Jika aku tidak pernah menyukai seseorang, itu salah. Aku memiliki perasaan cinta terhadap lawan jenis, meskipun aku berjilbab. Tapi, aku tak bisa mengungkapkannya, walaupun sebenarnya permasalahan itu adalah masalah biasa bagi remaja-remaja sepertiku. Kebanyakan dari mereka memang hanya bisa mengagumi, tanpa bisa mengungkapkan, sebab kami adalah perempuan. Dan perempuan, menunggu untuk dicintai seseorang.
Sungguh sangat tidak masuk akal bukan, mengapa perempuan harus menunggu dicintai, apakah perempuan tidak bisa mencintai? Namun, ketika aku berusaha untuk melawan itu, dan menyatakan perasaanku kepadanya, tetap tidak sanggup.
Aku melangkah memasuki kelas dengan tergesa. Sudah biasa jika aku selalu datang terlambat, dan hanya aku yang tahu sebabnya kenapa, hanya aku yang tahu. Tidak ada seorangpun teman satu kelas yang tahu jika ibuku selalu pulang pagi dalam keadaan mabuk. Aku mengetuk pintu.
“Maafkan saya terlambat Bu,” kataku.
“Masuk, dan duduk!” perintah bu Umay. Seorang guru Geografi.
Aku melangkah memasuki kelas, lalu menuju bangku yang berada di barisan ketiga. Aku seperti tepat berada diantara sasaran para mangsa yang siap menelan hidup-hidup. Ya, entah mengapa, semua mata memandangku dengan pandangan yang sama, mungkin mereka bertanya, mengapa aku tidak melepaskan jilbabku, mengapa aku tak punya rasa malu berbeda sendiri dengan semua siswi.
Malu? Haruskah aku malu karena menutup auratku? Atau aku si pelanggar aturan? Toh, di sekolahku ini tak ada larangan bahwa siswi dilarang mengenakan jilbab meskipun bukan sekolah agama, tapi sekolah umum. Artinya, agama apapun boleh menimba ilmu di gedung milik pemerintah ini. Meskipun begitu, tetap saja aku heran, mengapa hanya aku sendiri yang mengenakan jilbab, padahal yang seagama denganku sangat banyak, ya, yang beragama Islam adalah mayoritas.
“Bu Haji terlambat lagi nih!” celetuk salah seorang murid.
Diikuti oleh tawa dari beberapa teman-teman satu kelas, sedangkan aku berusaha untuk tetap tersenyum, walaupun sindiran itu sangat sering menimpaku. Mengapa tidak ada sindiran lain, yang lebih kreatif.
“Sssttt… Sudah, jangan berisik! Kita sedang belajar, dan saya tidak ingin keributan!” suara bu guru Umay menghentikan riuh ruangan.
Aku terus melangkah, melewati Roman. Pandangan mata kami beradu, jantungku berdebar-debar. Dialah laki-laki yang aku kagumi, seorang yang pandai bergaul, pintar dan juga cekatan. Bertolak belakang denganku memang, yang hanya senang sendiri. Aku mempercepat langkah, kemudian duduk.
“Kamu sudah mengerjakan PR belum?” tanya Rifa, teman sebangku.
Ya Tuhan—aku lupa, kalau ada PR Geografi. Membuat peta Indonesia, dan katanya hasil gambar peta Indonesia yang paling bagus akan dipajang di ruang kreativitas murid, mendapatkan hadiah, dan tentu saja nilai tambahan. Sungguh, ini bukan unsur kesengajaan.
“Anggun, mana hasil menggambarmu?” suara bu guru Umay mengejutkanku.
Aku hanya diam, memandang wajah ibu guru yang sudah sedikit tua. Mungkin, sebentar lagi akan pensiun. Di Sekolah Negeri ini, banyak sekali guru-guru yang masa kerjanya akan segera berakhir, entah mengapa. Mungkin karena sekolah kami bukan termasuk sekolah terfavorit, atau bertaraf Internasional, dan sekolah kami berada di pinggirian kota Jakarta yang banyak dihuni oleh kalangan kelas bawah.
