Di tengah getirnya jalan hidup yang kurasa, mestinya aku masih bersyukur, ada Roman yang selalu menjadi teman dalam kedukaanku. Hampir saja hidupku berantakan jika dia tidak mengingatkanku tentang masa depan. Siapa yang bisa bertahan hidup sebatang kara di kota besar. Namun, Roman selalu memberikanku semangat, dia yang selalu berkata bahwa hidup harus terus berjalan, apapun keadaannya, masa depan harus diraih dalam kondisi apapun. Sebab setiap manusia memiliki akal dan pikiran, yang semuanya pasti ada jalan keluarnya, yang segalanya pasti selalu ada hikmahnya. Ya, itulah yang menjadi obat laraku.
Pemikiran Roman bertolak belakang dengan gaya dan sikapnya dalam pergaulan. Jika sekilas melihat Roman, tidak semua orang percaya bahwa hatinya begitu baik. Mungkin karena dia pula aku mampu bangkit, mengikuti Ujian Nasional dan akhirnya lulus.
“Anggun! Ayo kemari, baju lo harus gue coret nih! Kita lulus!” seru Rifa.
Kemudian Rifa dan beberapa teman sekelas mengerumuniku, mencorat-coret baju, memberikan kata-kata mutiara singkat bernada perpisahan tapi jangan melupakan persahabatan, kemudian dibubuhi tanda tangan yang penuh kegembiraan. Kebahagiaan tumpah di perempatan jalan, beberapa meter dari lingkungan sekolah. Semua tak peduli, semua bahagia, semua ingin segera bebas dari sekolah dan bekerja, atau mungkin kuliah. Akan tetapi, aku tidak yakin kepada diriku juga teman-teman untuk meneruskan ke jenjang perkuliahan, sebab kami hanya anak-anak dari pinggiran kota Jakarta. Tempat kami kumuh, keluarga kami hanya pekerja serabutan yang dicukup-cukupi untuk makan sehari-hari.
Sorak-sorai bergembira dari para siswa membuat jalanan tersendat, apalagi ada yang melempar telur dan terigu. Aku juga larut dalam kebahagiaan ini, seorang siswi yang memakai jilbab berada di tengah-tengah kemeriahan perempuan-perempuan yang hanya memakai rok-rok pendek, serta baju seragam yang ketat. Ah, sungguh aku tak pernah persoalkan itu, hanya saja, aku menjadi risih ketika orang-orang selalu memojokkanku tanpa pandangan yang lebih arif.
Di antara riuh remaja-remaja merayakan kelulusan, Roman pun ikut berbahagia, aku melihatnya tertawa bersama yang lain, ikut mencorat-coret baju, dan dia juga sering terkena lemparan tepung terigu.
“Ini saatnya!” bisik Rifa mengejutkanku.
“Aku nggak ngerti.”
“Ahh… belagak lugu! Udah tembak aja…”
Aku melirik ke arah Roman. Wajah yang mencerminkan keceriaan, memang sangat tepat jika aku memberikan kebahagiaan juga padanya. Jika aku mengatakan bahwa aku jatuh cinta kepadanya.
“Aku tak sanggup untuk katakan padanya.”
“Perlu gue bantuin!”
Rifa melangkah ke arah Roman.
“Jangan!” aku menarik tangannya.
“Loh kenapa? Udah deh… nggak perlu disembunyiin!”
“Bukan itu, biar aku saja yang mengatakannya.”
Kami saling pandang, lalu Rifa tersenyum, dia
menepuk bahuku, seperti seorang ayah yang tengah
menasihati anak lelakinya.
“Gue pasti mendukung!”
Aku mengangguk. Perlahan aku melangkah mendekati Roman, jantung ini berdetak kencang, aku harus menguasai keadaan, aku juga tak ingin gagal dalam mengungkapkan perasaanku. Tentu saja, aku telah mengingkari pendirianku untuk bertahan tidak mengatakan cinta kepada laki-laki, sebab, aku merasa bahwa kodrat perempuan hanyalah menunggu.
Aku terus mendekat, kerumunan semakin banyak, perempatan ini didatangi oleh siswa-siswa dari kelas lain, mereka bergerombol, bahkan ada juga yang membawa botol alkohol. Keadaan yang bergembira mendadak menjadi mengerikan, siswa-siswa dari kelas lain saling menyapa dan merokok.
Dan aku terdesak hingga menubruk Roman. Kemudian, Roman menoleh. Aku tersenyum kikuk memandangnya.
“Selamat ya!”
“Kamu juga.”
Aku beranikan diri terus menatapnya.
“Terima kasih atas segala motivasinya,” kataku.
“Sudahlah… yang penting kita lulus, dan bisa meraih mimpi masing-masing.”
“Memangnya mimpimu masih sama?”
“Tentu saja, dan aku menunggu lo untuk jadi vokalisnya.”
Aku menunduk.
“Kalau lo?”
“Belum tahu, aku masih bingung. Mungkin akan mencari pekerjaan dulu, baru memikirkan langkah selanjutnya.”
“Semoga saja dapat pekerjaannya.”
“Amiin…”
Suara petasan mengejutkan kami, siswa-siswa tertawa senang. Keadaan sudah berbeda semenjak semua kelas berkumpul di sini, semakin riuh dan berantakan. Kecerian tercermin dari wajah kami masing-masing. Siapa yang tidak bahagia, setelah hampir dua belas tahun terpenjara di bangku sekolah, saatnya menunjukan diri, bahwa kami adalah orang dewasa yang sudah siap bersaing di dunia luar.
“Gue…”
Suara Roman terhenti, pandangan matanya yang teduh dikejutkan oleh suara teriakan siswa dari kejauhan.
“Kita diserang!”
“Kita diserang!”
“Kita diserang…!!!”
Mendadak suasana menjadi tegang, dari jauh juga terlihat gerombolan siswa-siswa berseragam mendekat, wajah mereka bengis, membawa balok kayu, besi, batu dan juga botol. Pasti akan terjadi tawuran, apalagi siswa laki-laki dari sekolahku yang tengah asyik bergembira, membentuk barisan, mereka juga tak kalah bengis.
Para siswi menyingkir mencari perlindungan, urusan berkelahi bukan urusan perempuan. Namun, aku tak pernah setuju dengan perilaku seperti ini, aku ingin semuanya bubar dan tidak membuat keributan. Roman melangkah menuju barisan, aku meraih tangannya, menahannya untuk tidak ikut tawuran.
“Aku mohon, jangan…”
Roman memandangku.
“Anggun, jangan pernah larang laki-laki untuk tidak berkelahi.”
“Tapi, ini membahayakanmu.”
“Nggak ada yang aman hidup di dunia ini.”
Tatapan matanya menyala, cahaya seorang pemuda yang memiliki jiwa pejuang. Melihat matanya yang berapi-api, segala ketakutanku luluh, perlahan kulepaskan genggaman. Roman melangkah masuk ke dalam barisan, bersiap untuk tempur.
“Aku mencintaimu, Roman,” bisikku.
Andai saja kalimat itu terdengar oleh telinga Roman tentu dia akan mengurungkan niatnya untuk berkelahi. Suaraku tak pernah bisa keluar jika di dekatnya, aku tak pernah bisa mengungkapnya, tak pernah bisa. Beberapa langkah kakinya, tiba-tiba saja dia menengok dan tersenyum padaku, senyuman yang sangat khas, senyuman seorang berandalan. Seolah suara batinku mampu menembus dinding hati Roman.
“Anggun!” teriak Rifa, sambil melambaikan tangan.
Aku segera menyingkir, menghampiri Rifa yang sudah masuk ke dalam toko, bersembunyi di antara tembok, kami sudah tidak bisa pergi kemana-mana lagi, semua terkepung. Beberapa menit kemudian, entah siapa yang memulai. Mereka saling menyerang, saling lempar batu, saling pukul.
Orang-orang di sekitar juga ikut panik, mereka menyelamatkan diri masing-masing, berlarian menghindari batu-batu yang berseliweran di udara. Mataku terus mengawasi Roman, dia seperti seorang satria, memimpin para tentara menyerang. Pukulan demi pukulan menghantam musuh. Aku tak pernah mengerti mengapa harus ada tawuran di hari kelulusan, mengapa mereka seperti anak kecil, padahal mereka sudah beranjak dewasa. Sungguh, aku tak pernah mengerti akan semuanya.
Rasa khawatir menghujam dada. Aku seperti melihat bayangan hitam di udara, menyelimuti arena pertempuran, aku melihat aroma kematian. Selamatkan Roman ya Tuhan, jangan pisahkan aku dengannya. Aku yakin, dia juga mencintaiku, dia juga ingin hidup bersamaku, meraih mimpi di masa depan.
“Duh! Harus bagaimana ini?” tanya Rifa.
Aku hanya menggelengkan kepala, tak tahu harus berbuat apa. Semua semakin tak terkendali, aksi lempar batu telah selesai, mereka saling menyerang jarak dekat, balok, besi dan tinju. Mataku kehilangan Roman, aku terus mencarinya, namun dia tak terlihat. Aku mendekati kaca jendela toko, kucari-cari wujud Roman. Namun, tak juga terlihat. Aku berlari ke pintu keluar, aku tak ingin kehilangan Roman.
“Anggun, jangan!” perintah Rifa.
Akan tetapi, aku tak pernah menggubrisnya. Aku berlari keluar, menerobos kerumunan, mencari Roman. Aku sangat takut kehilangannya, langit gelap yang kulihat, aku tak mau berpisah dengan seseorang yang sangat aku cintai.
Dan mataku melihat Roman tengah berkelahi dengan seorang siswa yang badannya lebih besar. Roman menindih, meninjunya, Roman sangat terlihat perkasa, dia bagaikan seorang pendekar yang tidak pernah ada tandingannya. Aku ingin menghentikan dia, semakin lama, semakin bengis, ini bukan pertempuran yang sah. Ini kebiadaban, harus dihentikan. Kemana para polisi?
“Roman, hentikan!”
Dia terus saja menghantamkan tinjunya.
“Roman!”
Berulang kali suaraku memanggil-manggil namanya dengan suara kencang, aku tak kuasa melihat Roman menjadi seorang pembunuh. Roman menoleh ke arahku, disaat dia lengah, lawannya mengambil batu, menghantamkannya ke kepala. Roman roboh, dan dihantamkan lagi batu itu sekeras-kerasnya.
“Tidaaak…!!!” teriakku.
Aku berlari menghampiri Roman. Dari kejauhan, suara sirine polisi mulai terdengar nyaring, semakin dekat, membuat panik para siswa, dan berlarian tak tentu arah. Aku memeluk Roman, darah mengucur dari kepalanya, darah segar yang tak henti-henti mengalir. Roman sudah tak bernapas, aku histeris.
“Romaaaaaan…..!!!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
single lillah
tragis amat hidup anggun
2020-12-07
0
BEE (@tulisan_bee)
Ya Allah 😭
2020-02-22
0