Episode 17 - Ta'aruf atau Pacaran

Cinta dalam Islam adalah mencintai Tuhan. Jika seseorang sudah mencintai Tuhan, maka dia bisa mencintai dirinya sendiri, orang lain dan makhluk lainnya. Cinta terhadap Tuhan harus lebih besar, sebab mencintai Tuhan akan menimbulkan keyakinan dalam hidup, keyakinan adalah ketabahan yang teraliri kekuatan dari Sang Maha Kuat. Cinta menjadi ketabahan, jika orang mencintai sesuatu tanpa ada ketabahan, maka itu nafsu. Dan nafsu selalu tergesa-gesa tanpa peduli siapa-siapa.

Bukan berarti aku jatuh cinta terhadap Subhan. Walaupun dia memberikan perhatian besar kepadaku, seperti Roman. Namun, aku sudah belajar mengenal cinta yang sebenarnya, cinta yang tidak hanya rasa suka terhadap lawan jenis, tapi cinta yang didasari oleh agama. Dan kalau bicara agama berarti kita berbicara aturan, cinta yang memiliki aturan. Aku sadar, cinta yang memiliki aturan akan membuahkan hasil yang manis.

Malam ini, seluruh santri berkumpul di aula, untuk menyaksikan lomba dakwah, ini bukan babak final, masih permulaan. Aku juga mengikuti lomba dakwah tersebut, sebab lomba ini adalah lomba rutin setiap tahun. Seluruh santri diharapkan bisa berdakwah ketika lulus dari pesantren, mereka harus dengan ikhlas mengamalkan ilmunya pada masyarakat.

Khodijah dan Aisyah sedang bersiap-siap di kamar, begitu juga aku. Mereka memakai pakaian terbaik, dan jilbab terbaik. Sebab, jarang sekali kita bisa berkumpul dengan seluruh santri. Mungkin ini juga bisa dijadikan ajang mencari jodoh, sebab ada banyak kesempatan untuk bertemu dengan santri-santri laki-laki.

“Duh, jantungku kok bedebar-debar!” kata Aisyah sambil merapikan jilbabnya di depan kaca.

“Itu getaran yang wajar, sebab kita perempuan,” kata Khodijah.

“Perempuan? Maksud Kak Khodijah?”

“Perempuan kan selalu menunggu, saat ini kita sedang menunggu calon imam. Dan kesempatan itu ada, makanya timbul reaksi cemas, takut dan gelisah sehingga membuat jantung berdebar-debar tak menentu.”

“Kak Khodijah tidak cemas?”

“Tentu saja cemas… tapi, aku berusaha melawannya. Karena, terkadang ada Setan masuk ketika kita labil seperti ini.”

“Kalau Anggun?” tanya Aisyah.

Aku terkejut. Sebab dari tadi pikiran ini sedang mengembara kepada kenangan, Subhan. Senyumnya yang selalu ada dalam pikiranku ketika berpapasan untuk shalat berjamaah di masjid.

“Aku belum tahu…”

“Loh kok belum tahu? Bukankah sudah janjian dengan Subhan?” tanya Aisyah.

Eh? Kok Aisyah tahu tentang Subhan? Bukankah selama ini aku tertutup tentangnya, bahkan tentang kisah cintaku dengan Roman yang terpisah oleh kematian.

“Maafkan kami Anggun… saat itu kami melihatnya,” ucap Khodijah, mencoba menenangkanku.

“Melihat apa?”

“Melihat kamu dengan Subhan berpayung daun pisang. Pasti Anggun udah janjian sebelumnya ya untuk ke pasar? Ih… romantisnya!” Aisyah duduk di sampingku, sambil mencolek daguku, menggoda. Perempuan ini memang periang dan kekanak-kanakan.

Aku menunduk malu. Ada rasa bersalah juga pada mereka, seharusnya aku jujur saja dari awal. Mengapa aku terlambat datang ke pondok.

“Kami tidak menyalahkanmu kok, justru kami senang kalau kamu memang telah menemukan calon Imam di sini. Itu manusiawi…”

“Iya, Aisyah juga ikut senang! Apalagi Subhan itu ganteng loh!”

“Eh? Bukan! Aku tak sengaja bertemu dengan Subhan saat itu, dan ternyata dia adalah santri pondok jambu juga…”

“Nggak sengaja?”

“Iya… kami bertemu di pedagang sayuran, saat itu…”

“Pasti saling berebut sayuran. Waaah…. Romantis sekali! Seperti di film-film!”

