Semua orang yang hadir memandang kagum pada diriku. Padahal aku hanya mencoba melakukan yang terbaik, dan ini adalah pengalaman dakwah pertama, namun yang hadir melebihi dakwah sungguhan yang dilakukan oleh para Da’i kondang. Aku tak kuasa menahan air mata haru, juri-juri yang datang dari berbagai pesantren juga bertepuk tangan. Entah apa yang membuat kagum pada diriku?
“Ibu tidak menyangka kamu bisa melakukan itu,” ucap bu Masriyah.
“Saya juga tidak menyangka Ibu…”
“Tema yang menarik, kamu dapat inspirasi dimana?”
“Di Jakarta.”
“Jakarta?”
“Iya Bu, di sana banyak wanita muslim berhijab. Namun mereka lupa bahwa hijab adalah untuk menutupi aurat, untuk menjaganya dari api neraka. Sementara yang ada, justru mereka berhijab tapi menunjukan auratnya.”
“Betul juga… bukan hanya di Jakarta, di Cirebon saja banyak. Wanita berhijab tapi memakai pakaian ketat.”
“Itu yang membuat saya gelisah Bu. Bahkan tidak hanya masyarakat umum, di kalangan sekolah-sekolah yang berbasis islam juga sama.”
“Hhh… Ibu juga sangat prihatin dengan kondisi seperti ini.”
“Saya merasa malu sebagai wanita jika melihat itu.”
Bu Masriyah memandangku, raut wajahnya sangat sendu, namun dibalik kesenduannya itu memiliki wibawa yang kuat. Sejak aku naik panggung, dia yang paling tajam memerhatikanku, sepertinya dia tengah meneliti perkembanganku di sini, dan aku juga tidak mengecewakan tampil di atas panggung.
Selain itu, ada juga seorang wanita berjilbab hijau yang terus memerhatikan ketika aku tampil. Dia tidak pernah aku kenal, namun aku sering melihatnya mengobrol dengan Subhan jika setelah shalat subuh. Biasanya, ada spiritual morning dan pengenalan alam, dimana semua santri bebas berkeliaran di sekitar jalan-jalan perbukitan dan pesawahan di dekat pondok Jambu. Wanita itu tidak pernah lepas memandangku.
Bahkan, sampai ketika aku mengobrol dengan ibu Masriyah, dia masih memandangku. Siapa dia?
“Firman dan hadits, kamu bawain dengan sangat tepat,” ucap bu Masriyah mengejutkanku.
“Saya mencoba mendalami dulu, sebelum tampil tadi, Bu. Karena, terkadang hijab juga menjadi budaya di negara-negara tertentu.”
“Itu benar, banyak negara-negara yang bukan muslim, tapi para wanitanya memakai hijab. Namun, Indonesia bukan termasuk budaya Ibu pikir… sebab, di Indonesia wanita berhijab adalah muslim.”
“Iya Bu…. Di India juga ada masyarakat non muslim yang memakai hijab.”
“Justru itu yang menarik, kamu mengemasnya menjadi sebuah pemahaman yang kaya makna.”
“Terima kasih Bu… sebenarnya karena sebelumnya saya baca soal itu, dan sedikit pengalaman yang pernah saya temui. Sehingga ketika di depan aku sedikit bisa bicara.”
Aku melirik ke arah Khodijah dan Aisyah, mereka sedang mengobrol dengan wanita berjilbab hijau itu. Aduh, jangan-jangan dia mencari informasi tentang diriku, semoga saja mereka menjadi wanita-wanita yang amanah, tidak membicarakan hal-hal buruk tentangku. Walaupun pada kenyataannya aku belum tentu baik.
“Oh ya, nanti malam kamu bisa datang ke rumah Ibu?” tanya ibu Masriyah.
“Insya Allah, Bu…”
“Baiklah kalau begitu, Ibu tinggal dulu. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam….”
Setelah kepergian bu Masriyah, pikiranku diserang pertanyaan, untuk apa ibu Masriyah memintaku ke rumahnya? Dan wanita berjilbab hijau itu semakin asyik mengobrol dengan Khodijah dan Asiyah, sementara Subhan belum terlihat.
