17. Kakak dan adik

Theo tertegun sejenak, ekspresi wajahnya bercampur antara terkejut dan haru. Ia menatap Bjorn dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Sungguh aneh, bukan?" ucapnya dengan suara lirih, menghela napas panjang. "Sejak kecil aku tak pernah lagi bertemu denganmu, tapi... kita malah bertemu di tempat seperti ini" Ia mengangkat kedua bahunya, telapak tangannya terbuka ke atas seolah menunjukkan ketidakpercayaannya.

Namun, Bjorn tidak terbawa suasana haru itu. Ia memotong perkataan adiknya dengan tegas. "Tujuanku datang kesini ingin menjemput Neil" ucapnya dingin, matanya tajam menatap Theo.

Seketika, cincin permata yang berkilau di jari Theo menyala terang. Cahaya putih meledak-ledak dari cincin itu, mengeluarkan angin kencang yang menyapu debu dan pasir di arena. "Apa itu?" teriak Theo dengan marah, wajahnya merah padam. "Apakah mulut kasar ayahmu sudah diwariskan padamu?!"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Di masa kecil mereka, Bjorn dan Theo adalah sepasang kakak beradik yang tak terpisahkan. Bjorn, sang kakak, memiliki rambut kuning keemasan yang sedikit bergelombang dan mata cokelat yang ramah. Sifatnya pendiam dan selalu melindungi adiknya. Theo, sang adik, memiliki rambut kuning keemasan lurus dan mata biru tajam yang diwarisi dari ibunya. Ia lebih periang daripada Bjorn, memiliki kecerdasan dan keingintahuan yang besar.

Ayah mereka, Hugo Preston, adalah sosok pria yang tegap dan berwibawa. Otot-ototnya yang kekar dan terlatih adalah bukti dedikasinya sebagai atlet tinju bebas. Ia dikenal akan pukulannya yang mematikan dan semangat juangnya yang tak kenal menyerah. Sementara itu, ibu mereka, Josie Louin, adalah seorang wanita yang anggun dan lincah. Ia adalah master rapier, sejenis pedang lancip yang menyerupai jarum. Kecepatan dan ketepatannya dalam menggunakan rapier sungguh luar biasa, menjadikan ia lawan yang sangat ditakuti.

Pernikahan Hugo dan Josie yang penuh cinta itu dikaruniai dua orang anak laki-laki yang membanggakan. Mereka saling melengkapi dan menyayangi.

Ruang latihan itu dipenuhi keringat dan suara hentakan kaki. Bjorn, bocah delapan tahun dengan rambut pirang yang berantakan, menghindari setiap pukulan yang dilayangkan ayahnya dengan lincah. Gerakannya gesit dan terarah, menunjukkan bakat alami dalam bela diri. Di sisi lain, Theo, yang baru berusia enam tahun, terlihat kesulitan mengikuti ritme latihan. Tubuhnya yang kecil terhuyung saat mencoba meniru gerakan Bjorn. Wajahnya merah padam, napasnya terengah-engah. Ia berkali-kali terjatuh, namun selalu bangkit kembali dengan tekad yang kuat.

Hugo Preston, ayah mereka, mengamati kedua putranya dengan seksama. Matanya yang tajam memancarkan kebanggaan saat melihat Bjorn yang berbakat. Namun, saat tatapannya beralih ke Theo, ekspresinya berubah menjadi kekecewaan. Hari itu, Hugo sedang dilanda masalah pekerjaan, dan kesabarannya menipis. Melihat Theo yang terus-menerus kesulitan, ia pun meledak.

"Theo!" bentaknya dengan suara keras, "Pergi dari ruang latihanku! Aku tak menginginkan anak sepertimu!"

Kata-kata keji itu menghantam Theo seperti badai. Tubuhnya menegang, matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka akan mendengar kata-kata setajam itu dari ayahnya sendiri. Anak sekecil itu tak mampu membalas perkataan ayahnya. Ia hanya bisa duduk bersila, menundukkan kepalanya dalam-dalam sebagai tanda hormat. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya yang manis.

Theo berlari keluar dari ruang latihan. Ia menyeka air matanya dengan gugup, namun air mata itu terus berjatuhan seolah tak ada habisnya. Ia berlari menuju dapur, tempat ibunya sedang sibuk memasak. Dengan sedih, ia memeluk erat kaki ibunya.

