4. Persiapan

Dua tahun telah berlalu sejak malam yang mengubah segalanya. Desa yang dulu ramai dengan tawa dan kehidupan kini hanya menyisakan puing-puing bangunan yang bisu, monumen bisu tragedi yang tak terlupakan.

Terik matahari siang membakar tanah kering, menyinari reruntuhan engan cahaya keemasan yang mencekam. Seolah-olah alam pun turut berduka, menangisi kehilangan dan kehancuran yang telah terjadi.

Namun, di antara reruntuhan dan kesunyian itu, sebuah rumah kayu masih berdiri kokoh, menolak untuk tunduk pada keganasan waktu dan kekejaman manusia.

Dinding-dindingnya yang pernah dihiasi tawa riang kini dipenuhi goresan-goresan luka, namun tetap tegar melindungi penghuninya. Di dalam rumah itu, Bjorn dan Neil bertahan hidup, menyimpan luka dan dendam yang membara di hati mereka.

Bjorn, dengan keringat bercucuran di dahinya, sibuk menebang dan memotong balok-balok kayu untuk persediaan api unggun. Sesekali, ia menghentikan aktivitasnya, mengusap peluh di wajahnya, dan mengamati Neil yang sedang berlari memutari desa dengan penuh semangat.

"Neil, ini sudah siang" panggil Bjorn dari kejauhan, suaranya sedikit terserak oleh hembusan angin. "Setidaknya istirahatkan tubuhmu sebentar. Kau bisa melanjutkan latihanmu nanti sore."

Neil, yang tampak kelelahan setelah berlari berkali-kali mengelilingi desa, akhirnya menghentikan larinya. Ia membungkuk, tangannya bertumpu pada lutut, napasnya terengah-engah. "Ah... satu putaran lagi, Paman" ucapnya dengan suara terputus-putus, ia kemudian meluruskan tubuhnya dan kembali berlari, menyelesaikan putaran terakhirnya dengan sekuat tenaga.

Mentari mulai condong ke barat, memancarkan sinar jingga yang lembut di ufuk langit. Di halaman rumah mereka, di antara puing-puing desa yang sunyi, Neil berlatih bela diri dengan tekun di bawah bimbingan Bjorn.

Gerakannya lincah dan penuh energi, namun masih terlihat kekurangan pengalaman. "Hiaaa!" Neil melepaskan tendangan ke arah wajah Bjorn, namun dengan mudah Bjorn menangkap kakinya. Dengan sedikit gerakan, Bjorn menendang kecil kaki topangan Neil, membuat gadis kecil itu terjatuh untuk kesekian kalinya.

"Bruk!"

Bjorn berjongkok di samping Neil yang terduduk di tanah, menutupi wajah gadis itu dari sinar matahari dengan bayangan tubuhnya. "Bisakah kau hitung berapa kali kau terjatuh hari ini?" tanyanya sambil tersenyum kecil.

Neil mengerucutkan bibirnya, lalu tertawa kecil. "Sial~ aku bahkan tidak bisa menghitungnya lagi" jawabnya, wajahnya berkeringat namun tetap ceria.

"Otot kakimu sudah cukup kuat untuk mempertahankan kuda-kuda yang kokoh" ujar Bjorn, mengamati Neil dengan seksama. "Tapi ingat, ketika kau melancarkan serangan, kau juga harus memikirkan pertahanan. Jangan sampai lengah, karena lawan bisa saja memanfaatkan celah itu untuk menyerang balik"

Mata Neil berbinar-binar mendengar saran Bjorn. Ia langsung bangkit berdiri, semangatnya kembali berkobar. "Lagi, Paman!" pintanya, kuda-kudanya siap untuk melanjutkan latihan.

Bjorn tersenyum melihat semangat Neil, "Berani bertaruh?" tanyanya, memancing semangat bertarung Neil.

"Tentu!" jawab Neil tanpa ragu.

"Yang kalah akan menyiapkan makan malam" sambung Bjorn.

"Kalau begitu, kau harus memikirkan masakan apa yang akan kau masak setelah ini" balas Neil, nada suaranya penuh tantangan.

Tanpa menunggu lama, Neil berlari ke arah Bjorn, kakinya menerjang dengan kecepatan penuh. "HIAAKHH!!" teriaknya, melepaskan serangan bertubi-tubi yang semakin mematikan.

Bjorn menyambut serangan Neil mdengan tenang, gerakannya lincah dan tepat, menghindari setiap tendangan dan pukulan yang dilayangkan Neil.

Pertarungan mereka kian seru, diiringi teriakan semangat Neil dan sesekali diselingi tawa kecil Bjorn. Di tengah puing-puing desa yang sunyi, pertarungan itu seakan menjadi simbol kehidupan yang terus berlanjut.

......................

Malam telah menyelimuti desa yang sunyi. Kegelapan merayap di antara puing-puing bangunan, hanya diterangi oleh nyala api unggun yang berkedip-kedip, menciptakan bayangan-bayangan menari di dinding rumah kayu mereka. Hembusan angin yang menyapu dedaunan dan suara jangkrik yang bersahutan menambah suasana hening dan misterius. Bjorn dan Neil duduk berhadapan.

"Kau mahir juga memasak, Neil" puji Bjorn, menyendok sesuap rebusan sayur dari mangkuk kayunya. "Rasanya sangat lezat"

Neil, yang sedang mengaduk-aduk masakannya di atas tungku api, hanya mendengus kesal.

Sudah jelas bahwa ia kalah taruhan ldengan Bjorn untuk kesekian kalinya. "Apa-apaan dengan gerakan sikut Paman Bjorn itu?" gerutunya, lebih banyak berbicara pada pancinya daripada pada Bjorn. "Gerakannya sangat tidak masuk akal. Jika dia agak serius, mungkin aku sudah mati."

Neil mengaduk-aduk panci berisi sup kentang dengan wajah semakin kesal, ingatannya kembali ke pertarungan mereka sore tadi. Saat itu, ia menerjang Bjorn dengan tendangan mematikan, namun Bjorn tak menghindar. Ia justru memutar tubuhnya, siap menghantam wajah Neil dengan sikutnya. Spinning elbow, begitu Bjorn menyebut jurus itu.

Neil masih ingat jelas bagaimana sikut Bjorn hampir mengenai wajahnya, namun di detik terakhir, Bjorn meluruskan tangannya, membentuk palang yang menghentikan serangan Neil.

"Sial!" rutuk Neil dalam hati. "Aku bahkan tidak bisa mengenai Paman Bjorn sedikitpun" Ia merasa frustrasi. Dua tahun berlatih keras, namun ia merasa tidak ada peningkatan sama sekali.

"Apa aku tidak akan pernah cukup kuat?" gumamnya sedih, menatap pantulan wajahnya di permukaan sup yang mendidih. "Ini sangat menyebalkan!"

"Kau sudah cukup kuat, Neil" ucap Bjorn, mendekati Neil dan duduk di sebelahnya.

"Jangan coba-coba untuk menghiburku, paman" potong Neil, masih dengan wajah cemberut. "Aku tahu aku lemah"

"Bukan lemah, Neil" ralat Bjorn lembut.

"Kamu hanya butuh pengalaman. Semakin sering kau berlatih dan bertarung, semakin kuat dan mahir kau nantinya"

"Tapi aku kesal dengan diriku sendiri, paman" keluh Neil, memukuli manja bahu Bjorn. "Aku selalu telak melawanmu"

Bjorn tertawa kecil, "Kau pikir, kau yang baru latihan dua tahun, bisa mengalahkanku yang sudah mendalami bela diri sejak umur empat tahun?"

Neil menghentikan pukulannya, lalu menatap Bjorn dengan penasaran. "Memangnya sekarang berapa umurmu, Paman?"

"Hmm..." Bjorn berpikir sejenak, menghitung mundur tahun-tahun yang telah ia lewati. "Dua puluh empat tahun" jawabnya akhirnya.

Neil terbelalak kaget. "Dua puluh empat tahun?" serunya tak percaya. "Wow! Paman sudah tua ya!"

Bjorn mencubit pipi Neil dengan gemas. "Hei! Siapa yang kau bilang tua?"

"Memangnya, sudah berapa banyak jenis bela diri yang Paman kuasai?" tanya Neil penasaran, matanya berbinar-binar.

"Aku rasa sekitar 68 jenis" jawab Bjorn santai, "sudah termasuk Kungfu dengan aliran yang berbeda-beda"

"Hah?!" Neil tercengang. "Aku bahkan belum bisa menguasai satupun! Kau curang, Paman!" protesnya sambil memanyunkan bibir.

Bjorn tertawa kecil melihat reaksi Neil. "Dari semua jenis bela diri, hanya ada dua bela diri yang sangat aku sukai" ungkapnya.

"Apa itu, Paman?" tanya Neil, rasa ingin tahunya kembali muncul.

"Muay Thai dan Jiu Jitsu" jawab Bjorn dengan nada bangga.

"Kenapa Paman memilih bela diri itu?"

"Kau butuh ketahanan dan stamina yang kuat untuk memaksimalkan bela diri tersebut," jelas Bjorn. "Aku sudah melatih tubuhku dengan sangat ekstra hingga seluruh otot di tubuhku sobek setiap harinya" Ia mengangkat lengan bajunya, memperlihatkan otot-otot kekar yang menghiasi lengannya. "Lihat!" Neil menyentuh otot Bjorn dengan perlahan, matanya penuh kekaguman.

Mendengar cerita Bjorn, semangat Neil kembali berkobar. Ia melompat berdiri, centong sayur di tangannya teracung tinggi. "Baiklah, Paman!" serunya dengan penuh semangat.

"Karena ibuku juga sudah mati, maka aku hanya akan melindungimu! Bergembiralah!"

Bjorn tertegun sejenak, menatap Neil dengan haru. Kata-kata polos Neil menyentuh hatinya, membuatnya menyadari betapa berartinya kehadiran gadis kecil itu dalam hidupnya.

"Ah, syukurlah," ucap Bjorn, menyembunyikan rasa harunya di balik candaan. "Karena aku sangat takut kegelapan"

"Berisik, Paman!" balas Neil, melempar senyum cerah ke arah Bjorn.

Bjorn merangkul Neil, menggelitiki gadis kecil itu hingga tertawa terbahak-bahak. Tawa riang mereka memecah kesunyian malam, mengisi rumah kayu kecil itu dengan kehangatan dan kebahagiaan. Di tengah puing-puing desa yang sunyi, di bawah cahaya rembulan yang temaram.

Bjorn melepas rangkulannya dan berdiri, wajahnya berubah serius. "Tunggu sebentar, Neil. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu" Ia melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Neil yang menatapnya dengan penuh tanya.

Tak lama kemudian, Bjorn kembali dengan sebuah benda kecil di tangannya. "Terima ini" ucapnya sambil menyerahkan benda itu kepada Neil.

Neil menerima benda tersebut dengan hati-hati. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di genggamannya. "Paman..." lirihnya, suaranya tercekat. Ia mengenali benda itu. Sebuah kapak kecil berwarna hitam legam, berbeda dengan kapak pada umumnya. Alih-alih menggunakan gagang kayu, kapak ini seluruhnya terbuat dari perak hitam yang dihiasi batu kristal kecil berbentuk kepala ular berwarna ungu tua di pangkalnya.

"Iya" sambung Bjorn dengan nada berat, "Kapak itu... yang membunuh ibumu dua tahun lalu"

Air mata menetes di pipi Neil. Ia menatap kapak itu dengan tatapan nanar, bercampur antara sedih, marah, dan rindu. Kenangan akan malam naas itu kembali muncul di benaknya, menghantui pikirannya.

Tanpa mereka sadari, saat Neil memeluk kapak itu erat-erat, kristal berkepala ular tersebut mengeluarkan sinar yang redup.

"Aku tidak membencimu, kapak" bisiknya lirih, air matanya membasahi permukaan kapak yang dingin. "Aku hanya membenci orang jahat yang menggunakanmu."

Bjorn tersenyum kecil, namun matanya berkaca-kaca. Ia bangga dengan kedewasaan dan kekuatan hati Neil. Melihat Neil bisa menerima kenyataan pahit dengan emosi yang terkendali membuatnya yakin bahwa gadis kecil ini memiliki potensi besar. "Suatu hari nanti" ucapnya perlahan, "Kau akan menggunakan kapak itu untuk membela diri dan orang-orang yang kau sayangi"

Keesokan paginya, Bjorn dan Neil duduk berhadapan di meja makan, menikmati sarapan sederhana berupa roti kering dan teh hangat.

Suasana pagi itu terasa berbeda, aura keseriusan menyelimuti wajah Bjorn. "Neil" ucap Bjorn tiba-tiba, memecah keheningan pagi, "Minggu depan... kita akan meninggalkan tempat ini"

Neil menghentikan kunyahannya, menatap Bjorn dengan penuh tanya. "Memangnya kita mau kemana, Paman?"

"Kita akan menuntaskan teka-teki konyol yang mereka tinggalkan di desa ini" jawab Bjorn, suaranya tegas dan penuh tekad.

"Kita akan mencari tahu siapa dalang di balik penyerangan itu"

Neil terdiam sejenak, mencerna kata-kata Bjorn. Ia mengerti apa yang dimaksud pamannya.

Dua tahun ia lalui dengan berlatih keras, menyiapkan diri untuk hari pembalasan ini. "Baik, paman Bjorn" jawab Neil mantap, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad. "Kemanapun itu, aku akan ikut denganmu."

"Bagus" sahut Bjorn, menatap Neil dengan bangga. "Lengkapi apa yang kau butuhkan, karena satu minggu setelah ini... kita tidak lagi punya tempat untuk pulang."

Terpopuler

Comments

01

01

fufufafa/Hammer/

2024-12-04

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!