Suara tepuk tangan membuyarkan segalanya, seorang santri laki-laki naik panggung, dia mulai membuka dakwahnya. Tentu saja aku terkejut, santri laki-laki itu adalah Subhan, di atas panggung dia tidak sedikitpun canggung atau kaku, pakaiannya juga sudah seperti Da’i profesional. Persis seperti habib. Mengenakan pakaian berwarna putih. Aku merasakan antusiasme tinggi dari para santri, terutama yang perempuan. Wanita berjilbab hijau juga menghentikan obrolannya, dia larut dalam suasana ini.
Rupanya Subhan tidak terlihat dari tadi, pasti sedang mempersiapkan diri untuk tampil selanjutnya, dan tema yang dibawakannya juga tak kalah hebat. Dia membawakan tema tentang pernikahan, batasan-batasan pernikahan itu sendiri, dan juga kewajiban seorang suami dan istri dalam pernikahan. Tentu ini sangat menarik bagi kalangan santri yang memang mendambakan kebahagiaan dalam pernikahan, terutama santri perempuan yang menanti hadirnya seorang imam dalam rumah tangganya nanti. Dari ceramah Subhan, mereka bisa belajar, termasuk aku.
“Ssstt… Subhan ternyata terkenal ya?” suara Aisyah mengejutkanku, sementara Khodijah terpisah, dia duduk di samping wanita berjilbab hijau.
“Aku juga nggak menyangka,” jawabku.
“Wah… bakal banyak saingan dong!” ledek Aisyah.
“Jodoh itu di tangan Allah,” aku tersenyum.
“Tapi nyesek juga kalau sampai tidak jadi kawin dengan Subhan.”
“Lebih tepatnya menikah…”
“Iya menikah, hehehe.”
Para juri juga terpukau dengan penampilan Subhan, apalagi dia membawakan dakwahnya sangat komunikatif, sering diselingi humor, membuat suasana tidak membosankan, berbeda denganku yang lebih ilmiah dalam membawakan dakwah. Subhan bagaikan penyihir, menyihir seluruh yang hadir, aku tak pernah menyangka ini. Orang yang aku kenal tanpa sengaja adalah santri yang cerdas.
Diam-diam aku juga mengaguminya, tentu dia masuk ke dalam kriteria menjadi imam pilihan, sebab laki-laki yang seperti itulah yang aku cari. Pemahaman agama yang dalam, cerdas juga tegas. Kalau dibilang ganteng, Subhan memang termasuk laki-laki yang ganteng. Apakah aku akan bisa menarik perhatiannya?
Rasa pesimis ini tiba-tiba muncul, sebab pada kenyataannya Subhan memang banyak digandrungi oleh santri-santri perempuan.
“Oh ya, tadi Fatimah nanya nama kamu, memangnya kamu pernah ngobrol?” tanya Aisyah.
“Fatimah?”
“Iya… masa nggak tahu?”
Aku menggelengkan kepala.
“Itu… yang berjilbab hijau!” Aisyah menengok ke arah wanita itu, dia sangat serius memerhatikan Subhan.
“Oh… namanya Fatimah?”
“Iya… dia ketua majelis taklim pondok, setiap malam jumat sering diadakan diskusi tafsir Al-quran.”
“Serius? Kok aku nggak pernah dengar tentang majelis itu?”
“Majelis itu baru disetujui oleh Bu Masriyah tadi pagi.”
“Oh…”
Wanita itu ternyata seorang yang cerdas juga, tentu saja berpengaruh di kalangan teman-temannya, sebab menjadi seorang majelis taklim. Tapi mengapa dia memerhatikanku terus, kemudian bertanya tentang namaku segala?
“Dia mengajak Kak Khodijah untuk bergabung,” lanjut Aisyah.
“Khodijah mau?”
“Kak Khodijah belum jawab, pasti nanti malam akan dibahas olehnya di kamar.”
