Kicauan burung yang merdu memecah kesunyian pagi, sementara hembusan angin sepoi-sepoi menyapu debu-debu di sekitar rumah kayu mereka. Tak terasa, satu minggu telah berlalu sejak Bjorn mengumumkan keputusan mereka untuk meninggalkan desa.
"Neil, bangun" panggil Bjorn lembut, tangannya mengusap rambut Neil yang tergerai di bantal.
Neil perlahan membuka matanya, menatap Bjorn dengan wajah masih dipenuhi kantuk. "Paman... kita berangkat?" tanyanya sambil merenggangkan tubuhnya dan mengusap kedua matanya.
"Ayo sarapan dulu" jawab Bjorn sambil tersenyum. "Setelah itu, kita berangkat"
Neil langsung terlonjak dari tempat tidurnya, semangatnya berkobar. Ia tak sabar untuk segera memulai petualangan mereka. "Paman, aku sudah siap!" serunya dengan riang.
"Hei, hei, setidaknya basuh dulu wajahmu," tegur Bjorn sambil tertawa kecil melihat tingkah Neil yang antusias.
......................
Suara langkah kaki mereka bergema di tanah kering yang retak, diiringi oleh pekikan elang yang membelah langit biru. Hanya ada mereka berdua, Bjorn dan Neil, dua sosok kecil di tengah hamparan lahan tandus yang dulunya adalah desa mereka.
Setelah melewati batas desa, Neil berhenti di tepi hutan lebat yang menjulang tinggi, menciptakan dinding hijau yang menakutkan.
"Aku... tidak pernah melewati hutan ini," ucap Neil, suaranya lirih. "Entah dunia seperti apa yang akan kulihat nanti" ia mengingat pengalaman terakhirnya memasuki hutan itu, saat ia dan Bjorn mencari kayu bakar.
Namun, kali ini berbeda. Mereka melewati hutan itu bukan untuk mencari kayu bakar, melainkan untuk mencari kebenaran, untuk menuntut balas atas ketidakadilan yang telah mereka derita.
Neil mengambil napas dalam-dalam, menguatkan tekadnya. "Aku sudah bisa berjalan sendiri, paman" ucapnya mantap.
"Aku tidak perlu digendong lagi untuk melewati hutan ini"
Bjorn tersenyum, menatap Neil dengan bangga. "Ya, sekarang kau sudah kuat" jawabnya.
Dengan langkah tegas, mereka memasuki hutan lebat itu, meninggalkan masa lalu yang kelam dan melangkah menuju masa depan yang penuh misteri. Neil, yang sebelumnya ragu dan takut, kini telah memantapkan hatinya untuk ikut pergi bersama Bjorn, menghadapi apapun rintangan yang menanti mereka.
.......
"Ah, iya" Bjorn memulai percakapan, "Aku masih penasaran dengan nama belakangmu, Neil" Ia melirik Neil yang berjalan di sampingnya, mengamati gadis kecil itu dengan rasa ingin tahu.
Neil terdiam sejenak, "Aku? Aku hanya rakyat jelata, Paman" jawabnya dengan nada sendu. "Nama belakang hanya untuk para bangsawan di pusat kota.Oleh karena itu, kami diasingkan jauh di tengah hutan."
"Oh... begitu" gumam Bjorn, mengangkat pandangannya ke langit. Ia mencapit dagu dengan jarinya, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Kalau begitu" lanjutnya kemudian, "Mulai hari ini namamu Neil Erez" Ia mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya dan menyerahkannya kepada Neil.
"Aku? Neil Erez?" ulang Neil, matanya berbinar. Ia menerima botol itu dengan penuh tanya. "Tetapi untuk apa botol obat ini, Paman?"
"Itu bukan obat" jawab Bjorn sambil tersenyum kecil. "Botol itu berisi pewarna rambut. Aku meraciknya saat kau masih tidur. Setidaknya, jika warna rambut kita sama, aku tidak terlihat seperti sedang menculikmu."
Neil tertawa kecil mendengar penjelasan Bjorn. Ia langsung membuka botol itu dan mengoleskan cairan pewarna ke rambutnya dengan riang. "Terima kasih, paman!" serunya gembira. "Sekarang aku benar-benar Neil Erez!"
Mentari mulai menukik di ufuk barat, melukis langit dengan semburat jingga dan ungu yang memukau.
Setelah menempuh perjalanan panjang menembus hutan lebat, Bjorn dan Neil akhirnya tiba di tepian hutan. Di hadapan mereka terbentang sungai besar yang airnya mengalir deras, membelah padang rumput hijau yang luas.
"Sepertinya, kita akan bermalam di sini dulu" ucap Bjorn, menatap sungai yang berkelok-kelok di kejauhan. "Melewati hutan saja sudah memakan banyak waktu" Ia belum mengetahui seluk-beluk dunia ini, jadi ia tidak ingin bertindak gegabah. Hari sudah petang, dan ia tidak ingin terjebak di hutan berikutnya saat malam hari.
"Kalau begitu, aku mau memancing ikan di sungai!" seru Neil dengan riang. Ia mulai memilah-milah ranting kayu di sekitarnya, mencari yang cocok untuk dijadikan alat pancing.
"Yasudah, tapi jangan pergi terlalu jauh" pesan Bjorn. "Aku akan mengumpulkan beberapa kayu bakar untuk bermalam" Ia kemudian berbalik dan memasuki hutan rimbun, mencari ranting-ranting kering yang berserakan di tanah.
"Hati-hati, Paman!" teriak Neil, melambaikan tangannya ke arah Bjorn yang semakin menjauh.
Bjorn kembali ke tempat Neil dengan langkah ringan, tangannya membawa setumpuk kayu bakar kering. "Neil, sudah dapat ikannya?" tanyanya sambil menurunkan kayu-kayu itu ke tanah lapang di tepi sungai.
Neil, yang sedari tadi duduk bersabar di atas batu besar sambil memegang pancingnya, mendongak dan menyambut Bjorn dengan wajah cemberut. "Hmmph, belum satupun" jawabnya, menggembungkan pipinya dengan kesal.
Bjorn tersenyum kecil melihat ekspresi Neil. Ia mendekat dan duduk di samping gadis kecil itu, mengamati permukaan sungai yang tenang. "Kalau tidak ada harapan, biar aku yang mencari beberapa kelinci atau rusa untuk makan malam kita" ucap Bjorn mencoba menenangkan Neil.
"Tidak, Paman" balas Neil dengan nada mantap, matanya kembali berbinar-binar penuh harapan. "Aku sangat ingin makan ikan. Aku yakin sebentar lagi pasti ada ikan yang terpancing"
"Baiklah" balas Bjorn sambil m tersenyum. "Kita tunggu sebentar lagi"
Mereka pun kembali hening, menikmati suasana sore di tepi sungai. Hanya ada suara gemericik air dan kicauan burung yang memecah kesunyian. Neil terus memegang pancingnya dengan sabar, sementara Bjorn mengamati sekeliling, menikmati keindahan alam yang masih asri.
Tiba-tiba, senar pancing Neil tertarik kuat ke dalam air, membuat ujung pancingnya melengkung tajam. "Lihat! Ada ikan yang memakan umpanku!" seru Neil dengan mata berbinar. Ia menarik pancingnya sekuat tenaga, namun tarikan di ujung sana begitu kuat hingga wajahnya memerah karena kesulitan.
"Hmmph, ini pasti ikan paus, aku yakin ini paus!" ucapnya dengan napas terengah-engah.
Namun, bukan ikan paus yang muncul ke permukaan. Justru Neil yang tertarik ke arah sungai! Tubuhnya yang kecil terangkat dari batu besar tempat ia duduk, kakinya terangkat ke udara, dan ia hampir terjatuh ke dalam arus sungai yang deras.
"Hoi, Neil! Kau terbawa pancing!" teriak Bjorn panik. Ia merangkul gadis kecil itu dari belakang, dan berusaha sekuat tenaga menarik tubuhnya kembali ke tepi sungai.
"Gawat! Kita berdua akan terbawa arus!" teriak Bjorn panik. Ia berusaha sekuat tenaga menahan tarikan pancing, namun pijakan kakinya di atas batu yang licin membuatnya semakin kesulitan. Lumut-lumut yang menempel di permukaan batu membuatnya hampir terpeleset.
"Paman, apa yang harus kita lakukan?" tanya Neil, suaranya bercampur antara takut dan gembira. Ia tak pernah merasakan sensasi semenarik ini sebelumnya.
"Aku tidak ada pilihan lain" ucap Bjorn, mengerahkan seluruh tenaganya. "Aku akan melemparmu ke pohon di belakang!"
"Apa?! Melemparku?!" pekik Neil, matanya terbelalak kaget.
Tanpa menunggu jawaban Neil, Bjorn memutar tubuhnya dan melemparkan Neil ke arah pohon besar di belakang mereka. "Tu-tunggu, Paman—!" protes Neil, namun sudah terlambat. Tubuhnya meluncur di udara, tapi pancing itu masih erat dalam genggamannya.
Dan saat itulah, keajaiban terjadi. Bersamaan dengan Neil yang mendarat dengan selamat di atas tumpukan daun-daun kering, ikan yang menarik pancingnya ikut tertarik ke daratan! Ikan itu terbang di udara, melintasi kepala Bjorn yang masih berdiri di atas batu berlumut.
Bjorn melongo, mulutnya ternganga lebar melihat pemandangan yang tak masuk akal itu. "Tunggu..." gumamnya dengan nada ltak percaya. "Ini... bukan ikan..."
Mata Bjorn terbelalak saat melihat dengan jelas sosok yang tergantung di ujung pancing Neil. "Cewek duyung?!" serunya kaget.
"Aduh!" pekik Neil saat sesuatu yang berat tiba-tiba menimpa tubuhnya. Ia membuka matanya dan mendapati sesosok makhluk aneh tergeletak di atasnya. Makhluk itu memiliki rambut hitam pekat yang panjang dan basah, kulit seputih mutiara, dan sepasang mata biru safir yang menatapnya dengan ekspresi terkejut. Ekornya yang berkilauan, berwarna biru kehijauan dengan sirip transparan, bergerak-gerak lemah di atas rerumputan.
"Paman! Ikan ini berat sekali!" teriak Neil, berusaha menyingkirkan makhluk itu dari atas tubuhnya.
"Hei, buka matamu! Apa itu layak disebut ikan?" seru Bjorn, yang akhirnya berhasil mencapai mereka dengan langkah tersaruk-saruk.
Neil mendongak dan melihat dengan jelas sosok yang menimpa tubuhnya. Matanya terbelalak kaget, mulutnya ternganga lebar. "Whoaa!! Kita dapat putri duyung!" teriaknya girang, lupa akan rasa sakit di tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments