebuah lagu dari kami, pengamen jalanan. Semoga Bapak, Ibu, Om, Tante, Kakak terhibur. Bukan puluhan ribu yang kami inginkan, namun apresiasi dari kalianlah yang kami harapkan, dengan uang recehan, atau ribuan.”
Kemudian dia melepaskan topi yang tengah dikenakan olehnya, dan memberikannya padaku. Aku masih bingung harus berbuat apa? Roman memaksa, dia terus menyodorkan topi itu sehingga aku menyerah. Kuambil topi itu, lalu berkeliling dari depan sampai belakang untuk meminta uang. Dan, yang paling mengejutkan bagiku adalah topi Roman penuh dengan uang dari para penumpang, lalu beberapa meter dari halte, kami turun.
Roman duduk di bawah pohon jalan, aku masih berdiri di sampingnya. Hanya dengan menyebrang jalan dan masuk gang beberapa meter, kami akan sampai di sekolah. Sekolah yang terdekat dari tempat kumuh kami.
“Sini duduk! Jangan kayak satpam berdiri terus.”
Aku memandang matanya.
“Sini!”
Aku masih berdiri. Roman langsung menarik tanganku, dan mendudukkanku di sampingnya.
“Ini bagianmu!” Roman menyodorkan beberapa uang recehan.
Aku melihat tangannya, lalu melihat isi topi yang masih ada sebagian uang.
“Mengapa kamu mengamen?” tanyaku.
“Kamu? Aneh banget sih ngomongnya!”
“Aku tidak biasa memakai bahasa gaul.”
Roman menatap mataku, ada sorot aneh dari pandangannya, seolah dia akan menelanku bulat-bulat.
“Oke, gue nggak peduli. Ini terima!”
“Kamu belum jawab pertanyaanku?”
Roman diam, kemudian tangannya yang menyodorkan uang jatuh di pahanya, dia menarik napas panjang, menatap gang yang menuju gedung sekolah.
“Apa seorang yang lahir dari keluarga miskin, nggak boleh punya mimpi?”
Aku terkejut mendengar ucapannya.
“Maksud kamu?”
“Coba deh lo perhatiin gedung sekolah kita. Udah mau roboh, padahal ini kota besar, dan siswa-siswanya kebanyakan dari keluarga miskin. Sama seperti gue, jadi mengamen adalah usaha untuk meraih mimpi.”
“Memangnya kamu punya mimpi apa?”
“Menjadi penyanyi. Seperti yang di TV, seorang pengamen bisa menjadi seorang artis papan atas, hanya dengan ikut audisi.”
Dari mata Roman, aku melihat sinar yang memancar, sebuah harapan yang mungkin tidak semua orang miliki.
“Suara kamu bagus kok.”
Roman melirik ke arahku.
“Sejak kapan lo suka berbohong?”
“Aku serius, tadi kamu menyanyinya penuh dengan penghayatan.”
Roman berusaha menutupi rasa gembiranya, sepertinya dia masih menahan diri untuk tidak terbuai oleh kata-kataku.
“Memangnya lo nggak punya mimpi?”
Jantungku seperti berhenti mendengar pertanyaan dari Roman. Aku belum pernah bisa berpikir tentang kelanjutan hidupku, bahkan aku sendiri tak memiliki cita-cita sama sekali, justru aku merasakan hidup ini hampa.
“Kok diem?”
“Ak… aku tidak tahu.”
Roman tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku, sementara aku heran dengan tingkahnya, mengapa harus tertawa? Apakah remaja sepertiku tak memiliki mimpi adalah hal yang lucu? Semakin aneh kurasakan orang satu ini.
“Lo itu seharusnya lebih pintar dari gue. Masa cewek rumahan nggak punya mimpi!”
Ingin rasanya aku mengungkapkan segala penderitaan batinku kepada Roman saat ini, namun dia bukan siapa-siapa, dan aku merasa, aku juga bukan siapa-siapa baginya. Aku hanya menelan ludah, dan menunduk.
“Orang itu harus punya obsesi, jangan hanya diam saja. Bisa membusuk, dan kalau busuk pasti dibuang!”
Telinga ini memerah, panas dan gatal akan ucapan Roman. Bagaimana mungkin seorang pelajar miskin, pengamen, bisa berkata seperti itu? Di mana Roman bergaul? Yang aku tahu, teman-teman di sekolahku semuanya brengsek, otak mesum dan pemabuk. Begitu juga dengan para wanitanya, semuanya bergaul dengan orang-orang yang tidak waras, merokok, dan… aku tak sanggup mengatakan jika mereka sudah tak perawan lagi, sebab itu bisa menimbulkan fitnah.
“Lo nggak apa-apa kan?”
Aku menoleh, Roman masih memandangku. Kali ini, tatapannya seperti seorang kakak, dia memang seorang yang luar biasa. Tak salah aku memilihnya sebagai laki-laki yang kukagumi, sebab suara hati ini tak pernah bisa dibohongi ketika aku memandang dirinya. Wajahnya memancarkan sebuah semangat, berbeda dengan remaja lainnya di sekolah, yang hanya bisa tertawa dan mengggoda.
“Aku hanya…”
“Ayo kita masuk, nanti terlambat!”
Roman menarik tanganku, lalu berlari menyebrang jalan. Aku mengikutinya berlari, dari peristiwa ini, aku menemukan sebuah mimpi. Ya, sebuah harapan, dan harapan itu adalah aku menemukan kembali masa laluku, siapakah ayahku?
Jam dinding berdetak, mata perlahan meredup, aku kini masuk ke dalam dunia mimpi yang sebenarnya, terlelap di atas kasur, seorang diri tanpa tahu sedang apa ibu di luar sana bersama laki-laki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
BEE (@tulisan_bee)
Keras memang hidup ini 🤔
2020-02-14
0
IF
Aku suka part ini! Saat Roman menarik lengan Anggun. Aku kira Roman mau bayarin, ternyata dia ngajak ngamen. Aku lupa kalo Roman pengamen. sekilas bayangan romantisme di bayanganku memudar Thor, berubah jadi cekikikan, gara-gara ulah Roman.
2020-02-06
0