Josie, yang sedang mengaduk adonan kue, terkejut melihat putranya yang berlari ke arahnya dengan wajah berurai air mata. Ia segera berjongkok, memeluk Theo dengan penuh kasih sayang. "Ada apa, sayang?" tanyanya dengan lembut, mengusap rambut pirang Theo yang lembut.

"Ayah... ayah..." isak Theo, tak mampu mengucapkan kata-kata lain.

Josie mengerti apa yang terjadi. Ia mengecup kening Theo dengan penuh cinta. "Sudahlah, nak" ucapnya menenangkan, "Kalau kau menangis, kau tidak akan bisa sekuat kakakmu"

Theo mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Josie tersenyum hangat. "Setiap orang memiliki kekuatannya masing-masing. Kau hanya perlu menemukannya" Ia mengendong Theo dan mendudukkannya di kursi meja makan. "Ibu akan membuatkan camilan lezat untukmu. Setelah ini, kita akan menonton kartun bersama, bagaimana?"

"B-baik, Bu" jawab Theo dengan suara serak, mengusap air matanya dengan tangan kecilnya.

Hari-hari berlalu dengan cepat, mengisi lembaran-lembaran kehidupan keluarga Preston. Bjorn, sang kakak, semakin menunjukkan bakatnya dalam seni bela diri. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Hugo, sang ayah, berlatih tanpa kenal lelah di ruang latihan. Suara hentakan kaki dan tumbukan tubuh mengisi ruangan itu, menciptakan simfoni kekuatan dan kelincahan. Sementara itu, Theo, sang adik, lebih sering menemani Josie, sang ibu, dalam rutinitas pekerjaan rumah. Kehadirannya yang ceria dan penuh perhatian membuat Josie selalu tersenyum.

Di sore hari yang cerah, Josie duduk di kursi taman pekarangan belakang rumah mereka. Sinar matahari sore menghangatkan kulitnya, sementara angin sepoi-sepoi membelai rambutnya yang hitam legam. Theo, dengan manja, memanjat ke pangkuan ibunya. Josie tersenyum dan merangkul putranya dengan lembut.

Theo menunjuk sebuah album foto tua yang tergeletak di meja kecil di samping mereka. "Bolehkah aku melihatnya, Bu?"

Josie mengambil album itu dan membukanya. Lembaran demi lembaran foto menampilkan masa lalu Josie yang penuh warna. Foto-foto itu menunjukkan Josie saat masih aktif mengikuti turnamen rapier. Ia terlihat begitu cantik dan anggun dalam balutan pakaian perang, dengan rapier yang tajam di tangannya. Theo terpesona melihat foto-foto itu. Ia tak pernah tahu ibunya memiliki masa lalu yang begitu mengagumkan.

"Apakah ibu masih bisa melakukan ini?" tanya Theo, menunjuk sebuah foto yang menampilkan Josie sedang menghunus rapier-nya dengan lincah.

"Tentu, nak" jawab Josie dengan senyum bangga, "Senjata ini hanya salah satunya. Ibu bisa menggunakan banyak senjata lainnya"

Mata Theo berbinar-binar. "Kalau begitu, aku ingin seperti ibu!" serunya dengan penuh semangat.

.....

Halaman belakang rumah keluarga Preston berubah menjadi arena latihan yang dipenuhi semangat. Josie, dengan gerakan secepat kilat, menyerang Theo menggunakan rapier sungguhan. Bilah pedang yang tajam berkilau di bawah sinar matahari pagi, menciptakan lengkungan cahaya yang memukau. Theo, yang kini berusia enam tahun, tak lagi terlihat kikuk seperti dulu. Ia menangkis setiap serangan ibunya dengan pedang kayu kecilnya, gerakannya lincah dan penuh perhitungan. Meskipun Josie menahan diri untuk tidak menyakiti putranya, ia tetap terkesan dengan kemajuan Theo. Keringat bercucuran di dahi keduanya, namun senyum kebanggaan tak pernah lepas dari bibir Josie.

"Mungkin kelak kamu bisa lebih hebat dari ibu" ucap Josie sambil mengelap keringat di dahinya, matanya berbinar-binar melihat potensi yang dimiliki putranya.

Di dalam rumah, Bjorn mengamati adiknya dari jendela ruang latihan. Ia duduk di lantai kayu, menyantap sepotong roti sambil sesekali melirik ke arah Theo dan ibunya. Hugo, sang ayah, berdiri di sampingnya, menjelaskan tentang pentingnya asupan nutrisi bagi seorang atlet. "Setelah makan roti, makan juga daging yang mengandung protein" ucap Hugo dengan serius, "Itu penting untuk menumbuhkan masa otot, karena roti hanya terbuat dari gandum..."

Namun, Bjorn tampak tidak fokus. Pandangannya terpaku pada Theo yang sedang berlatih dengan ibunya. Ia melihat senyum ceria di wajah adiknya, dan ia merasa sedikit iri. Ia ingin juga menghabiskan waktu bersama ibunya, bermain dan bercanda seperti yang dilakukan Theo. Namun, ia tahu itu tidak mungkin.

.....

Suara deru mesin mobil memecah keheningan pagi di kediaman keluarga Preston. Sebuah mobil jip hitam dengan ban-ban besar dan gagah berhenti tepat di depan halaman rumah mereka. Seorang pria berpakaian jas rapi dengan dasi yang terikat sempurna keluar dari mobil, menyapa Hugo Preston dengan ramah. Ia adalah seorang promotor turnamen bela diri campuran, datang untuk menjemput Hugo yang akan berpartisipasi dalam kompetisi bergengsi tersebut.

Hugo, dengan semangat membara di matanya, mengambil koper besar yang berisi kebutuhan hariannya. Ia memasukkan koper itu ke dalam bagasi mobil jip, kemudian melompat masuk ke dalam mobil dengan gesit. Ia menatap Josie dan kedua putranya yang berdiri di depan pintu, melambaikan tangan dengan senyum lebar. "Aku pergi dulu!" serunya, suaranya penuh semangat.

Josie dan kedua anaknya membalas lambaian Hugo dengan senyum. Mereka menyaksikan mobil jip itu melaju meninggalkan halaman rumah, meninggalkan jejak debu yang perlahan menghilang tertiup angin. Setelah mobil itu tak terlihat lagi, Josie menurunkan lututnya, merangkul Bjorn dan Theo dengan penuh kasih sayang.

"Mola" panggil Josie, menggunakan panggilan kesayangan untuk Bjorn, "Kau tidak perlu latihan dulu untuk sementara waktu. Nikmatilah hari-hari menyenangkan bersama adikmu" Ia menatap kedua putranya dengan lembut.

Bjorn, yang biasanya menghabiskan waktu berjam-jam di ruang latihan, kini lebih sering terlihat di dapur, membantu Josie mencuci pakaian atau membersihkan pekarangan rumah. Sesekali, ia bahkan ikut membuat kue bersama ibunya dan Theo. Tawa ceria mereka bertiga menggantikan suara hentakan kaki dan teriakan Hugo yang biasanya mendominasi.

Bjorn mulai melupakan rutinitas latihan kerasnya, menikmati hari-hari tanpa ayahnya dengan bermain bersama Theo. Mereka berdua bermain bola di halaman rumah, berkejaran di tengah rerumputan hijau, dan membangun benteng dari bantal di ruang tamu. Mereka bermain tanpa kenal lelah, hingga larut malam.

Suatu hari, ketika hujan turun dengan derasnya, Bjorn dan Theo tak dapat menahan diri untuk tidak bermain di bawah guyuran hujan. Mereka berlari-lari dan bercanda, menikmati sensasi dingin air hujan yang membasahi tubuh mereka. Namun, kegembiraan mereka berakhir dengan demam tinggi.

Josie, yang menemukan kedua anaknya menggigil di tempat tidur, merasa sedikit kesal. Ia meletakkan kain basah di dahi mereka, lalu mengomeli mereka karena tidak menurut. "Sudah ibu bilang jangan bermain hujan!" ucapnya dengan nada marah, namun di balik kemarahannya itu tersimpan kekhawatiran yang mendalam.

Meskipun kesal, Josie tetap tak tega melihat anak-anaknya menderita. Ia ikut tidur di antara mereka, menarik selimut hingga menutupi tubuh mereka bertiga. Dengan lembut, ia merangkul Bjorn dan Theo, memberikan kehangatan dan kenyamanan bagi kedua putranya yang sedang sakit.

.....

Ruang keluarga di rumah keluarga Preston dipenuhi kehangatan dan cahaya lembut dari televisi. Josie, dengan rambut hitam legam yang tergerai indah, mengenakan kaos santai berwarna biru muda dan celana jeans pendek yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Ia duduk di atas tikar berbulu tebal, bersandar nyaman pada kaki sofa. Theo, si bungsu yang ceria, berbaring di sampingnya, meletakkan kepalanya di atas tungkai Josie yang terentang. Sementara Bjorn, sang kakak yang pendiam, bersandar pada tubuh ibunya, menikmati kehangatan dan kenyamanan yang ia rindukan. Sebelah tangan Josie melingkari perut Bjorn dengan lembut, sementara tangan lainnya memegang setoples camilan berisi keripik kentang.

Pertandingan itu berlangsung sengit sejak bel pertama dibunyikan. Hugo Preston, sang juara bertahan, berhadapan dengan seorang pendatang baru yang misterius. Meskipun namanya tidak dikenal banyak orang, pria itu memiliki intuisi bertarung yang sangat tajam. Ia bergerak dengan lincah, menghindari setiap pukulan Hugo dengan mudah. Sesekali, ia melancarkan serangan balik yang membuat Hugo terhuyung.

Pertarungan itu berlanjut hingga ronde kelima. Tenaga Hugo mulai terkuras, melawan pria itu membutuhkan energi ekstra. Tiba-tiba, lawannya melompat dan menangkap tubuh Hugo, membantingnya ke lantai arena. Pria itu dengan cepat mengunci gerakan Hugo, mencekal lehernya dari belakang menggunakan sebelah lengan seperti lilitan ular yang mematikan.

Hugo meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari cekikan itu. Napasnya terengah-engah, pandangannya mulai kabur. Dengan susah payah, ia mencari celah untuk melepaskan diri. Ia memukul asal-asalan ke belakang, mengenai wajah dan tubuh lawannya. Pukulan-pukulan itu membuat lawannya meringis kesakitan dan sedikit melonggarkan cekikannya.

Hugo memanfaatkan kesempatan itu. Ia memutar tubuhnya dengan kuat, melepaskan diri dari kuncian lawannya. Kini, ia yang berada di posisi menguntungkan. Ia menyudutkan lawannya, lalu memukulinya tanpa ampun. Pukulan demi pukulan mendarat di wajah dan tubuh pria itu. Hugo mengangkat sikunya, bersiap untuk menghantamkan pukulan terakhir ke wajah lawannya.

Namun, lawannya menghindar. Siku Hugo meleset dari sasaran dan malah mengenai matanya lawannya. "Akh!" pria itu menjerit kesakitan, memegangi matanya yang berdarah.

Wasit yang melihat kejadian itu segera melambaikan tangan, melerai pertandingan. "Hentikan!" teriaknya. "Pukulan ilegal!" Lawan Hugo terduduk lemas di lantai arena, merintih kesakitan. Darah mengalir dari matanya yang terluka. Setelah berdiskusi dengan juri, wasit mengumumkan bahwa Hugo didiskualifikasi dari pertandingan dan dinyatakan kalah.

Di depan layar televisi, Josie menyaksikan semua itu dengan jantung berdebar-debar. Ia melihat wajah suaminya yang dipenuhi amarah dan kekecewaan.

.....

Beberapa hari kemudian, suasana rumah yang ceria berubah menjadi muram. Hugo pulang dengan wajah masam dan aura murung yang menyelimuti dirinya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah berat, lalu memanggil Bjorn dengan suara lantang. "Bjorn! Ke ruang latihan sekarang!"

Hari-hari yang sebelumnya dipenuhi tawa dan permainan kini berganti dengan rutinitas latihan yang keras dan melelahkan. Bjorn menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang latihan, mencoba memenuhi ekspektasi ayahnya yang semakin tinggi. Hugo melatih Bjorn dengan intensitas yang meningkat, tak memberi kesempatan putranya untuk beristirahat. Bjorn merasa kewalahan, tubuhnya penuh keringat dan luka lebam. Ia mulai merasa jengkel dengan sikap ayahnya yang egois dan tidak peduli dengan kondisi fisiknya.

Di tengah latihan yang menyiksa itu, pintu ruang latihan tiba-tiba terbuka. Theo, dengan wajah ceria dan mata berbinar-binar, muncul di ambang pintu. Ia memegang bola kesayangannya, bola yang biasa ia gunakan untuk bermain bersama Bjorn. "Kak" panggilnya dengan suara riang, "Setelah latihanmu selesai, ayo kita main bola bersama lagi!"

Hugo, yang sedang mengamati Bjorn dengan tatapan tajam, menoleh ke arah Theo. Wajahnya seketika berubah menjadi kesal. Ia menghampiri Theo dengan langkah berat.

PLAK!

Suara tamparan itu menggema di seluruh ruangan. Theo tersungkur ke lantai, bola kesayangannya terguling jauh. Ia menangis tersedu-sedu, memegangi pipinya yang merah dan panas.

Josie tersentak kaget. Ia melempar tatapan tajam ke arah ruang latihan, jantungnya berdebar kencang. "Theo?" gumamnya dengan cemas. Ia segera berlari menuju sumber suara, meninggalkan pekerjaan dapurnya yang belum selesai.

Saat sampai di ruang latihan, pemandangan yang ia lihat membuat darah Josie mendidih. Theo terduduk lemas di lantai, memegangi pipinya yang merah padam dengan kedua tangannya. Tangisnya pecah, suara isakan pilunya menyayat hati Josie. Kemarahan menyala-nyala di dada Josie. Ia berlari ke arah Theo, mengangkat tubuh mungil itu dan menggendongnya dengan erat.

"Ada apa denganmu?!" teriaknya pada Hugo, suaranya bergetar karena marah. "Kau menampar keras wajah anakmu yang berusia enam tahun?!" Ia menepuk-nepuk punggung Theo dengan lembut, mencoba menenangkan tangis putranya.

Hugo menatap Josie dengan tatapan dingin. "Dia bukan anakku" ucapnya dengan nada keras dan tegas. "Aku tidak ingat pernah punya anak yang sangat lemah dan tak berguna sama sekali"

Kata-kata Hugo yang kejam itu membuat hati Josie hancur. Ia tak percaya bahwa suaminya bisa berkata sekejam itu pada anak mereka sendiri. "Dasar brengsek!" umpatnya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Hugo dengan tatapan penuh kekecewaan dan kemarahan. "Cukup! Aku sudah tidak tahan lagi dengan dirimu! Aku akan pergi dari rumah ini!"

Pertengkaran hebat antara kedua orang tuanya itu menjadi mimpi buruk yang menghantui Bjorn. Ia berdiri terpaku di ambang pintu ruang latihan, tubuhnya gemetar hebat. Kata-kata kasar dan teriakan amarah bergantian memenuhi ruangan. Hati Bjorn menciut, ia merasa dunianya runtuh.

"Mola! Keluar dari ruangan ini! Ikut dengan ibu!" teriak Josie dengan suara bergetar, namun tegas.

Bjorn ingin sekali berlari keluar dari ruangan itu, mengikuti ibunya dan menjauh dari ayahnya. Namun, kakinya terasa berat seperti dipaku ke lantai. Ia takut, sangat takut untuk membangkang pada ayahnya.

"MOLA! KAU DENGAR IBU?!" teriak Josie lagi, suaranya semakin tinggi.

Bjorn menunduk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin berteriak, ia ingin menjelaskan bahwa ia juga ingin ikut dengan ibunya. Namun, tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia merasa lemah dan tak berdaya.

Josie menatap Bjorn dengan tatapan kecewa. Ia menghela napas panjang, lalu berbalik dan melangkah pergi menuju kamarnya. Dengan langkah berat dan hati yang hancur, ia mengemasi barang-barangnya ke dalam koper besar. Air mata menetes di pipinya, membasahi pakaian dan benda-benda yang ia masukkan ke dalam koper. "Dasar pecundang" gumamnya dengan suara lirih.

Josie keluar dari kamar dengan koper besar di tangannya. Ia membanting pintu dengan keras, lalu menggendong Theo yang masih menangis tersedu-sedu. Dengan perasaan marah, kecewa, dan sedih yang bercampur aduk, ia menyeret kopernya keluar dari rumah itu.

Dari jendela ruang latihan, Bjorn menyaksikan ibunya dan adiknya pergi dengan hati yang remuk redam. Theo, dalam gendongan ibunya, mengulurkan tangan kecilnya ke arah Bjorn, wajahnya penuh kesedihan. Seolah-olah ia tak ingin pergi tanpa kakaknya. Bjorn membalas uluran tangan adiknya dengan senyuman lemah, berusaha tegar meski air mata tak henti mengalir di pipinya.

Perpisahan itu adalah tangis pertama Bjorn. Tangisan yang menandai awal dari kehidupan barunya, kehidupan tanpa kehangatan seorang ibu dan keceriaan sang adik. Ia merasa sendirian, terluka, dan terabaikan.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!