Jodoh Pasti Bertemu
Suara azan berkumandang diiringi suara mesin-mesin mobil di garasi rumah, orang-orang bersiap untuk bekerja. Beberapa suara juga terdengar dari dalam rumah; mesin air dan suara-suara pintu. Hidup di kota, orang harus selalu bergegas, agar dapat mengais rezeki sebab jika tidak cepat maka akan ketinggalan mobil dan kereta, terlambat masuk kantor berarti potongan gaji akan lebih besar. Sedangkan aku, sangat malas untuk bangkit dari tempat tidur, kedua mata menatap langit-langit kamar, pikiranku kosong.
Tiba-tiba, terdengar pintu rumah terbuka. Suara langkah sepatu mendekat ke pintu kamar, lalu hening. Aku menoleh ke arah pintu, namun pintu itu tidak terbuka. Suara langkah sepatu terdengar lagi, semakin menjauh, dan sepi. Perlahan kubangkitkan badan, tanganku mengambil ikat rambut, kemudian mengikat rambutku yang panjang, hitam tergerai. Aku melangkah mendekati pintu kamar, jemariku membuka knop pintu, lalu aku melangkah menuju ruang tamu.
“Ibu!”
Aku terkejut—ibuku tengah terbaring di sofa, badannya sangat lemah, di lantai berceceran muntahan. Hampir setiap pagi, ibu pulang, dan peristiwa ini sudah tidak asing bagiku. Ya, ibuku seorang alkoholik, dia senang keluar malam, entah pergi kemana? Selalu saja ia marah jika kutanyakan tentang kepergianya di malam hari.
“Bu, apa yang terjadi?”
“Berisik!”
Mata ibu melotot, merah dan penuh kebencian menatapku. Jika sudah seperti ini, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lebih baik, aku diam, dan membersihkan muntahan ibu di lantai. Aku tak pernah tahu yang terjadi pada ibu. Sejak kecil, aku tak pernah mengenal sosok ibu seperti apa, dia selalu pulang mabuk.
Kemudian, aku pergi ke dapur, mengambil kain pel dan seember air, kubersihkan lantai, sementara ibu mencoba berdiri, terhuyung-huyung masuk ke dalam kamar. Yang kudengar, hanya bantingan pintu.
Aku tidak pernah ingin menjadi seorang anak durhaka, walaupun pada kenyataannya, aku tak pernah betah tinggal di rumah. Aku ingin lari dari rumah ini, hidup bebas. Namun, aku masih seorang perempuan remaja, yang sebentar lagi lulus SMA. Dalam kondisi ibu seperti itu, aku tak akan pernah bisa meninggalkannya sendirian, sebab, sejak aku mulai dapat berpikir, ibu sudah sendiri, tanpa seorang suami. Dan aku tak pernah tahu, dimana, dan siapa ayahku.
Setelah lantai bersih, segera saja aku melangkah menuju kamar mandi. Air pagi ini terasa dingin, sedingin suasana hatiku. Kesepian telah lama menyergapku, entah apa yang akan terjadi di masa depan, aku tak pernah tahu.
Tetes air membasuh seluruh tubuh, terasa semakin dingin. Kulawan rasa dingin ini, sebab seorang yang dewasa harus berani melawan ketidaknyamanan. Setelah segalanya terasa bersih, aku beranjak ke kamar, mengambil mukenah dan sajadah, lalu aku bersujud kepada Tuhan, meminta segalanya kembali baik dan normal.
Hati ini menjerit ketika mengucapkan takbir, mengawali shalat subuh. Aku mengikhlaskan segalanya yang terjadi kepada diriku, aku percaya bahwa Tuhan memiliki rencana untuk hidupku. Hidup memang misteri, hidup bagaikan kuncup bunga yang akan tumbuh, tak ada seorangpun tahu, kuncup itu akan mekar atau mati.
Dan ketika aku bersujud di atas sajadah, hatiku semakin merintih, aku tak tahu apakah aku memiliki banyak dosa, sehingga Tuhan memberikan penderitaan padaku, atau aku memang sedang diuji oleh-Nya. Selama ini, aku hanya ingin menemukan surga di hati ibuku, surga yang selalu memberikan kedamaian dan keindahan bagi anak-anaknya. Surga yang membuka jalan bagi anak-anaknya untuk dapat mencapai sebuah kebahagiaan hidup.
“Hooek!”
Terdengar suara ibu dari kamarnya, pasti dia muntah lagi. Mengapa aku memiliki seorang ibu yang senang mabuk? Mengapa aku mempunyai seorang ibu yang sering keluar malam dan pulang pagi, mengapa?
Braak!
Pintu dibanting. Aku bangkit dari shalatku, dan menghampiri ibu yang terhuyung-huyung melangkah keluar dari kamar.
“Bu, istirahatlah…”
“Diam! Aku tidak butuh nasihatmu!”
“Tapi… badan Ibu sedang tidak stabil.”
“Aku yang tahu apa yang harus dilakukan!”
“Bu…”
“Hooek!”
Ibu muntah lagi, dan kali ini, muntahnya menyembur mengenai mukenah yang masih aku pakai. Aroma alkohol menyengat menusuk hidung. Tubuh ibu roboh, segera aku tangkap. Pagi ini, dia pasti sangat parah. Ibu butuh seseorang untuk menjaganya, tak mungkin aku meninggalkan dia dalam keadaan seperti ini.
Aku berusaha memboyongnya ke kamar mandi, dan setelah sampai di sana, ibu muntah berkali-kali. Hingga akhirnya, dia pingsan. Sungguh, bagi remaja sepertiku, perilaku ibu yang sangat bertentangan dengan kodrat seorang perempuan adalah cerminan yang bisa membuatku kacau dalam hari-hari. Namun, aku tidak ingin membuat luka ibu menganga, dengan menjadi anak yang suka mabuk-mabukan juga.
Kucoba membawa ibu ke tempat tidur, lalu kurebahkan dia di kasur. Kupandangi wajah ibu yang tengah pingsan, dia seolah tersenyum menatapku. Aku merindukan senyum itu, senyum yang membuatku bahagia, seperti kebanyakan anak.
“Bu… mengapa kita hidup dalam situasi yang berat?”
Tentu tak akan pernah ada jawaban, perlahan air mata ini menetes. Air mata kesedihan, sudah tak sanggup aku menanggung luka ini. Dan tentu saja luka ibu, yang sangat pedih. Aku tahu mengapa ibu kacau seperti ini, aku sangat paham. Sebab, kami sesama perempuan, dan perempuan tak akan pernah bisa berdiri sendiri tanpa seorang laki-laki, sekuat apapun perempuan.
“Hhh…,” ibu melindur, mungkin sudah sadar dari pingsan.
“Bu…”
Tetap tak ada jawaban. Sedangkan langit sudah mulai terang benderang, matahari pagi mulai menunjukkan keindahannya. Aku masih menatap ibu yang terbaring di atas kasur dengan air mata yang terus saja menetes. Perjuangan seorang ibu sangatlah berat, bagaimanapun, aku bisa besar seperti sekarang karena jerih payah ibu. Entah apa yang harus aku lakukan, aku sendiri masih belum bisa menjelaskan apa-apa, dan belum bisa berencana apa-apa. Aku hanya ingin lulus dan mendapatkan pekerjaan untuk membantu ibu. Wajah ibu semakin kulihat teduh, dia adalah seorang wanita cantik, diusianya yang tidak muda lagi, masih tampak guratan-guratan kecantikan.
“Bu… aku sangat sayang padamu, tolong jangan sakiti dirimu dengan mabuk-mabukan.”
Cahaya matahari, masuk ke dalam kamar dari pentilasi udara, sinarnya menyentuh wajah ibu, aku melihat cahaya dari wajahnya. Menyinari seluruh ruangan ini, air mata semakin deras bercucuran. Seorang perempuan yang terluka.
“Bu, aku janji. Kita akan selalu bahagia. Selalu bahagia…”
Hatiku, sungguh menjerit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Muawanah
mulai baca Thor 😉
2020-12-06
0
Priska Anita
Like dari Rona Cinta sudah mendarat disini 💜
2020-07-28
0
Aninda Putri
kasihan.
harus hidup bersama ibu yang pemabuk seperti itu😟
2020-03-29
1