Beberapa hari kemudian, Roman mengajakku bersepeda di kota tua, sepeda ontel. Aku tahu, menyewa sepeda ontel tidak murah, dan mungkin Roman mengumpulkan uang untuk mentraktir, mengajakku mengisi liburan yang cerah. Namun, tatapan matanya lebih cerah dari apa pun. Aku sengaja menunduk ketika dia duduk di atas sepeda.
“Ayo naik!”
Aku menggelengkan kepala. Tentu saja, rasa malu selalu membayangi diriku, seorang gadis berjilbab duduk di jok sepeda yang dikayuh oleh seorang laki-laki. Hal biasa, akan tetapi luar biasa untukku. Sebelumnya, aku tak pernah melakuan hal seperti ini bersama laki-laki, namun aku tahu Roman tak pernah peduli itu semua.
Kring! Kring!
Seorang muda-mudi melintas, si cowok mengayuh fiets dengan santai, dan si cewek duduk menyamping, memegang pinggang si cowok, tampak anggun. Aku iri menyaksikan itu semua, aku ingin seperti mereka.
Di hari libur seperti ini, kawasan kota tua seperti pasar, disesaki pedagang kaki lima, dan orang-orang yang ingin santai sambil mengenal sejarah. Padahal, kawasan ini tidak terlalu besar, dan berisi gedung-gedung tua.
“Jadi naik nggak?”
Kuberanikan diri mengangkat kepala, memandang wajah Roman yang sudah nampak kesal. Biasanya, laki-laki memang seperti itu, selalu nggak sabar.
Kring! Kring! Kring!
Kami terkejut—sebuah sepeda melintas dengan terseok-seok. Rupanya, si pengendara adalah seorang cowok yang kurus, dia membonceng wanita gemuk. Pasti kekasihnya, sebab wanita itu memeluk erat. Saking beratnya, si cowok itu nggak bisa menyeimbangkan sepeda ketika dikayuh, seolah akan menabrak patung-patung orang hidup yang sengaja mencari duit dengan cara berkostum untuk dimintai berfoto dengan pengunjung.
Tentu saja, ketika patung-patung orang hidup itu sadar, bahwa ada sepeda yang akan menabraknya, dia segera menghindar. Si pengendara sepeda tidak menginjak pedal rem, malah kebablasan, lalu terguling ke kolam di tengah taman kawasan kota tua. Kejadian yang menegangkan, sekaligus lucu. Orang-orang tertawa, yang tercebur tertawa, aku dan Roman juga tertawa terbahak-bahak.
“Asal jangan diceburkan ke kolam ya?” ledekku sesaat menyaksikan kejadian konyol itu.
“Nggaklah… paling gue ceburin ke got. Ayo naik!” perintahnya lagi.
Roman memperhatikanku, apakah tatapan itu sebuah makna bahwa dia jatuh cinta padaku? Jika tidak, mana mungkin dia mau mengajak aku kemari, bersepeda, seperti sepasang kekasih.
Akhirnya, aku naik. Duduk menyamping, tangan kananku memegang tepi besi jok agar tidak jatuh. Roman membiarkan saja, padahal aku berharap dia memintaku untuk memegang pinggangnya, tak mungkin aku yang memulai.
“Siap ya?”
“Oke.”
Roman mengayuh sepeda, mula-mula pelan dan berat, dan semakin lama, semakin santai. Berat badanku pasti naik, aku juga merasa sedikit gemuk, walau tidak terlalu gemuk untuk ukuran wanita tinggi sepertiku. Roman terus mengayuh, mengelilingi kawasan kota tua. Sebenarnya, tidak ada yang menarik, namun banyak mengukir cerita.
“Kamu sering kemari?” tanyaku.
“Nggak juga.”
“Nggak juga? Berarti pernah dong ya….”
“Memangnya lo belum pernah?”
“Baru kali ini, dengan kamu.”
“Ooh…”
Roman masih mengayuh sepedanya, dia tidak banyak bicara, tatapannya sunyi melihat ke sekeliling tempat ini. Sama sepertiku, merasakan kesejukan dari angin yang tiba-tiba bertiup sepoi-sepoi.
“Pasti dengan seorang wanita kamu kemari?”
Pertanyaan itu menyesakkan dadaku. Mengapa aku bisa mengatakan demikian? Padahal, aku tak memiliki hak apapun untuknya. Ah, aku hanya berharap, Roman akan mengelak pertanyaanku itu. Tentu saja dengan menjawab bahwa dia tidak pernah kemari bersama seorang wanita, apalagi kekasih! Karena, rasa kagum telah berubah cinta, dan cinta berubah menjadi rasa cemburu.
“Apa harus gue jawab?”
“Ngg.. nggak juga.”
“Nggak juga? Berarti perlu jawaban.”
Aku diam seribu bahasa. Roman bermain kata, untuk menjebakku, atau untuk membiarkan aku terbuka kepadanya.
