14. Adu jotos

Seminggu telah berlalu sejak pertarungan sengit melawan beruang petir. Berkat perawatan intensif dari Amoria, Januza akhirnya pulih sepenuhnya. Luka-luka di tubuhnya telah mengering, tenaganya kembali pulih, dan semangatnya berkobar-kobar. Hari yang dinanti-nantikan pun tiba. Hari di mana ia akan memulai latihan bela diri bersama Bjorn.

Di tengah hutan lebat yang dipenuhi bebatuan raksasa, kedua pria itu berdiri berhadapan. Bjorn, dengan postur tegap dan aura wibawa yang kuat, menatap Januza dengan tajam. "Bela diri tidak akan berguna jika kau tidak membuang emosimu" ucapnya dengan nada serius.

"Tidak, Bjorn" bantah Januza dengan percaya diri. "Saat ini, aku yakin aku adalah orang yang penyabar"

Bjorn menghela napas panjang, menahan tawa yang hampir meledak. "Bodoh! Aku tidak peduli kau itu penyabar atau bukan!" serunya dengan kesal. "Aku hanya bilang kau harus bisa mengontrol emosimu, terutama saat kau melakukan bela diri! Emosi yang tak terkendali hanya akan membuatmu lengah dan mudah dikalahkan"

"Pertama-tama, lihat dan amati gerakanku." Bjorn, dengan tatapan tajam dan fokus, mengambil posisi kuda-kuda. Kaki kanannya ia tarik ke belakang, mencengkeram tanah dengan kuat layaknya elang yang siap menerkam. Napasnya ia tarik dalam-dalam, mengisi paru-parunya hingga terasa penuh. Kemudian, udara perlahan ia hembuskan melalui celah bibirnya yang nyaris tertutup rapat, menghasilkan desisan "Pssshhh" yang memecah keheningan. Dalam sekejap, tinjunya melesat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya, menghantam batu granit sebesar manusia di hadapannya. Krak! Suara retakan tajam menggema di udara, disusul dengan batu yang terbelah menjadi dua dengan sempurna.

Januza, yang berdiri beberapa langkah di belakang Bjorn, menatap kejadian itu dengan mulut ternganga. Ia menggosok-gosok matanya, tak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya. "Tunggu..." gumamnya "Itu... itu gerakan apa?"

Bjorn menoleh, "Ini Karate"

"Sekarang giliranmu," ujar Bjorn dengan nada menantang, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai tipis. Ia sengaja tidak memberikan instruksi apapun, ingin melihat seberapa jauh Januza mampu meniru dan memahami gerakannya hanya dengan observasi.

Januza, terdorong oleh semangat mencoba meniru Bjorn semirip mungkin. Kakinya ia lebarkan, membentuk kuda-kuda yang menurutnya persis seperti yang dilakukan Bjorn. Ia menarik napas dalam-dalam, mengikuti gerakan Bjorn, lalu menghembuskannya perlahan lewat sela-sela bibir, meniru desisan "Pssshhh" yang dilakukan Bjorn sebelumnya. Dengan sekuat tenaga, dan mungkin sedikit harapan, tinju kanannya menghantam batu granit di depannya.

"ARRGHH! SAKIT!" Januza terpekik, wajahnya meringis menahan nyeri. Ia menggeleng-gelengkan tangannya yang berdenyut dan memerah. "Bjorn, kenapa batu milikku begitu keras?!" tanyanya dengan nada kesal bercampur bingung. Ia menatap Bjorn dengan tatapan menuduh, seolah Bjorn telah menipunya.

"Batu kita sama, bodoh! Mana mungkin kau bisa membelah batu itu hanya dengan sekali percobaan" jawabnya Bjorn.

"Kalau kau tahu itu mustahil, kenapa kau menyuruhku, sialan?!" rutuk Januza, masih mengusap-usap tangannya yang kesakitan.

"Coba sekali lagi," ujar Bjorn, "tapi fokuskan listrikmu di tangan" Matanya menatap Januza dengan intens, menyorotkan keyakinan bahwa Januza mampu melakukannya.

Januza mengerutkan kening, berusaha membayangkan energi listrik mengalir dan berkumpul di tangannya. Keringat dingin mengucur di dahinya, membasahi pelipisnya. Ia melebarkan kuda-kudanya lagi, mengambil posisi yang lebih stabil. Napasnya ia tarik dalam-dalam, lalu ia hembuskan perlahan, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Matanya terpejam, seakan sedang menyelami aliran listrik di dalam tubuhnya, mengarahkannya menuju tangan kanannya.

Dengan segenap fokus dan tenaga yang ia miliki, Januza menghantam batu granit itu sekali lagi. "HAA!" teriaknya, melepaskan seluruh energinya dalam satu pukulan. Saat ia membuka mata, Januza tertegun. Ia menatap batu di depannya dengan tidak percaya. "Hah? Apa kau yakin lubang ini aku yang membuatnya?" tanyanya dengan ekspresi bingung, jari telunjuknya menunjuk-nunjuk lubang di batu bekas pukulannya. Ia bahkan tidak menyadari bahwa pukulannya telah melubangi batu itu.

Bjorn tersenyum kecil, "Cukup bagus untuk percobaan kedua-mu" pujinya.

"Kau tidak tahu cara menggunakan tenaga dalam, namun kau memiliki energi sihir. Sedangkan aku, sebaliknya" Bjorn menghela napas, "Daripada kau memusingkan diri mencari cara untuk menyamaiku, bukankah lebih baik kau menemukan caramu sendiri?"

"Tapi jujur saja" sahut Januza, masih terperangah melihat lubang di batu, "aku tidak percaya bisa melubangi batu ini hanya dengan tanganku." Ia mengangkat tangannya, menatapnya dengan ekspresi takjub.

"Itu karena kau terlalu idiot" cetus Bjorn dengan nada datar.

"HOII!" protes Januza.

Bjorn mengabaikan protes Januza dan melanjutkan penjelasannya, "Kau memiliki elemen tersendiri, Januza. Kau memiliki listrik. Tapi kau hanya menggunakannya untuk berlarian kesana kemari seperti tikus tersengat listrik" Ia menatap Januza dengan tajam. "Kau tidak pernah berpikir bahwa listrik itu bisa kau padukan dengan gaya bertarungmu?"

Januza terdiam sejenak, merenungkan perkataan Bjorn. "Sepertinya... aku sudah paham" gumamnya perlahan. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya. Ia mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan baru yang terbuka untuknya.

"Baguslah kalau begitu" ucap Bjorn, "Tapi jangan terlalu dipaksakan. Otakmu bisa keram nanti"

"HOII!" teriak Januza lagi.

"Aku mau makan dulu" ucap Bjorn sambil berbalik, "Kau lanjutkan saja latihanmu. Nanti aku kesini lagi" Tanpa menunggu jawaban Januza, ia melangkah pergi meninggalkan lapangan berumput itu, kembali menuju markas.

"Siap, Bos!" sahut Januza, walaupun Bjorn sudah terlalu jauh untuk mendengarnya. Ia menatap punggung Bjorn yang semakin menghilang di balik pepohonan, lalu mengalihkan pandangannya ke tumpukan batu di hadapannya.

Januza mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus mulai dari mana. Bjorn hanya menyuruhnya berlatih, tapi tidak memberikan instruksi apapun. Dasar orang menyebalkan! gerutunya dalam hati.

Karena tak ada arahan sama sekali, Januza pun mencoba berimprovisasi. Kalau tadi pakai tangan, berarti sekarang pakai kaki! pikirnya. Ia kembali fokus, memejamkan kedua matanya dan mengatur napas panjang. Kaki kanannya ia tarik ke belakang, membentuk kuda-kuda dengan siap.

Perlahan, kilatan petir berwarna kuning mulai muncul di sekitar kaki kanannya. Energi listrik itu berkumpul, membentuk aura yang mengintimidasi. "Baiklah, mari kita coba!" gumam Januza dengan semangat.

Ia berlari kencang menuju sebongkah batu besar di depannya, lalu melepaskan tendangan maut dengan segenap kekuatannya.

DUAK!

Suara tendangan yang menghantam batu itu terdengar nyaring, menggema di seluruh lapangan. Namun, batu besar itu hanya diam dan tak terjadi apa-apa.

"Sial!" umpat Januza kesal. "Sepertinya tendanganku terlalu lemah" Ia menginjak-injak tanah dengan frustrasi.

Namun, Januza tidak menyerah. Ia menatap tumpukan batu di sekitarnya dengan tekad baru. "Selagi masih banyak batu, akan aku coba semuanya!"

...****************...

Sulpha duduk di teras markas, tekun mengasah anak panahnya dengan batu asahan kecil. Gerakan tangannya terampil dan hati-hati, sesekali ia meniup ujung panah untuk membersihkan serbuk kayu yang menempel. Neil, yang baru saja selesai berlatih, menghampirinya dengan rasa ingin tahu.

"Kak Sulpha, kau sedang apa?" tanya Neil sambil duduk di samping Sulpha.

"Aku pikir akan keren jadinya jika ujung busurku diberi air asam milikmu, Neil" jawab Sulpha tanpa mengalihkan pandangannya dari anak panah, "Seperti panah beracun"

Mata Neil berbinar., "Benar juga! Sepertinya itu harus kita coba!" serunya antusias.

Sulpha menoleh, ingin menanggapi Neil. Namun, gerakannya yang tiba-tiba membuat kayu rakitan busurnya mengenai wajah Bjorn yang sedang terlelap tidur di kursi panjang di teras markas.

"Hah?" Bjorn terbangun dengan kaget, menyentuh wajahnya yang terasa sedikit perih. Ia menatap sekeliling dengan bingung, belum sepenuhnya sadar dari tidurnya.

"Maaf, Bjorn..." ucap Sulpha.

Bjorn melihat Sulpha dan Neil yang sedang duduk berdekatan, lalu menengok ke arah langit sambil menggaruk kepalanya.

Matahari sudah hampir terbenam, menghujani langit dengan warna jingga kemerahan. "Januza?" tanyanya tiba-tiba, "Kalian lihat Januza?"

Sulpha dan Neil saling berpandangan. "Tidak," jawab Sulpha, "Bukankah tadi pagi dia pergi denganmu?"

"Aduh, celaka!" Bjorn tiba-tiba memegang keningnya, ekspresi wajahnya berubah panik. "Aku kelupaan... Aku harus pergi!" serunya, lalu berlari tergesa-gesa menuju hutan, meninggalkan Sulpha dan Neil yang masih terbengong-bengong.

Beberapa jam kemudian, Bjorn kembali ke tempat latihan Januza. Ia menyusuri jalan setapak dengan langkah cepat, sesekali meloncati akar-akar pohon yang melintang. "Januza, pulanglah, kau belum makan!" teriaknya dari kejauhan.

Namun, yang dilihatnya justru Januza yang sedang terkapar di atas tanah, tampak lemas dan kelaparan. "Hoi, latihan konyol ini tidak membuatmu mati, kan?" ucap Bjorn sambil mendekatinya.

Januza bangkit dari tanah dengan susah payah, lalu duduk bersandar pada sebuah batu besar. "Cukup sudah hari ini" gumamnya lemah, "Aku mau istirahat"

Pria besar itu berjalan tertatih-tatih meninggalkan Bjorn, tubuhnya goyah seperti daun yang tertiup angin. "Aku harap Amoria memasak daging kerbau..." keluhnya, perutnya berbunyi nyaring.

Bjorn mengamati setiap bebatuan besar bekas Januza berlatih. Ia mengerutkan keningnya. "Bebatuan ini... tidak ada yang hancur? Hasil dari latihannya tidak ada?" gumamnya penasaran. Ia berjalan mendekat, meneliti setiap goresan di bebatuan itu. Dengan lembut, ia mengusap debu yang menempel di salah satu batu.

Tanpa ia duga, batu itu langsung pecah berhamburan dan longsor! "Sial!" umpat Bjorn, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

Ia baru menyadari bahwa batu-batu itu tidaklah seperti semula. Latihan keras Januza, yang berulang kali menghantamkan kaki dan tangannya ke bebatuan dengan kilatan petir, telah merusak struktur batu-batu itu dari dalam. Meskipun sekilas tampak utuh, sebenarnya batu-batu itu sudah pecah berkeping-keping dengan retakan halus, dan hanya dengan sentuhan kecil saja, mereka runtuh.

.....

"Januza" panggil Bjorn dari ambang pintu ruang makan. Januza, yang sedang asyik menyantap paha kerbau bakar dengan lahap, menoleh dengan mulut penuh.

"Kenapa, Bjorn?" tanyanya, suaranya sedikit teredam oleh daging yang masih ia kunyah.

"Istirahat yang cukup" kata Bjorn dengan tenang, "Besok kita akan melakukan latih tanding dengan tangan kosong"

Mendengar perkataan Bjorn, gerakan tangan Januza yang hendak menyuapkan daging ke mulutnya terhenti. Ia menurunkan paha kerbau bakar itu ke piring, nafsu makannya seketika lenyap. Tatapannya yang tadinya berbinar penuh semangat berubah menjadi kosong. "Aku jadi tak bisa istirahat dengan tenang, sialan!" rutuknya, suaranya terdengar putus asa.

...****************...

Markas sunyi senyap. Dini hari yang dingin membungkus seluruh penghuni dalam tidur lelap. Selimut tebal menjadi teman setia, menghalau hawa dingin yang menusuk tulang. Namun, ketenangan itu harus terusik. Lebih tepatnya, ketenangan Januza yang terusik.

BRAK!

Atap kamar Januza runtuh, menimbulkan suara menggelegar yang memecah kesunyian malam. Debu berterbangan, menyelimuti seisi kamar. Dari lubang menganga di atap, sesosok pria melompat turun dengan lincah. Tanpa aba-aba, tinjunya mendarat telak di perut Januza yang masih terbalut selimut.

"Uuk!" Januza terbangun dengan kaget, napasnya tercekat. Ia terbanting ke lantai, kasurnya berantakan tak berbentuk. Puing-puing atap berserakan di sekitarnya.

Amoria, yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Januza, terbangun oleh suara gaduh itu. Ia melompat dari tempat tidur dan berlari menuju kamar Januza dengan jantung berdebar-debar. "Ada apa—" Ucapannya terhenti saat ia membuka pintu kamar Januza dan melihat pemandangan kacau di hadapannya.

"Apa-apaan ini?!" seru Amoria dengan marah, "Kalian merusak rumahku!"

Januza, yang masih terbaring di lantai sambil memegangi perutnya yang kesakitan, menatap Bjorn dengan tatapan menyalang.

Bjorn, berdiri dengan santai di tengah reruntuhan atap "Latihan pertama" ucapnya dengan tenang, "Harus siap dalam situasi apapun"

"Latihan tahi! Pergi dari sini kalian!" teriak Amoria dengan suara melengking, matanya berkilat penuh amarah. "Kalian pikir ini arena gladiator?!"

Sebelum Bjorn sempat merespons, sesuatu melesat melewati sampingnya. WOOSH! Januza, yang tadinya terbaring di lantai, tiba-tiba menghilang dari tempatnya. Bjorn terlambat menyadari pergerakan Januza. BUK! Sebuah pukulan keras mendarat di punggungnya, melontarkan tubuhnya keluar dari kamar, menghancurkan dinding markas, dan menciptakan lubang.

"Sudah kubilang jangan rusak rumah cantikku!" Amoria menjerit lagi, suaranya diikuti dengan suara tamparan yang nyaring. PLAK!

Januza melangkah keluar dari lubang di dinding dengan hati-hati, wajahnya memerah dengan jelas membekas jejak telapak tangan Amoria. Ia menatap Bjorn dengan tatapan serius. "Aku harap kau melatihku dengan serius, Bjorn" ucapnya.

Bjorn, yang baru saja berhasil bangkit dari reruntuhan dinding, mengibaskan debu dari pakaiannya. Ia mengambil posisi kuda-kuda, tatapannya tajam dan fokus. "Kemarilah" ucapnya dengan suara tegas, "Pelajaran kedua akan dimulai"

Januza melepas napasnya perlahan, mengumpulkan seluruh fokus dan energinya. Tanah di bawah kakinya tak kuat menahan bobot tubuhnya yang dipenuhi aliran listrik. Kilatan petir menyambar di sekeliling kakinya yang kekar, menciptakan aura mengerikan yang membuat suasana semakin tegang. Dalam sekejap, ia berlari gesit menuju Bjorn, tangannya mengepal siap menghantam.

Gerakan Januza yang cepat dan tiba-tiba itu menimbulkan pusaran debu. Bjorn, yang seharusnya siap mengantisipasi serangan Januza, malah terkejut oleh debu yang masuk ke dalam matanya. "Sial!" umpatnya, memejamkan matanya sesaat.

Namun, saat ia membuka matanya kembali, tinju Januza sudah berada tepat di depan wajahnya! Bjorn terlambat merespons gerakan cepat itu. Ia hanya sempat menggeser kepalanya sedikit, namun pukulan yang seharusnya bisa dengan mudah ia hindari itu malah mengenai rahangnya.

"Ugh!" Bjorn terhuyung ke belakang, merasakan sengatan di rahangnya. Namun, ia tidak kehilangan kesadaran. Dengan cepat, ia menangkap lengan Januza yang masih terulur. Bersamaan dengan itu, ia menarik sepotong tali dari pakaian Januza. Dengan gerakan yang luwes dan terlatih, Bjorn memutar tubuhnya, membelakangi Januza, lalu membantingnya dengan keras ke tanah.

BAM!

Tubuh Januza menghantam tanah dengan keras, menimbulkan suara debum yang membuat tanah bergetar. Bjorn menggunakan teknik bantingan dari Judo yang ia kuasai dengan sempurna.

Bantingan kuat itu mengguncang tanah, meninggalkan retakan seperti jaring laba-laba di permukaannya. Bjorn menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya hingga penuh, lalu menghembuskannya perlahan lewat sela-sela giginya, menghasilkan desisan "Pssshhh" yang tajam. Matanya menatap Januza yang terbanting di tanah, tanpa membuang waktu, ia melesatkan tinjunya ke arah Januza.

BWOOOSH!

Tinju Bjorn menghantam tanah tempat Januza seharusnya berada, menciptakan ledakan debu yang dahsyat. Gumpalan debu bergulung-gulung, menghalangi pandangan sejenak. Bjorn menyipitkan mata, mencoba menembus debu yang perlahan memudar.

Namun, saat pandangannya kembali jernih, ia tersentak kaget. Januza menghilang! Lubang besar menganga di tanah, bekas bantingan Bjorn, namun sosok Januza tak terlihat di manapun.

"Di mana dia?" gumam Bjorn. Ia merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. Nalurinya menjerit, memberi peringatan akan bahaya.

"Cara yang sama tak akan berjalan mulus" bisik suara Bjorn.

Januza muncul dari balik gumpalan debu, tinjunya melesat ke arah tempat Bjorn berada sebelumnya.

Bjorn dengan sigap mengambil sikap merangkak, menghindari pukulan Januza yang hampir mengenai wajahnya. Dalam sekejap, ia melancarkan tendangan sapuan rendah ke arah kaki Januza.

Januza, yang sedang berlari dengan kecepatan penuh, tidak dapat menghentikan langkahnya begitu saja. Kakinya tersapu tendangan Bjorn, keseimbangannya goyah, dan ia pun terpental masuk ke dalam hutan dengan suara gaduh.

Bjorn kembali berdiri, sikapnya tenang dan penuh percaya diri. Ia merenggangkan sebelah kakinya, mengangkatnya tinggi hingga lutut menyentuh dada. "Krak... krak..." beberapa tulang jari tangannya ia bunyikan, menambah kesan santai namun mengancam. Matanya menatap tajam ke arah hutan, menunggu kemunculan lawannya.

Suara gemuruh pohon tumbang terdengar dari balik pepohonan, membuat suasana semakin tegang. "Cepatlah kembali!" teriak Bjorn, suaranya bergema di antara pepohonan, "Ini belum selesai!"

BRUK! BRUK!

Beberapa pohon lagi tumbang di tempat yang sama, menunjukkan perjuangan yang sedang berlangsung di dalam hutan. Bjorn masih mempertahankan kuda-kudanya, kesabarannya mulai menipis.

Lima menit berlalu...

Sepuluh menit berlalu...

Lima belas menit berlalu...

"Sialan!" Bjorn akhirnya kehilangan kesabaran. "Tendangan kecil seperti itu tidak membuatmu mati, kan? Cepatlah kemari!" teriaknya dengan kesal. Ia mulai merasa dipermainkan. Apa yang sebenarnya dilakukan dia di dalam sana? pikirnya dengan penasaran.

Tiba-tiba, suara gemerisik dari dalam hutan semakin keras dan cepat. KRAK! Tanpa peringatan, sesosok tubuh terlempar keluar dari balik pepohonan. Januza terpental dengan keras dan menghantam Bjorn yang sedang berdiri dengan siaga. Keduanya terguling ke belakang, terjerembab di tanah dengan gaduh.

"Umph!" Bjorn mengerang. Ia mendorong tubuh Januza yang menindihnya, lalu bangkit dengan kesal. "Apa-apaan ini?!"

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara langkah kaki yang berat dan gagah muncul dari dalam hutan. Seekor beruang besar keluar dari balik pepohonan, bulunya hitam kebiruan, matanya menyala-nyala, dan taringnya mencuat tajam. Beruang yang sama yang melawan Januza tempo hari! Ia mengaum dengan ganas, menepuk-nepuk dadanya yang bidang seperti gorilla.

"Sialan kau, beruang jelek!" Bjorn berteriak dengan marah, "Berani-beraninya kau mengganggu latihanku!" Ia melangkah maju, siap menghadapi beruang itu. Namun, tiba-tiba ia merasa kakinya ditahan.

"Uh?" Bjorn tersandung dan hampir terjatuh. "Apa ini sialan? Lepaskan kakiku!" gerutunya, menoleh ke belakang.

Januza, memegang erat kaki Bjorn. "Biar aku yang menyelesaikan beruang jelek ini, Bjorn!" ucapnya dengan yakin.

Bjorn bangkit, mengibaskan debu dari pakaiannya dengan ekspresi kesal. "Selesaikan ini sebelum matahari terbit," perintahnya singkat, lalu menyingkir dan duduk di atas rumput, bersandar pada sebuah pohon besar. Ia menyilangkan tangan di dada, mengamati pertarungan yang akan terjadi dengan sorot mata tajam.

Januza berdiri di hadapan beruang itu, tak gentar sedikitpun. Ia memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membunyikan tulang lehernya. "Krak... krak..." Otot-otot besarnya ia regangkan, mempersiapkan diri untuk pertarungan. "Baiklah" gumamnya, "Waktu kita tak banyak"

...----------------...

Beruang itu mengaum dengan suara parau, matanya merah menyala menatap Januza. "Nogale! Nogale!" raungnya berulang-ulang, suaranya menggelegar di antara pepohonan.

Januza menghela napas. Memikirkan arti kata 'Nogale' hanya membuang waktu, pikirnya. Ia harus segera menyelesaikan pertarungan ini sebelum matahari terbit.

Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh energi dan fokusnya. Perlahan, ia menarik lengan kanannya ke belakang, tangan kirinya menjulur ke depan untuk menjaga keseimbangan. Kaki kirinya ia tekuk sedikit, memberikan tumpuan ekstra untuk gerakannya.

"Pssshhh..." Januza menghembuskan napasnya dengan tajam, mengeluarkan suara desisan yang memecah keheningan pagi.

Kilatan petir menyambar di sekitar kakinya, memberikan dorongan kekuatan yang luar biasa. Januza melesat secepat kilat menuju beruang itu. Dengan timing yang tepat, ia melancarkan tinjunya sekeras mungkin ke arah wajah beruang itu.

DUAR!

Suara hantaman yang menggelegar bergema di seluruh hutan. Bjorn, yang mengamati dari kejauhan, terkesiap. Ia tahu, pukulan itu adalah pukulan sekuat tenaga milik Januza.

Namun, yang terjadi justru di luar dugaan. Beruang itu tidak menghindar. Ia justru menahan pukulan Januza dengan wajahnya, kepalanya tersentak ke belakang, namun ia tetap berdiri kokoh.

"Nogale!" beruang kekar itu meraung marah. Dengan gerakan cepat, ia menarik kaki Januza dan membantingnya ke tanah. Belum sempat Januza merespon, beruang itu melemparkannya tubuhnya ke arah sebuah pohon tua yang besar di dekatnya.

BRAAAK!

Pohon tua itu tumbang seketika, tertimpa tubuh Januza yang terlempar dengan kekuatan luar biasa. Januza merintih kesakitan, mencoba bangkit dari reruntuhan pohon. Kakinya gemetar, sebelah telinganya berdarah, dan tubuhnya sulit untuk diseimbangkan. Ia berulang kali mencoba berdiri, namun berulang kali pula ia terjatuh terhuyung.

"Nogale" ucap beruang itu dengan suara dingin. Ia berjalan mendekat ke arah Januza, cakar-cakarnya yang panjang berkilat dengan energi listrik.

"Nogale, Nogale, Nogale! Persetan kau Nogale!" Januza berteriak frustrasi, namun suaranya terdengar lemah dan putus asa. Ia berlari dengan lunglai, kilatan listrik di kakinya berpindah ke lengan kanannya, namun gerakannya tidak lagi secepat dan sekuat sebelumnya. Ia kesulitan menyeimbangkan tubuhnya, membuat gerakannya sulit diprediksi.

Januza merapal singkat, "Lucile il grandere" tiba-tiba berhenti, dan memukul tanah di tempat beruang itu berpijak dengan sekuat tenaga. Dalam sekejap, awan gelap menggumpal di langit, dan sebuah petir besar menyambar ke arah mereka berdua.

Jurus ini adalah sebuah pertaruhan besar. Januza harus bisa menahan sengatan listrik bertegangan sangat tinggi itu. Ini adalah jurus terakhirnya, alternatif buntu dalam situasi terdesak.

Januza dan beruang itu berdiri berhadap-hadapan, tangan mereka mengepal di samping pinggang. Mereka saling menatap dengan tajam, beradu daya tahan untuk menahan sengatan petir yang semakin membesar.

"HIAAAAAA!" Januza menjerit, tak sanggup menahan rasa sakit yang luar biasa. Cahaya petir yang menyilaukan membutakan mata Bjorn. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghindari cahaya yang hampir membuat langit gelap menjadi siang. Tak ada yang bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi di sana.

Lima menit kemudian, petir itu akhirnya mereda. Bjorn membuka matanya perlahan, menatap ke arah pertarungan dengan penasaran. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat.

Yang dilihatnya membuatnya terkejut. Januza dan beruang itu terkapar di tanah, saling tindih-menindih. Keduanya pingsan, tubuh mereka gosong terkena sengatan listrik.

Bjorn menggelengkan kepalanya, kesal karena latih tandingnya dengan Januza harus tertunda. Ia berbalik dan melangkah pergi menuju markas dengan wajah jengkel.

Namun, ada beberapa hal yang masih mengganggunya. Ia memicingkan matanya, menatap langit yang mulai terang. "Petir tadi itu apa?" gumamnya, "Apakah jurus beruang itu? Atau jurus milik Januza?" Ia terus berjalan, meninggalkan pertanyaan itu tanpa jawaban.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!