Aku mengenal Subhan di sebuah pasar, ketika tengah membeli kebutuhan sehari-hari. Biasanya Khodijah dan Aisyah ikut ke pasar, namun tidak dengan hari ini. Mereka sedang dikejar tugas menghafal juz pertama Al-Quran. Sehingga tak dapat menemaniku, dengan tergesa-gesa aku pergi ke pasar.
Pada awalnya aku tidak begitu memerhatikan dia, padahal dari tadi dia di sampingku tengah memilah wortel. Lucu juga seorang laki-laki belanja di pasar, tanpa ada rasa malu atau gengsi. Aku bermaksud mengambil wortel yang memancar warna sangat segar, eh, ternyata dia juga sama mengambil wortel yang aku incar, tanganku tak sengaja bersentuhan dengannya. Ada getaran aneh dalam dada, mungkin ini mengapa seorang muslim tidak boleh bersentuhan lain jenis jika bukan muhrim, sebab tegangan-tegangan seperti ini mungkin terjadi.
“Buat kamu nih!”
Dia mengulurkan wortel itu padaku. Aku tersenyum, berusaha untuk tidak menggubris dan mengikhlaskan wortel itu.
“Tidak apa-apa, ambil saja… masih banyak pilihan yang lain,” katanya lagi.
Memang dalam keranjang ini banyak wortel-wortel segar, Cirebon kota dekat dengan pantai dan pegunungan, sayur-mayur, ikan dan juga rempah-rempah tak pernah kekurangan, murah-meriah.
“Buat Aang saja,” jawabku.
Subhan malah memasukan wortel itu ke keranjang belanjaanku. Aku memanggilnya Aang, jika di Jakarta itu bermakna Abang. Suasana pasar di sini teduh, walaupun banyak sekali orang-orang berbelanja, namun, jelas terlihat keramahan dari para pedagang dan pembeli. Betapa aku menikmati belanja di pasar tradisional seperti ini.
“Panggil saja Subhan.”
“Namaku Anggun.”
“Anggun?”
Subhan memandang wajahku, aku menunduk, tidak baik seorang perempuan bukan muhrim terlalu lama memandang laki-laki.
“Sepertinya kamu bukan asli orang Cirebon.”
“Aku dari sini kok…,” jawabku berbohong.
“Tidak mungkin, logat bicaramu bukan logat bicara orang Cirebon.”
Aku sadar bahwa orang-orang Cirebon memang memiliki logat dan bahasa sendiri, tentu akan mudah terditeksi jika bukan asli Cirebon.
“Maaf… Aku…”
“Tidak apa-apa, jika kamu mau menyembunyikan identitas juga bagiku tak masalah.”
“Oh bukan begitu… aku…”
“Karena kita belum saling kenal bukan?”
Pertanyaan Subhan sekaligus jawabanku. Ya, aku memang belum mengenalnya, walaupun dia memakai kopiah, baju koko dan memakai sarung, namun belum tentu orang baik. Rasa curiga masih melekat dalam diriku, sebab aku terbiasa hidup di kota, dimana orang-orangnya selalu curiga terhadap orang-orang baru.
Aku menunduk lagi.
“Aku dari pesantren pondok Jambu.”
Tiba-tiba wajahku terangkat, aku terkejut dengan ucapannya. Inilah pertama kalinya aku mengetahui bahwa Subhan dari pesantren pondok Jambu.
“Yang benar? Kalau begitu kita satu pondok, aku juga dari sana…”
“Oh ya? Kok aku baru lihat di sini ya? Mmm… biasanya santri-santri perempuan memang sering belanja ke sini.”
“Aku baru sebulan belajar di sana.”
“Oh…”
Sejenak kami terdiam, aku mencoba mengalihkan suasana dengan membayar wortel yang sudah ditimbang, kemudian melangkah mencari tempe, tahu dan beberapa potong ayam. Subhan malah mengikutiku, walaupun kami masih saling diam.
Biasanya kami memasak di pondok, aku, Khodijah, dan Aisyah bergantian memasak di dapur yang disediakan di belakang kamar, selain lebih irit, makanan juga sehat, sekaligus kami belajar memasak, sebab perempuan memang harus bisa memasak, mereka akan menjadi seorang ibu rumah tangga, memberi makan anak-anak dan suami, walaupun menjadi wanita karir, tetap suami akan merindukan masakan seorang istri.
Seperti itulah yang pernah diungkapkan bu Masriyah. Bahwa menjadi seorang perempuan itu sungguh luar biasa. Dia bisa bekerja di luar layaknya pekerjaan yang juga dilakukan kaum laki-laki, tapi menjalani kodratnya sebagai wanita adalah nilai termahal yang tak bisa digantikan dengan apapun juga.
