1. Bjorn Erez

"Mari kita sambut dengan meriah!! Juara satu petarung kita!" seru pembawa acara dengan suara menggelegar yang membakar semangat penonton, mic di tangannya seakan menjadi tongkat komando yang mengendalikan riuh rendah arena "Pria muda master Muay Thai dan sabuk hitam Jiu Jitsu, yang telah meraih kemenangan selama beberapa tahun berturut-turut!" Sorak-sorai penonton membahana, menggetarkan seluruh arena.

"Inilah dia! Bjorn Erez!!"

Seolah disambut oleh badai tepuk tangan, Bjorn melangkahkan kaki dengan penuh percaya diri menuju podium.

Wajahnya yang tampan dihiasi senyum kemenangan, sementara sorot matanya tajam bagai elang yang siap menerkam mangsanya. Kehadirannya yang karismatik semakin membakar semangat para penonton, menciptakan atmosfer yang panas dan menegangkan.

"Terimakasih" dengan wajah datar menghadap keramaian penonton.

"Badannya tidak memar sama sekali"

"Badannya sungguh atletis"

"Dia pasti latihan keras setiap hari"

"Hah, aku hanya ingin cepat pulang, lalu tidur yang nyenyak"

Setelah hingar bingar seremoni penghargaan mereda, Bjorn melangkah menuju ruang ganti, tubuhnya yang lelah mendambakan istirahat.

Di dalam bilik pribadinya, ia mulai menanggalkan seragam bertarungnya, sementara suara riuh penonton di luar perlahan memudar, berganti dengan keheningan yang menyelimuti ruang ganti.

"Huh? Perasaanku barusan suaranya masih ramai" gumam Bjorn heran ketika ia keluar dari bilik, mendapati suasana lengang yang tak biasa. Namun, ia tak terlalu memusingkan hal itu, "Mungkin mereka sedang serius menonton pertandingan penutup" pikirnya sambil melangkah keluar, tak menyadari bahwa keheningan yang janggal itu adalah pertanda akan bahaya yang mengintai.

Baru saja Bjorn menghirup udara segar di luar gedung turnamen, melalui pintu belakang yang sepi, suara teriakan mengagetkannya, "Hei! Ada orang yang kabur!" teriak seseorang dari arah parkiran, larinya tergesa-gesa dengan seragam polisi lengkap yang membalut tubuhnya.

Bjorn mengerutkan kening, rasa heran bercampur penasaran menyeruak dalam benaknya, "Kabur? Siapa?" pikirnya, sementara langkahnya terhenti, mengamati situasi yang tiba-tiba menegang.

"Dia pasti anak buahnya Mendez!" teriak seorang polisi lain dari balik sudut gedung, suaranya dipenuhi amarah dan tekad.

Seketika, Bjorn menyadari situasi genting yang menimpanya. Gedung turnamen itu telah dikepung oleh aparat kepolisian! Ternyata, di balik hingar bingar pertandingan, sedang berlangsung operasi penangkapan besar-besaran terhadap Mendez, bos mafia kartel yang telah lama meresahkan masyarakat dengan bisnis obat-obatan terlarangnya.

Bjorn membeku di tempat, pikirannya berputar-putar mencoba mencerna situasi yang membingungkan ini. "Apa-apaan ini?" gumamnya lirih, kebingungan dan rasa takut mulai menjalari hatinya.

Tiba-tiba, seorang polisi muncul dari belakang, menghantam punggung Bjorn dengan keras hingga ia terjatuh ke tanah. "Angkat tanganmu!" bentak polisi itu, menodongkan pistolnya tepat di kepala Bjorn.

"Jangan bergerak! Kau ditangkap!"

"Tunggu dulu! Sebenarnya ini ada apa?!" protes Bjorn, suaranya bercampur dengan rasa kesal dan kebingungan.

"Aku bilang angkat tanganmu!" bentak polisi itu lagi, kali ini disertai tendangan keras yang mendarat di bokong Bjorn.

