"Tu- Tunggu, Paman... Aku sudah tidak sanggup..." Neil terengah-engah, menarik-narik kain baju Bjorn, mencoba menghentikan langkah kaki Bjorn yang panjang dan cepat.
Benar saja, mereka akhirnya sampai di tujuan. Dengan kecepatan luar biasa, Bjorn telah membawa mereka melintasi hutan belantara, mendaki bukit terjal, dan menyeberangi sungai deras, semuanya tanpa istirahat sama sekali. Bahkan matahari belum mencapai puncaknya ketika mereka tiba di gerbang kota Bretavia, salah satu pusat kota di wilayah itu.
Setiap wilayah memang memiliki pusat kotanya masing-masing, sebuah keunikan yang membuat dunia ini semakin menarik.
Bjorn berdiri tegap di tengah keramaian kota, matanya mengamati dengan saksama setiap detail di sekitarnya.
Bangunan-bangunan mewah menjulang tinggi, berhiaskan ukiran rumit dan ornamen berkilauan. Penduduk kota berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing, pedagang menjajakan barang dagangannya, anak-anak berlarian riang, dan para bangsawan berjalan dengan angkuh diiringi pengawal bersenjata.
Di samping Bjorn, Neil terduduk lemas, tubuhnya membungkuk dengan tangan yang masih mencengkeram erat pakaian Bjorn. Napasnya tersengal-sengal, keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ia benar-benar kehabisan tenaga.
Sementara itu, Amoria sudah tidak bisa berjalan lagi. Gadis duyung itu terpaksa digendong oleh Sulpha, yang wajahnya pun terlihat pucat karena kelelahan.
"Dasar sialan" gerutu Sulpha. "Jika saja aku tidak memikirkan Amoria, aku sudah terbang meninggalkan kalian"
Keputusan Bjorn untuk berjalan tanpa istirahat sama sekali memang menjadi solusi tercepat untuk mencapai Bretavia. Namun, hal itu sungguh memberatkan bagi mereka yang tidak memiliki fisik sekuat Bjorn. Neil, Amoria, dan bahkan Sulpha terpaksa menyerah pada batas kemampuan fisik mereka. Hanya Bjorn yang tampak segar bugar, seolah-olah perjalanan panjang itu hanyalah sebuah jalan-jalan sore yang menyenangkan.
"Hei, pokoknya aku mau minum!" keluh Amoria, memeluk erat leher Sulpha, "Tenggorokanku kering kerontang seperti padang pasir!"
"Aku tak bisa bernapas, sialan!" Sulpha terbatuk-batuk, berusaha melonggarkan pelukan Amoria yang mencekik. "Kalau kau masih punya tenaga sebanyak itu, kenapa kau tidak jalan kaki saja?"
"Apa?! Kau mau meninggalkan seorang gadis yang sedang tak berdaya?" Amoria memekik, matanya melotot. "Di mana rasa simpati mu pada seorang gadis? Pantas saja kau tetap lajang di usia 97 tahun! Dasar kuping panjang!"
Meskipun masih erat menggantung di punggung Sulpha, Amoria masih sempat-sempatnya memukul kepala sang elf yang tak berdaya.
"Jangan bawa-bawa usiaku, sialan!" Sulpha balas berteriak, berusaha menahan rasa kesalnya. "Kenapa seolah-olah seperti usiaku yang paling tua di sini?"
Amoria menarik telinga Sulpha dari belakang dan berbisik tepat di telinga panjangnya, "Itu memang benar, sembilan puluh tujuh~ Kau lebih tua daripada mendiang kakekku! Bahkan kakekku meninggal di usia 81 tahun"
Mereka berdua beradu hinaan, sementara Bjorn memperhatikan sela-sela bangunan mewah yang berjajar di sepanjang jalan. Matanya tertuju pada sebuah kedai minuman sederhana yang terselip di antara bangunan-bangunan besar seperti kastil. Memang, kastil adalah bangunan umum untuk para bangsawan di pusat kota. Keberadaan kedai sederhana di antara bangunan megah itu menimbulkan rasa penasaran dalam diri Bjorn.
"Tidak... aku tidak kuat lagi..." Sulpha terjatuh lemas, Amoria ikut terguling bersamanya. Keduanya terbaring tak berdaya di tengah jalan, kelelahan telah menguras seluruh tenaga mereka.
"Ck, repot sekali," decak Bjorn, menghela napas dan memutar bola matanya. "Kalau punya sisa tenaga, kenapa dihabiskan untuk berdebat, sih? Dasar payah"
Tanpa banyak bicara, Bjorn mengangkat Sulpha dan Amoria. Ia menggendong keduanya menumpuk di punggungnya, seperti membawa tumpukan karung gandum. Lalu, dengan sebelah tangan, ia mengangkat tubuh Neil yang ringan seperti membawa boneka kain.
Dengan tampang datar dan langkah tegap, Bjorn memasuki bar minuman itu, tampak seperti seorang yang baru saja menculik tiga orang.
"Aku mau minuman, yang paling segar yang kau punya, untuk 3 orang ini" Bjorn berkata dengan tegas kepada pemilik kedai sambil menjatuhkan Sulpha dan Amoria ke lantai dengan sedikit kasar. Neil ia turunkan dengan hati-hati ke kursi di sebelahnya.
"B-brengsek, kasarnya dirimu!" ucap Amoria terbata-bata sambil merangkak menaiki kursi. "Kau pikir kami ini karung kentang hah?"
Sulpha hanya bisa mengerang kesakitan, terlalu lelah untuk memprotes perlakuan Bjorn.
"Silakan dinikmati" kata pemilik kedai. "Ini minuman andalan kedai kami, dijamin segar dan menghilangkan dahaga"
Tanpa basa-basi, Amoria, Sulpha, dan Neil langsung meneguk minuman mereka dengan rakus. "Ahh~ segarnya~" Amoria mengelus dadanya, kepuasan terpancar di wajahnya.
"Benar-benar nikmat" Neil menambahkan, mengusap mulutnya dengan punggung tangan.
Sulpha hanya mengangguk, terlalu asyik menikmati minumannya untuk berkata-kata. Bjorn, yang tidak merasa haus sama sekali, hanya duduk memandangi mereka bertiga dengan ekspresi datar. Ia sedikit terhibur melihat tingkah mereka yang seperti anak kecil yang baru mendapatkan permen.
Seorang pria berbadan besar, dengan otot-otot yang menonjol, berjalan melintasi ruangan, melewati meja tempat Bjorn dan teman-temannya duduk. Saat pria itu berbalik, sebuah kantung kecil berisi koin emas terjatuh dari sakunya tanpa ia sadari. Koin-koin emas itu berpencar di lantai, memantulkan cahaya lampu yang remang-remang.
Bjorn, yang kebetulan melihat kejadian itu, segera berkata, "Hei... Kau, yang berbadan besar. Kau menjatuhkan kantungmu" Ia menunjuk ke arah koin-koin emas yang berserakan di lantai.
Pria itu menoleh ke arah Bjorn dengan wajah garang. Matanya menyipit, menatap Bjorn dengan tajam sebelum akhirnya mengikuti arah telunjuk Bjorn. "Ah, benar. Terima kasih sudah memberitahuku" ucapnya dengan nada dingin dan angkuh.
Dari raut wajahnya yang mengerikan dan caranya berbicara, sudah jelas bahwa pria itu adalah orang yang arogan. Ia bahkan tidak mengucapkan terima kasih dengan tulus.
"Sama-sama" jawab Bjorn singkat. Ia tidak tertarik untuk berurusan lebih lanjut dengan pria itu.
"Kalian semua sudah kembung?" tanya Bjorn, menatap Amoria, Sulpha, dan Neil yang sedang asyik menyeruput minuman mereka.
"Ayo kita pergi dari sini."
"Paman, kau punya uang?" tanya Neil dengan polos.
"Tidak" jawab Bjorn santai.
"Lalu, bagaimana kau akan membayar?" Neil mengerutkan kening.
"Amoria yang akan membayarnya" jawab Bjorn dengan enteng.
"Aku akan memuntahkan beberapa ikan segar untuk membayar ini!" seru Amoria dengan bangga, menepuk perutnya.
"Hoi, hentikan!" Bjorn menyela dengan ekspresi jijik.
"Kalau begitu, Sulpha yang akan membayarnya" usul Bjorn.
"Aku akan membayarnya dengan beberapa trik sulap!" Sulpha mengacungkan jari-jarinya dengan dramatis, berpura-pura mengeluarkan koin dari balik telinga Neil.
"Tidak-tidak, konyol sekali!" Bjorn menggelengkan kepalanya.
Pria berbadan besar yang tadi menjatuhkan kantung koin emasnya tiba-tiba menghampiri meja Bjorn. Ia meletakkan dua keping koin emas di meja dengan sedikit ragu. "Ini, untuk rasa terima kasihku tadi" ucapnya, suaranya terdengar lebih rendah dari sebelumnya.
Bjorn memincingkan matanya heran, menatap mata pria besar itu tanpa mengatakan apapun. "Wajahmu kacau sekali" kata Bjorn akhirnya. "Emosi apa yang kau pendam?"
Pria itu mengangkat alisnya sebelah, terkejut dengan pertanyaan Bjorn. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku bisa melihatnya di matamu" jawab Bjorn tenang.
Pria itu terdiam sejenak, seolah-olah sedang merenungkan kata-kata Bjorn "Siapa namamu?" tanya Bjorn.
"Januza..." jawab pria itu dengan suara pelan.
"Oh. Januza, terima kasih atas kebaikanmu" ucap Bjorn.
"Ehm... Sama-sama" Januza bergumam, lalu berjalan keluar dari kedai dengan langkah gontai. Ia menunduk, memegangi kepala belakangnya seolah-olah sedang menahan beban yang berat.
Januza memiliki badan yang besar dan kekar. Tingginya sekitar 2,7 meter, dengan otot-otot yang menonjol di setiap sudut tubuhnya. Ia mengenakan pakaian yang terbuka, sehingga postur tubuhnya yang impresif terlihat jelas. Di punggungnya terselip sebuah tombak yang sama besarnya dengan tubuhnya, dilengkapi dengan bilah ujung tombak yang bengkok seperti golok besar. Perawakannya sangat kasar, dengan bewok tipis yang tumbuh jarang-jarang di dagunya dan segaris bekas luka di bibirnya. Tubuhnya penuh dengan bekas luka, menunjukkan bahwa ia telah melalui banyak pertempuran dalam hidupnya.
Bjorn meletakkan dua koin emas di meja, membayar minuman mereka. "Ini terlalu banyak, Tuan" kata pemilik kedai, mengembalikan satu koin emas dan sekantung kecil berisi koin perunggu. Bjorn, yang masih belum paham sistem mata uang di dunia ini, menerima uang kembalian itu dengan bingung. "Ya... terima kasih," gumamnya.
...****************...
"Tunggu, aku sudah menghitung! Kita sudah dua puluh kali memutari tempat ini!" Amoria berseru dengan kesal, menghentakkan kakinya ke tanah. Setelah berulang kali mengelilingi kota Bretavia, mereka tetap tidak menemukan apa itu Gereja Sekte Naga Air.
Keterbatasan informasi dan pengalaman membuat mereka seperti tikus yang berputar-putar dalam labirin.
"Jadi? Kita akan melakukan apa?" tanya Bjorn, menatap teman-temannya satu persatu.
"Kita membutuhkan informasi dan pengetahuan lebih dalam soal kota ini" Neil mengusulkan. "Kenapa tidak kita coba saja dengan bergabung menjadi petualang serikat?"
Bjorn mengusap dagunya dengan jari, memandangi langit yang mulai dipenuhi awan jingga. "Hmmm... mungkin itu bisa memberikan kita jalan menuju tujuan kita"
"Aku terserah kalian" Amoria mengangkat bahu, menunjukkan ketidakpeduliannya.
"Aku juga" Sulpha menyetujui.
Mereka berempat memasuki gedung serikat petualang dengan penuh semangat. Pintu kayu besar berukir simbol pedang dan perisai terbuka lebar, menyambut mereka ke dalam ruangan yang ramai dan dipenuhi oleh para petualang dari berbagai ras. Namun, semangat mereka segera pupus saat mereka berhadapan dengan resepsionis serikat.
Hanya dalam waktu singkat, mereka keluar dari gedung itu dengan wajah masam dan langkah gontai. "Dasar peraturan tidak masuk akal!" Amoria menggerutu, melipat tangannya di dada.
Ternyata, untuk mendaftar sebagai regu kelompok, mereka harus beranggotakan minimal 5 orang. "Kita hanya berempat" keluh Neil. "Bagaimana mungkin kita bisa menemukan satu orang lagi dalam waktu singkat?"
"Dan juga biaya pendaftarannya 5 koin emas!" Sulpha menambahkan, wajahnya muram. "Semakin tidak masuk akal untukku yang miskin ini"
Neil dan Bjorn saling menoleh dengan tatapan tidak puas, lalu menggelengkan kepala sambil menghela napas.
Disaat mereka berempat duduk frustasi di tangga gedung serikat, merenungi nasib dan rencana mereka yang gagal, sesosok pria dengan penampilan mencolok berjalan melewati mereka. Pria itu bertubuh besar, berotot, dan membawa tombak yang menakutkan. Tak lain dan tak bukan, dia adalah Januza, pria yang mereka temui di kedai minuman tadi siang.
Tanpa berpikir panjang, Bjorn bangkit dan mencegat Januza. "Tunggu, Januza, ikutlah bersama kami" ucapnya dengan tegas.
Amoria dan Sulpha tercengang. "Bjorn meminta seseorang untuk ikut dengannya?!" seru Amoria tidak percaya. Selama ini, Bjorn selalu menolak orang yang mencoba untuk ikut dengan dengannya. Tapi kali ini, justru dialah yang mengajak seseorang untuk ikut.
"Tidak, aku ada urusan" tolak Januza dingin tanpa menghentikan langkahnya.
"Dia ditolak?!" Sulpha menutup mulutnya dengan tangan, terkejut dengan penolakan Januza. Kejadian barusan justru lebih mengejutkan daripada ajakan Bjorn tadi.
Bjorn menyeringai. "Ikutlah denganku, pecundang" ejeknya.
Provokasi Bjorn berhasil. Januza, yang sudah mencoba mengabaikan Bjorn, langsung naik pitam. Langkahnya terhenti, ia terpaku seperti patung, lalu menolehkan wajahnya pada Bjorn. Ekspresinya kini jauh lebih mengerikan daripada tadi siang. "Tarik perkataanmu, bajingan!" serunya, suaranya menggelegar seperti petir.
"Kalau aku tidak mau?" tantang Bjorn dengan santai, mengangkat sebelah alisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments