Ketika melewati jalan ini, selalu ada cita-cita dalam benakku. Bagaimana tahan jika aku selalu melihat pemandangan di jalan tikus ini, berderet rumah-rumah beratap seng, berdinding papan-papan bekas. Di setiap pintu rumah, ibu-ibu menetei anak-anaknya, para lelaki telanjang dada, merokok, dan meminum alkohol. Pinggiran Jakarta yang sangat purba, padahal di sebelah perkampungan kumuh ini, berdiri gedung-gedung perkantoran, hotel-hotel dan diskotik.
Aku merasa semakin seorang diri dan terasing di kota ini. Apakah hidup ini terlalu pahit untuk aku jalani? Mereka yang hidup di antara gemerlap kota, seolah tak pernah sadar akan kesengsaraan orang lain. Hati nurani mereka, telah mati oleh sikap egois dan sentimentil. Ya, mungkin aku terlalu pesimis memandang hidup ini.
Tetapi, semua itu beralasan. Mungkin setiap orang tidak akan pernah memahami situasiku yang begitu sulit. Aku masih remaja, terlalu berat untukku menghadapi ini semua. Mengapa aku tidak seperti remaja pada umumnya, menikmati masa-masa indah tanpa beban hidup.
Suasana di sini semakin tidak nyaman. Kota yang terasa begitu sesak. Seperti hatiku yang semakin terhimpit dan gelap. Andai saja, keluargaku tidak berantakan, andai saja Ayahku hadir dalam hari-hariku, andai saja ibuku bukan pemabuk, andai saja Roman bisa mengetahui isi hatiku. Andai....
Aku ingin cepat sampai rumah, ibu pasti semakin kesepian, menghabiskan berbatang-batang rokok. Seorang wanita yang tak bisa mengurus dirinya sendiri, bahkan untuk memasak air saja, dia sudah malas.
Di depanku, terlihat pemuda mabuk. Dia sempoyongan, matanya merah dan tatapannya seperti ingin melucuti seluruh pakaiannya. Tetapi, aku harus melewati jalan ini. Inilah jalan satu-satunya menuju rumahku, di mana ibuku pasti tengah terkapar mabuk.
“Lihatlah, anak pelacur memakai jilbab!” celetuk seorang pemuda yang kulewati.
Aku diam—tak ada guna menanggapi seorang pemuda mabuk, beberapa temannya hanya menyeringai menatapku, seolah mereka melihat daging segar. Sebenarnya, hatiku geram mendengar ibuku dihina seperti itu, apalagi dari mulut kotor seorang pemuda mabuk, yang tidak mungkin bersih dan suci.
“Hai,” seorang dari mereka mencolek.
Aku berusaha menghindar, perasaan jijik melihat mereka. Pemuda-pemuda kota, kelakuan preman kampung. Telanjang dada, bertato, dan juga kumal.
“Ayolah… jangan seperti singa betina,” katanya.
Aku menerobos kerumunan mereka, namun salah satu dari mereka memegang tanganku. Aku berontak, meronta untuk melepaskan genggaman tangannya.
“Lepaskan!”
“Ouuu… binalnya.”
“Kalian seharusnya menghargai wanita!”
“Haha… aku memang mau menghargai dirimu, berapa tarif untuk satu malam?”
Semakin jijik aku mendengarnya, berniatpun tidak kuhargai diriku dengan uang, sebab kehormatan wanita tidak pernah bisa dibayar oleh apapun.
“Lepaskan aku!”
Dia semakin kencang menggenggam tanganku, ingin rasanya berteriak sekeras mungkin.
“Ayolah… temani kami semalam saja!”
Di sini, tak ada satu orang pun yang keluar dari rumah, atau menolongku dengan mengusir mereka. Air mataku mengalir, rasa sakit sangat terasa dalam hati. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya, tidak pernah sama sekali. Mereka justru semakin liar ketika melihat air mataku jatuh ke pipi.
Dengan sekuat tenaga, kutarik tanganku, lalu mendorongnya. Sehingga pemuda mabuk itu hilang keseimbangan dan jatuh. Aku berlari sekencang-kencangnya, dengan ketakutan yang sangat hebat menyerang diriku. Aku jijik, aku marah, aku takut dan aku benci dengan segala yang terjadi pada diriku.
Tangisku semakin deras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
BEE (@tulisan_bee)
Kamu kuat, Nggun!
2020-02-14
2
IF
Ah! aku makin suka.
Disini aku bener-bener bisa rasain jalan di gang itu, seandainya aku jadi anggun, aku nggak akan kuat Thor pulang ke rumah, takut!
2020-02-06
0