12. Hasil berteduh

"Memangnya masih jauh?" tanya Sulpha dengan nada lelah, menyeka keringat di dahinya. Ia melirik ke arah Amoria yang tampak kepanasan, lalu ke Neil yang mulai tersengal-sengal.

The Punish memang sedang dalam perjalanan misi pertamanya, yaitu mengalahkan monster Ular Axetail. Misi ini tergolong sangat sulit untuk petualang pemula seperti mereka. Namun, imbalan yang dijanjikan sangat besar, dan mereka membutuhkan uang itu untuk memperbaiki markas mereka yang bobrok.

Mereka telah berjalan selama sembilan hari, menuju ke arah timur dari kota Bretavia. Perjalanan itu cukup melelahkan, melewati hutan lebat, bukit terjal, dan sungai deras. Sulpha memperkirakan mereka masih membutuhkan waktu sekitar dua hari lagi untuk mencapai lokasi Ular Axetail.

"Memangnya sebenci itu kau pada matahari?" tanya Januza, menatap Amoria yang berjalan di sebelahnya dengan wajah cemberut. Kerudung jubah Sulpha tertutup rapat di kepalanya, menyembunyikan wajahnya dari sinar matahari "Kau terus menutupi wajahmu dengan jubah itu"

"Habitatku itu air, bodoh!" balas Amoria dengan nada ketus, membuang muka dengan kesal. "Sangat jelas matahari menyengat seperti ini membuatku merasa tidak nyaman"

"Eh, aku cuma bertanya" kata Januza "Lagipula, kau kan sudah meminjam jubah Sulpha. Seharusnya kau tidak kepanasan lagi"

"Tetap saja tidak nyaman!" Amoria menghentakkan kakinya.

"Siang ini sepertinya kita harus istirahat, Paman" ucap Neil, napasnya terengah-engah. "Kita sudah tiga hari penuh berjalan kaki tanpa henti"

Bjorn memperlambat langkahnya, mengurai rambutnya yang kusut karena keringat. "Hmm... kalau begitu, kita istirahat di depan sana saja" katanya sambil menunjuk ke arah tepian hutan yang dekat dengan bebatuan dan sebuah gua yang mengapung di atas sungai "Aku mendengar ada suara aliran sungai di sana"

Tiba-tiba, cuaca yang sebelumnya cerah dan panas berubah drastis. Awan gelap menutupi langit, menghalangi sinar matahari. Gemerlap petir menyambar di antara awan, diikuti oleh suara gemuruh yang menggelegar. Rintik-rintik hujan mulai turun, membasahi dedaunan dan tanah.

"Semuanya masuk!" teriak Bjorn. "Kita akan berteduh sambil istirahat di dalam gua ini!"

Mereka berlima pun berlari menuju gua untuk menghindari hujan yang semakin deras. Gua itu cukup besar dan kering, memberikan perlindungan yang nyaman dari hujan deras di luar.

...----------------...

Nyala api unggun yang baru saja dinyalakan Bjorn menari-nari, menghasilkan kehangatan yang perlahan mengusir hawa dingin di dalam gua. Tumpukan ranting kayu berderak pelan, diiringi suara gemericik air sungai yang mengalir di dekat mereka. Bjorn duduk bersila di dekat api unggun, menatap Neil yang tampak menggigil kedinginan.

"Neil, kemarilah, hangatkan tubuhmu" panggil Bjorn dengan nada khawatir. Wajah Neil terlihat begitu pucat. Ia mengucilkan diri, bersandar sendirian di dinding gua dengan tubuh yang gemetar.

"Hei, Neil? Kemarilah" Amoria melambaikan tangannya dengan ramah. "Aku akan merangkulmu agar kau tidak kedinginan" Neil tidak menjawab. Ia hanya terus menggigil, pelukannya pada lututnya semakin erat.

"Tolong bersihkan ikan ini, Sulpha," ucap Januza sambil meletakkan tumpukan ikan segar di dekat Sulpha. "Lalu sekalian panggang di api unggun." Ia baru saja kembali dari sungai setelah berburu ikan. Tetesan air dari rambut dan bajunya membasahi lantai gua.

"Baiklah..." jawab Sulpha singkat, mengambil ikan-ikan itu dan mulai membersihkannya dengan cekatan.

Setelah mengeringkan tubuhnya yang agak basah karena hujan, Januza duduk bersila di dekat api unggun dan menjulurkan kedua tangannya yang kedinginan ke arah nyala api. Ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, seolah-olah sedang mencari sesuatu "Hei, Bjorn" panggilnya "Aku tidak melihat Neil. Di mana dia?"

"Entah" jawab Bjorn dengan santai, menunjuk ke arah Neil yang sedang duduk menyendiri di sudut gua, bersandar di dinding dengan tatapan kosong. "Dia menjauhkan diri di sana dari tadi."

Januza mengusap kedua telapak tangannya yang telah menghangat di dekat api unggun. Ia kemudian berdiri dan menghampiri Neil yang masih duduk menyendiri di sudut gua. "Neil..." panggilnya dengan lembut. Tapi, Neil tidak menyahut.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Januza dengan khawatir. Ia meletakkan telapak tangannya di dahi Neil, "Suhu tubuhmu panas. Wajahmu juga pucat"

Di dalam gua itu, suara derasnya air sungai dan gemuruh hujan beradu, menciptakan kebisingan yang cukup mengganggu. Namun, entah mengapa, Januza mendekatkan telinganya ke hidung Neil. Ia mencoba mendengarkan suara napas Neil yang terdengar sangat lemah.

Nafas Neil begitu pendek, terdengar seperti sesak napas yang terengah-engah. Januza mengerutkan keningnya. Ia merasa ada yang tidak beres dengan Neil. "Bjorn! Kemari!" teriaknya dengan panik. "Neil terkena racun!"

Bjorn langsung terkejut. Ia segera menghampiri Januza dan Neil. "Hei, Neil, katakan sesuatu" ucapnya dengan nada khawatir, sambil mengelap keringat dingin yang membasahi dahi Neil.

"Pa-Paman..." lirih Neil, suaranya tercekat dan nyaris tak terdengar di tengah gemuruh hujan dan deru sungai. "Pinggangku... sangat nyeri..."

Mata Bjorn seketika tertuju pada pinggul ramping Neil. Di sana, hanya ada sebuah kapak kecil yang tergantung di pinggangnya. Namun, ada yang aneh dengan kapak itu. Sebuah permata berbentuk kepala ular yang tertanam di gagangnya memancarkan sinar redup keunguan, berdenyut seperti jantung yang ketakutan.

Dengan gerakan hati-hati, Bjorn mengambil kapak itu dari kaitan pinggang Neil. Seketika, permata itu berhenti berdenyut dan sinarnya lenyap, meninggalkan kegelapan yang mencekam. Januza, yang menyaksikan semua itu, menatap Bjorn dengan cemas.

"Amoria, tolong obati Neil!" panggil Bjorn dengan nada cemas, menatap Neil yang terbaring lemah.

"Hah? Memangnya ada apa?" Amoria bergegas bangkit dari duduknya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Ia berlari menuju Neil dan berlutut di sampingnya.

Amoria dengan sigap memeriksa kondisi Neil. Ia memonyongkan bibir Neil dan menyentuh sela-sela gusinya. "Bjorn... ini bukan racun" katanya dengan suara gemetar "Ini sihir"

"Memangnya tidak ada yang bisa kau lakukan padanya?" tanya Bjorn dengan wajah panik.

"Biar kucoba dulu," kata Amoria. Ia menarik napas panjang, lalu mulai merapalkan mantra kuno sambil merentangkan jari-jarinya di atas kepala Neil.

"Uyeon krai smailla furo makusoae..." Sesaat setelah Amoria merapalkan mantra itu, tubuh Neil mengeluarkan asap tipis. Namun, asap itu dengan cepat menghilang, dan kondisi Neil tidak menunjukkan perubahan apapun.

"Tidak" kata Amoria dengan nada frustasi. "Sihir ini bukanlah dibuat oleh seseorang. Aku tidak bisa menembus lapisan yang lebih dalam."

Nafas Neil semakin berat, setiap tarikan napas seperti perjuangan melawan cengkeraman maut yang tak terlihat.

Air sungai yang tadinya jernih kini berbuih dan bergejolak hebat, melepaskan kabut asap dengan aroma pedas yang membakar paru-paru. Di tengah kepanikan yang mencekam, sebuah suara misterius menggema di dalam gua, membuat bulu kuduk mereka berdiri.

"Oh? Rupanya ada yang bisa menggunakan mantra kuno di antara kalian?"

Suara itu datang dari bagian gua yang paling gelap, di mana bayangan menari-nari seperti siluman kelaparan. Bjorn melompat berdiri, matanya menyala-nyala bagai bara api.

"Apa ini ulahmu?!" teriaknya, suaranya bergema di dinding gua yang lembap. "Keluar dan tunjukkan dirimu, pengecut!"

Tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba berguncang dahsyat, seolah-olah raksasa sedang mengamuk di perut bumi. Dinding-dinding gua bergoyang dan retak, hujan debu dan kerikil berjatuhan dari langit-langit. Neil terbatuk-batuk dengan hebat, wajahnya pucat pasi seperti mayat.

"Hei, jaga sopan santunmu, manusia kecil!" Sebuah suara mendesis memecah kebisingan, suara yang penuh dengan kemarahan dan ancaman. Dari dalam kegelapan yang pekat, muncul sesosok makhluk raksasa yang membuat darah mereka membeku.

Seekor ular hitam keunguan dengan sisik sebesar perisai merayap keluar dari dalam gua, taringnya yang panjang dan tajam berkilauan di bawah cahaya api unggun. Matanya yang kuning menyala menatap The Punish dengan nafsu membunuh yang tak terkendali.

Sulpha, yang sedang memutar-mutar ikan panggang di atas api unggun, tiba-tiba tersentak. Matanya membelalak, dengan sigap, ia meraih busur dan anak panahnya.

"Hoi! Kalian semua menjauh dari sana!" teriaknya bergema.

Amoria merangkul Neil dan menariknya menjauh dari sana. Bjorn dan Januza segera mengambil posisi siaga.

"Apa yang kau lakukan padanya?" desis Bjorn, suaranya dingin dan menusuk. Matanya menatap tajam ular raksasa itu, amarah yang terpendam mulai membara di dalam dadanya.

Ular itu hanya diam. Ia menatap Bjorn dengan pandangan meremehkan, seolah-olah pria itu hanyalah serangga kecil yang tidak layak diajak bicara. Kemudian, dengan kecepatan yang menakjubkan, ia mencambuk ekornya yang besar dan kuat ke arah Bjorn dan Januza.

BAM!

Bjorn dan Januza terhempas ke belakang, menabrak dinding gua dengan keras. Batu-batu kecil berjatuhan dari langit-langit.

Januza mengerang kesakitan, sementara Bjorn dengan sigap mencengkeram ekor ular itu erat-erat, mencegah dirinya terlempar lebih jauh.

"Aku sudah coba tanya baik-baik" desis Bjorn lagi, suaranya semakin dingin. Ia menatap ular itu dengan tatapan tajam dan penuh kemarahan.

"Januza, bantu aku! Sulpha dan Amoria, lindungi Neil!" perintah Bjorn dengan sigap, suaranya bergema di antara gemuruh air dan desisan ular. Ia mengambil posisi siaga, otot-ototnya menegang seperti baja.

"SIAP!" teriak Januza, Sulpha, dan Amoria serempak. Mereka bergerak cepat, mengikuti perintah Bjorn tanpa ragu.

Bjorn berlari mendekati ular raksasa itu dengan keberanian yang luar biasa. Januza mengikutinya dari belakang, tombaknya berputar-putar menangkis serangan ekor ular yang menghantam seperti badai.

Dengan otot-otot kakinya yang bermekaran seperti pegas, Bjorn melompat tinggi ke udara. Ia melayang di atas kepala ular itu, lalu dengan kekuatan penuh ia menghantamkan siku ke tempurung kepala ular itu.

CRACK!

Suara tulang retak bercampur dengan raungan kesakitan ular itu mengisi gua. Ular itu terhuyung, kepalanya membentur tanah dengan keras. Ia terkejut, tidak menyangka manusia kecil itu memiliki kekuatan yang mampu menyakiti dirinya.

Namun, ia mencambukan ekornya ke arah Bjorn yang masih berada di udara. Ekor itu menghantam Bjorn dengan kekuatan penuh, melemparkannya ke atas hingga menembus atap gua.

Ular raksasa itu mencoba menegakkan kembali kepalanya, namun kesadarannya mulai menghilang. Pandangannya kabur, dunia berputar-putar di sekitarnya. Ia merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain meringkuk dan mendesis kesakitan.

Di saat yang sama, Sulpha menarik tali busurnya dengan sekuat tenaga. Anak panah yang telah diberi mantra sihir angin bercahaya kehijauan, siap dilepaskan "Vila majka sa mnom, jao tebi!" serunya dengan lantang, melepaskan anak panah itu dengan kecepatan tinggi.

Anak panah itu meluncur dengan kecepatan yang menakjubkan, meninggalkan jejak cahaya kehijauan di udara. Desiran angin yang kencang mengikuti anak panah itu, mengisi gua yang sempit dengan hembusan angin puting beliung. Aliran sungai di dekat mereka bergejolak, airnya berhamburan ke udara terkena efek angin dari anak panah Sulpha.

Sebuah kapak kecil melesat dengan kecepatan tinggi, berputar-putar di udara sebelum akhirnya mengenai anak panah Sulpha. Clang! Suara logam beradu memecah keheningan gua. Anak panah itu terbelokkan, melenceng dari sasarannya.

"Hah?!" Sulpha terkesiap, matanya membelalak tidak percaya.

"Neil?! Apa kau sadar apa yang telah kau lakukan?!" Amoria berteriak dengan marah.

Neil, yang seharusnya terbaring lemah karena racun, tiba-tiba berdiri dengan tegap di depan ular raksasa itu. Ia merentangkan kedua tangannya, seolah-olah sedang melindungi ular. Wajahnya pucat, napasnya terengah-engah, namun matanya menyala-nyala dengan kekuatan yang aneh.

Bjorn melompat dari atap gua yang berlubang. Ia mendarat dengan mantap, meskipun tangannya yang memar kebiruan menunjukkan bekas serangan ular raksasa itu.

"Ayo kita selesaikan secara jantan" ucap Bjorn dengan suara lantang, menantang ular itu untuk bertarung satu lawan satu. Ia melangkahkan kakinya mendekati Ular Axetail, tatapannya tajam dan penuh tekad.

Tiba-tiba, Neil berlari dengan napas terengah-engah, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Ia menghentikan langkahnya di depan Bjorn, merentangkan kedua tangannya seolah membentuk perisai manusia.

"Dia... tidaklah jahat" ucap Neil dengan suara lemah, berjuang untuk mengatur napasnya yang sesak. "Ku-kumohon... mengertilah."

Taring ular raksasa itu tiba-tiba mengecil, menciut dengan cepat hingga seukuran tusukan garpu. Sebelum siapapun sempat bereaksi, ular itu menyambar pinggang Neil yang berdiri di sampingnya.

"Neil!!" teriak Amoria dengan ngeri, namun sudah terlambat.

Gigitan ular itu meninggalkan bekas luka yang mengerikan di pinggang Neil. Urat-urat di sekitar luka itu menghitam, merambat cepat seperti jaring laba-laba yang menjalar di kulitnya. Neil menunduk, meringis kesakitan sambil memegangi pinggangnya. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Alih-alih menangis atau berteriak, Neil justru tersenyum.

Ia bergegas berdiri, mengabaikan rasa sakit yang menyiksa. Dengan lembut, ia mengelus kepala ular raksasa itu, memeluk wajah ular yang ukurannya jauh lebih besar dari tubuhnya. Air mata mengalir deras di pipinya, namun bukan air mata kesakitan, melainkan air mata kesedihan.

"Aku... turut bersedih" ucap Neil dengan suara bergetar, isak tangisnya mengisi gua. Ular itu pun ikut meneteskan air mata, seolah-olah mengerti dan merasakan kesedihan yang sama.

Bjorn, Sulpha, Amoria, dan Januza menyaksikan pemandangan itu dengan kebingungan dan kekhawatiran. Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Namun, mereka bisa merasakan ikatan emosi yang kuat antara Neil dan ular itu.

Tiba-tiba, urat-urat hitam di tubuh Neil mulai memudar. Napasnya kembali normal, dan wajahnya tidak lagi pucat.

"Aku mohon, tolong jangan sakiti dia lagi," pinta Neil dengan suara bergetar, air mata masih berlinang di pipinya. Ia memutar badan, kembali merentangkan kedua tangannya, seolah-olah badannya yang kecil itu bisa menjadi perisai yang melindungi ular raksasa di belakangnya. Matanya yang sembab menatap Bjorn dengan pandangan memohon, "Dia...dia tidak seburuk yang kalian pikirkan"

"..Itu karena ular ini adalah, anak dari pemimpin ras Ular Hujan yang bunuh diri," sambung Neil, suaranya tercekat menahan isak tangis.

Ular yang berdiri megah di hadapan mereka, Kundea, bukanlah ular biasa. Ia adalah anak terakhir dari pemimpin ras Ular Hujan, ras yang melegenda karena kemampuannya mengendalikan hujan dan mengubahnya menjadi senjata mematikan. Tubuhnya yang kolosal, dengan sisik sekeras baja yang berkilauan, menunjukkan usianya yang telah mencapai ratusan tahun. Semakin lama mereka hidup, semakin besar dan kuat pula tubuh mereka. Meskipun ras Ular Hujan dikatakan sudah punah, Kundea adalah satu-satunya yang tersisa, tersembunyi di dalam gua itu, menghindari interaksi dengan manusia selama berabad-abad, menyimpan luka dan kesedihan masa lalu di dalam hatinya.

Kata-kata Neil yang tulus dan penuh kasih sayang kepada Kundea menciptakan keheningan yang mengharukan di dalam gua. Semua mata tertuju pada Kundea, ular raksasa yang kini tampak begitu rapuh dan menyedihkan.

Januza, melepaskan tombaknya hingga jatuh ke tanah dengan suara berdentang. Sulpha perlahan menurunkan busurnya, anak panah yang siap dilepaskan kini terkulai lemas.

Bjorn menundukkan kepalanya, lidahnya berdecak perlahan, seolah menyesali kesalahpahaman yang telah terjadi.

"Lalu... Kundea" Bjorn akhirnya angkat bicara, suaranya kini jauh lebih lembut, "bisakah kau jelaskan apa yang terjadi pada Neil?"

Kundea mengangkat kepalanya yang besar "Apa yang menimpa Neil adalah kutukan dari kapak yang ia bawa" desisnya, suaranya bergema di dinding gua. "Kutukan itu akan terhubung jika berdekatan langsung dengan darah keluarga pemimpin"

"Jadi... bukan kau ya yang meracuninya?" tanya Bjorn, menatap Kundea dengan rasa bersalah.

"Bukan" jawab Kundea. "Kutukan itu bisa hilang jika ia memiliki darah dari pemimpin Ular Hujan langsung. Aku sengaja menggigitnya untuk memasukkan darahku ke tubuhnya"

"Apa kau yakin itu berhasil?" tanya Sulpha, alisnya berkerut khawatir. "...Secara tidak langsung kau sudah membuat kontrak dengannya" sambungnya, menatap Neil dengan saksama.

"Kapak hitam itu sebelumnya sudah mengeluarkan cahaya redup," jelas Kundea. "Itu adalah tanda kalau dia adalah orang yang tepat untuk mewarisi kapak ini. Dengan begitu, aku akan menghabiskan sisa umurku bersamanya," desis Kundea, kepalanya menunduk ke arah Neil, seolah ingin melindungi bocah itu.

Januza berjalan dengan gaya berlagak sok keren, memijat-mijat dagunya yang dihiasi bulu janggut tipis seperti remaja yang baru puber. Matanya jelalatan ke atas dan ke bawah, meneliti lekuk tubuh Kundea dari ujung kepala hingga ekor dengan ekspresi serius seperti seorang ilmuwan yang sedang meneliti fosil langka. "Kundea..." tanyanya dengan nada dibuat-buat, "sebenarnya kau ini pria atau wanita?"

Seketika, tubuh Kundea yang begitu besar dan menakutkan menyusut, berubah menjadi sosok gadis muda yang cantik jelita. Rambutnya yang perak panjang tergerai indah, matanya yang hijau berkilau seperti zamrud, dan kulitnya yang putih mulus bagaikan porselen. "Seperti yang kau lihat... aku wanita," jawab Kundea dengan senyum manis.

Wajah Januza langsung memerah padam seperti kepiting rebus. Ia terpaku di tempat, mulutnya menganga lebar seperti ikan mas koki kehabisan air, terpesona oleh kecantikan Kundea yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Ah sialan" gumamnya dengan suara terbata-bata, "sepertinya aku jatuh cinta pada siluman"

"Menjijikan" cibir Amoria dengan ekspresi jijik. "Malah jatuh cinta sama ular"

"Hei!! Jangan usik selera orang!" protes Januza "Cinta itu buta, tahu!"

Kaki Neil gemetar hebat, lututnya lemas tak mampu menopang tubuhnya lagi. Ia ambruk ke lantai gua yang dingin dan lembap,

Di pinggangnya, bekas gigitan Kundea berdenyut-denyut mengeluarkan cahaya merah redup.

"Mungkin sudah saatnya aku bersemayam di sisi Neil" desis Kundea dengan suara berat. Dalam sekejap, tubuhnya menyusut dan terhisap ke dalam tubuh Neil melalui bekas gigitannya, meninggalkan cahaya keemasan yang perlahan memudar.

...

"Tunggu! KUNDEAAA!" teriak Januza dengan suara melengking, air mata buaya mengucur deras di pipinya. "Jangan tinggalkan aku! Bagaimana mungkin aku hidup tanpamu?" Ia berlutut di tanah, menengadahkan tangannya ke langit dengan ekspresi dramatis.

"Tidak! Kundea... jangan tinggalkan aku!" isaknya, memeluk erat tombaknya seolah-olah itu adalah Kundea.

"Januza... aku di sini," sahut Kundea dengan lembut, wujudnya muncul sebagai kabut berwarna keunguan yang menyelimuti tubuh Neil yang pingsan. "Aku sudah bilang, aku hanya bersemayam di dalam tubuh Neil. Aku tidak ke mana-mana"

"Dasar norak" Amoria menggelengkan kepalanya, menahan tawa melihat tingkah Januza yang berlebihan.

"Diam, duyung sialan!" bentak Januza dengan wajah cemberut, merasa malu karena tingkahnya diperhatikan oleh teman-temannya. Ia pun segera berdiri dan mengalihkan pandangannya, berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

...----------------...

Api unggun kembali berderak riang, menghangatkan suasana di dalam gua yang lembap. The Punish duduk melingkar, menikmati ikan panggang yang lezat sambil sesekali bertukar cerita. Di luar, hujan masih turun dengan derasnya, namun suasana di dalam gua itu hangat dan menyenangkan.

Tiba-tiba, Sulpha tersedak minumannya. "Uhuk! Uhuk!" Ia memukul-mukul dadanya, wajahnya memerah. Ia menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak kaget. Ia menoleh ke arah Amoria, lalu berbisik dengan nada panik, "Amoria... apa kamu belum sadar kalau Kundea itu target misi kita?"

Amoria terhenyak. Ia menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan, "Kau benar!" balasnya dengan suara berbisik yang tidak terlalu berbisik. "Aku juga baru ingat! Astaga, bagaimana ini?"

"Hadiahnya gimana?" Sulpha berbisik lagi, matanya melirik ke arah Bjorn yang sedang memangku kepala Neil "Jadi perjalanan kita jauh-jauh ke sini sia-sia dong? Kita sudah melewati hutan lebat, bukit terjal, dan sungai deras, eh, ternyata ularnya malah kita jadiin teman"

"Ssst, jangan berisik!" Amoria mengingatkan dengan panik. "Nanti Bjorn dengar!"

Namun, sudah terlambat. Bjorn mengangkat kepalanya, menatap Sulpha dan Amoria dengan wajah datar. "Kalian itu bukan manusia, ya?" katanya dengan nada datar yang menusuk hati. "Bisa-bisanya kalian mata duitan di saat seperti ini. Kita baru saja mengalami petualangan hidup dan mati, dan kalian malah memikirkan uang?"

"Eh, maaf, Bjorn... kedengaran, ya?" Amoria tertawa gugup, mencoba menutupi rasa malunya. "Kami... ehm... kami hanya sedang membahas... ehm... tentang cuaca"

"Ya, cuaca" Sulpha menambahkan dengan gugup.

"Bisikan kalian payah," sahut Januza dengan nada mengejek. "Suara kalian itu jelas sekali. Aku bahkan bisa mendengarnya dari sini"

Neil masih terbaring tak sadarkan diri, namun tiba-tiba bibirnya bergerak, membentuk kata-kata yang tak terduga. Suara yang keluar bukanlah suara Neil, melainkan suara Kundea yang dalam dan misterius.

"Jika kalian membawakan potongan ekorku, kalian bisa mengambil hadiahnya," ucap Kundea dari mulut Neil.

"Hah? Kundea, kau kah itu?" tanya Januza dengan mata terbelalak.

"Memangnya di mana potongan ekormu?" tanya Amoria dan Sulpha hampir bersamaan, rasa penasaran terpancar di wajah mereka.

"Aku meninggalkannya di tempat Neil pingsan" jawab Kundea. "Bagi kami para ras Ular Hujan, melakukan kontrak adalah hal tabu. Hal itu akan membuat ujung ekor siluman putus dengan sendirinya, karena ular yang tak memiliki ujung ekor adalah aib bagi siluman."

Amoria dan Sulpha segera bergegas menuju tempat Neil pingsan. Di sana, mereka menemukan potongan ekor Kundea yang tergeletak di tanah. Potongan ekor itu masih bergerak-gerak, seolah-olah masih hidup.

Mereka mengambil potongan ekor itu dengan hati-hati, lalu kembali ke tempat Bjorn dan Januza menunggu.

"Baiklah, The Punish" ucap Amoria dengan lantang, mengangkat potongan ekor itu tinggi-tinggi dengan pose penuh kemenangan. "Dengan ini, kita akan merenovasi markas bobrok kita!"

Suasana di dalam gua kembali menegang. Tanpa aba-aba, pintu masuk gua dirobek kasar dari luar. Empat sosok asing muncul dengan langkah berat, menyerbu masuk tanpa permisi. Zirah mereka yang terbuat dari baja berkilauan memantulkan cahaya api unggun, membuat mereka tampak garang dan mengancam. Pedang dan perisai mereka berhiaskan ukiran rumit dan batu permata yang berharga, menunjukkan status dan kekayaan mereka. Namun, yang paling mencolok adalah ekspresi wajah mereka yang penuh dengan kesombongan dan rasa superioritas.

Mereka menatap The Punish dengan pandangan merendahkan, seolah-olah mereka adalah makhluk rendahan yang tidak pantas berada di hadapan mereka.

"Apa kalian melihat ular?" tanya pemimpin kelompok itu dengan nada angkuh, mengabaikan keberadaan The Punish yang duduk di dekat api unggun. "Ular yang agak besar. Kami datang ingin membunuh ular itu."

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!