“Nanti malam aku diminta untuk menemui Ibu Masriyah.”
Aisyah terkejut, dia memandangku lebih serius. Sejenak aku melupakan Subhan yang tengah berdakwah di atas panggung.
“Anggun ada masalah apa?”
“Masalah?”
“Iya… biasanya Ibu memanggil santri jika dia memiliki masalah.”
Hatiku malah berdebar-debar mendengar itu. Setahuku, aku tak punya masalah apa-apa di pondok Jambu. Aku juga sudah melunasi biaya-biaya di pesantren selama tiga tahun, hasil dari menjual rumah. Pikirku, biarlah aku tak memiliki apa-apa, asalkan aku bisa menuntut ilmu, kemudian bisa mencari uang, lalu membeli rumah lagi.
“Kok diam?” tanya Aisyah.
“Entahlah… setahuku, tak ada masalah apa-apa.”
“Mmm… terus kenapa diminta datang?”
Aku juga tidak pernah tahu alasan apa bu Masriyah meminta aku datang sendiri ke rumahnya, tapi ini memang menjadi teka-teki bagiku.
“Mudah-mudahan hanya ingin mengobrol saja ya…”
“Amiin…”
Suara gelak tawa menyadarkan kami. Rupanya Subhan baru saja melontarkan lelucon, semua yang hadir sangat antusias menyaksikan dia berkhotbah. Subhan sudah berhasil menjadi Da’i, dan aku yakin dia yang akan menjadi juaranya. Tidak ada pembedaan jenis kelamin dalam perlombaan ini. Santri laki-laki dan perempuan sama saja bersaing untuk mendapatkan juara, walaupun sebenarnya kompetisi ini diadakan bukan untuk mencari juara, atau yang terbaik. Lebih kepada pembelajaran bagi santri-santri yang belajar di sini.
Dan beberapa menit kemudian Subhan mengakhiri segalanya, riuh tepuk tangan menyambut Subhan, semua tampak gembira dan kagum terhadap santri laki-laki ini. Aisyah juga bersorak kegirangan, namun tingkahnya ini hanya menggodaku, dia bermaksud memanasi aku, benar-benar lucu sahabatku ini.
“Ayooo samperin dia! Nanti direbut orang!” seru Aisyah.
“Ih, bisa-bisa Bu Masriyah marah tahuuu… kita harus tetap menghargai batasan antara laki-laki dan perempuan, sekagum apapun perempuan itu terhadap laki-laki.”
“Nah… ketahuan kan kalau kamu memang mengagumi Subhan?”
Aku menunduk malu, kemudian menyenggol pundak Aisyah. Dia malah nyengir kuda, sementara itu Khodijah berjalan menghampiri kami. Aku tidak melihat wanita berjilbab hijau itu, yang kata Aisyah bernama Fatimah.
“Bagiku, kamu tetap terbaik,” ucap Khodijah setelah sampai.
“Ah… jangan suka memuji,” aku tersenyum padanya.
“Tidak kok… jika kamu dibandingkan dengan Subhan tentu saja berbeda, akan tetapi, yang kamu lakukan adalah pertama kali. Sedangkan Subhan sudah yang kesekian kali, artinya kamu telah melakukan hal yang terbaik,” jelas Khodijah.
“Dari mana Kak Khodijah tahu?” tanya Aisyah.
“Fatimah yang memberi tahu padaku.”
“Fatimah? Kok dia bisa tahu ya?” pertanyaan Aisyah sama dengan diriku, hanya saja aku tak sanggup mengatakannya.
“Dia telah lama mengenal Subhan, bisa dikatakan satu angkatan. Kita memang masih pemula di sini, namun kita beruntung bisa bersanding dengan mereka, ini berkat Bu Masriyah yang selalu memberikan semangat pada kelas kita.”
Itu benar, sebab semua santri perempuan yang seangkatan dengan kita, jarang ada yang muncul, atau tampil di muka umum. Hanya aku, Aisyah dan Khodijah yang selalu aktif, aku sendiri tidak pernah tahu mengapa ini bisa terjadi. Mungkin mereka masih belajar beradaptasi di lingkungan ini.
Namun perkataan Khodijah tentang Fatimah membuatku semakin gusar, pandangan mata Fatimah padaku pasti ada sesuatu. Aku tak tahu apakah ini berkenaan dengan Subhan atau tidak, yang jelas aku merasa tidak nyaman dengan pandangan matanya.
“Tuh lihat! Fatimah menyapa Subhan!” seru Aisyah.
Kami melirik ke arah mereka, memang Subhan dan Fatimah sangat akrab terlihat seolah sudah lama kenal, hati ini terasa nyeri, ada perasaan jengkel melihatnya. Eh? Apakah aku cemburu? Tak mungkin, Subhan bukan siapa-siapa aku, dia masih bebas untuk memilih dan dipilih.
“Ciee… ada yang patah hati nih!” Aisyah malah nyeletuk, membuat aku menjadi keki.
“Wus! Kamu itu… jangan suka meledek ah! Nggak baik…,” bela Khodijah.
Namun matanya melirik ke arahku, seolah dia juga penasaran dengan perubahan wajahku. Harus berbuat apa aku ini?
Pembawa acara naik panggung, membuyarkan suasana hatiku, dan semua orang yang hadir tertuju ke panggung. Dia memberitahu bahwa acara untuk hari ini selesai, dan akan disambung dua hari kedepan, akan ada seorang Habib yang mengisi ceramah, kemudian akan ditutup dengan pengumuman pemenang. Semua boleh meninggalkan tempat dan pulang ke kamar masing-masing.
Mataku mencoba melihat Subhan dan Fatimah, mereka berpisah, sedangkan aku segera menuju ke rumah bu Masriyah. Aku penasaran ada apa sebenarnya, sehingga dia memanggilku untuk berbicara di rumahnya.
Mendadak teringat ucapan Aisyah, bahwa setiap santri yang dipanggil ibu Masriyah memiliki masalah. Aku tidak bisa mengelak kalau aku memang bukan tidak bermasalah, ketika datang ke pondok ini, aku terbelit kegalauan yang memuncak.
Kakiku terhenti di beranda rumah, ingatanku kembali masuk ke dalam masa lalu, saat pertama kali aku datang kemari, ibu Masriyah yang menyambut.
“Tumben sudah datang,” ibu Masriyah berdiri di depanku.
Dia juga baru datang, mungkin setelah mengantarkan para juri pulang dari pondok, sehingga dia baru tiba.
“Iya… Bu, mumpung belum terlalu malam.”
“Ayo masuk!”
Bu Masriyah melangkah mendahului aku yang masih berdiri mematung, dia membuka pintu, lalu aku mengikutinya masuk ke dalam rumah. Suasana rumah yang belum berubah sama sekali, seolah dia juga tidak ingin mengubahnya. Membiarkannya seperti adanya, mencerminkan orang yang sederhana.
Aku duduk, sementara bu Masriyah meninggalkanku, mungkin dia akan meletakan tas yang dibawanya, beberapa menit kemudian dia datang lagi dengan membawa secangkir teh manis hangat.
“Ini diminum dulu…”
Tanpa malu aku langsung meminum teh hangat, dari tadi memang haus sekali, bahkan ketika melihat Fatimah akrab dengan Subhan, semakin kering tenggorokan ini. Ingin rasanya aku ikut nimbrung agar tahu apa yang terjadi dengan mereka.
“Kamu sepertinya gelisah?”
“Tidak Bu, hanya tadi lumayan menguras tenaga,” segera aku jawab. Agar tidak terlihat jelas kegelisahan ini oleh bu Masriyah.
“Berdakwah memang melelahkan, dan juga tidak menghasilkan uang banyak. Orang yang berdakwah itu harus ikhlas tanpa ada imbalan…”
“Saya mengerti Bu…”
Suami bu Masriyah masuk. Dia melihat ke arah kami, aku berdiri untuk menghormati kedatangannya, bu Masriyah menyambutnya lalu mencium tangan suaminya. Tanpa ada pembicaraan, mungkin dia merasa tak enak ada aku di sini, kemudian masuk ke dalam rumah. Lalu kami duduk kembali.
“Ada yang Ibu ingin bicarakan denganmu,” kata bu Masriyah.
Deg! Berdebar jantung ini.
“Jika saya ada kesalahan mohon dimaafkan…”
“Kesalahan?”
“Iya Bu… mungkin saya ada kesalahan sehingga dipanggil kemari.”
Bu Masriyah malah tersenyum mendengar ucapanku.
“Tidak ada… sama sekali tidak ada.”
Aku mengangkat kepala, mata kami saling bertemu. Aku seperti melihat mata ibu, mata yang selalu menyayangi anaknya.
“Ini soal Fatimah,” sambung bu Masriyah.
Fatimah? Ada apa dengan santri perempuan itu, sepertinya dari tadi dia tengah bersandiwara di hadapanku. Apa mungkin ini puncaknya? Aku berhadapan dengan ibu Masriyah karena padangan tajam darinya?
“Fatimah? Siapa dia Ibu… saya belum mengenalnya,” jawabku mencoba tidak berterus terang.
“Justru itu, Ibu ingin kalian berkenalan.”
“Saya tidak mengerti maksud Ibu.”
“Begini… Fatimah baru saja membuat kelompok belajar, sebuah majelis ta’lim. Ibu pikir kalian berdua cocok.”
“Saya masih belajar Bu…”
Aku menunduk lagi, ada perasaan cemas campur malu, mengapa harus aku? Mengapa tidak Khodijah yang lebih paham tentang itu semua. Padahal Khodijah sudah diajak oleh Fatimah untuk bergabung, sedangkan aku tidak sama sekali. Didekati pun tidak, malah dipandang seperti musuh.
“Ibu membutuhkanmu di sana, sebab Ibu yakin kamu bisa menjadi yang terbaik.”
Ada perasaan bahagia mendengar itu, namun aku tak mau terlena oleh sebuah pujian, bisa saja pujian itu menyesatkan.
“Terima kasih Bu…. tapi…”
“Tak ada alasan. Seorang perempuan muslimah harus bisa memegang amanah yang diberikan oleh orang lain.”
Aku menunduk, tak kuasa membantah. Ketegasan ibu Masriyah membuat hatiku semakin menciut. Aku tak pernah tahu siapa saja yang berada di majelis taklim itu, tak ada satupun yang kukenal. Bisa-bisa aku diasingkan, apalagi aku tidak terlalu mahir dalam bergaul.
“Kamu juga bisa banyak teman di sana…”
Perkataan ibu Masriyah seolah sebuah firasat, bahwa bu Masriyah mengetahui apa yang menjadi gelisahku. Kebingungan ini semakin menyergap, haruskah aku mengikuti permintaan bu Masriyah, atau aku menolaknya.
“Baiklah, Ibu beri kamu waktu untuk berpikir.”
Mendadak hati ini lega, aku bisa diskusikan dengan Khodijah dan Aisyah. Aku tak ingin gegabah mengambil keputusan, mereka adalah sahabat-sahabatku, tentu harus aku libatkan dalam pengambilan keputusan, agar mereka juga merasa dihargai.
“Terima kasih Ibu…”
“Sama-sama, sekarang boleh pulang, sudah larut malam.”
Kemudian aku berpamitan.
“Anggun!” panggil bu Masriyah sebelum aku melangkah jauh.
“Ingat, bahwa hijab bagi wanita muslimah bukan hanya busana, tapi sebuah kehormatan. Dan aku sangat suka dengan dakwahmu tadi.”
“Terima kasih Ibu… aku masih harus banyak belajar lagi.”
“Semua orang masih belajar.”
Aku tersenyum, dan bu Masriyah pun tersenyum. Aku merasakan kehangatan darinya, kehangatan seorang ibu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Malam ini aku melangkah dengan banyak pertanyaan di kepala, lalu apakah ini yang dinamakan proses menuju kedewasaan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments