7. Penjaga hutan

"Bjorn... Bjorn, bangun..." Amoria dengan lembut menggoyangkan bahu Bjorn yang tertidur pulas bersandar di pohon.

"Hmm...?" Bjorn mengerang pelan, matanya menyipit sejenak untuk menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang sudah cukup terang.

"Sial, aku kesiangan" gumamnya dengan kesal, menyadari bahwa matahari sudah berada tinggi di langit.

"Paman sudah bangun?" sapa Neil dengan riang, mendekat ke arah Bjorn. "Aku tidak tega membangunkanmu karena kau berjaga malam sendirian, jadi aku menunggu sampai kau bangun sendiri. Ternyata kau tidak juga bangun" Neil menundukkan kepalanya, merasa sedikit bersalah. "Maaf, ya" ucap Bjorn.

"Baiklah" ucap Bjorn, berdiri dan meregangkan tubuhnya yang kaku. "Ayo kita lanjutkan perjalanan"

"Ayooo!" sahut Neil dengan semangat.

......

Neil mengambil ancang-ancang, lalu melompat dengan sekuat tenaga. Tubuhnya meluncur di udara, melayang di atas sungai yang deras, sebelum akhirnya mendarat dengan selamat di tepi seberang. Amoria, yang menyaksikan aksi itu dengan mata terbelalak, hanya bisa tercengang.

"Hei, Neil!" teriaknya. "Kau meloncat sejauh itu? Kau berencana meninggalkanku sendirian di sini?"

Neil, yang sudah berada di sisi lain sungai, menoleh ke arah Amoria dan tersenyum. "Ini tidak terlalu jauh, kok" jawabnya sambil melambaikan tangannya. "Jadi aku tidak perlu berenang untuk menyebrangi sungai ini"

Amoria masih terkejut dengan lompatan Neil yang luar biasa. Bagaimana bisa manusia biasa melompat sejauh itu? Ia menatap Bjorn yang berdiri di belakangnya dengan tatapan penuh tanya.

"Ayo cepat, loncatlah" ucap Bjorn dingin

Amoria menelan ludah, menatap sungai yang lebar dengan ragu. Ia belum pernah melompat sejauh ini sebelumnya.

Amoria mengamati lebar sungai dengan cemas. "Aku tidak yakin bisa melompat sejauh itu" gumamnya pelan. Ia lalu mendekati Bjorn, wajahnya sedikit memerah.

"Ya-yah... aku sih tidak keberatan jika kau mau menggendongku sampai ke seberang sana" ucapnya dengan malu-malu, mengibaskan rambutnya. "Ehmm... bukannya aku murahan, tapi ini untuk mempercepat perjalanan kita"

"Oh, begitu ya" jawab Bjorn datar. Ia mengangkat tubuh Amoria dengan sikap seolah siap untuk menggendongnya. Amoria tersipu, matanya berbinar kagum melihat wajah Bjorn dari dekat.

Namun, alih-alih menggendong Amoria, Bjorn justru melangkahkan satu kaki ke depan dengan kuda-kuda karate. Dalam sekejap, ia melemparkan Amoria ke udara. "E-eehhhh!" pekik Amoria kaget, tubuhnya meluncur di udara menuju seberang sungai.

Neil, yang sedang menunggu di seberang, melihat Amoria terbang ke arahnya. Namun, ia justru melompat menghindar. "Maaf, Kak Amoria!" serunya. "Aku tahu kau berat!"

"Bruk!"

Amoria mendarat di tanah dengan keras. "Aduh!" ringisnya, merasa sedikit kesal, "Dasar tidak sopan!" teriaknya ke arah Neill

......................

Ketiganya melangkah semakin dalam ke rimba Elf, ranting-ranting kering patah di bawah kaki mereka. Bjorn, dengan kewaspadaan tinggi, berjalan di belakang Amoria dan Neil, matanya tajam memperhatikan sekeliling.

Semakin jauh mereka melangkah, semakin kuat bau asing yang menyerbu indera penciuman Bjorn. Bau itu sudah tercium sejak mereka menyebrangi sungai, namun hanya Bjorn yang menyadari kejanggalan tersebut. Ada aroma musuh di udara, aroma yang membuat naluri bertarungnya bergejolak.

Tiba-tiba, Bjorn menghentikan langkahnya. "Keluarlah" ucapnya dengan suara tegas dan dingin, "Aku tahu kau bersembunyi"

Seketika, suasana hening menyelimuti hutan. Hanya ada suara angin yang berdesir di antara pepohonan dan detak jantung mereka yang berdebar kencang. Amoria dan Neil terkejut, menoleh ke arah Bjorn dengan tatapan penuh tanya. Mereka tidak menyadari adanya ancaman yang sedang mengintai.

Dan saat itulah, sebuah anak panah melesat dari balik semak-semak, mengarah ke wajah Bjorn dengan kecepatan kilat. Namun, Bjorn yang sigap langsung menangkap anak panah itu dengan santai menggunakan satu tangan.

Amoria dan Neil terbelalak kaget, baru menyadari bahaya yang hampir menimpa Bjorn.

"Bukankah sudah kubilang, keluar?" ucap Bjorn dengan nada dingin, memelototi semak-semak tempat panah itu berasal.

Ia kemudian mengerahkan tenaganya, mematahkan anak panah itu menjadi dua dengan genggaman tangannya yang kuat.

"Kau cukup di luar nalar, manusia" sebuah suara dingin memecah keheningan. Sesosok pria Elf berjubah hijau muncul dari balik rimbunnya dedaunan, berdiri dengan anggun di atas dahan pohon. "Kau manusia pertama yang bisa menangkap anak panahku"

"Aku sudah menunggu kehadiranmu sejak semalam" lanjutnya, matanya yang tajam menatap Bjorn dengan intens.

Amoria dan Neil terkejut. Mereka baru menyadari keberadaan pria Elf itu setelah ia berbicara.

Suku Elf dikenal sebagai ras yang memiliki umur panjang dan awet muda, dengan telinga yang agak panjang dan rambut pirang kekuningan. Mereka juga terkenal sebagai ahli pemanah dan penyihir angin. Namun, yang paling menonjol dari suku Elf adalah sifat mereka yang mencintai kedamaian dan menghindari konflik. Jadi, sungguh mengejutkan ketika seorang Elf muncul dan menyerang mereka.

"Hoi, kau itu siapa?" tanya Neil dengan berani, menunjuk Sulpha yang masih berdiri di atas dahan pohon.

"Salam kenal, namaku Sulpha Branos" jawab Sulpha dengan tenang, melompat turun dari pohon dengan gerakan yang anggun.

Neil dan Amoria saling berpandangan, ekspresi terkejut terpancar di wajah mereka. Bukan karena mereka mengenal nama Sulpha, melainkan karena nama belakang yang ia sebutkan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nama belakang hanya digunakan oleh kalangan bangsawan di pusat kota. Elf, sebagai penghuni hutan yang menjauhi peradaban manusia, seharusnya tidak memiliki nama belakang. Bahkan para pemimpin Ras pun tidak menggunakannya.

"Lalu, apa maksudmu mengikuti kami?" tanya Bjorn dengan nada curiga, matanya tajam menatap Sulpha.

"Aku mendengar pembicaraan kalian semalam" jawab Sulpha tanpa ragu "Jadi aku berniat untuk memastikan tujuan kalian pergi ke pusat kota."

"Apa pedulimu?" tanya Bjorn dingin.

"Karena aku... memiliki darah bangsawan" jawab Sulpha, nada suaranya menyiratkan sesuatu yang tersembunyi.

Bjorn mengerutkan keningnya. "Bangsawan?" ulangnya dengan penasaran. "Apa itu artinya kau tahu penyebab pembantaian brutal oleh sekte naga air?"

"Desa Elf tempatku tinggal juga dibantai habis dan dihanguskan," ungkap Sulpha dengan nada getir, menatap nanar ke dalam hutan. "Mereka membunuh semua orang, tak peduli anak-anak atau orang tua. Mereka seperti ingin menghapus setiap ras yang tidak memuja Naga Air."

Bjorn dan Neil terkejut mendengar penjelasan Sulpha. Ternyata, mereka memiliki kesamaan nasib. Mereka sama-sama korban kekejaman sekte Naga Air.

"Dan kau, kenapa telingamu tidak panjang?" tanya Sulpha dengan curiga.

"Panjang?" Bjorn menyentuh telinganya sendiri. "Apa kau pikir aku sama seperti dirimu?"

"Lalu apa maksud dari warna rambutmu?" Sulpha menunjuk rambut pirang Bjorn. "Dan juga, gadis kecil di sana memiliki rambut yang sama sepertiku"

"Kami berdua manusia biasa" jawab Bjorn dengan nada datar. "Cukup bertanyanya"

"Ah, kalau begitu maaf" ucap Sulpha dengan sedikit malu. "Sepertinya kalian berdua adalah Elf yang selamat dari sekte Naga Air dan dicuci otaknya hingga lupa ingatan" Ia melompat turun dari pohon dan berjalan mendekat ke arah mereka.

Neil mencoba meyakinkan Sulpha. "Hei, sudah paman bilang, kalau kami manusia—"

Sulpha menepuk bahu Neil dengan lembut, memotong ucapannya. "Aku turut prihatin" ucapnya dengan nada sok keren, seolah-olah dia bisa menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. "Aku akan membantu kalian menemukan ingatan kalian" Ia kemudian menoleh ke arah Amoria "Dan, kau wanita anggun" tanyanya dengan senyum menawan. "Siapa dirimu?"

Amoria, yang selama ini hanya mengamati percakapan mereka dengan diam, akhirnya angkat bicara. "Namaku Amoria," jawabnya.

Sulpha membeku, tangannya tanpa sadar menutup mulutnya yang ternganga karena terkejut. Matanya melebar tak percaya, menatap Amoria dengan intens. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa ia akan bertemu dengan Ratu lautan selatan di tempat ini.

Ratu Amoria sangat terkenal di kalangan Elf, dikenal karena keramahan dan kebaikan hatinya. Ia sering membantu para Elf yang tinggal di dekat sungai, melindungi mereka dari serangan monster laut dan memberikan mereka berbagai bantuan. Sulpha sendiri pernah merasakan kebaikan Amoria saat desanya kesulitan mencari makanan di musim dingin.

Sulpha terdiam sejenak, "Baiklah" ucapnya kemudian, mengambil keputusan yang tiba-tiba. "Sudah cukup bagiku untuk menjaga hutan ini dari tentara Asmodeus. Lagi pula, desaku sudah tidak ada, dan tidak ada alasan lagi bagiku untuk melindungi hutan ini" Ia kemudian menatap Bjorn dengan mantap. "Kau, yang di sana, Bjorn" ucapnya dengan tegas. "Aku akan ikut denganmu ke pusat kota."

Bjorn mengerutkan keningnya, menatap Sulpha dengan dingin. "Tidak," tolaknya tanpa ragu. "Kembalilah ke tempatmu berasal."

"Heh?!" Sulpha terkejut dengan penolakan Bjorn. Ia merasa dirinya memiliki kemampuan untuk bisa menguatkan regu ini dari kendala yang akan dihadapi nantinya. Tapi justru penolakan Bjorn membuatnya merasa tidak dibutuhkan.

"Terserah, jika kau ingin menguntit, lakukanlah" ucap Bjorn dingin, melewati Sulpha tanpa menoleh. "Tapi jika kau sampai mengganggu kami, aku akan segera mematahkan lehermu"

"Dengan senang hati, aku akan memberikan segala yang kumiliki" jawab Sulpha dengan tepat dan semangat, mengepalkan tangannya di dada.

"Dasar pria aneh" gumam Neil, melirik Sulpha dengan curiga.

Neil berlari kecil mengejar Bjorn yang sudah berjalan mendahului mereka. "Paman" tanyanya dengan nada khawatir, "apakah tidak apa-apa jika orang itu ikut bersama kami?"

"Ada apa, Neil?" jawab Bjorn dengan heran. "Bukankah kau biasanya senang dengan orang ramai?"

"Aku tidak suka pria itu" sahut Neil, memonyongkan bibirnya dengan kesal. "Dia mencoba menyerang paman."

Bjorn tersenyum lembut, mengusap kepala Neil dengan sayang. "Tenang saja, Neil. Aku tidak selemah itu"

Neil tersenyum kembali, merasa tenang dengan kata-kata Bjorn. Ia percaya pada kekuatan pamannya.

Sejauh ini, ia hanya ramah dan menyanyangi Neil seorang. Bjorn masih belum bisa menganggap ras lain sebagai teman, karena ia tidak tahu asal-usul dan kepribadian mereka. Alasan ia menyanyangi Neil adalah, karena ia sangat akrab dengan mendiang Sveilla, yang ia anggap seperti kakak perempuannya sendiri. Dan ia menganggap Neil seperti keponakannya sendiri.

Namun, mungkin saja perjalanan ini akan mengubah pandangan Bjorn. Mungkin saja ia akan belajar untuk mempercayai ras lain dan menjalin persahabatan dengan mereka. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!