Bu guru Umay sudah paham dengan tatapanku. Lalu, dia memintaku untuk keluar ruangan, dan berdiri di depan kelas kami. Aku tak bisa mengelak, yang aku harus lakukan hanya menjalankan hukuman itu, sebab memang atas kesalahanku sendiri. Namun, beberapa murid hanya tertawa puas, entah apa yang ada pada diriku sehingga aku harus selalu menjadi bahan tawaan mereka dan aku terpaksa harus menerima perlakuan yang tidak baik dari teman-temanku.
Apa karena aku berjilbab? Sehingga mereka menganggapku berbeda, dan bukan dari bagian mereka? Ah, lagi-lagi tentang jilbab. Ini tak adil! atau, karena aku adalah anak dari seorang ibu yang senang mabuk? Sehingga Tuhan menghukumku seperti ini lewat perlakuan teman-temanku? Oh Tuhan, ini lebih menyakitkan lagi bagiku.
“Jangan salahkan dirimu, Anggun.”
Aku tersenyum kepada pak Mustaf, penjaga sekolah yang tengah mengangkut tong sampah. Dia seorang pria yang juga sudah tua, mungkin beberapa tahun lagi akan pensiun. Dia yang selalu menghiburku di sekolah ini. Seorang penjaga sekolah yang hidup hanya sendiri, tanpa anak dan istri.
“Terima kasih, Pak.”
Aku ingin menangis di depan kelas ini, di sebuah lorong sekolah yang sepi, sebab semua siswa tengah mengikuti pelajaran di kelas masing-masing.
“Terkadang, apa yang menimpa diri kita adalah sebuah pelajaran untuk membuat kita sukses. Kamu hanya harus bersabar,” kata pak Mustaf. Lalu dia pergi mengangkut tong sampah, tenaganya masih sangat kuat walaupun badannya ringkih.
Aku selalu senang dengan ucapan pak Mustaf, walaupun aku sangat benci dengan kata bersabar, sudah seumur hidupku, aku bersabar. Kuterus menatap pria tua itu, sementara ia berlalu meninggalkanku, andai aku memiliki seorang ayah yang seperti dia, tentu akan sangat menyenangkan hidupku.
Pertanyaan tentang ayah bukan tidak pernah aku lontarkan kepada ibu, namun tetap saja tidak pernah ada jawaban. Aku tak pernah mendengar sebuah nama laki-laki yang ibu sebutkan, hanya tatapan benci ketika aku menanyakan hal itu. Ayah mungkin seorang laki-laki ****, yang tega meninggalkan ibu dalam keadaan miskin. Tapi, aku ingin mengetahui siapa ayahku, bagaimana raut wajahnya, dan seperti apa sifatnya.
Kata orang, anak perempuan lebih mirip ayahnya daripada ibunya. Apakah ayahku juga seorang yang kesepian?
“Mengapa menangis?”
Aku terkejut—Roman berada di sampingku, matanya meneliti raut wajahku. Tentu saja, kedatangannya itu membuatku kaku.
“Dihukum begini saja menangis!”
Aku beranikan diri menatap wajah Roman. Hati ini tersinggung dengan ucapannya, tahu apa dia tentang diriku.
“Mau marah?”
“Mengapa kamu sok peduli padaku?” tanyaku.
“Siapa yang peduli? Gue cuma nggak suka lihat orang cengeng,” katanya sambil pergi. Mungkin, dia akan ke toilet.
Aku menarik napas lega, menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Lelaki itu memang mengagumkan, mungkinkah dia juga memerhatikanku? Entahlah, aku hanya butuh seseorang untuk berkeluh-kesah atas apa yang terjadi pada diriku. Aku butuh orang yang bisa kupinjam bahunya untuk kusandarkan kepala. Inikah perasaan seorang remaja yang kesepian, membutuhkan sebuah ketenangan, yang dapat menyejukkan hati.
