Episode 6 - Jalan Cinta

“Mengapa kamu memakai jilbab?”

Mungkin, pertanyaan itu bukan hanya dari Rifa, orang-orang lain akan bertanya dalam pikirannya, termasuk ibu.

Aku tak pernah bisa memikirkan lagi jawaban untuk Rifa. Sebab, dalam diriku sendiri masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Dulu, ibu juga pernah bertanya seperti itu ketika pertama kali aku memakai jilbab.

“Kamu itu mau jadi ustadzah?”

Aku hanya tersenyum—sambil mencoba mengenakan jilbab di depan kaca. Mata ibu merah, dia baru saja terbangun setelah mabuk semalam. Mata yang masih menyimpan cinta untukku, walaupun aku sendiri tahu bahwa cinta itu telah terbagi-bagi, atau telah mati terkubur oleh luka.

“Sini Ibu bantu pakai!”

Ibu berdiri di belakangku, lalu merapikan jilbab dan mengenakannya padaku. Sentuhan tangannya sangat halus menyentuh kulit wajahku, dan sesekali mengusap rambut agar tidak berantakan ketika memasang jilbab. Hanya beberapa menit, jilbab itu sudah terpasang di kepalaku.

“Ternyata, kamu semakin cantik jika memakai jilbab.”

Air mata ibu menetes.

“Ibu menangis?” aku membalikkan badan. Lalu, ibu duduk di tepi ranjang.

“Bukan menangis, hanya mengeluarkan air mata.”

“Itu tandanya menangis, Bu.”

“Berbeda Anggun. Menangis hanya sebuah sandiwara, tapi mengeluarkan air mata adalah sebuah kejujuran hati.”

“Ibu sedang bersedih?”

Ibu menggelengkan kepala. Ada sebuah rahasia yang disembunyikan olehnya, sesuatu yang mungkin tak ingin aku ketahui, atau sebaliknya? Ibu memang seorang yang memiliki banyak rahasia. Di usiaku yang sudah belasan ini, aku masih belum bisa menebak isi hati dan kehidupan ibu yang sebenarnya.

“Ibu?”

Dia bangkit dari duduknya.

“Apa Ibu akan selalu menyimpannya sendiri? Aku sudah besar Ibu….”

Mata ibu kini semakin sembab, lalu dia duduk kembali di atas tepi ranjang. Kegalauan memuncak, seolah hidupnya memang tak pernah memiliki cahaya, hanya kegelapan yang selalu menyelimuti setiap langkah.

“Ibu hanya teringat masa lalu.”

“Masa lalu? Mmm… apakah dulu Ibu memakai jilbab?”

Dia menarik napas panjang, lalu mengusap air matanya. Ada aura kebebasan ketika dia mengatakan masa lalu, seolah pintu rahasia itu akan terbuka.

“Sebelum Ibu pindah ke kota Jakarta, ibu mengenakan jilbab. Ibu datang dari sebuah desa yang jauh, sebuah pulau di seberang lautan.”

Aku tertegun—memasang kedua telinga untuk mendengarkan ceritanya. Akan tetapi, ibu menghentikan perkataannya, seolah menunggu pertanyaan dariku.

“Ibu terjebak di kota ini, Anggun.”

Ibu menangis tersedu-sedu. Air mata yang semula hanya menetes, kini mengalir deras, seperti air hujan yang jatuh dari saluran air atap rumah. Aku tak bisa berkata apa-apa, sebab aku juga tidak mengerti ucapan ibu, yang aku pahami bahwa dia dulu memakai jilbab.

“Ibu jangan menangis, ada Anggun di sini.”

Kami berpelukan, aku merasakan bahwa ibu sangat kesepian. Dia membutuhkan seseorang untuk berbagi rasa, dia butuh aku. Dalam hatiku berjanji, aku akan membahagiakan ibu, aku tak akan membiarkannya seorang diri.

“Anggun, berjanjilah pada ibu, bahwa kamu tidak akan pernah melepaskan jilbabmu, apapun yang terjadi.”

Kutatap ibu, sorot matanya tajam, seolah memerintahku tanpa ada alasan apapun untuk membantah.

“Memangnya kenapa Ibu?”

“Sebab jika kamu lepas jilbabmu, maka kamu akan merasakan kepedihan seperti Ibu.”

Kusadari sekarang, bahwa ibu memang terluka. Sangat terluka, hingga hidupnya dihabiskan untuk mengobati luka itu dengan caranya sendiri, dia tak ingin orang lain yang mengobati, dia merasa bahwa obat luka itu ada dalam dendamnya, ada dalam rasa bencinya sehingga dia memilih jalan yang selama ini aku anggap salah.

“Tapi…”

“Jangan membantah!”

Aku diam sejenak—mata kami beradu, getaran cinta ibu terasa jelas ke dalam hati. Aku menunduk.

“Baiklah Bu…”

Setelah mendengar jawaban dariku, ibu langsung memeluk erat diriku, seolah dia juga tak ingin kehilanganku, atau mungkin akan meninggalkanku selamanya. Entahlah, aku sendiri telah siap jika sesuatu menimpa diriku, sebab aku sadar, aku hidup di sebuah lingkungan kota yang tidak sehat, dimana orang-orang menjadi binatang, dan orang-orang selalu membuat curiga terhadap sesama.

Hanya saja, dalam hati berkata bahwa aku juga ingin ibu memakai jilbab kembali agar ibu tidak bisa merasakan kepedihan, agar ibu sembuh dari luka. Kulepaskan pelukan ibu ketika selesai mengatakan itu dalam hati.

“Ibu, mengapa tidak memakai jilbab lagi?”

Ibu berusaha tersenyum.

“Ini sudah menjadi pilihan hidup.”

“Pilihan hidup?”

“Iya, Ibu memilih terluka untuk selamanya.”

“Mengapa begitu, Bu?”

“Entahlah, mungkin luka juga bisa sebagai obat.”

Belum bisa aku terima jawaban itu, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Ibu lebih berhak untuk menentukan jalannya, dan aku juga saat ini masih dituntun olehnya menuju jalan yang aku inginkan.

Ibu bangkit dari tempat duduknya, lalu melangkah keluar kamar. Kupandangi punggungnya yang melewati pintu, aku bahagia memiliki ibu sepertinya. Mungkin, bagi orang lain ibu adalah seorang pemabuk, yang sering keluar malam, yang sering menerima tamu laki-laki di rumah, tanpa jelas siapa tamu laki-laki itu.

Tapi bagiku, ibu adalah segalanya. Dia juga menjadi seorang ayah, seorang kakak, seorang sahabat dan seorang guru. Walaupun, aku dan dia jarang sekali bercakap-cakap di rumah.

“Ibu!”

Dia menghentikan langkahnya. Aku mengejarnya, lalu menubruk tubuhnya, ada rasa yang sangat berdosa dalam hatiku. Aku seolah telah membuat luka baru untuk ibu, ketika aku selalu berpikir bahwa ibu seorang wanita penghibur. Aku sangat berdosa, aku yakin, ibu bukan seorang pelacur.

Jilbab ini aku kenakan, disaat hatiku yakin bahwa ibu bukan pelacur, ibu adalah seorang yang baik, dia hanya ingin melihat aku bahagia, dia memikirkan masa depanku. Jilbab ini menjadi sebuah keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah buta, Tuhan selalu tahu setiap hambanya yang beriman. Ibu mengusap kepalaku.

“Hei, malah bengong!” tegur Rifa.

“Eh? Tadi kamu nanya apa?” aku terkejut.

“Mengapa kamu memakai jilbab?” tanya Rifa.

“Ooh… Mmm… sebab aku tak ingin terluka di dunia dan di akhirat.”

“Maksudmu?” Rifa mengernyitkan dahinya.

Tiba-tiba bel masuk berbunyi, waktu istirahat sudah selesai. Aku bangkit dari tempat duduk, dan melangkah meninggalkan Rifa untuk masuk ke dalam kelas.

“Anggun, tunggu! Kamu belum jawab pertanyaanku!”

Aku terus melangkah, melewati siswa-siswa perempuan dan lelaki yang memandangku penuh curiga, mungkin karena aku berbeda dengan mereka, karena aku memakai jilbab. Tetapi, aku tak pernah membedakan mereka. Aku selalu ingin berteman dengan siapa saja, aku ingin menggenggam dunia dengan tali persahabatan.

“Memangnya terluka kenapa?” tanya Rifa.

Rupanya, dia berlari mengejar.

“Kamu mau pakai jilbab?” tanyaku balik.

“Pengen sih… habis kalau lihat di TV, banyak artis-artis pakai jilbab. Kayaknya bagus aja gitu, bisa terlihat makin cantik.”

“Ya… kalau begitu, pakai saja!”

“Tapi… keluargaku nggak berjilbab.”

“Memangnya berjilbab itu faktor keturunan?”

Rifa malah tertawa mendengar kalimat itu yang keluar dari mulutku. Sementara, aku juga terkejut mengapa perkataan itu yang keluar dari mulut ini.

“Biasanya kan begitu. Anak Bu Haji, pasti berjilbab.”

“Terus?”

“Aneh saja gitu kalau aku berjilbab, sementara orang tuaku tidak berjilbab.”

“Mmm… itu pilihan hidupmu. Aku sih nggak merasa terpaksa dan tentunya nggak mau maksain kamu juga, karena setiap orang memiliki hak untuk menentukan jalannya sendiri.”

“Duh, omonganmu aneh akhir-akhir ini!”

Aku hanya tersenyum—dan segera masuk ke dalam kelas, sebab guru-guru sudah keluar dari kantor untuk masuk ke dalam kelas yang akan diajar oleh mereka. Hati ini, menemukan sebuah jalan cinta yang semakin terang, dalam hidup ini.

Terpopuler

Comments

BEE (@tulisan_bee)

BEE (@tulisan_bee)

Bilang Nggun, berjilbab wajib ceodah 😂

2020-02-14

3

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 37 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!