19. Teka-teki baru

Bjorn terbaring tak sadarkan diri di atas tanah yang lembap. Beberapa helai daun lebar menjadi alas sementara bagi tubuhnya yang lemas. Wajahnya yang pucat disinari cahaya api unggun yang berkobar di dekatnya, sesekali tertutup bayangan orang-orang yang menari-nari di sekitarnya. Di sampingnya, Theo juga terbaring pingsan, nafasnya teratur dan tenang. Yver duduk bersila di hadapan api unggun, matanya tertuju pada kobaran api dengan tatapan kosong.

Perlahan, Bjorn membuka matanya. Kelopak matanya yang berat terangkat sedikit demi sedikit, menyingkap bola mata yang merah dan lelah. Ia mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya api unggun yang menari-nari. Telinganya dipenuhi oleh suara musik dan percakapan riuh yang berasal dari orang-orang di sekitarnya. Ia merasa pusing dan bingung, seperti baru saja terbangun dari tidur yang sangat panjang.

Dengan susah payah, Bjorn mendudukkan dirinya. Ia memegangi dahinya yang berdenyut nyeri, mencoba menghilangkan rasa sakit yang menjalar di kepalanya. Ia menatap sekelilingnya dengan bingung. Suasana yang sebelumnya penuh ketegangan dan pertempuran kini berubah menjadi hangat dan ramah.

Rekan-rekannya sedang asyik berbaur dengan penduduk Kekaisaran Platas, bercanda dan tertawa bersama. Bahkan kelompok Silver Judge yang dingin dan pendiam pun terlihat ikut menikmati suasana malam itu.

Di tengah keriuhan pesta yang meriah, Neil menari dengan riang gembira bersama sepasang Goblin kerdil. Mereka bergandengan tangan, melompat-lompat kecil mengikuti irama musik yang dimainkan oleh para musisi Kekaisaran Platas. Kaki kecil Neil yang tak beralas menginjak-injak tanah dengan lincah, gelang lonceng kecil di pergelangan kakinya berdenting riang setiap kali ia bergerak. Tawa ceria Neil berbaur dengan suara musik dan nyanyian para monster, menciptakan suasana yang penuh kegembiraan.

Tak jauh dari sana, Sulpha dan Marten duduk berdampingan. Mereka sibuk memoles senjata masing-masing dengan penuh perhatian, seolah-olah sedang merawat bayi yang baru lahir. Sulpha dengan telaten membersihkan busurnya dari debu dan kotoran, sementara Marten dengan seksama memeriksa setiap bagian senapan sihirnya. Sesekali, mereka bertukar pandangan dan membandingkan hasil bidikan mereka, berdebat tentang siapa yang lebih akurat.

Di sudut lain, Januza dan Larson tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Mereka berdua duduk bersisian, meneguk gelas demi gelas bir yang disajikan oleh para pelayan Kekaisaran Platas. Tawa mereka meledak sesekali, tanpa alasan yang jelas. Mereka bernyanyi bersama, suara serak mereka berbaur dengan musik yang kian riuh. Rangkulan erat menghubungkan kedua pria itu, menunjukkan keakraban yang terjalin di antara mereka meskipun baru saja berkenalan.

Amoria sedang sibuk mengipasi daging bakar di atas api unggun yang lain bersama Myokolenko, si Ogre kekar yang sebelumnya menjadi lawan mereka di arena. Di sampingnya, Aleah juga membantu mengipasi daging dengan daun beruas lebar. Amoria mengamati Aleah dengan penasaran. Orang misterius itu masih mengenakan zirah lengkapnya, terlihat sangat tidak nyaman dengan pakaian yang menahan panas dan asap di dalamnya. Tiba-tiba, Aleah membuka helm besinya dengan sembunyi-sembunyi, mengeluarkan desahan lega. Amoria terkejut. Di balik zirah besi itu, ternyata tersembunyi seorang gadis yang cantik dan anggun.

Moku, si Lizardman, sedang berkompetisi dengan Odin. Mereka berdua berlomba memakan daging bakar dengan lahap, tatapan mereka tajam dan penuh tekad. "Kalau aku menang," ucap Odin dengan mulut penuh daging, "Aku akan menjadi kakaknya Neil yang imut itu!"

"Apa-apaan ini?" gumam Bjorn, matanya menyipit menatap pemandangan di hadapannya dengan kebingungan. Ia masih sulit memahami situasi yang terjadi. Beberapa saat yang lalu, ia masih bertarung melawan adiknya di dalam kastil. Dan sekarang, ia terbangun di tengah pesta api unggun yang ramai dan meriah.

Tiba-tiba, Theo terbangun dari pingsannya. Ia bangkit dengan cepat, lalu berlari ke arah Moku yang sedang asyik melahap daging bakar. "Moku! Pelan sedikit!" seru Theo sambil memukul kepala Moku dengan ketus. "Berbagi dengan temanmu yang lain!"

Bjorn menoleh ke arah Yver dengan tatapan penuh tanya. "Yver, jawab aku," pintanya, "Apa yang terjadi?"

Yver mengangkat kedua bahunya, berpura-pura tidak tahu. "Aku juga tidak mengerti," jawabnya dengan santai.

Bjorn menggelengkan kepalanya dan kembali memijat dahinya. Ia merasa semakin pusing dengan situasi ini.

Theo, yang sedang asyik menikmati daging bakar, tiba-tiba tertegun. Ia mendengar suara riuh dari balik kerumunan, dan rasa penasaran muncul di hatinya. Ia mengintip dari sela-sela tubuh orang-orang yang berada di depannya, dan matanya melebar saat melihat seorang gadis kecil berambut pirang keemasan sedang menari dengan ceria. Gadis itu bergandengan tangan dengan si goblin, Mapier dan Mesael, melompat-lompat kecil mengikuti irama musik sambil memutari api unggun.

Theo menepuk bahu Moku, lalu meninggalkannya begitu saja. Ia berjalan menuju gadis kecil itu, tatapannya terpaku pada sosok yang familiar itu.

"Cukup dulu menarinya," ucap Theo tiba-tiba, muncul dari balik kerumunan bagai hantu yang tiba-tiba menjelma. Neil, yang sedang asyik berdansa, terkejut dan menghentikan gerakannya. Ia berputar, menatap Theo yang berdiri rapat di belakangnya dengan ekspresi bingung. Mata cokelatnya yang besar berkedip-kedip.

Theo mengambil segigit daging bakar dari tangannya, menatap Neil dengan angkuh sambil mengunyah dengan lahap. Meskipun ia tidak mengatakan sepatah kata pun, matanya menjelajahi wajah Neil dengan seksama. Ia memperhatikan anting bundar berwarna merah tua yang menghiasi telinga kiri Neil, dahi gadis itu yang berbintik-bintik keringat, dan dua bola mata cokelatnya yang berkilau di bawah cahaya api unggun. Ia memicingkan matanya, mengamati warna rambut Neil yang pirang keemasan, yang sangat mirip dengan warnanya sendiri. "Rambutmu pirang..." ucap Theo akhirnya, masih mengunyah daging bakar di mulutnya, "Apa kamu orang Jerman?"

Neil mengangkat sebelah alisnya, menatap Theo dengan ekspresi bingung. "Jerman?" tanyanya, "Tidak-tidak, namaku Neil Erez."

Mendengar nama itu, rahang Theo terjatuh. Ia menelan paksa daging yang masih ada di mulutnya, lalu menoleh ke arah Bjorn dengan mata melotot. "Kau sudah punya anak, Kak?!" teriaknya dengan suara lantang, membuat semua orang di sekitar mereka menoleh.

Bjorn mengalihkan pandangannya dari kerumunan yang meriah, melipat bibirnya ke dalam sambil mengangguk-angguk pelan. Ia tampak sedang merenungkan sesuatu dengan serius. Tiba-tiba, ia mengangkat kepalanya dan menatap Theo dengan tajam. "Kau mungkin lupa ingatan!" serunya dengan suara lantang, "Dia gadis yang tadi siang kau culik!"

Seketika, suasana pesta yang meriah berubah menjadi hening senyap. Musik terhenti, tawa reda, dan semua mata tertuju pada Theo. Moku, yang sedang asyik menggigit daging bakar, terkejut hingga daging itu jatuh dari mulutnya. Myokolenko, yang sedang mengipasi daging di atas api unggun, begitu terpaku hingga ia tidak menyadari bahwa kipas di tangannya sudah terbakar. Mapier dan Mesael, yang masih bergandengan tangan dengan Neil, tiba-tiba pingsan di tempat.

"BOS MENCULIK MANUSIA?!!" teriak seluruh monster penduduk Platas dengan serempak, suara mereka bergemuruh seperti petir di siang bolong.

"Ti-tidak lah!" bantah Theo dengan suara melengking.

"MASA?!!" sahut seluruh anak buahnya dengan nada tidak percaya.

"Aku serius, sialan!" teriak Theo lagi, suaranya semakin tinggi.

Neil, yang melihat Theo semakin terpojok, mengacungkan tangannya dan memutar badannya menghadap kerumunan. "Tunggu!" serunya, "Kalian salah paham! Paman Bos tidak menculikku!"

"Tidak-tidak," Theo mencoba mengoreksi perkataan Neil, "Namaku Theo, bukan Bos."

"Paman Bos ini adalah korban salah paham!" lanjut Neil, mengabaikan protes Theo.

"Hei... kau sepertinya tidak mendengarku," gumam Theo dengan kesal, merasa diabaikan.

Bjorn, yang sudah tidak tahan lagi melihat kebodohan adiknya, melompat dari tempat duduknya. "Neil!" teriaknya, "Kau juga kena lupa ingatan?"

Yver menepuk dahinya, menghela napas panjang.

Neil langsung menyahut, "Paman Bjorn, aku tidak lupa ingatan! Sungguh!"

"Benar, Kak! Kami semua ingat semuanya," timpal Theo.

"Diam kau, penculik anak-anak!" Bjorn melotot tajam pada Theo.