“Kalau kamu mau jawab, silakan…”
“Pernah dengan cewek. Rifa.”
“Hah?”
“Loh kok terkejut?”
“Nggak apa-apa kok.”
Wajahku pasti memerah, hidung ini terasa mengembang, lalu mengempis lagi. Jika saja aku berhadapan dengan Roman pada saat ini, aku pasti menunduk dan tak bisa berbuat apa-apa, hanya hati ini terasa panas, membakar seluruh tubuh.
“Pegangan!”
Ban sepeda menghantam lubang di tepi jalan, kemudi-pun goyang, kedua tangan langsung memeluk pinggang Roman. Aku merasa takut jatuh, takut kehilangan Roman. Pelukanku erat, dan semakin erat, aku semakin tak ingin kehilangan dia. Ada apa denganku sebenarnya? Apa yang terjadi pada hatiku? apakah aku benar-benar telah jatuh cinta?
Beberapa menit kemudian, sepeda sudah kembali stabil, dan meluncur di tepi-tepi taman kota tua. Namun, tanganku masih saja memeluk Roman, seolah kesadaranku hilang begitu saja, akibat guncangan kecil dari ban sepeda.
“Gue pengap nih!”
Aku sadar—lalu segera saja melepaskan pelukan di pinggangnya.
“Maaf…” ujarku malu.
“Nggak apa-apa kok. Sebenarnya lebih enak dipeluk, tapi nggak lagi naik sepeda gini,” kata Roman.
“Genit nih…,” ledekku.
Terdengar suara tawa Roman. Aku hanya tersenyum—ini sesuatu yang sangat spesial, hari yang membawaku kepada sebuah jawaban, bahwa jatuh cinta memang berjuta rasanya. Tapi, apakah Rifa tidak menjadi duri dalam rasa ini?
“Waktu itu, gue nggak sengaja lagi ngamen di lingkungan sini, dan Rifa lagi asyik membeli kalung di situ.”
Roman menunjuk ke pedagang-pedagang aksesoris yang berjejer di tepi. Hati ini semakin berdebar-debar.
“Lalu?”
Roman diam sejenak, seolah sedang berpikir tentang sesuatu.
“Pertanyaan lo itu aneh deh!”
“Aneh?”
“Iya… ngapain nanyain kelanjutannya, gue sama dia pasti ngobrol. Dan Rifa bilang, suara lo bagus.”
Sekarang aku tahu, bahwa Rifa yang menceritakan tentang suaraku. Aku memang pernah bernyanyi di rumah, pada saat Rifa main. Tetapi, aku tak pernah menyangka jika Rifa memberitahu Roman, apa maksudnya? Dan mengapa tiba-tiba mereka membicarakan aku?
“Kok diam?”
“Eh? Nggak kenapa-kenapa, hanya melihat kalung itu. Liontinya bagus,” jawabku.
“Kita lihat, yuk!”
Roman menghentikan sepedanya, lalu kami turun menghampiri pedagang aksesoris yang seluruh tangannya bertato. Kepalanya botak, telinga beranting. Tidak aneh aku melihat orang seperti ini, karena setiap hari, di gang-gang menuju rumahku, banyak orang-orang seperti itu.
Tanganku memilah dan memilih kalung yang bagus walau memang bagus semua. Tapi, aku tak tahu, apakah harus membeli atau tidak. Aku hanya tertarik dengan kalung-kalungnya, tidak memiliki rasa untuk membeli.
“Lo mau?” tanya Roman.
“Eh? Mmm…”
“Ambil aja! Entar gue bayarin.”
Roman mengambil uang dari sakunya, ada beberapa lembar uang puluhan ribu, ada juga ribuan. Apakah dia memang sudah merencanakan ini semua?
“Tidak usah… lagian, aku nggak pantas memakai kalung!”
Aku berdiri, namun Roman memegang tanganku, lalu dia meraih kalung itu, dilingkarkanlah kalung itu di leher, jantung ini semakin berdebar-debar. Aku malu, tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini. Aku menunduk, tercium aroma laki-laki dari Roman membuat aku semakin gelisah. Harus berbuat apa? Apakah aku harus memeluknya, sebab aku juga tak bisa membohongi jika aku memang jatuh cinta kepadanya. Aku membutuhkan seseorang untuk dapat mengerti tentang hidupku.
Setelah kalung itu melingkar di leherku. Roman tidak berkata apa-apa, dia langsung membayar, kemudian melangkah ke sepeda ontel. Aku hanya diam mematung—apa maksud dari semua ini? Semua yang dilakukan oleh Roman bagiku romantis, namun bertolak belakang dengan perkataan dan sikapnya padaku.
“Ayo!”
Aku melangkah mendekati sepeda, kemudian duduk manis dibonceng oleh Roman yang mengayuh sepeda menuju kepada sebuah cerita hari ini. Aku ingin mengatakan: Aku jatuh cinta padamu, Roman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments