Aku yakin Tuhan adalah sumber kekuatan bagi wanita-wanita lemah yang mengalami keterpurukan seperti diriku, dan kelak akan memunculkan wanita-wanita kuat menuju masa depan. Keyakinanku bertambah ketika melihat begitu banyak wanita mengikuti lomba dakwah, mereka sangat piawai, cerdas sekaligus terlihat cantik di atas panggung. Aku sendiri sebagai wanita mengaguminya.
Sungguh, di sini aku menjadi wanita dewasa, mendapat pelajaran berharga dari banyak santri yang datang dari berbagai daerah, berbagai status sosial. Pengalaman menyaksikan dakwah itu membuatku semakin semangat untuk mengikutinya, walaupun ilmu agama yang kudapat masih terbilang hijau, namun aku yakin Tuhan bersama orang-orang yang mau berusaha.
Khodijah dan Aisyah juga tertantang, mereka sudah bolak-balik perpustakaan untuk mencari bahan-bahan dakwah, mencari tafsir-tafsir kitab suci. Sebagai anak yang lahir di kota, di pemukiman kumuh, tentu saja bahan-bahan tentang keagamaan hanya sedikit sekali dapat dipahami olehku. Apalagi aku hanya mendapatkan ilmu agama dari guru ngaji yang sudah berumur dan hanya satu-satunya di pemukiman itu.
Ini bukan salahku, bukan juga salah ibu. Lingkungan yang membentuk aku menjadi seperti ini, walaupun aku sudah mencoba bertahan, namun tetap saja, pemahaman tentang ilmu agama tidak bisa dibohongi.
Malas. Kata itu juga mungkin tepat untuk menjawab kegelisahanku. Kemalasan yang membentuk aku menjadi pribadi yang cengeng, sering sedih dan gusar. Kemalasan itu sebuah virus bagi manusia, siapapun bisa teraniaya oleh kemalasan. Sebab dengan memelihara kemalasan, akan merasa sering galau. Menghadapi sebuah keadaan.
“Ibu… Apakah surga itu telah kamu dapatkan?”
Mataku memandang langit dari atas menara mesjid. Bintang-bintang bersinar terang, bulan sabit seolah tersenyum padaku. Terasa sunyi, dan aku sangat menyukainya, tempat ini telah kutemukan untuk penyendirianku. Di atas menara masjid ini, aku bisa berbicara dengan ibu, mengobati kerinduanku.
Aku terkadang lemah jika rasa malas itu muncul dalam kesendirianku ini. Untuk apa aku hidup? Jika Ibu sudah tiada, dan bapakku seorang ******** yang tega ingin memerkosa anaknya sendiri. Lantas bagaimana dengan orang lain? Dengan Khodijah, Aisyah, Subhan, ibu Masriyah, apakah mereka juga akan berbuat sama? Mencampakkan aku setelah tak ada artinya lagi dalam diriku. Pasti mereka akan membuangku jika tahu masa laluku, jika tahu bahwa ibuku adalah seorang wanita yang sering pergi malam dengan make up tebal demi memikat kaum laki-laki.
“Ibu… apakah aku berdosa jika membencimu? Padahal engkau tidak pernah membenciku, tapi kau selalu melindungiku, selalu ingin yang terbaik untuk anakmu…”
Bulan sabit di atas menara, menjadi saksi kegaduhan hati. Aku tak bisa mudah lepas dari bayang-bayang luka masa lalu. Aku ingin menyerah, aku sudah kalah dalam pertarungan dunia, sudah tak ada harapan. Apakah aku pantas berdakwah di depan umum, memberikan pencerahan kepada yang gelap, sedangkan aku sendiri berada dalam kegelapan.
Malam yang menyimpan syahdu bagi para pujangga. Begitulah sering aku dengar dari puisi, malam ini aku ingin berpuisi kepada ibu. Seorang gadis yang sebatang kara, sangatlah tidak mudah hidup dalam perantauan. Dan aku juga tak tahu apakah ini dinamakan perantauan, sedangkan sekarang aku sudah tak memiliki kampung halaman.
“Menangislah… Ibu tak akan pernah melarangmu,” terdengar suara ibu bagitu nyaring.
