Roman memandang wajahku, di samping sekolah yang mau roboh. Dia mencoba menjadi seorang psikiater, menenangkan jiwaku yang terguncang. Ibu masih terbaring di rumah sakit, mengalami pembekuan darah di dalam kepalanya. Dokter tak bisa melakukan apa-apa, pihak rumah sakit menunggu biaya dariku, sementara aku sudah menawarkan rumah dijual untuk dana pertolongan ibu.
Apa yang harus aku lakukan? Selama ini, Ibu yang selalu menolong hidupku, dari kecil hingga dewasa. Ibu yang selalu ada dalam setiap hari-hariku, sebegitu tidak bergunanya aku disaat Ibu membutuhkan pertolongan?
Aku ingin teriak, ingin menangis sekeras-kerasnya. Begitu sulit keadaan yang aku hadapi saat ini. Aku tak memiliki siapa-siapa selain Ibu. Sementara, aku masih remaja, tak bisa berbuat apa-apa selain menangis.
“Ujian Nasional hanya menunggu hari. Lo harus fokus!”
“Roman, aku tak bisa. Ibu butuh aku!”
“Gue ngerti, tapi yang terpenting adalah masa depan lo.”
“Ibu juga masa depanku!”
Roman diam. Mungkin baru ini dia melihat aku membentaknya. Aku memang tidak pernah sepanik ini. Siapa yang tidak panik jika ibu dalam keadaan pingsan, tak ada yang bisa tenang-tenang saja bukan?
“Oke kalau begitu. Gue yakin lo bisa mengatasinya.”
Roman bangkit dari tempat duduknya, dia melangkah meninggalkan aku. Sementara hati ini tak rela jika Roman pergi begitu saja. Mungkinkah dia kecewa dengan sikapku ini? Dia pasti marah, akan tetapi, aku tidak bisa menghindar dari perasaan kalut ini. Aku hanya memandang punggungnya.
“Roman, tunggu!”
Dia menghentikan langkah, aku berlari mengejarnya. Ingin rasanya memeluk tubuh laki-laki berandalan ini, tapi tak akan pernah bisa aku lakukan.
“Kamu tidak marah bukan?”
Roman memandang wajahku, wajah yang diliputi kekhawatiran. Kemudian dia tersenyum, baru kali ini aku melihat senyumnya yang manis.
“Nggak ada yang harus dimarahi. Aku juga bingung, ingin membantu, tapi aku tak bisa."
Mendengar kata-katanya, hati ini bahagia, paling tidak itu bisa membuat aku kuat dalam mengatasi permasalahanku ini. Walaupun semua orang tahu, hidup di dunia ini selalu saja terbentur dengan masalah. Apapun itu, tak ada yang bisa mengelak, namun setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.
Air mataku menetes karena terharu. Perlahan tangan Roman menyentuh pipiku, dan menghapus air mata. Ada getaran aneh yang menyentuh jantung ketika tangan Roman menyentuh kulit pipi. Baru kali ini, aku merasakan sentuhan laki-laki, dan aku tidak menolaknya, aku ingin Roman tetap di sampingku.
“Gue tunggu lo di hari kelulusan,” katanya. Kemudian dia melangkah meninggalkanku.
Mata ini tak sanggup memandang dia menjauh. Seolah aku tidak akan bertemu lagi dengannya, entah ini hanya perasaanku, atau sebuah firasat.
Masih terbayang wajah Roman yang tulus. Perkenalan yang singkat dengannya membuat diriku yakin bahwa bukan hanya aku yang menghadapi hidup sulit di dunia ini. Namun, orang yang tak pernah menyerah dalam kehidupan sulit, adalah pemenang. Tidak harus aku cengeng seperti ini, bukankah Ibu selalu mengajariku untuk dewasa dan mandiri.
Ya, Ibu adalah sosok perempuan yang sangat teguh dan tangguh. Aku harus menjadi perempuan yang lebih tangguh dari Ibu. Harus.
Trrttt…
Ponselku bergetar dalam saku, segera kuangkat.
“Assalamualaikum.”
“Nyonya Anggun. Kami dari rumah sakit, Nyonya Sulastri dalam keadaan kritis!”
Aku segera berlari, dalam pikiran berbagai macam kekalutan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
BEE (@tulisan_bee)
Yang sabar ya Nggun 😭
2020-02-22
0