Rasa sakit dan penghinaan yang tiba-tiba membakar amarah Bjorn. "Brengsek! Setidaknya tanya aku baik-baik!" teriaknya, naluri bertarungnya bangkit seketika. Dengan gerakan cepat dan tak terduga, ia memutar tubuhnya, melepaskan tendangan mematikan yang mendarat tepat di wajah polisi itu. Terdengar suara tulang hidung patah, disertai jeritan kesakitan dari polisi yang tersungkur ke tanah. Bjorn bangkit berdiri, siap menghadapi apapun yang akan terjadi.

"Dia anjingnya Mendez! Tembak!" raung seorang polisi, suaranya bercampur dengan letusan senjata api yang memekakkan telinga. Seketika, hujan peluru menghujani Bjorn dari segala arah, menghantam dinding, memecahkan kaca jendela, dan merobek kesunyian malam.

Bjorn, yang masih terhuyung-huyung dalam kebingungan dan ketidaktahuannya, terjebak dalam pusaran kekerasan yang tak terduga. Tubuhnya tersentak setiap kali peluru panas menembus dagingnya, meninggalkan jejak-jejak merah pekat di seragamnya. Ia mencoba berlindung, mencari tempat aman di tengah kekacauan, namun sia-sia. Peluru-peluru itu tak henti-hentinya menyerangnya, merobek kulit, menghancurkan tulang, dan merampas tenaganya. Bjorn terjatuh, lututnya menyentuh aspal dingin.

"Sialan, lelucon seperti ini tidak lucu!" Bjorn terbatuk, darah menyembur dari sela-sela jarinya yang berusaha menutupi luka menganga di perutnya.

Napasnya tersengal-sengal, setiap tarikan dan hembusan napas terasa berat dan menyakitkan. Pandangannya mulai mengabur, dunia di sekitarnya berputar dan mendistorsi, berganti dengan kegelapan yang semakin pekat. Tubuhnya limbung, lalu ambruk di atas aspal dingin yang kini berlumuran darahnya sendiri. Kesadarannya menipis, namun di tengah kegelapan yang menjemput, sebuah pikiran terlintas di benaknya, "Ini... ini seperti... aku benar-benar akan mati..."

"Ah, sial"

.....

"Hei.. Nak"

"Hei, bangun" panggil seorang kakek disebelahnya.

Kelopak mata Bjorn yang terasa berat perlahan terbuka, menyipit sejenak untuk menyesuaikan diri dengan cahaya mentari yang menyilaukan. Hembusan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawa serta aroma rerumputan dan bunga liar yang menenangkan. Nyanyian dedaunan yang bergesekan lembut dan kicauan burung-burung yang merdu seakan menjadi melodi penyambut bagi kesadarannya yang kembali.

Tapi, kebingungan langsung menyergap pikirannya. Ia terbaring di tengah padang rumput yang luas, tubuhnya terasa lemas dan tak berdaya. Pandangannya menyapu sekeliling, mencari petunjuk tentang di mana ia berada. Tak ada gedung pencakar langit, tak ada hiruk pikuk kota, yang terlihat hanyalah hamparan padang rumput hijau yang tak berujung dan beberapa gubuk reyot di kejauhan, tampak seperti pemukiman kumuh yang nyaris tak layak huni, "Di mana... di mana aku?" gumamnya lirih, suaranya serak dan parau. Ingatan terakhirnya adalah kepungan polisi, hujan peluru, dan rasa sakit yang luar biasa sebelum akhirnya kegelapan menelannya, "Apakah... apakah aku masih hidup?"

"Oh, kamu sudah bangun?" tanya seorang kakek dengan ramah, wajahnya dipenuhi kerutan khas orang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Ia berdiri di samping Bjorn, punggungnya sedikit membungkuk karena beban kayu bakar yang dipikulnya.

"Ah, iya," jawab Bjorn singkat, suaranya masih terdengar serak. Ia masih merasa linglung, pikirannya berputar-putar mencoba mencerna situasi yang dialaminya "Sebenarnya... ini di mana?" menatap sekeliling padang rumput yang asing.

Kakek itu tersenyum maklum, "Kamu kelihatan kurang sehat, anak muda. Jarang ada orang yang mengembala domba sampai ke sini. Apalagi, aku belum pernah melihatmu sebelumnya."

"Aku sendiri tidak mengingat apapun" jawab Bjorn jujur, nada suaranya datar dan kosong. Ia masih berusaha merangkai kepingan-kepingan ingatannya yang hilang, namun sia-sia. Yang tersisa hanyalah kekosongan dan kebingungan.

"Kalau begitu, mari ikut denganku. Sepertinya kamu bukan orang sekitar sini" tawar kakek itu dengan ramah, senyum tulus terukir di wajahnya yang keriput, "Rumahku tidak jauh dari sini. Kita bisa makan dan mengobrol di sana"

"Uhm... baiklah" jawab Bjorn ragu-ragu, namun dalam hatinya ia merasa sedikit lega. Setidaknya, ada seseorang yang bersedia membantunya di tengah situasi yang membingungkan ini.

"Ini mimpi? Ataukah aku sudah mati?" pertanyaan itu terus berputar-putar di benak Bjorn, sementara ia mengikuti langkah kakek itu. Suasana sekitar terasa begitu asing, seolah ia terlempar ke masa lalu, ke zaman yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Gubuk-gubuk reyot, pakaian lusuh yang dikenakan penduduk desa, dan alat-alat pertanian sederhana yang mereka gunakan, semuanya tampak seperti berasal dari zaman kuno.

Bjorn berjalan dengan kepala tertunduk, tatapannya kosong, pikirannya masih dipenuhi tanda tanya. Kakek itu memperhatikan Bjorn dengan seksama.

Ia dapat merasakan kesedihan dan kebingungan yang mendalam dari sorot mata anak muda itu. Rasa iba pun muncul di hatinya, "Sabarlah, anak muda" batinnya. "Semoga kamu segera menemukan jawaban atas semua pertanyaanmu."

Semburat jingga di ufuk barat perlahan memudar, menandai berakhirnya hari dan dimulainya malam. Kegelapan menyelimuti desa kecil itu, menghilangkan hiruk pikuk aktivitas penduduknya.

Di dalam sebuah gubuk sederhana, Bjorn duduk bersama keluarga kakek yang telah menolongnya. Mereka berkumpul di meja makan kayu yang kecil, hanya diterangi cahaya temaram sebatang lilin yang berdiri tegak di tengah meja. Suasana terasa hangat dan akrab, meski kesederhanaan tampak jelas di setiap sudut ruangan.

"Jadi, Nak? Aku bahkan belum tahu namamu" tanya Kakek Pluto, menatap Bjorn dengan ramah.

"Oh, maaf. Namaku Bjorn Erez" jawab Bjorn, sedikit tersentak dari lamunannya.

"Bjorn, ya? Nama yang bagus" komentar Kakek Pluto sambil tersenyum. "Kalau begitu, kenalkan, namaku Pluto"

Ia lalu menunjuk orang-orang yang duduk di sekeliling meja. "Itu menantuku, Sveilla, dan gadis kecil yang duduk di sampingku ini bernama Neil" Kakek Pluto mengelus kepala Neil dengan penuh kasih sayang.

"Salam kenal, Paman Bjorn!" sapa Neil dengan riang, matanya berbinar-binar, "Usiaku sepuluh tahun!"

"Lalu? Di mana ayahmu?" tanya Bjorn, mencoba mengalihkan pikirannya dari kebingungannya sendiri dengan mengajak Neil bercakap-cakap.

Namun, pertanyaan itu justru membuat Neil terdiam. Gadis kecil itu melipat bibirnya, alisnya menciut, wajahnya dibayangi kesedihan. Kakek Pluto menghela napas panjang, lalu menjawab dengan suara berat, "Anakku... tewas dimakan Naga Air saat sedang mencari ikan di selatan"

Bjorn tertegun. Matanya melotot, rahangnya mengeras. "Hei, Kek" protesnya tak percaya, "leluconmu itu tidak lucu"

"Jadi, kamu memang tidak tahu, ya?" Kakek Pluto menatap Bjorn dengan sorot mata prihatin, "Sepertinya kau memang orang jauh"

Sveilla, yang sedang sibuk menyiapkan makan malam di tungku api sederhana, menoleh sejenak dan menambahkan, "Ras manusia memang lemah, kita tidak memiliki kemampuan sihir seperti Elf, tidak memiliki fisik sekuat Ogre. Populasi manusia di dunia ini pun semakin tergerus oleh penindasan dan... hampir punah" Suaranya terdengar sendu, menyiratkan kepedihan yang mendalam.

Bjorn menggaruk kepalanya yang tidak gatal, perasaan bingung dan tidak percaya bercampur aduk dalam benaknya. "Oh, begitu" gumamnya pelan, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dengar.

Ras manusia yang hampir punah? Naga air? Dunia yang dihuni oleh Elf dan Ogre? Semua terasa begitu asing dan tidak masuk akal.

"Jika kamu tidak memiliki tempat untuk pulang" Kakek Pluto memecah keheningan, suaranya teduh dan menenangkan, "kamu boleh tinggal di sini bersama kami." Tawaran itu tulus, diiringi senyuman hangat yang membuat Bjorn merasa sedikit lebih tenang di tengah kebingungannya.

...****************...

Hari-hari berlalu, dan Bjorn mulai terbiasa dengan kehidupan barunya di desa yang sunyi itu. Udara pagi yang segar dan pemandangan alam yang asri memberikan ketenangan tersendiri, membantunya melupakan masa lalu yang kelam dan membingungkan.

Pada suatu pagi, di halaman rumah Kakek Pluto, Bjorn melakukan pemanasan ringan, meregangkan otot-ototnya yang kaku.

"Bjorn? Kamu sedang apa?" tanya Kakek Pluto, muncul dari balik pintu dengan wajah penuh tanya.

"Pagi, Kek" sapa Bjorn sambil tersenyum. "Aku ingin berlari pagi, mencari keringat"

Kakek Pluto mengangguk-angguk, "Oh, begitu. Baiklah, hati-hati di jalan, ya"

"Tentu, Kek. Aku berangkat dulu," pamit Bjorn, lalu melesat pergi dengan langkah ringan, meninggalkan Kakek Pluto yang masih berdiri di depan pintu.

Berlari menyusuri jalan setapak di antara rumah-rumah penduduk desa memberikan pengalaman baru bagi Bjorn. Suasana pagi yang damai, udara segar yang menyegarkan paru-parunya, dan keramahan penduduk desa yang selalu menyapa dengan hangat membuat hatinya terasa ringan. Beberapa kali, ia bahkan ditawari untuk beristirahat sejenak di gubuk mereka, menikmati minuman hangat dan makanan ringan yang sederhana namun lezat.

Setelah berlari cukup jauh, Bjorn mulai merasa lelah. Ia pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepi ladang buah milik salah seorang warga. "Hai, Bjorn. Mau teh?" sapa seorang pria paruh baya yang sedang beristirahat di bawah pohon rindang, setelah seharian mengolah ladang. Wajahnya yang ramah dan senyum tulusnya membuat Bjorn merasa diterima di komunitas kecil ini.

"Bjorn" pria itu memulai percakapan sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir kayu, "wajahmu tampan dan warna rambutmu kekuningan, sangat berbeda dengan kami para penduduk desa. Apa kamu... keluarga bangsawan?" tanyanya dengan hati-hati, menatap Bjorn dengan rasa penasaran.

Bjorn mengerutkan kening. "Bangsawan? Memangnya ada yang seperti itu di sini?" tanyanya balik, kebingungan. Sejak terbangun di tempat asing ini, ia hanya bertemu dengan penduduk desa yang hidup sederhana, jauh dari kesan mewah atau kekuasaan.

Pria itu tampak terkejut dengan pertanyaan Bjorn. Raut wajahnya berubah, seolah-olah ia baru saja mengatakan sesuatu yang seharusnya dirahasiakan "Hah? Ah, maaf" ucapnya gugup, "Sebaiknya kita tidak membahas itu" Ia mengalihkan pandangannya, menghindari kontak mata dengan Bjorn. Suasana tiba-tiba terasa canggung.

Tiba-tiba, suara auman menggelegar memecah keheningan pagi, menggetarkan gendang telinga dan membuat jantung berdebar kencang. Auman itu begitu dahsyat, seolah-olah berasal dari makhluk buas yang mengerikan.

"Aaaaa! Tolong kami!" teriakan para petani terdengar dari arah ladang, diiringi langkah kaki panik yang berlarian tak tentu arah.

"Tolong! Ada Singa!"

Bjorn tersentak. Ia langsung melompat berdiri, naluri bertarungnya bangkit seketika. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju sumber keributan, mengabaikan rasa takut yang mulai menyergap.

"Hei, Bjorn! Itu bahaya!" teriak pria paruh baya yang tadi mengajaknya minum teh, "Kau bisa dimakan oleh monster itu!" Ia berusaha menghentikan Bjorn, namun anak muda itu tak menghiraukannya. Tekadnya sudah bulat, ia harus melihat apa yang terjadi dan membantu jika memungkinkan.

Singa itu berdiri tegak di tengah jalan, bulunya yang keemasan berkibar tertiup angin, matanya yang tajam menatap Bjorn dengan sorot mengancam. Raungan dahsyatnya menggelegar, membuat tanah bergetar dan pepohonan di sekitarnya bergoyang. Bjorn berhenti berlari, menatap balik singa itu dengan tatapan menantang. Ia tak gentar, naluri bertarungnya justru semakin membara.

Dalam sekejap, singa itu melompat menerjang Bjorn, cakar-cakarnya yang tajam terjulur siap mencabik-cabik mangsanya.

Namun, Bjorn tak tinggal diam. Ia juga melompat, menghadapi serangan singa itu dengan keberanian yang luar biasa. Saat gigi-gigi tajam singa itu hampir mengoyak lehernya, Bjorn memutar tubuhnya dengan lincah, menghindari terkaman maut itu. Dalam gerakan yang sama, ia melepaskan tendangan kilat yang mendarat tepat di dagu singa.

DUAK!

Suara dentuman keras menggema di seluruh penjuru desa, bahkan sampai ke rumah Kakek Pluto. Singa raksasa itu, dengan bobot berkisar 700 kilogram, terpental jauh ke belakang, menghantam pepohonan hingga tumbang. Hening sesaat. Debu beterbangan, menutupi tubuh singa yang terkapar tak bernyawa. Bjorn berdiri tegak di tengah kekacauan itu, napasnya memburu, adrenalin mengalir deras dalam darahnya. Ia berhasil mengalahkan monster buas itu dengan tangan kosong!

"Maafkan aku, singa" bisik Bjorn, menatap bangkai singa yang terkapar tak bernyawa di antara pepohonan tumbang "Sialnya dirimu, bertemu denganku" Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, bukan senyuman kemenangan, melainkan sebuah ekspresi getir atas takdir yang mempertemukannya dengan makhluk malang itu.

Tak lama kemudian, penduduk desa berdatangan, langkah kaki mereka tergesa-gesa, penuh rasa ingin tahu bercampur cemas. Mereka mengerumuni Bjorn, mata mereka terbelalak tak percaya menyaksikan pemandangan di hadapan mereka. Seekor singa raksasa terkapar mati, dan Bjorn berdiri tegak di tengah-tengahnya, tanpa luka sedikitpun.

"Bjorn!" teriak seseorang dari antara kerumunan, suaranya dipenuhi kekaguman dan keheranan, "Sebenarnya... siapa dirimu?!"

Terpopuler

Comments

Jenny Ruiz Pérez

Jenny Ruiz Pérez

Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!

2024-11-04

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!