Aku menengok ke kanan dan kiri, seolah ada orang lain di sekitar menara ini. Aku terluka menerima kenyataan ini, ingin rasanya aku membenci hidupku, tapi, untuk apa? Di sini seharusnya aku semakin maju, namun tetap saja kesepian.
Aku merasakan penderitaan ibu, aku merasakan penderitaan cintanya yang dikhianati, aku tak ingin mendapatkan imam seperti ayahku, aku ingin imam yang dapat menjaga diriku dari sentuhan api neraka.
“Kamu mengapa menangis?”
Aku tersentak, kualihkan pandangan pada datangnya suara, Subhan berdiri bersandar di tembok menara. Dia masih memakai kopiah, baju koko dan celana panjang. Senyumnya terhalang bayang-bayang bulan.
“Sejak kapan kamu ada di situ?” tanyaku pada Subhan.
Tentu saja aku khawatir dia menguping kesedihanku, seorang wanita yang rahasianya diketahui oleh laki-laki adalah aib, aku tak ingin dia tahu lebih jauh tentang diriku, aku dan dia masih belum saling mengenal, lagi pula ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh laki-laki dan perempuan, yaitu berduaan di tempat gelap.
“Aku baru saja sampai, rencananya mau mengecek toa itu,” katanya sambil menunjuk ke arah toa besar.
“Kalau begitu, silakan…”
Aku berdiri dan melangkah untuk menuruni tangga.
“Tunggu!”
Subhan meraih tanganku. Ada getaran yang hebat ketika tangan ini tersentuh, mengapa dia berani melakukan ini? Padahal kami bukan muhrim.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ucapnya.
“Aku hanya ingin sendiri saja!” kataku, kemudian menunduk.
“Tidak mungkin jika tidak ada sebab. Ceritakan saja…. Mungkin aku bisa bantu.”
“Tidak ada yang harus diceritakan. Bahkan jika harus, aku meminta kamu untuk melepaskan tanganku!” kataku tegas.
Subhan tersadar, kemudian dia melepaskan tanganku.
“Maaf… aku hanya…”
“Kumaafkan,” jawabku.
Kemudian aku menuruni tangga dengan tergesa-gesa, aku tidak mau ada orang yang melihat kejadian ini. Aku takut ini akan menjadi fitnah, apa yang akan terjadi padaku jika fitnah itu menyebar di pesantren ini, bisa-bisa aku dan dia dikeluarkan.
Bulan sabit masih melingkar di atas langit, aku terus berjalan tergesa-gesa menuju kamar. Sementara suasana sangat sepi, tak ada satu pun orang-orang yang melintas. Aku merasa takut, ternyata tanpa sadar terlalu malam aku duduk di atas menara itu, dan mengapa Subhan berada di situ? Tak mungkin jika tidak sengaja.
Apa mungkin dia memang berniat buruk padaku? Nggak mungkin! Dia seorang santri yang baik, semua itu pasti hanya kebetulan saja. Sinar bulan menyinari langkahku, keadaan terang benderang walaupun bulan tidak sedang purnama.
Tiba-tiba aku melihat bayangan. Langkahku terhenti, aku memerhatikan arah banyangan itu, apakah manusia? Atau yang lain? Aku harus segera masuk ke dalam kamar, aku tak ingin terjadi sesuatu, apalagi sampai ketahuan petugas keamanan pesantren. Aduh, mengapa rasa takut semakin menyergap.
“Ibu, apakah aku berdosa?”
Rasa berdosa bertemu dengan laki-laki di tempat gelap menghantui diriku. Ini seketika saja muncul saat aku banyak memahami ilmu-ilmu agama, biasanya aku dan Roman sering berduaan di tempat umum, meski aku memakai jilbab, aku tidak pernah merasa risih. Berbeda dengan sekarang, aku benar-benar merasa bersalah. Ternyata, lingkungan memang bisa membentuk karakter menjadi baik atau buruk.
Kakiku terus melangkah, sangat cepat. Aku memakai gamis, dan ketika tergesa-gesa aku melangkah, kakiku tersandung, mungkin salah satu kakiku menginjak gamis yang kukenakan. Aku tak bisa menahan keseimbangan, lalu terjatuh.
Bulan masih tersenyum di langit malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
BEE (@tulisan_bee)
Hati hati atuh nggun
2020-03-02
0