18. Propaganda yang licik

Yver mengamati Theo dengan seksama, rasa penasaran memenuhi benaknya. Kalimat yang ia lontarkan pada Bjorn... seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama, pikirnya. Ia mengerutkan kening, mencoba mencari tahu hubungan antara kedua pria itu.

Tiba-tiba, cincin permata di jari Theo kembali menyala. Cahaya putih yang menyilaukan meledak dari cincin itu, membentuk sebuah tombak yang indah dan mematikan. Tombak Wushu dengan bilah yang tajam dan gagang yang lentur, dihiasi kain merah di pangkalnya, kini tergenggam erat di tangan Theo.

Yver terkesiap kagum. Ia belum pernah melihat senjata seindah itu. Dengan gerakan yang luwes dan memukau, Theo memutar tombaknya, menciptakan lingkaran-lingkaran cahaya yang menakjubkan. Ia lalu menancapkan ujung tombaknya ke tanah dengan kuat.

"Penembakan yang dilakukan polisi konyol itu disiarkan dalam berita" ucap Theo. "Mereka meminta maaf atas kesalahan yang mereka lakukan, tapi dua hari setelah itu mereka melakukan kesalahan yang sama. Menuduhku dengan beberapa peluru yang membolongi tubuhku" Ia menatap Bjorn dengan tajam.

Bjorn terkejut mendengar cerita adiknya. Ia tidak menyangka bahwa Theo juga telah mengalami kematian dan kebangkitan. "Terima kasih beritanya" ucapnya dengan nada datar, "Tapi tujuanku kesini hanya untuk menjemput Neil"

Urat-urat di dahi Theo berdenyut, menandakan amarahnya yang meluap-luap. Ia mencabut tombaknya dari tanah dengan kasar, menatap Bjorn dengan sorot mata penuh kebencian. "Kau benar-benar membuatku kesal, Kak!" desisnya.

"Mundurlah, Yver" perintah Bjorn dengan tegas, tanpa mengalihkan pandangannya dari Theo. Ia mulai merasakan aura pertarungan yang semakin kuat.

Tanpa basa-basi, Theo berlari kencang menuju Bjorn. Ia mengacungkan tombaknya tinggi-tinggi, mengambil ancang-ancang untuk menyerang. Mata tombak itu melesat tajam ke arah dada Bjorn, bertujuan untuk menghujam jantungnya.

Bjorn tidak tinggal diam. Dengan kecepatan yang mengejutkan, ia menangkis serangan Theo menggunakan kedua tangannya. Bilah tombak itu bergesekan dengan tangan Bjorn, membelokkan arah tombak itu, menghindari serangan mematikan tersebut.

Di saat yang sama, Theo melancarkan serangan kedua. Ia mengayunkan kakinya dengan kuat, menghantam perut Bjorn dengan tendangan yang tak terduga.

"Ugh!" Bjorn terhuyung ke belakang, memegangi perutnya yang terasa sakit.

"Bukan berarti bela diri selalu tangan kosong, Kak" ucapnya dengan nada mengejek. "Setelah kita berpisah, aku memutuskan untuk menjadi lebih kuat dengan keahlian bersenjataku" Ia memutar tombaknya dengan lincah, menunjukkan kemampuannya yang luar biasa.

Yver menyaksikan pertarungan itu dengan mata terbelalak kagum. Gerakan Theo yang luwes dan fleksibel sungguh di luar dugaan. Di mana dia mempelajari teknik bertarung seperti itu? pikirnya, jari-jarinya mengetatkan genggaman pada gagang pedangnya. Ia merasa gatal ingin ikut bertarung, menguji kemampuannya melawan seorang ahli senjata seperti Theo.

Sementara itu, Bjorn menghadapi adiknya dengan tatapan serius. Ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk bernostalgia atau menahan diri. Theo sudah tumbuh menjadi seorang petarung yang tangguh, dan Bjorn harus mengakui bahwa adiknya itu memiliki kapasitas bertarung yang setara dengannya. Ia menghela napas panjang, menyingkirkan sejenak kenangan masa lalu dan memfokuskan pikirannya untuk menyelamatkan Neil.

Bjorn mengertakkan gigi, menarik napas dalam-dalam melalui hidungnya, mengisi paru-parunya dengan udara. Ia menghembuskan napasnya perlahan lewat sela-sela gigi, sebuah senyum kecil muncul di ujung bibirnya. Ia merasa tenang dan fokus.

Dengan gerakan yang tiba-tiba, Bjorn menyerang. Ia mengambil kuda-kuda yang lebar, lalu menghentakkan kakinya ke tanah dengan sekuat tenaga. "HAA!" serunya, melepaskan semua energinya dalam satu hentakan yang menggetarkan arena.

Guncangan itu merusak konsentrasi Theo. Ia terkejut, kehilangan keseimbangannya sesaat. Tombak di tangannya terlepas, jatuh ke tanah dengan suara berdentang. Sebelum ia sempat bereaksi, Bjorn sudah berada di hadapannya. Sebuah tinju uppercut yang kilat menyambar rahang Theo, melontarkan tubuhnya ke udara.

Dengan sigap, Theo mengangkat tangan kirinya, melindungi sisi kepalanya dengan tulang pergelangan tangan. Bjorn tidak memberinya kesempatan untuk bernapas. Ia segera melancarkan serangan kedua, sebuah tendangan ke belakang dengan tumit yang mengenai telinga Theo.

DEG!

Telinga Theo berdenging keras, pendengarannya terganggu oleh suara bising yang memekakkan telinga. Ia terhuyung, kehilangan keseimbangan sesaat. Jika ia sedikit saja terlambat mengangkat tangannya, mungkin ia sudah tuli permanen.

Theo mundur beberapa langkah, menggelengkan kepalanya dengan keras untuk menghilangkan denging di telinganya. Ia menatap Bjorn dengan tatapan tak percaya. Kekuatan kakakku... sudah seperti monster! pikirnya. Namun, alih-alih merasa takut, ia justru semakin bersemangat. Ia menyeringai lebar, darah petarung dalam dirinya mendidih. Ia tidak akan menahan diri lagi.

Theo mengangkat telapak tangannya, menutupi wajahnya sejenak. Cincin permata di jari manisnya berkilau terang, memancarkan serpihan-serpihan cahaya putih yang halus. Cahaya itu berputar dan membentuk, mengkristal menjadi sebuah tombak trisula yang indah dan mematikan.

"Mungkin pemanasan tadi terlalu panas" ucap Theo dengan suara dingin, "Dan sepertinya hatiku pun ikut memanas... mendidih rasanya" Ia menyeringai lebar, menikmati adrenalin yang terpompa deras di dalam tubuhnya.

Para monster yang memenuhi kursi penonton bergemuruh dalam sorak sorai yang memekakkan telinga, menatap pertarungan di arena dengan nafsu yang tak terkendali. Mereka bersorak untuk Theo, sang Raja mereka, "Bos Theo! Bos Theo! Bos Theo!" teriak mereka berulang-ulang, suara mereka bergemuruh seperti guntur yang menggelegar.

Dengan raungan menggelegar, Theo melontarkan tombak trisula itu sekuat tenaga ke arah wajah Bjorn. Senjata itu melesat dengan kecepatan tinggi, meninggalkan jejak cahaya putih yang menyilaukan. Namun, bagi Bjorn, menangkis lemparan tombak bukanlah hal yang sulit. Ia mengangkat tangan kirinya, siap membelokkan mata tombak yang tajam itu.

Namun, lemparan tombak itu hanyalah sebuah tipuan. Saat perhatian Bjorn teralihkan pada tombak yang melesat, Theo menggunakan kesempatan itu untuk mendekat. Dengan kecepatan yang menakjubkan, ia berlari ke arah Bjorn, membungkuk rendah, dan mengeluarkan senjata lainnya. Sebuah gada berduri besi yang besar dan mengerikan.

Bjorn terkejut. Ia tidak menyangka Theo memiliki senjata lain. Dalam waktu sesingkat itu, ia mustahil mengubah kuda-kudanya untuk menahan serangan mendadak itu. Kedua tangannya yang siap menyambut tombak trisula tak akan sempat untuk menangkis gada yang menghantamnya.

GRAK!

Theo menghantamkan gada itu ke tubuh kakaknya. Senjata itu menghantam perut Bjorn dengan kekuatan penuh, membuatnya terpental ke belakang. Bjorn menabrak Yver yang berada di belakangnya, dan keduanya terlempar bersama-sama, menghancurkan dinding koloseum, dan terhempas ke dalam semak-semak hutan.

Sulpha dan Amoria, yang baru saja tiba di depan Kekaisaran Platas, terkejut bukan main melihat dua sosok manusia terlontar keluar dari lubang di dinding bangunan.

"Sulpha" Amoria menunjuk lubang di dinding dengan jari gemetar, "Dua orang tadi siapa?"

"Lewat sini" ucap Sulpha, mengabaikan pertanyaan Amoria dan bergegas memasuki lorong gelap yang menganga di depan mereka.

"Jawab pertanyaanku, sialan!" Amoria berteriak kesal namun tetap mengikuti Sulpha dari belakang.

"Abaikan saja" balas Sulpha sambil sesekali menepis sarang laba-laba yang menghalangi jalan mereka, "Sebisa mungkin jangan mencolok. Mungkin Bjorn dan Yver sedang menyelinap dan mengamati musuh."

"Aku takut kalau harus berhadapan dengan musuh yang menyeramkan" Amoria memegangi dadanya yang berdebar kencang. Ia membayangkan monster-monster mengerikan dengan taring tajam dan cakar yang siap mencabik-cabik tubuhnya.

Semakin mereka melangkah masuk, semakin terang cahaya yang terpancar dari ujung lorong. Akhirnya, mereka tiba di sebuah arena besar yang dipenuhi oleh monster-monster aneh dengan berbagai bentuk dan ukuran.

"BUNUH! BUNUH! BUNUH!" teriak para monster dengan penuh semangat, membuat Amoria semakin ketakutan.

Di hadapan mereka berdua, seorang pria berdiri dengan napas terengah-engah. Keringat bercucuran dari tubuhnya, menandakan ia baru saja melewati pertarungan yang sengit. Amoria mencubit lengan Sulpha dengan panik. "Tunggu dulu, Sulpha" bisiknya dengan suara gemetar, "Kalau aku mati di sini, tolong makamkan aku di pantai selatan. Jangan lupa untuk meletakkan beberapa ikan segar dan hiasan bunga yang indah—"

"Hei! Jangan langsung pesimis!" Sulpha memotong ucapan Amoria dengan nada kesal.

Theo melonggarkan genggamannya pada gada berduri, seulas senyum tipis yang lebih tepat disebut seringai terukir di bibirnya. Ia menatap Sulpha dan Amoria dengan tajam.

"Amoria, bersiaplah" bisik Sulpha dengan nada serius, matanya tajam menatap Theo. "Kita tidak tahu siapa orang ini, yang pasti, dia bukan orang sembarangan" Ia menarik tali busurnya, memasang anak panah dengan gerakan cepat dan terlatih.

Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar dari arah lubang di dinding yang sebelumnya tercipta akibat hempasan tubuh Bjorn dan Yver. Retakan di dinding semakin melebar, serpihan-serpihan batu berjatuhan ke dalam arena. Theo menoleh dengan cepat, rasa penasaran muncul di wajahnya.

Dari balik lubang itu, sesosok pria bertubuh kekar muncul dengan gagah berani. Ia memegang sebuah kapak kecil di tangannya, mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. "AKU DATANG..." teriaknya dengan suara yang mengguntur.

"...NEIL!" Januza menyelesaikan teriakan itu, muncul dari balik reruntuhan dinding dengan senyum lebar. Di belakangnya, para anggota regu Silver Judge berdiri dengan siap, persenjataan mereka berkilau di bawah sinar matahari.

Suasana arena yang tadinya tegang kini berubah menjadi semakin panas. Pertarungan sesungguhnya akan segera dimulai.

.....

"Bjorn, kau baik-baik saja?" tanya Yver dengan nada khawatir. Ia tergantung terbalik di sebuah ranting pohon, kain celananya tersangkut dan membuatnya tak berdaya.

"Uh, ya..." jawab Bjorn dengan suara lemah. Ia terbaring di tanah, memegangi kepalanya yang berdenyut. Segaris darah mengalir di dahinya. Ia mengusapnya dengan jari, lalu menatap darah itu dengan ekspresi kosong. "Kepalaku sedikit terbentur ke tanah"

"Hanya kepalamu?" Yver terkejut. "Jika saja itu aku, mungkin aku sudah memuntahkan isi perutku setelah menerima serangan tadi"

"Aku memang tidak sempat menangkis serangan maut itu" ucap Bjorn, "Tapi aku sudah memfokuskan Chi sepenuhnya ke area perut"

"Chi? Apa itu?" tanya Yver penasaran.

"Itu tenaga dalam" jelas Bjorn. "Jika aku mengumpulkan Chi di perut terlalu banyak tanpa terpukul, justru organ dalam perutku yang akan hancur lebih dulu" Ia bangkit berdiri, mengibaskan debu di bajunya.

"Hei, Yver" panggil Bjorn tiba-tiba, "Apa kau tahu siapa itu Bael?"

"Bael?" Yver mengerutkan keningnya. Ia masih sibuk mencoba melepaskan celananya yang tersangkut. "Sepertinya aku baru mendengar nama itu"

"Terkadang tubuhku tanpa sadar seperti bergerak sendiri" ucap Bjorn dengan nada serius, "Dan di saat seperti itu juga, terkadang telingaku dipenuhi bisikan nama asing itu"

Bjorn berbalik dan berjalan menuju Koloseum, memegangi dahinya dengan sebelah tangan. "Kalau begitu, biar ku cari tahu sendiri"

"Hmm... begitu, ya" gumam Yver. Akhirnya, ia berhasil melepaskan celananya dari ranting pohon. "Bael...?" Ia terdiam sejenak, pikirannya berputar. "Bukankah itu nama dari—"

Tiba-tiba, Yver terkejut. Matanya melebar saat ia melihat sesuatu di atas pohon yang sama tempat ia tersangkut. Seorang gadis terikat di sana, tali menjerat tubuhnya dengan kencang, dan mulutnya disumpal dengan kain. Gadis itu meronta-ronta, mencoba berteriak di balik sumpalan kain itu. "Ini... hei!" seru Yver dengan kaget. "Ini kan Neil!"

......................

"Penyusup! Semuanya! Turun dari kursi penonton kalian!" teriak Moku, seorang Lizardman berpangkat tinggi di Kekaisaran Platas. Suaranya yang lantang bergema di seluruh arena, membuat para monster yang tadinya asyik menonton pertarungan terkejut dan bingung. "Kekaisaran diserbu orang tak dikenal!"

Dalam sekejap, arena yang tadinya lapang berubah menjadi lautan monster. Mereka berdesakan, mendorong, dan berteriak, menciptakan kegaduhan yang memekakkan telinga. Januza tersenyum lebar, matanya berbinar-binar penuh semangat. "Kalau cuma segini, mana cukup untuk latihan senjata baruku!" serunya dengan riang. Ia menyimpan kembali kapak kecil milik Neil ke pinggangnya. "NOGALE!" panggilnya, mengangkat tangan dan melambaikannya ke arah beruang besar itu.

Nogale merespons panggilan Januza dengan raungan gembira. Ia berlari ke arah Januza, memberikan tos kepadanya dengan cakarnya yang besar. Kemudian, dalam sekejap, ia berubah menjadi sebuah tombak yang indah dan mematikan. Bilah tombak itu tajam dan berkilau, dihiasi bulu-bulu lebat di pangkalnya, menambah kesan gagah dan liar. Januza menangkap tombak itu dengan mantap.

Larson Ardrack, dengan gerakan secepat kilat, menarik pedangnya yang berkilau. Ia mengangkat perisai baja kokohnya, siap menghadapi serangan musuh. Di sebelahnya, Januza berdiri dengan tombak Nogale di tangan, aura kekuatan terpancar dari tubuhnya. "Hei, orang hutan" ucap Larson dengan nada mengejek, "Sebaiknya kau tidak menghambat gerakanku"

"Hah? Simpan saja suaramu, bangsawan" balas Januza dengan seringai, "Karena setelah pengepungan ini, mulutmu akan tersedak golok tombakku"

Tanpa perintah apapun, mereka berdua menyerang dengan kompak. Larson mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh, membelah monster-monster yang menyerbu ke arah mereka. Januza melompat dan menusuk dengan tombaknya, menciptakan lubang-lubang di tubuh musuh-musuhnya. Mereka bergerak dengan lincah, seperti dua penari maut yang menebar kehancuran di medan pertempuran.

Di sisi lain arena, Amoria terpisah dari Sulpha karena desakan kerumunan monster yang semakin ganas. Ia berdiri di samping sesosok prajurit yang mengenakan zirah lengkap, menutupi seluruh tubuhnya hingga wajahnya tak terlihat. Prajurit itu memegang perisai baja dan palu gada berduri dengan sikap siaga. Amoria menatap prajurit itu dengan penuh harap. "Perasaanku mengatakan kalau aku sebaiknya berlindung di balik badanmu" ucapnya dengan suara gemetar, lalu menelungkup di belakang prajurit itu.

Prajurit misterius itu, yang belakangan diketahui bernama Aleah Fredemor, hanya menatap Amoria dengan diam. Ia lalu mengangkat perisainya, siap melindungi Amoria dari serangan musuh.

Sulpha, yang terpisah dari Amoria, mengalami kesulitan dalam pertarungan. Ia adalah seorang pemanah, dan ia lebih efektif bertarung dari jarak jauh. Namun, kerumunan monster yang berdesakan membuatnya sulit untuk menemukan posisi menembak yang ideal. Ia berkali-kali menggerutu kesal sambil memanah musuh-musuhnya. Tiba-tiba, seekor goblin bau yang licik berhasil meloloskan diri dari serangan Januza dan Larson. Ia berlari ke arah Sulpha, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Sulpha terkejut, ia belum sempat mengambil anak panah lain. Namun, sebelum goblin itu mencapai Sulpha, tubuhnya terhempas ke belakang. Sebuah lubang menganga di dadanya.

"Tak perlu berterima kasih, aku tulus" ucap seorang pria di samping Sulpha. Ia adalah Marten Varputin, yang juga salah satu anggota Silver Judge. Senapan di tangannya masih mengepulkan asap.

"Cih, aku tidak berniat berterima kasih" jawab Sulpha dengan dingin.

Marten hanya menyeringai, lalu kembali menembak monster-monster yang mendekat. Sulpha dan Marten bekerja sama dengan baik, menghujani arena dengan anak panah dan peluru sihir yang mematikan.

Di tengah arena, seorang pria gagah dengan brewok cokelat tebal bertempur dengan ganas. Ia adalah Odin Obumasy, keturunan Viking yang kuat dan berani. Dengan ayunan kapak besarnya, ia menebas sekawanan goblin yang menyerangnya. Ia bergerak dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa, tak memberi ampun pada musuh-musuhnya. Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul dari atas. Seorang gadis berambut pirang melompat dari dinding arena, mendarat dengan lincah di tengah-tengah kerumunan monster.

"KUNDEA!" teriak gadis itu, menangkap sebuah kapak kecil yang dilemparkan oleh seseorang. Ia mengayunkan kapak itu dengan kuat, menebas seekor Orc yang berdiri di hadapan Odin.

Odin tertegun sejenak, lalu tersenyum lebar. "Gadis kecil, tubuh dan kapakmu memang kecil" ucapnya dengan semangat, "Ayo kita hancurkan mereka semua!"

"Hah? Ucapanmu tidak nyambung" jawab gadis itu, yang ternyata adalah Neil.

.....

Sementara arena koloseum dipenuhi teriakan dan suara pertempuran yang dahsyat, di dalam ruangan kaisar yang sunyi dan megah, terdengar langkah kaki Theo menaiki tangga marmer yang dingin. "Bukan hanya skill-mu, tapi kekuatanmu boleh juga" sebuah suara tiba-tiba muncul dari bawah tangga, membuat Theo menghentikan langkahnya.

Theo menoleh, matanya bertemu dengan tatapan tajam Bjorn yang berdiri di dasar tangga. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan amarah yang mulai meluap. "Mustahil, bukan?" balasnya dengan nada sinis, "Kalau kau akan mati hanya dengan serangan remeh begitu" Ia memutar tubuhnya, menyibakkan rambut pirangnya yang terurai ke belakang telinga.

"Kau ingin menemuiku hanya untuk memukulku?" tanya Theo dengan nada menantang.

"Tujuanku kesini tidak berubah" jawab Bjorn dengan tegas, "Dan kau sudah tahu itu"

"Kau... keterlaluan!" Theo menggeram. Cincin di jarinya kembali bercahaya, memancarkan partikel-partikel perak yang berkilauan di udara. Debu perak itu berputar dan menyatu, membentuk sebuah pedang rapier yang indah dan mematikan. Pedang itu tipis dan lancip seperti jarum.

Theo mengambil posisi siaga. Ia mengangkat kaki kirinya selangkah ke belakang, menekuk lututnya sedikit. Tangan kirinya terangkat. Tangan kanannya mengacungkan rapier dengan mantap, ujung pedang itu mengarah ke Bjorn. Sikapnya itu mengeluarkan aura yang familiar, mengingatkan Bjorn pada ibunya di masa muda.

Melihat sikap adiknya, Bjorn pun mengambil posisi bertarung. Ia mengangkat lututnya sedikit, menarik kepalan tinjunya sejajar dengan perut. Tangan kirinya terentang ke depan, telapaknya terbuka sedikit. Kuda-kuda itu adalah ciri khas ayahnya, perpaduan antara Muay Thai dan Karate. Bahkan raut wajah Bjorn saat ini sangat mirip dengan Hugo.

"....."

Dengan kecepatan kilat, Theo melompat dan menghunuskan pedang rapier-nya ke arah Bjorn. Ujung pedang yang tajam dan lancip itu melesat bagaikan kilatan cahaya, menargetkan titik-titik vital di tubuh Bjorn.

Namun, Bjorn tidak tinggal diam. Ia meliukkan tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan Theo dengan gerakan yang elegan. Dalam sekejap, ia membalas dengan serangan balik, mengangkat lutut kanannya dan menghantamkannya ke arah perut Theo.

Theo tidak lengah. Ia mengangkat tangan kirinya, menangkis serangan lutut Bjorn dengan telapak tangannya yang terbuka. BRAK! Suara tumbukan yang keras terdengar di seluruh ruangan.

Menyadari kakinya telah ditangkap, Bjorn dengan cepat menarik tangan kanannya untuk melindungi telinganya. Ia sudah mengira apa yang akan dilakukan Theo selanjutnya. Benar saja, Theo memutar gagang pedangnya, mengubah arah serangan dan mencoba menusuk telinga Bjorn. Namun, serangan itu sudah terbaca oleh Bjorn. Ia menangkis pedang Theo dengan sikapnya, mencegah cedera serius pada telinganya.

Tanpa ragu, Bjorn melancarkan serangan balasan. Ia mengepalkan tinju kanannya dan melesatkannya ke arah wajah Theo. Di saat yang sama, Theo juga menyerang. Ia mengayunkan kaki kirinya dengan kencang, menendang ke arah Bjorn. Kedua serangan itu bertemu di udara, menciptakan ledakan energi yang menggetarkan ruangan.

DUAR!

Kekuatan tinju Bjorn jauh melebihi tendangan Theo. Theo terdorong ke belakang, tubuhnya menghantam sebuah pilar besar yang menopang bangunan itu. Suara retakan yang mengerikan terdengar saat pilar itu retak dan hampir runtuh. Theo terbatuk, merasakan rasa sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya.

"Tidakkah kau sadari sedikit saja?" Theo merangkak bangun, menyentuh pelipisnya yang berdenyut nyeri. Ia menatap Bjorn dengan sorot mata yang penuh luka. "Kalau aku sangat menantikan kehadiranmu... tetapi, kedatanganmu kesini pun bukan untuk menemuiku" Suaranya bergetar, namun kemudian meninggi penuh kemarahan. Rambut pirangnya yang berantakan menutupi sebagian wajahnya, nafasnya memburu tak terkendali.

"Di mana kau sembunyikan gadis itu, Theo?" tanya Bjorn dengan tegas, mengabaikan luapan emosi adiknya.

"Masih saja memikirkan orang lain saat di hadapanku..." gumam Theo dengan nada sinis. Pedangnya kembali bercahaya, cincin di jarinya memancarkan serbuk cahaya yang kemudian membungkus tangannya seperti sarung tangan perak.

Tatapan Theo kosong, seolah-olah ia telah kehilangan kesadarannya. Ia berjalan mendekat ke arah Bjorn, menyeret pedangnya di lantai marmer yang dingin. "Theo, cukup!" teriak Bjorn, "Kontrol dirimu! Jika kau bersikeras, salah satu dari kita akan ada yang kehilangan nyawa!"

Namun, Theo terus melangkah maju, seolah-olah tak mendengar peringatan kakaknya. Bibirnya bergerak-gerak, merapal mantra dengan suara lirih yang semakin lama semakin jelas terdengar. Suasana di ruangan itu menjadi tegang dan mengerikan.

Tangan Bjorn gemetar. Bercak-bercak kehitaman muncul di lengan kanannya, menyebar dengan cepat. "Apa yang kau lakukan? Theo, hentikan!" teriaknya lagi, suaranya dipenuhi ketakutan.

Gedung megah itu tiba-tiba berguncang hebat, dinding-dindingnya retak dan mengelupas. Ledakan kecil terdengar dari dalam, disusul kepulan asap tebal yang membubung tinggi, menodai langit yang cerah. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam sana, namun jelas bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, Neil melirik ke arah gedung yang baru saja meledak. Asap hitam mengepul dari jendela-jendela yang pecah, menciptakan pemandangan yang mengerikan. "Hei, Kak!" teriaknya pada Odin yang berdiri di sampingnya, "Apa kau tahu di dalam bangunan itu sedang ada apa?"

Odin mengayunkan kapak besarnya, menebas seekor Orc yang mencoba menyerangnya. "Aku melihat sekilas" jawabnya di sela-sela pertarungan, "Sepertinya Bjorn masuk ke dalam bangunan itu"

Neil langsung melompat dengan lincah, menghindari serangan monster-monster yang datang dari segala arah. Ia bergerak cepat menuju gedung itu, ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Sulpha, yang sedang membidik musuhnya dengan panah, melihat Neil yang sedang melompat-lompat. "Itu Neil?" gumamnya. Ia mengikuti arah pandangan Neil, dan melihat gadis kecil itu sedang menuju gedung yang baru saja meledak.

"AMORIA, NEIL SUDAH MUNCUL!" teriak Sulpha sekuat tenaga, "DIA MENUJU GEDUNG KHUSUS!" Ia berharap Amoria mendengar teriakannya. Sulpha segera berlari mengejar Neil, menghindari serangan musuh yang menghalangi jalannya. "Hei, kau! Senapan sihir!" panggilnya pada Marten tanpa menoleh. "Tolong bukakan aku jalan menuju gedung itu!"

"Baik!" sahut Marten dengan semangat. "Kau tak perlu berterima kasih, lho!" Ia menembakkan senapannya ke arah kerumunan monster, menciptakan jalan sempit di antara mereka.

Januza dan Larson sudah kehabisan tenaga. Mereka kewalahan menghadapi serbuan monster yang tak ada habisnya. "Pria bangsawan" ucap Januza dengan suara lemah, "Apa kau punya strategi?"

"Tentu saja aku ada" jawab Larson dengan percaya diri. Ia menjatuhkan tamengnya ke tanah. "Kita terabas saja!" Ia menarik pedang kedua dari pinggangnya, kini kedua tangannya menggenggam pedang.

Januza tersenyum lebar, semangatnya kembali menyala. "Strategi yang bagus!" serunya. Ia mencengkeram tombaknya dengan lebih erat, siap untuk menerobos keluar dari kepungan musuh.

Amoria bersembunyi di balik tubuh Aleah, orang misterius berzirah yang sebelumnya ia jadikan perisai hidup. Ia menempelkan telapak tangannya di punggung zirah Aleah, mengalirkan sihir air untuk mendinginkan darahnya. "Aku tidak bisa menggunakan sihir air jika tidak ada air" ucapnya dengan cepat, "Tapi dengan mendinginkan darahmu, energimu akan kembali pulih"

"Tolong bukakan aku jalan menuju bangunan khusus itu" pinta Amoria, tangannya masih menempel di zirah Aleah. "Aku harus mengejar temanku"

Tanpa banyak kata, Aleah mengangkat tamengnya dan merapal mantra suci. "Aimblades!" serunya. Tiga pedang terbang muncul dari cahaya kebiruan di depan tamengnya. Pedang-pedang itu memiliki gagang di atas dan sayap kecil berwarna putih, membuat mereka terlihat seperti makhluk hidup.

"Pergilah" ucap Aleah dengan suara tegas.

"Baiklah... suaramu—" Amoria terhenti, lalu melanjutkan dengan cepat, "Terima kasih!" Ia segera berlari meninggalkan Aleah, mengikuti pedang-pedang terbang yang membukakan jalan untuknya. Pedang-pedang itu menyambar monster-monster yang menghalangi jalan Amoria, membersihkan jalur agar ia bisa lewat.

Amoria berlari sekuat tenaga. Ia akhirnya berhasil mencapai Sulpha yang sedang mengejar Neil. "Apa yang Neil lakukan kesana?" tanyanya dengan napas terengah-engah.

"Entahlah" jawab Sulpha sambil terus berlari, "Yang jelas, kastil itu tempatnya bos mereka."

Mereka berdua semakin dekat dengan Neil. "Neil, berhenti!" teriak Sulpha, "Itu tempat bos dari kekaisaran ini! Berbahaya!"

Neil tidak menjawab. Ia terus berlari menuju gedung itu. Sulpha menggapai tangan Neil dan menariknya dengan kasar, memaksanya untuk berhenti. "Dengarkan aku!" bentak Sulpha, "Pergi kesana terlalu berbahaya!"

Neil terhenti, napasnya terengah-engah. Wajahnya pucat dan dipenuhi kepanikan. Ia mencoba menjelaskan, namun kata-katanya terbata-bata. Amoria, Sulpha, dan Neil berhenti di depan tangga kastil, menatap bangunan itu dengan cemas.

"Paman Bjorn..." ucap Neil dengan suara parau, menunjuk ke arah pintu masuk kastil, "Paman Bjorn... ada di dalam sana"

Tiba-tiba, kastil itu meledak dengan dahsyat. Kobaran api raksasa menjulang tinggi dan menelan bangunan dalam sekejap mata. Gelombang kejut yang kuat menyapu semua yang ada di sekitarnya, menghantam Sulpha, Amoria, dan Neil dengan keras.

"Neil!" Sulpha berteriak, menarik Neil ke dalam pelukannya dan melindunginya dari hempasan angin dan puing-puing. Amoria mencengkram lengan Sulpha dengan erat, takut terlempar oleh ledakan itu.

Mereka bertiga menatap ke arah kastil yang kini dilalap api. Di tengah-tengah kobaran api itu, mereka melihat sesosok tubuh terlempar. Theo! Ia jatuh tak sadarkan diri ke tanah. Dan di atas puing-puing kastil yang terbakar, berdiri Bjorn. Namun, ia tampak berbeda. Bajunya hangus terbakar, telanjang dada, dan di lengannya terlihat tato asing yang menyerupai aksara kuno. Ia menatap ke arah mereka dengan tatapan kosong dan mengerikan.

"Mustahil kita bisa menghentikan Bjorn" ucap Sulpha dengan suara gemetar, "Dia sudah seperti iblis"

Ketakutan dan keputusasaan menyelimuti mereka. Namun, tiba-tiba sesosok bayangan muncul dari balik reruntuhan. Yver! Ia melompat ke udara, menuju kobaran api yang menjulang tinggi. Sambil melayang di udara, ia merapal mantra dengan cepat.

"Vahşi Diş Zincirleri!" teriaknya saat kakinya menyentuh pijakan. Ia menancapkan pedangnya ke lantai dengan kuat. Dalam sekejap, dua kepala harimau raksasa muncul dari dalam tanah, mengaum dengan ganas. Mereka menerkam Bjorn, menggigit kedua lengannya dengan kuat. Bjorn meronta-ronta, mencoba melepaskan diri, namun gigitan harimau itu terlalu kuat.

Yver muncul di belakang Bjorn dengan gerakan secepat kilat. "Kau lebih monster dari monster sungguhan" desisnya dengan dingin. Ia mengangkat pedangnya, lalu menghantamkan sisi tumpulnya ke leher Bjorn.

Bjorn terhuyung, pandangannya menggelap. Ia jatuh ke lantai, kehilangan kesadaran. Api di sekelilingnya terus berkobar.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Bael?" Yver mengerutkan keningnya. Ia masih sibuk mencoba melepaskan celananya yang tersangkut. "Sepertinya aku baru mendengar nama itu"

"Aduh, sial!" Yver mengumpat pelan saat kakinya tersangkut di cabang pohon. Sambil berusaha melepaskan diri, matanya menangkap sosok kecil yang terikat di dahan yang lebih tinggi. "Neil?!" serunya kaget.

Gadis kecil itu meronta-ronta, kain yang menyumpal mulutnya membuatnya tak bisa bersuara. Yver segera melepaskan ikatan Neil dan membantunya turun.

"Terima kasih, kak!" ucap Neil dengan lega. Neil segera berlari menuju arena. Yver menghela napas lega, namun rasa lega itu tak bertahan lama. Seorang pria dengan aura mengerikan tiba-tiba muncul di hadapannya.

Yver merasakan tekanan yang sangat kuat dari pria itu, seolah-olah semua udara di sekitarnya tersedot habis.

"Ada perlu apa petinggi iblis sampai sibuk-sibuk menemuiku?" tanya Yver dengan nada santai, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Kau tidak berniat merampas kekayaanku, 'kan?"

Pria itu tertawa dingin. "Lucu sekali leluconmu" ucapnya dengan nada meremehkan. "Aku tidak pernah tertarik dengan harta benda"

"Lalu apa maumu?" tanya Yver dengan tajam.

"Pertama-tama, perkenalkan. Namaku Kartos" ucap pria itu, "Dan akulah yang menculik gadis tadi"

"Hah? Apa maksudmu?" Yver bingung.

"Aku tahu betul soal pria bernama Bjorn itu" lanjut Kartos, mengabaikan pertanyaan Yver. "Terakhir aku melihatnya mengamuk, saat desanya dibakar hangus oleh tentara hitam sekte naga air. Pria itu ahli bertarung tanpa senjata. Saat malam desanya dibakar, ia mengamuk dan memukul seorang petinggi tentara sampai terlempar dan mengguncang tanah"

Yver terdiam, mencoba mencerna informasi yang diberikan Kartos.

"Tuanku, Raja Asmodeus, tertarik dengan kekuatannya" sambung Kartos. "Sepertinya beliau tahu sesuatu soal kekuatan pria bernama Bjorn itu. Raja-ku menyuruhku untuk menculik gadis kecil yang merupakan satu-satunya keluarganya, dan membuat seolah-olah dia diculik oleh Kekaisaran Platas. Tentu Raja-ku juga tahu kalau bos dari kekaisaran itu memiliki karunia dari Dewi Rea"

"Lalu? Kalian berniat untuk memaksa mereka bertarung?" tanya Yver.

"Itu kehendak Raja-ku" jawab Kartos dengan datar.

"Mengapa tidak 'Raja-mu' saja yang turun melawan Bjorn?" tanya Yver lagi.

"Jika beliau turun tangan, mungkin pria itu sudah mati sebelum kekuatannya bangkit" jelas Kartos.

Yver menggaruk lehernya dengan gelisah. Ia mulai mengerti situasi yang sebenarnya. Semua ini hanyalah kebohongan besar. Kekaisaran Platas hanya dikambinghitamkan untuk tujuan Asmodeus. Dan sekarang, sudah terlambat untuk mengatakan yang sebenarnya pada Bjorn.

"Satu lagi" ucap Yver, "Mengapa kau ada di sini?"

"Aku ditugaskan untuk menculik gadis itu" jawab Kartos, "Dan aku berhak untuk memastikan gadis itu tetap hidup"

"Berlagak sok baik, ya?" sindir Yver.

"Jangan salah paham" kata Kartos dengan dingin, "Tujuan Raja-ku adalah untuk membangkitkan kekuatan yang terbelenggu di tubuh pria itu. Jika ingin membunuh saja, itu sangat mudah"

"Dan kau juga sudah tahu, bukan, soal anggotamu yang bernama Fredemor?" tanya Kartos.

"Jangan ikut campur" tegas Yver, "Dia tidak ada kaitannya"

"Ibunya melanggar sumpah pada Raja-ku" ucap Kartos dengan nada mengancam, "Sudah sewajarnya seluruh keturunannya dibunuh"

"Kau tidak berhak memastikannya" balas Yver tajam. "Itu urusan antara ibunya Aleah dan Raja-mu" Ia berbalik dan berjalan meninggalkan Kartos.

"Jangan sampai terbunuh oleh Bjorn" ucap Kartos dari belakang. "Raja-ku juga tertarik padamu"

"Tentu" jawab Yver tanpa menoleh, "Selanjutnya, kau yang akan terbunuh" Ia meninggalkan Kartos dengan lambaian tangan kecil.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!