Khodijah memandangku, dia pasti sedang mencari kejujuran pada diriku. Memang tidak mudah untuk menebak seorang perempuan, sekalipun perempuan itu yang mencoba menebaknya.

“Tidak seperti itu… hanya perkenalan biasa,” jawabku.

“Apa kamu juga memiliki perasaan itu?” tanya Khodijah.

“Perasaan apa?”

“Cinta.”

Aku diam, sedangkan Aisyah sudah senyam-senyum dari tadi, mungkin menunggu jawabanku, atau sudah menduga tentang jawaban itu.

“Entahlah…”

“Kok begitu jawabannya?” Aisyah kecewa, wajah berseri-serinya berubah menjadi muram.

“Apa kamu pernah patah hati sebelumnya?” tanya Khodijah.

Mendengar pertanyaan itu, aku menjadi gelisah. Aku bingung harus menjawab apa, aku tak tahu, sama sekali tak tahu. Aku juga tak bisa cerita tentang semuanya, tentang kisah hidupku pada mereka, aku tidak pernah bisa menceritakannya pada orang lain.

“Kok diam?” tanya Aisyah.

Aduh! Harus bagaimana aku menjawabnya Tolonglah, jangan menggali ingatan yang kelam itu.

“Mmm… perbedaan pacaran dan ta’aruf itu apa?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Khodijah dan Aisyah saling pandang, pasti mereka sedang menduga-duga tentang pertanyaanku, apa sebenarnya yang terjadi padaku. Mungkin itulah yang ada di dalam pikiran mereka masing-masing.

“Tidak ada bedanya, hanya istilah saja,” kata Khodijah.

“Eh? Hati-hati loh Kak Khodijah, ketahuan sama Bu Masriyah bisa-bisa kena marah!” seru Aisyah.

Aku juga terkejut dengan jawabannya. Mengapa dia bisa berkata seperti itu? Bukankah itu sangat bertentangan dengan prinsip orang-orang muslim kebanyakan?

“Pada prinsipnya, pacaran sama saja dengan ta’aruf, saling ingin mengenal satu sama lain. Hanya orang yang menjalaninya yang berbeda, ada yang baik, dan ada juga yang buruk. Dari situ terkadang pacaran dikategorikan jelek. Padahal bisa saja pacaran itu baik, jika batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan dilaksanakan.”

“Jadi, kita juga boleh pacaran?” tanya Aisyah.

“Boleh… tidak ada yang melarang. Asal kita menjalaninya dengan baik, sesuai petunjuk-petunjuk agama. Dan itu juga bisa disebut pacaran.”

“Tapi, orang bilang pacaran itu suka…,” Aisyah menghentikan ucapannya. Dia tengak-tengok tak menentu, kami heran melihat tingkahnya itu.

“Suka ciuman…” lanjutnya dengan suara pelan, dan dia juga merasa geli sendiri mengatakan itu.

Bulu kudukku merinding, ada perasaan aneh mendengar kata itu. Tapi Khodijah hanya tersenyum, senyum yang mengandung makna.

“Itu jika batasan-batasannya dilanggar. Ta’aruf juga akan sama jika batasan-batasan itu dilanggar, jadi semuanya tidak akan ada bedanya, tergantung orang yang menjalaninya.”

“Wah… bener juga! Ternyata Kak Khodijah berpengalaman ya…!!!” seru Aisyah.

“Jadi apa yang harus dilakukan perempuan untuk mendapatkan imam yang baik?” tanyaku.

“Menurutku, cara apapun bisa jika diawali dengan perkenalan yang baik pula. Dan saling terbuka satu sama lainnya. Pihak laki-laki, maupun perempuan.”

“Kayaknya udah ada yang mau berlabuh nih…,” ledek Aisyah.

“Bukan itu… tapi, aku sama sekali tidak paham tentang laki-laki. Aku tak mau salah langkah, apalagi dalam situasiku yang seperti ini,” jawabku.

“Memang kenapa dengan situasimu?” tanya Khodijah.

Ya Tuhan aku keceplosan! Jangan sampai mereka tahu keadaanku sebenarnya, aku tidak ingin hari-hariku dibayangi dengan kepedihan. Aku ingin semua kembali normal, di sini aku ingin bangkit dan melupakan lembaran hitam masa lalu.

“Ya… situasi jauh dari rumah… aku tidak mau mengecewakan semuanya,” jawabku.

“Oh… kirain situasi jatuh cinta dengan Subhan. Hehehe,” Aisyah nyengir.

“Aisyah centil nih!” aku mencubit pipi Aisyah yang mungil.

Lalu kami tertawa, semua beban terasa lepas. Beruntung aku bisa satu kamar dengan mereka, dua orang yang memiliki karakter bertolak belakang. Yang satu masih ke kanak-kanakkan sedangkan yang satu dewasa.

“Ya sudah… mari kita ke mesjid, nanti terlambat!” ajak Khodijah.

Kami bersiap, lalu berangkat ke mesjid. Beberapa santri perempuan juga ada yang baru keluar dari kamarnya. Lalu melangkah bersama ke mesjid, suasana di sekitar kami terang-benderang, lampu-lampu menyala, bulan bercahaya juga bintang-bintang, seolah mereka juga ingin menyimak lomba dakwah, lomba yang mengasah kecerdasan juga keberanian dan tentu saja memberikan manfaat bagi yang mendengarnya.

Beberapa santri laki-laki juga berdatangan, kami berjalan beriringan, namun masih menjaga jarak, sambil malu-malu diantara mereka mengobrol dengan santri-santri perempuan. Inilah indahnya kehidupan anak muda dalam islam.

“Assalamu’alaikum… Anggun, apa kabar?” tanya Subhan.

Aku terkejut dengan pertanyaan itu, apalagi ternyata yang bertanya adalah Subhan. Sejak kapan dia berada di sampingku? Dia juga tidak pernah merasa risih untuk mengobrol denganku. Aisyah dan Khodijah menahan tawa.

“Wa… Wa’alaikumussalam, baik,” jawabku gugup, kuatir jika terlihat oleh ustadz dan ustadzah yang mengajarkan kami, apalagi kalau kepergok oleh ibu Masriyah.

“Ikut lomba juga?” tanyanya.

“Iya…,” jawabku.

“Aku juga, mudah-mudahan menang ya!”

“Amiin…”

Aku menunduk, bingung juga harus berbuat apa lagi. Semua kikuk, aku malah gelisah, nggak tenang jika sudah begini.

“Ehem!” Aisyah berdehem.

“Oh iya… Aisyah dan Khodijah apa kabar?” tanya Subhan, merasa deheman itu memang disengaja oleh Aisyah.

“Akhirnya ditanya juga… kirain nggak kelihatan, hehehe,” Aisyah malah semakin meledek.

Subhan malu, dia hanya kebingungan harus bersikap seperti apa dengan ledekan Aisyah. Sementara aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, sudah tak bisa dipungkiri jika Subhan memang tertarik padaku, dan sengaja menunggu aku keluar dari kamar. Tapi, aku masih belum bisa menerjemahkan segalanya, ini semua masih awal, masih misteri.

“Baik kok…,” kata Khodijah, mencoba menetralkan suasana.

“Alhamdulillah… kapan maju untuk dakwah?” Subhan sudah bisa menguasai keadaan.

“Insya Allah, lusa…,” jawab Khodijah.

Dia nampak tenang saja, cara bicaranya juga tidak terdengar gugup. Mungkin Khodijah sudah matang dari segi pergaulan.

“Syukurlah… mudah-mudahan semua lancar.”

“Amiin…”

Beranda mesjid sudah terlihat. Suasana sangat ramai, dan di sini lebih terang dari biasanya. Pondok ini menyiapkan lampu-lampu tambahan, sungguh persiapan yang matang untuk melaksanakan lomba dakwah, padahal jika sehari-hari semua nampak biasa-biasa saja. Lomba dakwah adalah acara paling penting yang tidak ingin dihapus di pondok ini, walaupun di TV sudah banyak acara lomba-lomba dakwah dan lebih terkenal daripada lomba dakwah di pesantren pondok jambu.

“Aku duluan ya! Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumussalam…”

Serentak kami menjawab salam Subhan. Dan mata ini masih memandang punggung Subhan yang melangkah menjauh dari kami. Akankah laki-laki itu menjadi imamku, yang bisa membawaku ke dalam kebahagiaan, di dunia dan akhirat? Wallahu a’lam.

Terpopuler

Comments

BEE (@tulisan_bee)

BEE (@tulisan_bee)

Anggun .. semangat Nggun

2020-03-02

0

IF

IF

aku udah nemuin jawabannya disini. Tentang kalimat yang menunjukkan gugup

2020-02-12

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 37 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!