"Ngomong-ngomong, paman" Neil memulai percakapan dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu, "saat paman mengalahkan monster mengerikan itu... apa yang paman lakukan padanya?"
Bjorn terdiam sejenak, mengingat kembali pertarungannya dengan Singa Taring Beruang. "Aku hanya melakukan bela diri Taekwondo" jawabnya singkat.
Neil mengerutkan kening, tampak bingung. "Taekwondo? Bela diri? Apa itu, paman?"
"Aku juga baru dengar kalimat itu" timpal Kakek Pluto, ikut penasaran.
Sveilla, yang sedang sibuk mengaduk masakan di tungku api, menoleh ke arah mereka.Telinganya ikut menangkap percakapan yang menarik perhatiannya, sementara tangannya tetap lincah mengolah bahan makanan.
"Bela diri adalah saat di mana kamu harus bisa membela dirimu dan membela orang lain dari orang jahat" jelas Bjorn dengan sabar. "Dan Taekwondo adalah salah satu dari ilmu bela diri yang berfokus pada kekuatan kaki"
"Paman hebat!" seru Neil dengan mata berbinar-binar, kekaguman terpancar jelas di wajahnya. "Aku ingin belajar bela diri!"
"Aku juga ingin melindungi Kakek dan Ibu dari monster jahat!" tambahnya dengan semangat menggebu-gebu.
Bjorn tersenyum, tersentuh oleh keinginan Neil yang polos. "Boleh saja" jawabnya sambil mengelus kepala Neil, "Besok kita harus bangun pagi-pagi sekali jika ingin latihan"
Neil mengangguk antusias, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Siap, Paman!"
Nyala api di tungku perlahan menari-nari lemah, kian mengecil hingga hanya menyisakan bara api yang membara. "Ah, kayu bakar kita habis" keluh Sveilla, mengamati api yang hampir padam dengan wajah cemas. "Padahal masakanku belum matang"
Aroma sedap yang menguar dari panci-panci di atas tungku terancam hangus jika api tidak segera dinyalakan kembali.
Kakek Pluto, yang sedari tadi asyik mengobrol dengan Bjorn dan Neil, menoleh ke arah Sveilla. "Bjorn" pintanya dengan nada lembut, "kalau begitu, aku minta tolong ambilkan kayu bakar di hutan belakang desa, ya? Malam semakin dingin, dan kita butuh api untuk menghangatkan diri"
"Ah, baik, Kek" jawab Bjorn sigap, selalu siap membantu keluarga yang telah menerimanya dengan tangan terbuka. Ia bangkit dari kursinya, bersiap menuju kegelapan hutan.
"Aku mau ikut!" seru Neil tiba-tiba, matanya berbinar-binar penuh semangat. "Paman pasti takut gelap!" ejeknya, menyembunyikan niat sebenarnya untuk berpetualang bersama Bjorn di bawah sinar rembulan.
Bjorn tersenyum geli mendengar celotehan Neil. "Ah, masa sih?" godanya, "Neil berani ikut ke hutan? Tidak takut ada monster di sana?"
Neil mendongakkan dagunya, berlagak berani. "Tidak takut! Kan ada Paman Bjorn yang jago bela diri!"
Melihat semangat Neil, Sveilla pun tak tega melarang. "Baiklah, baiklah, kalian boleh pergi bersama" ucapnya sambil tersenyum. "Tapi ingat, jangan terlalu jauh masuk ke dalam hutan, dan cepatlah kembali"
"Hore!" Neil bersorak kegirangan, lalu meraih tangan Bjorn dan menariknya keluar rumah. "Ayo, Paman! Kita cari kayu bakar!" Bjorn tertawa kecil, menuruti ajakan Neil.
Bersama-sama, mereka melangkah keluar, menuju kegelapan hutan yang menanti di balik pintu. Cahaya bulan purnama menjadi satu-satunya penerang, menemani langkah kaki mereka yang menapaki jalan setapak yang dipenuhi dedaunan kering.
Neil, yang awalnya bersemangat, mulai merasa takut saat kegelapan hutan semakin pekat. Ia berlari kecil di samping Bjorn, memegang erat tangan sang paman.
"Paman, kenapa kita tidak mengambil kayu itu saja?" tanyanya sambil menunjuk ke arah ranting-ranting kayu yang berserakan di tanah.
"Aku juga tidak tahu, Neil" jawab Bjorn sambil terus berlari, matanya awas mengamati sekeliling. "Kayu di sini basah semua. Tidak akan mudah terbakar"
Mereka terus berlari menyusuri jalan setapak, memasuki bagian hutan yang semakin gelap dan sunyi. Akhirnya, di antara pepohonan yang lebat, Bjorn menemukan tumpukan kayu kering yang cukup besar. "Nah, ini dia!" serunya. "Ayo kita kumpulkan, Neil"
Dengan cekatan, Bjorn mengikat kayu-kayu kering itu menjadi beberapa ikatan, sementara Neil membantunya mengumpulkan ranting-ranting kecil.
Setelah selesai, Bjorn menggendong beberapa ikatan kayu di punggungnya, sementara Neil dengan riang menaiki bahunya.
"Ayo kita pulang, paman!" seru Neil, memeluk leher Bjorn erat-erat. "Ibu pasti sudah lapar!" Bjorn tersenyum, lalu mulai berlari kembali menyusuri jalan setapak, kali ini dengan langkah yang lebih ringan dan hati yang senang karena telah berhasil menemukan kayu bakar.
Neil, yang duduk nyaman di bahunya, menikmati perjalanan pulang dengan riang gembira, tak sabar untuk segera menikmati makan malam bersama keluarganya.
Berlari kecil di antara pepohonan, Bjorn tiba-tiba mencium bau asap yang aneh.
"Aneh, di hutan selembab ini kok ada bau asap?" gumamnya heran.
"Paman, berhenti!" Neil menepuk-nepuk kepala Bjorn.
"Ada apa, Neil?"
"Aku mau pipis"
Neil turun dari bahu Bjorn dan bersembunyi di balik pohon besar. "Paman, jangan tinggalkan aku ya, tunggu sebentar" pintanya dengan suara kecil.
"Iya, Neil. Aku tunggu" jawab Bjorn sambil tersenyum kecil. Ia teringat ejekan Neil tentang dirinya yang takut gelap, padahal kenyataannya justru Neil yang ketakutan. Tak lama kemudian, Neil muncul dari balik pohon. "Sudah, Paman!"
"Paman, bau apa ini?" tanya Neil, hidung kecilnya mengernyit mencium aroma tak sedap yang semakin menyengat.
Bjorn menghentikan langkahnya, menghirup udara dalam-dalam. "Asap" jawabnya singkat, wajahnya menegang. Hidungnya yang sensitif terhadap bau dapat mengenali aroma asap dari jarak yang cukup jauh. "Dan sepertinya... asap itu berasal dari desa"
Neil terbelalak kaget. "Apa?!" serunya, kecemasan mulai menyergap hatinya. Tanpa membuang waktu, Bjorn berlari sekuat tenaga menuju desa, Neil tetap berpegangan erat di bahunya.
Semakin dekat mereka dengan desa, semakin jelas terlihat kobaran api yang menjilat-jilat langit malam. Nyala api yang ganas melahap rumah-rumah penduduk, menciptakan neraka di bumi.
Neil, yang menyaksikan pemandangan mengerikan itu dari atas bahu Bjorn, menjerit ketakutan.
"Paman! Api apa itu?!" tanyanya dengan suara gemetar, tak mampu lagi menyembunyikan rasa takutnya. Api itu begitu besar, hampir menutupi seluruh desa. Neil bahkan tak bisa lagi melihat rumah Kakek Pluto di antara kobaran api.
Bjorn tidak menjawab. Wajahnya pucat pasi, rahangnya mengeras. Ia mempercepat larinya, hatinya dipenuhi kecemasan dan amarah. Neil, yang merasakan perubahan pada diri Bjorn, semakin khawatir. Ia memeluk kepala Bjorn erat-erat, mencoba mencari perlindungan di tengah kepanikan yang melanda. Firasat buruk menghantam hatinya.
Bjorn berdiri mematung di depan desa yang telah berubah menjadi lautan api.
Gubuk-gubuk kayu yang dulu berdiri kokoh kini hanya tinggal puing-puing hangus. Asap tebal membubung tinggi, menyelimuti desa dengan aroma kematian. Neil, yang masih berada di bahu Bjorn, menangis tersedu-sedu, tak mampu berkata-kata menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Desanya... telah lenyap.
Tiba-tiba, di antara kobaran api dan kepulan asap, terdengar suara teriakan memilukan. Seorang wanita dengan tubuh bersimbah darah muncul dari balik reruntuhan rumah yang terbakar, berlari sempoyongan sambil memanggil nama Neil.
"Neil! Neil! Jangan ke mari!" teriakan itu parau dan putus asa, namun Bjorn langsung mengenali suara itu. Itu suara Sveilla!
Bjorn dan Neil terbelalak ngeri saat melihat sesosok bayangan gelap muncul dari balik kobaran api, mengejar Sveilla dengan langkah-langkah panjang.
Sosok itu mengenakan zirah besi hitam yang menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajahnya, dan menggenggam kapak kecil yang berkilat mengancam.
Jantung Bjorn berdegup kencang, keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuhnya. Ia merasakan firasat buruk yang semakin kuat.
Neil, yang melihat ibunya dalam bahaya, langsung melompat dari bahu Bjorn. "Ibu!" teriaknya sambil berlari ke arah Sveilla, air mata mengalir deras di pipinya. "Ibu! Aku di sini!"
"Ibuuu!!!" Jeritan Neil yang memilukan menggema di antara kobaran api, mencabik-cabik hati Bjorn yang dipenuhi rasa ngeri. Pria berzirah itu, dengan kekejaman yang tak terbayangkan, menebas Sveilla dari belakang.
Tubuh Sveilla yang rapuh terhuyung, lalu ambruk di tanah, darah segar mengalir deras, menodai tanah yang hangus terbakar.
Neil berlari sekuat tenaga menuju ibunya, namun pria berzirah itu tak membiarkannya. Dengan kapak teracung, ia berbalik menghadap Neil, siap untuk menghabisi gadis kecil yang tak berdaya itu. Neil berhenti berlari, kakinya lemas, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia hanya bisa menatap pasrah kapak yang berayun ke arahnya, menunggu ajal yang tak terelakkan.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah bayangan melesat dari samping, menerjang pria berzirah itu dengan kecepatan kilat. "AARRGGHH!!" Bjorn, dengan mata merah menyala dan air mata mengalir di pipinya, menangkis kapak yang hampir mengenai Neil dengan tangan kosong. Tanpa ampun, ia menghujamkan tinjunya ke wajah pria berzirah itu, melepaskan semua amarah dan kesedihan yang membuncah di dadanya.
Pukulan Bjorn begitu dahsyat, menghantam pria berzirah itu hingga terpental jauh, menabrak bukit di depan desa. Suara benturan keras menggema di seluruh penjuru, disertai gelombang kejut yang memadamkan sebagian besar api di desa.
Neil, yang terpaku di tempatnya, hanya bisa menatap tak percaya apa yang baru saja terjadi. Bjorn... telah menyelamatkannya.
Melihat pemimpin mereka terpental tak berdaya, para prajurit berzirah hitam lainnya yang masih tersisa panik dan tercerai-berai. Mereka mengepakkan sayap-sayap hitam mereka, melarikan diri ke angkasa, meninggalkan desa yang telah mereka hancurkan dalam kobaran api dan keputusasaan.
Bjorn, yang menyaksikan kekejaman mereka dan kematian tragis Sveilla, dipenuhi amarah yang tak terkendali. Ia meraung seperti binatang buas yang terluka, suaranya menggelegar memecah kesunyian malam. "AARRGGHH!!!"
Dengan kekuatan yang melampaui batas manusia, ia mencabut batu besar yang tertanam di tanah, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. "KEMARI!BANTAI AKU! PECUNDANG!" teriaknya, suaranya bergema di antara puing-puing desa yang hancur.
Dengan sekuat tenaga, ia melemparkan batu besar itu ke arah para prajurit yang terbang melarikan diri. Batu itu melesat bagai meteor, membelah angkasa, mengejar para pengecut yang telah menghancurkan hidupnya.
Raungan amarah Bjorn yang menggelegar, bercampur dengan suara ledakan batu yang menghantam bukit, menggema hingga ke istana Raja Iblis Asmodeus. Dinding-dinding istana yang kokoh bergetar, seolah-olah diguncang gempa bumi.
Asmodeus, yang sedang menikmati anggur merah di balkon istananya, mengerutkan kening. Ia melangkah ke tepi balkon, menatap ke arah bawah, ke arah desa yang telah luluh lantak.
"Ternyata ada ras yang mengerikan di bawah sana" gumamnya dengan nada tertarik, sebuah seringai tipis menghiasi bibirnya.
Asmodeus berbalik, melangkah kembali ke dalam istana. Matanya yang tajam menemukan Kartos yang berdiri dengan tubuh gemetar. Tanpa sepatah kata pun, Asmodeus mencengkram kerah baju Kartos, mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu membantingnya ke tanah dengan kekuatan yang mengerikan. Tubuh Kartos menghantam lantai marmer, menciptakan retakan dan lubang yang dalam.
"Bukankah sudah kubilang jangan membakar sedikit pun desa itu, Kartos?" tanya Asmodeus dengan suara lembut yang justru terdengar lebih menakutkan.
"Sa-saya bersumpah atas nama Asmodeus, saya tidak melakukannya" jawab Kartos dengan terbata-bata, kesulitan berbicara karena rasa sakit yang menyiksa.
Asmodeus mengangkat sebelah alisnya, tatapannya menusuk dan penuh kecurigaan. "Oh? Lalu ini ulah siapa?"
"Saya... saya tidak tahu, Yang Mulia" jawab Kartos dengan suara lirih, ketakutan mencengkeram hatinya.
.........
Tetes-tetes hujan mulai jatuh, membasahi bumi yang hangus dan mencuci jejak-jejak kekejaman.
Setetes demi setetes, hujan itu berubah menjadi guyuran deras, diiringi gemuruh petir yang menggelegar, seolah-olah langit pun turut menangisi tragedi yang baru saja terjadi.
Di tengah hujan yang menyayat hati, Neil masih bersimpuh di samping jasad ibunya. Ia memeluk erat tubuh Sveilla yang telah dingin dan kaku, air matanya bercampur dengan air hujan.
"Ibu..." panggilnya lirih, suaranya terbata-bata. Namun, tak ada jawaban. Sveilla telah pergi untuk selamanya, meninggalkannya sendirian di dunia yang penuh kekejaman.
"Ibu, aku sudah berjanji akan berlatih bela diri untuk melindungimu dari monster jahat" isak Neil, memeluk erat ibunya. "Tapi... bahkan yang membunuh Ibu bukanlah monster..."
Kalimat terakhir Neil tergantung di udara, terbawa angin malam yang dingin.
Ia mengerti sekarang, bahwa monster yang sesungguhnya bukanlah makhluk buas bertaring tajam, melainkan manusia itu sendiri, dengan kekejaman dan keserakahan yang tak berbatas.
Bjorn melangkah perlahan, mendekati Neil yang masih terisak di samping jasad ibunya. Air hujan membasahi rambut dan pakaiannya, bercampur dengan air mata yang tak henti mengalir. Ia berjongkok di hadapan Neil, tangannya terulur mengusap lembut kepala gadis kecil itu.
"Neil" panggil Bjorn dengan suara serak, namun penuh tekad. "Ingatlah hari ini. Aku akan mengajarmu bela diri, dan aku akan membuat mereka mati dalam keadaan paling buruk"
Neil mendongak, air mata dan air hujan memburamkan pandangannya. Ia menatap wajah Bjorn, wajah yang biasanya tenang dan ramah kini terlihat mengerikan. Tatapan Bjorn kosong, namun di balik kekosongan itu, tersimpan api emosi yang membara, amarah dan dendam yang siap membakar siapapun yang berani menghalangi jalannya.
Neil menelan ludah, merasakan aura berbahaya yang memancar dari diri Bjorn. Ia tahu, pamannya yang baik hati telah berubah. Dan ia siap mengikuti Bjorn, apapun yang terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Kuro Kagami
Setiap chapter bikin penasaran terus, authornya jago banget.
2024-11-04
1