“Mau kemana, Anggun?” tanya bu guru Umay, ketika aku melangkahkan kaki. Aku menoleh ke dalam kelas.
“Ke… ke toilet Bu, boleh saya pergi?”
Bu guru Umay mengangguk, dan tanpa pikir panjang aku pergi ke toilet. Sebenarnya, aku berharap berpapasan dengan Roman di sana, mungkin aku bisa menatap matanya, atau sedikit berbasa-basi.
Sesampainya di toilet, segera kubasuh wajahku. Walaupun aku ingin muntah masuk toilet yang sudah kotor dan tak terurus. Bangunan sekolah ini juga sudah hampir roboh. Sungguh memprihatinkan, sebuah gedung sekolah di ibu kota yang tak terawat dan tak diperhatikan pemerintah. Apa karena orang-orang yang tinggal di lingkungan sekitar sekolah kebanyakan kuli dan pedagang kaki lima sehingga tak ditoleh oleh pemerintah?
Kubenarkan letak jilbabku, mataku sedikit sembab, namun aku merasakan wajahku tidak buruk untuk seorang remaja. Kenapa Roman tidak tertarik padaku? Apakah karena aku berjilbab, sehingga merasa terbatas. Tidak seperti perempuan-perempuan remaja lainnya yang senang berdandan, dan memakai rok-rok pendek, bahkan genit terhadap laki-laki.
Setelah merasa cukup, aku keluar dari toilet. Melangkah menuju kelas, akan tetapi langkahku terhenti. Di depanku, ada Roman yang tengah berdiri, mengobrol dengan seorang murid laki-laki dari kelas lain. Hati ini berdetak cepat, sebab aku harus melewati mereka, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus putar balik? Tapi, bukankah aku ingin bisa papas an dengan Roman?
Daripada terlihat seperti orang bodoh—aku melangkah perlahan, menundukkan kepala. Biarlah, aku kehilangan wajah Roman, kehilangan tatapannya, daripada aku harus mengorbankan harga diri dengan genit kepada mereka.
“Tunggu!” Suara Roman mengejutkanku, tiba-tiba langkahku terhenti.
“Kudengar dari Rifa suara lo bagus?” tanya Roman setelah berdiri di sampingku.
“Suaraku?”
“Iya, masa suara kodok.”
“Ah, Rifa suka mengada-ngada,” kataku tersipu malu.
“Gue butuh vokalis.”
“Vokalis? Untuk apa?”
“Ya untuk nyanyi, masa mau kosidahan!”
“Tapi, aku nggak pernah menyanyi.”
“Itu bisa diatur, yang penting lo mau apa nggak?”
Aku diam sejenak—ini memang kesempatanku untuk dekat dengan Roman, dan tentu saja aku bisa mengetahui semua tentang dirinya yang selama ini hanya kuterka dalam kepala saja. Pandangan mata Roman sangat serius, dan dia memang benar-benar menginginkan aku bergabung di grup bandnya. Ya, setiap remaja di sekolah ini memiliki band musik, bahkan ada juga yang mengamen dari bis kota ke bis kota.
“Aku nggak bisa, maaf…,” kataku.
Pandangan Roman berubah—mengapa itu yang keluar dari mulutku? Keinginan ini sangat besar untuk dekat dengan Roman, namun ada hal lain yang menolak, dan tolakan itu tidak bisa aku ketahui alasannya. Seolah, dia keluar begitu saja, dan menginginkan aku melakukan hal lain, yang lebih berguna.
Roman tidak berkata lagi, dia berjalan meninggalkanku. Aku hanya menatap dia melangkah, mengapa aku menolaknya? Ya Tuhan, harus bagaimana aku memulainya, sementara dia sudah membuka pintu, untuk diriku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
IF
Ceritanya enak dibaca Thor, tau-tau udah di part akhir... emang beda kalo yang bener-bener ngerti seputar penulisan.
Aku mau rombak tulisanku yang kacau balau!
2020-02-06
0