Yver menggelengkan kepalanya, "Hentikan pertengkaran sepele ini. Aku akan jelaskan semuanya, walau sebenarnya aku malas." Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Duduklah kalian semua dan dengarkan baik-baik"

Yver berjalan ke tengah lingkaran api unggun. "Pertama, Neil tidak pernah ada di Koloseum Platas. Dia terikat di pohon, di tempatku terjebak"

Yver melanjutkan, "Setelah aku membebaskan Neil, dia menanyakan keberadaan Bjorn. Kukatakan Bjorn kembali ke Koloseum dengan luka-luka. Neil panik dan langsung mengejarnya"

"Saat Neil sampai di sana, terjadilah keributan besar di Koloseum. Januza, yang seharusnya tetap di markasnya, malah menemui Larson dan memintanya pergi ke Kekaisaran dengan alasan aku diserang monster. Larson pun panik dan membawa kelompokku ke Koloseum Platas untuk menolongku."

Januza, yang setengah mabuk, menyela dengan tawa kecil. "Ehehe, maaf, siapa ya? Kok tahu namaku?" tanyanya sambil cegukan.

Yver memutar bola matanya, "Kelompokku dan kelompok Bjorn akhirnya bertemu dan bertarung melawan Kaisar Platas. Tiba-tiba, Neil muncul di tengah pertempuran"

"Odin bertarung bersama Neil, karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, dia tidak memberi tahu yang lain kalau Neil sudah ditemukan." Yver menghela napas, "Itu masalah pertama."

"Masalah pertama?" Theo mengernyitkan dahinya, "Memangnya ada masalah kedua?"

"Tentu ada" Yver menunjuk mereka satu per satu, "Pertarungan Bjorn dan Theo sudah direncanakan"

"Apa maksudmu?" Bjorn berseru.

"Biar kujelaskan" Yver berkata dengan nada sedikit kesal.

"Tadi di hutan, aku bertemu Kartos, tangan kanan Raja Iblis Asmodeus. Kartos mengaku dialah yang menculik Neil."

"Dia diperintahkan Asmodeus untuk memancing Bjorn agar bertarung dengan Theo. Katanya, ada kekuatan terpendam dalam diri Bjorn yang ingin dibangkitkan Asmodeus. Dan Theo, dengan karunia Dewi Rea, adalah satu-satunya yang bisa mengimbangi kekuatan Bjorn yang dimaksudkan."

"Hah?! Cincin ini? Karunia Dewi? Rea? Dewi siapa itu?!" Theo menatap cincin di jarinya dengan kaget.

"Dasar bodoh! Kau tidak menyadarinya?" cibir Yver.

Yver menatap Bjorn, "Kau pernah bertanya padaku, kan? Soal bisikan nama Bael di telingamu?"

"Ya, memang," jawab Bjorn.

"Mungkin nama itu ada hubungannya dengan kekuatan yang ingin dibangkitkan Asmodeus," Yver menggosok dagunya.

"Kenapa? Aku bahkan tidak mengenal siapa itu Asmodeus" protes Bjorn.

"Tidak ada yang tahu rencana Raja Iblis. Dia pasti sudah meramalkan sesuatu," jawab Yver.

Yver menatap Aleah dengan serius, "Bahkan salah satu rekanku harus menyembunyikan identitasnya untuk menghindari kejaran Raja Iblis itu."

Yver bertepuk tangan, "Nah, sekarang semuanya sudah jelas, kan? Tidak ada salah paham lagi." Mereka pun bubar, kembali ke aktivitas masing-masing.

Yver. Ia melangkah mendekati Bjorn, aura serius terpancar dari raut wajahnya. Dengan gerakan hati-hati, Yver mencondongkan tubuhnya, berbisik tepat di telinga Bjorn, suaranya serak dan penuh misteri. "Aku pernah menemukan sebuah buku kuno," bisik Yver. "Kertasnya rapuh, dipenuhi robekan yang tak beraturan. Tinta tulisannya pudar dan nyaris tak terbaca."

Yver menarik napas, matanya menyipit seolah mengingat kembali isi buku itu. "Tapi ada satu halaman yang masih terukir jelas dalam ingatanku," lanjutnya, suaranya semakin lirih. "Satu halaman lusuh dengan satu paragraf kalimat yang aneh."

Bjorn menatap Yver dengan penasaran, menunggu kelanjutan ceritanya.

"Disitu tertulis," bisik Yver, suaranya hampir tak terdengar, "'Yang mulia Bael hanya ingin menghukum anaknya— Leviathan tidak bisa memenuhi tugasnya, hamba ini merasa layak dan suci, kusandarkan jiwa ini untukmu (Naga air), kesedihanmu terlalu panjang sampai air matamu membuat air laut menjadi asin.'"

Kalimat itu menghilang di udara, meninggalkan jejak misteri yang pekat. Bjorn terdiam, mencerna kata-kata Yver yang penuh teka-teki. Ekspresi wajahnya menunjukkan kebingungan dan kekhawatiran. Apa arti dari kalimat itu?

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!