Mata ini tak henti-henti memerhatikan Subhan, belanjanya juga banyak, aku tidak tahu itu untuk siapa.
“Heran ya? Ini untuk makan malam,” katanya.
“Memangnya Aang masak?”
“Tentu saja, jangan dikira laki-laki tidak bisa masak…”
“Ya… biasanya memang begitu.”
“Kalau santri itu berbeda, harus serba bisa.”
Kali ini aku merasa nyaman mengobrol dengan Subhan, dia terbuka sehingga membuat aku tidak merasa kaku. Mungkin ini yang dimaksud oleh Khodijah, bahwa seorang perempuan jangan terlihat kaku di hadapan laki-laki, harus bisa membangun suasana dalam mengobrol, tidak gampang resah, apalagi curiga.
“Asalmu dari mana ya?”
“Aku dari Jakarta.”
“Wah… anak kota dong! Aku orang kampung, belum pernah ke Jakarta.”
“Ah, masa?”
“Sumpah, aku belum pernah pergi ke kota lain. Lulus dari Aliyah, langsung ke pondok Jambu. Paling melihat kota Jakarta dari TV. Katanya banjir, macet dan banyak tempat disko.”
“Ya begitulah…”
“Berarti kamu sering dong ke tempat disko?”
Pertanyaan yang membuat aku tersedak. Apa maksudnya? Apa karena aku tinggal di lingkungan serba gemerlap, lantas aku mengikuti irama kebebasannya? Ah, ada-ada saja lontaran kata yang diucapkannya ini. Atau, jangan-jangan dia memang sengaja memancing kesabaranku, atau ingin menyelidiki jati diriku?
“Aku malah belum pernah tahu tempat yang seperti itu.”
Aku menunduk.
“Hehe, tidak semua orang memang harus tahu tempat begituan.”
Ternyata, Subhan laki-laki yang terbuka, blak-blakan. Dia seorang santri, tapi pergaulannya luas, pengetahuannya luas, dia sepertinya memang banyak membaca dan memerhatikan keadaan sekitar.
“Aku juga tidak bermaksud menuduh kamu sering ke diskotik. Di Cirebon saja banyak tempat begituan, dan tidak setiap orang memang senang begituan. Kita beruntung menjadi seorang santri di kampung, bukan menjadi mahasiswa di kota besar.”
“Aku juga beruntung bisa sampai sini.”
Tanpa sadar, kami sudah berjalan ke luar dari pasar. Cuaca mendung, beberapa pedagang kaki lima sedang berbenah. Dan hujan langsung turun, Subhan menarik tanganku, berteduh di pinggir pertokoan, tidak di Jakarta atau di Cirebon, gedung-gedung pertokoan dibangun untuk menambah peningkatan ekonomi penduduk sekitar.
Air hujan jatuh ke tanah, percikannya mengenai ujung sarung Subhan dan ujung gamisku. Untuk sesaat kami tidak berkata apa-apa, hanya menikmati kesejukkan hujan, angin pegunungan dingin menusuk tulang, keindahan hujan di sebuah kota yang dikelilinggi oleh perbukitan dan pegunungan.
Tidak pernah aku merasakan keadaan seperti ini sebelumnya, pandangan mataku tidak melihat kemacetan di sini, justru aku hanya melihat anak-anak sekolah yang berlarian mencari tempat berteduh, kebanyakan dari mereka memakai jilbab, keadaan yang terbalik di kota. Ketika aku di sana, aku hanya satu-satunya yang memakai jilbab di kelas. Sementara di Cirebon, perempuan-perempuan belia sudah memakai jilbab, seolah jilbab adalah kewajiban dalam pergaulan. Dan akan menjadi aneh ketika perempuan tidak mengenakan jilbab. Di sini, jilbab sudah bukan sebagai trend saja, tapi sudah berganti menjadi pakaian hari-hari yang dianggap biasa-biasa saja.
“Ingat masa SMA?” tanya Subhan.
Aku menggeleng. “Tidak… hanya…”
“Ingin kembali ke masa SMA?”
Subhan memotong ucapanku, sudah berulang kali dia memotong ucapanku. Jelas memang dia bersemangat untuk mengetahui apa saja yang ada dalam pikiranku. Atau memang ini cara laki-laki untuk memikat perempuan. Menjadi seorang yang sok tahu isi pikiran lawan bicaranya.
“Terkadang memang kita memiliki rasa ingin kembali ke masa-masa titik aman. Contoh, ketika SMP, kita ingin menjadi anak-anak lagi, ketika SMA kita ingin kembali di masa SMP lagi, ketika lulus sekolah, kita ingin bersekolah lagi. Bahkan mungkin, jika kita sudah menikah malah ingin kembali bekerja dan bebas melakukan apapun yang kita suka. Mungkin karena beban hidup yang semakin berat, sehingga kita ingin kembali ke masa-masa yang tidak pernah memikirkan beban hidup.”
“Sampai segitunya, ya? Apa memang kamu sering berpikir begitu?”
“Tentu saja, semua orang pasti begitu.”
Hujan semakin deras, jika keadaan seperti ini, mungkin sampai malam hujan tidak akan pernah berhenti. Aku gelisah, Khodijah dan Aisyah pasti menungguku di pondok, mereka akan cemas jika aku pulang sebelum magrib. Mereka pasti berpikir bahwa aku tersesat, setelah satu bulan ini aku baru keluar pondok sendirian, biasanya aku pergi bersama mereka. Entah mengapa aku ingin merasa sendiri di luar pondok.
“Kok gelisah?”
“Sudah mulai maghrib.”
“Oh… kamu tenang saja, sebentar lagi ada angkutan umum kok!”
Itu yang membuat cemas, angkutan umum di daerah ini terbatas, biasanya sampai jam lima sore sudah tidak ada, sementara jam di tanganku sudah menunjukan pukul lima lewat sepuluh menit. Akan tetapi, Subhan sangat yakin akan ada angkutan umum, mungkin ada baiknya juga aku percaya padanya.
“Itu dia!” Subhan menunjuk ke sebuah angkot.
Kemudian dia menghentikan angkutan umum tersebut, dan kami naik, duduk di kursi belakang. Di dalam angkot hanya ada empat penumpang, seorang nenek dan anak kecil, mungkin cucunya. Yang pasti mereka juga baru belanja dari pasar, anak kecil itu memegang makanan.
Tak ada perkataan apa-apa yang keluar dari Subhan, mulutnya seperti terkunci, apa mungkin karena ada orang lain di sini, sehingga menjaga ucapan agar tidak terjadi fitnah? Atau, memang dia malu jika mengobrol dengan wanita di depan orang?
Suara hujan jatuh ke atap mobil, suaranya berisik, membuat aku merasa semakin gelisah, kini kegelisahanku adalah pintu gerbang untuk menuju kawasan santri putri, apakah sudah dikunci atau belum? Mudah-mudahan Khodijah memberi tahu kepada petugas piket untuk tidak menutup gerbang dulu. Aku yakin, dia mengerti keadaan yang seperti ini.
Sementara Subhan tidak terlihat gelisah, sepertinya memang sudah biasa dia pulang terlambat, biasanya orang yang senang melanggar, tidak pernah peduli. Akan sangat menghawatirkan jika aku terlihat bersama santri laki-laki oleh bu Masriyah. Ada larangan keras di pondok pesantren Jambu untuk tidak berduaan dengan santri laki-laki dengan waktu yang lama.
Angkutan umum melaju lambat, menerjang hujan yang sangat deras. Seperti badai, angin juga bertiup kencang, jalan-jalan tergenang. Sopir angkot ini santai dengan mendengarkan lagu dangdut, seolah hujan badai adalah temannya. Sahabat yang setiap saat menemaninya dalam bekerja. Sopir angkot ini sudah tua, mobilnya juga butut, mungkin sudah puluhan tahun dia menjadi sopir angkot ini, namun tak ada rasa gelisah atau takut. Orang-orang di sini sangat tegar, mereka pasrah dengan apa yang mereka dapatkan dan jalani, seolah semuanya sudah kehendak Tuhan.
“Di depan, kiri ya Bah…,” ucap Subhan.
“Di sini, Ang...?” tanya sopir angkot itu memastikan.
“Iya…”
Mobil angkot berhenti di sebuah warung bambu yang tutup. Di sebrang gerbang pesantren pondok Jambu masih terbuka. Rasa syukur dalam hati menggema, aku tidak akan dipertanyakan oleh pihak pondok Jambu. Kami segera turun, dan berteduh di depan warung bambu yang tutup.
“Ini sih bisa basah kuyup!” kata Subhan.
Aku hanya diam saja, memang untuk menyebrang ke depan gerbang pondok lumayan jauh, sementara hujan masih sangat deras. Subhan melangkah ke samping warung, dia memotong daun pisang yang paling besar dan lebar.
“Ayo!” ajaknya.
Awalnya aku ragu untuk ikut berteduh di bawah daun pohon pisang itu, dan berlari menyebrang jalan. Akan tetapi tak ada pilihan, hari sebentar lagi gelap. Perlahan aku menggeserkan badan, berendeng dengan Subhan, lalu kami melangkah bersama menyebrang jalan dipayungi selembar daun pisang.
Hati ini berdebar-debar tak menentu, ada rasa senang bercampur rasa takut. Astaghfirullah…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments