Amoria menyeret Januza dengan kasar, melewati jalanan kota yang ramai dan berliku, hingga akhirnya berhenti di sebuah bangunan tua tak berpenghuni yang tersembunyi di antara semak belukar di pinggiran kota Bretavia. Bangunan itu tampak bobrok dan ditinggalkan, dengan dinding yang retak dan jendela yang pecah.
"Kalian semua ingin membawa ku kemana?" tanya Januza dengan nada marah, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Amoria.
"Apa-apaan ini?"
"Banyak tanya," jawab Amoria acuh tak acuh, telunjuknya menekan-nekan dahi Januza. "Kau sudah menjadi salah satu dari kami, jadi jangan banyak bicara"
"Sudah, cukup, Amoria" Bjorn tiba bersama Neil dan Sulpha, menghampiri mereka.
"Januza... berdiri" perintah Bjorn dengan suara tegas.
"Jangan perintah aku!" Januza menolak mematuhi perintah Bjorn. Kesabarannya sudah habis.
Tanpa peringatan, kaki Bjorn menyambar lengan Januza dengan kecepatan dan kekuatan yang mengejutkan. Serangan itu terlalu cepat untuk dihindari atau ditangkis. Januza terhuyung ke belakang, terbatuk-batuk dengan darah mengalir dari sudut bibirnya. Ia menatap Bjorn dengan mata penuh amarah dan ketidakpercayaan.
"Apa yang kau lakukan pada pasienku yang baru sembuh?!" Amoria memekik, sambil mengacungkan tinjunya. "Kau ingin membuatnya pingsan lagi?!"
"Kau! Aku akan menghajarmu, sialan!" Januza meraung, berusaha bangkit dengan meringis kesakitan sambil memegangi lengannya yang terluka.
"Hentikan, kau tidak akan bisa memukulku," sela Bjorn dengan dingin, tatapannya tajam menusuk mata Januza.
Bjorn menatap Januza dengan pandangan rendah. "Lupakanlah... maaf saja, aku membenci orang yang mudah marah. Oleh karena itu, aku senang menyiksamu, terlihat seperti menyiksa diriku di masa lalu"
Kata-kata Bjorn yang penuh ejekan itu membuat Januza semakin murka. Ia meraih tombaknya yang tergeletak di tanah. "Sungguh, kau..." ia menggeram, lalu menancapkan batang besi kokoh itu ke tanah, membantunya berdiri. Dengan gerak cepat, ia mengayunkan tombaknya ke arah Bjorn. "Jangan bicara seolah kau tahu diriku!"
Namun, serangan Januza terhenti di tengah jalan. Sebuah kapak kecil tiba-tiba muncul dan menangkis tombaknya. Neil berdiri di depan Bjorn, menahan serangan Januza dengan tatapan tajam.
Pria kekar itu terkejut dengan refleks Neil yang mampu menahan tombaknya. Ia menatap Neil dengan tidak percaya. "Kau..."
"Aku akan coba bicara baik-baik," kata Neil dengan suara dingin, auranya sangat menusuk, "jadi jauhkan senjatamu dari pamanku"
"Sudah cukup, perkenalan seperti ini tidaklah harmonis," ucap Sulpha dengan nada tenang, menggaruk lehernya sambil duduk di atas tumpukan kayu bakar.
Mendengar komentar Sulpha, Januza langsung mengubah arah tombaknya. Dengan gerak cepat dan kilat, ia melemparkan tombak itu ke arah Sulpha.
Tombak itu melesat dengan kecepatan tinggi, ujungnya yang tajam mengarah ke wajah Sulpha.
Namun, saat tombak itu berada 5 inci dari mata Sulpha, tiba-tiba tombak itu berhenti dan terdiam di udara. Posisinya sama sekali tidak bergeming, seolah-olah tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.
Sulpha menggerakkan tangannya, dan tombak itu pun terjatuh ke tanah dengan suara berdentang. Ia menatap Januza dengan senyum mengejek. "Setidaknya, aku bisa mengakui kalau kalian semua memang kuat," kata Januza, "Jadi aku tidak akan keberatan jika bergabung bersama kalian"
Amoria, yang mendengar kalimat itu, langsung mengambil batu kecil dan melemparkannya ke arah Januza. "Aduh!" Januza meringis kesakitan saat batu itu mengenai kepalanya.
"Bodoh! Kau bahkan sudah hampir dibuat mati, bisa-bisanya kau berkata seperti itu!" omel Amoria.
"Berisik!" balas Januza dengan kesal.
Amoria mengambil batu lebih banyak dan melempari Januza bertubi-tubi. "Sakit!" Januza berteriak, menutupi kepala dan tubuhnya dengan tangan sambil meringkuk kesakitan.
Bjorn meraba sikut dan kakinya yang terasa sedikit memar. Ia mengernyit heran. Ini pertama kalinya ia merasakan dampak setelah menyerang lawan. "Mungkin keras tubuh Januza melebihi batu" pikirnya. Selama ini, ia pernah memukul logam dan zirah tanpa merasakan efek samping apapun.
"Jadi? Kau pasti bukan berasal dari sini" tanya Bjorn sambil mendekati Januza.
"Aku berasal dari Timur" jawab Januza.
"Oh~ jadi kau beneran dari ras Monzo" sahut Amoria dengan mata berbinar.
^^^Ras Monzo, keturunan Pangeran Bwerge yang diberkahi kekuatan petir dan Putri Elazsoa dari ras penghuni tebing terpencil, mewarisi keistimewaan luar biasa. Tubuh mereka bagai benteng kokoh, kebal terhadap serangan biasa, dengan otot sekeras baja yang mampu menghancurkan batu.^^^
^^^Postur mereka menjulang tinggi, mengintimidasi siapapun yang berani menantang. Keahlian mereka dalam menggunakan tombak sudah terkenal di seluruh penjuru negeri. Namun, Januza, meski adalah seorang Monzo, memiliki sifat tempramen yang membuatnya mudah terpancing emosi. Hal ini menyebabkan fokus bertarungnya rendah dan gerakannya mudah diprediksi. ^^^
^^^Tetapi, jangan tertipu dengan badan bongsor mereka. Ras Monzo dikenal dengan kecepatan dan agresivitas yang mematikan, ditambah dengan kemampuan mereka mengendalikan elemen petir, membuat mereka menjadi lawan yang sangat berbahaya.^^^
"Hei! Bagaimana kau bisa tahu?" Januza bertanya dengan bingung, menatap Amoria dengan curiga.
"Aku hanya menebak" jawab Amoria dengan santai, menyembunyikan fakta bahwa ia sebenarnya telah melihat secercah kilat petir di kaki Januza saat pria itu melempar tombak ke arah Sulpha. "Lagipula, kau memiliki postur tubuh yang khas ras Monzo"
Sulpha bangkit dari duduknya "Jika kau sudah sejauh ini dari desamu" tanyanya, "itu artinya kau memiliki alasan, 'kan?"
"Ya, aku diusir dari desaku" jawab Januza dengan enteng.
"Diusir??" Neil mengulang dengan kaget. "Kenapa bisa diusir?"
"Benar" Januza menghela napas panjang, seolah mengenang masa lalu yang kelam.
"Itu bermula saat aku sedang berburu di selatan, perbatasan wilayah Elf. Aku merasakan ada kejanggalan yang berasal dari arah desa itu, dengan munculnya asap tebal. Aku pun beranggapan desa itu sedang diserang oleh ras lain. Merasa ada yang tidak beres, aku bergegas kembali ke timur untuk melaporkan hal itu kepada kepala suku, dan meminta izin padanya untuk membawa setidaknya lima puluh orang pasukan untuk memastikan peristiwa tersebut. Tetapi kepala suku menolak dengan tegas, dengan alasan tidak ingin terlibat perang dengan ras lain. Aku yang marah dengan penolakan pengecutnya, langsung... ehm... merubuhkan rumahnya. Dan akhirnya diusir dari desa"
"Tu-tunggu... merubuhkan, katamu?!" Amoria, Sulpha, dan Neil berseru bersamaan, tercengang dengan sifat buruk Januza. Mereka saling berpandangan, dan dalam hati mereka sepakat bahwa Januza memang layak diusir.
"Begitu... baiklah, kita akan tinggal di rumah bobrok ini sebagai markas" Amoria mengumumkan dengan semangat, "Dan kami akan melatihmu agar bisa mengendalikan kebodohanmu!"
"Yeay! Kita akan menjadi keluarga sekarang!" Neil bersorak kegirangan.
"Hei... Bjorn" panggil Januza sambil mencabut tombaknya yang tertancap di tanah.
"Apa?" Bjorn menoleh, menatap Januza dengan datar.
"Aku belum tahu posisi kalian semua" kata Januza. "Maksudku, dalam pertarungan"
"Posisi? Apa maksudmu?" Bjorn mengerutkan kening.
"Kami para petualang memiliki identitas bertarung" jelas Januza. "Seperti aku... pemegang tombak, disebut sebagai Lancer. Sulpha memiliki busur dan panah, disebut Archer. Amoria yang menguasai sihir kuno biasanya disebut Mage. Dan Neil dengan kelincahan tubuhnya sudah pasti dijuluki Assassin"
"Tapi, kau bahkan tidak menggunakan senjata apapun, dan tidak menguasai sihir. Julukanmu itu apa?" tanya Januza penasaran.
"Kalau begitu, aku adalah Fighter" jawab Bjorn dengan santai.
"Tidak, tidak... itu norak" Januza menggelengkan kepalanya.
"Heii!" protes Bjorn.
"Benar juga, Paman tidak pernah memakai senjata apapun" Neil menambahkan. "Lagipula, senjatanya adalah dirinya sendiri, tidak mencolok seperti orang kebanyakan"
Bjorn sejenak memikirkan sebuah kata di kepalanya, dan muncul sebuah ide. "Hmm... sebut saja Leader" ucapnya dengan mantap, angin sepoi-sepoi meniup rambutnya.
Januza terdiam sejenak, menatap Bjorn dengan kagum. Orang yang ada di hadapannya ini memantulkan cahaya keperkasaan. Sosok Bjorn begitu berkilauan di matanya. Tanpa ia sadari, ia telah mengagumi Bjorn. "Baik! Itu tidak terlalu buruk" ucapnya akhirnya
...****************...
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan pertama mereka yang penuh dengan kekacauan. Kini, anggota The Punish telah lebih mengenal satu sama lain dan mulai menjalin keakraban. Di halaman depan markas mereka, Neil dan Januza sedang asyik berlatih tanding.
"Kak Januza! Kau tidak ada lelahnya?!" seru Neil sambil melancarkan beberapa serangan bertubi-tubi dengan kapak kecilnya. Namun, semua serangannya berhasil ditangkis dengan mudah oleh tombak Januza yang kokoh.
"Aku bisa melakukan ini sepanjang hari!" tawa Januza dengan riang, menikmati latihan tanding itu.
Neil mengumpulkan seluruh tenaganya, lalu mengayunkan kapak kecilnya sekuat tenaga ke arah Januza. Januza menangkis serangan itu dengan tombaknya. Seketika, kilat petir menyambar dari tombak Januza, membutakan pandangan Neil dan membuatnya terpeleset jatuh.
Januza segera menghunuskan tombaknya ke arah wajah Neil yang terjatuh. Ujung tombak yang tajam itu berhenti tepat di depan mata Neil, membuat bocah itu terpaku dengan jantung berdebar-debar.
"Kau sangat lincah" kata Januza sambil menarik kembali tombaknya, "tetapi kau suka lupa untuk melakukan pertahanan"
"Aku juga sudah sering mengingatkannya" sahut Bjorn yang sedang menonton dari kejauhan sambil menyeruput teh hangat.
"Berisik, Paman!" teriak Neil dengan kesal. Ia bangkit dari jatuhnya, menyisir rambut ikalnya yang berantakan dengan jari. "Aku kan sedang fokus berlatih"
"Fokus berlatih atau fokus menyerang?" tanya Bjorn dengan nada mengejek. Neil cemberut.
"Ngomong-ngomong, aku dari tadi tidak melihat Sulpha dan Amoria" tanya Januza, menghentikan latihan tandingnya dengan Neil. "Ke mana mereka?"
"Mereka sedang ke serikat" jawab Bjorn dengan santai, tangannya menopang dagu, "Mereka bilang mau mengambil misi pertama kita."
"Oh? Aku sedang bersemangat!" seru Januza dengan mata berbinar. "Bjorn! Bagaimana kalau kita menunggu mereka sambil latih tanding?" Ia menantang Bjorn dengan percaya diri.
"Kau yakin?" balas Bjorn dengan senyum tipis.
"Jadi kau takut ya?" ejek Januza, menyeringai lebar.
"Hei, hentikan... Kau bisa membuat Paman marah" sela Neil yang sedang duduk meluruskan kakinya, beristirahat di rerumputan.
"Oh, jadi orang sepenakut dirimu bisa marah ya?" Januza terus mengejek Bjorn tanpa henti.
Bjorn berdiri dari duduknya, aura dingin terpancar dari tubuhnya. Ia menghampiri Januza dengan langkah tenang tapi mengancam.
"Bagus, kemari" kata Januza "Aku akan membuatmu koma" Januza menyeringai, ia mengangkat tombaknya dan mempersiapkan kuda-kuda, dengan tantangan di matanya.
...****************...
"Menurutmu, kita akan mengambil yang mana?" tanya Amoria, matanya menyapu berbagai kertas permintaan misi yang tertempel di papan besar di dinding ruangan serikat.
"Aku tertarik dengan ini" kata Sulpha sambil menarik sehelai kertas misi yang menarik perhatiannya. Mereka berdua pun membaca kertas itu dengan seksama.
...Operasi : Murder...
...Tingkatan : Adamantine...
...Imbalan : 900 koin emas...
...Misi : Membunuh Ular Axetail Raksasa di Timur.....
Amoria dan Sulpha membaca kertas misi itu dengan seksama. Mata mereka terbelalak, rahang mereka jatuh, dan wajah mereka pucat pasi. Dengan gerakan panik, mereka berdua mencoba menempelkan kembali kertas itu ke dinding.
"Hoi, Sulpha! Tempel yang benar!" bisik Amoria dengan suara gemetar, matanya melirik ke sekeliling, takut ada yang melihat mereka.
"Ini sudah kutempelkan dengan benar!" Sulpha balas berbisik dengan nada kesal, keringat dingin mengucur di dahinya. "Kertas ini tidak mau menempel!" Ia menekan-nekan kertas itu ke dinding berulang kali, namun kertas itu terus jatuh ke lantai.
"Cepatlah, Sulpha! Sebelum ada yang melihatnya!" Amoria semakin panik.
"Aku sedang mencobanya!" Sulpha menggeram frustrasi. Ia mencoba berbagai cara untuk menempelkan kertas itu, menjilati bagian belakang kertas sebagai lem. Namun, usahanya sia-sia. Kertas itu tetap saja tidak mau menempel.
"Maaf, apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya Thena dengan ramah, menghampiri Amoria dan Sulpha yang tampak kesulitan menempelkan selembar kertas ke papan misi.
"Ah, tidak... kebetulan saja kertas ini terjatuh, dan kami mencoba untuk menempelkannya kembali" jawab Amoria dengan senyum kaku, keringat dingin membasahi dahinya.
"Maaf, tapi sepertinya ada kesalahpahaman" kata Thena dengan sopan. "Lembaran misi tidak akan bisa tercabut jika bukan seorang petualang berlisensi yang mencabutnya, dan tidak ada cara untuk menempelkannya lagi, karena sebuah misi harus segera diterima bagi yang mencabutnya"
"Sudah kubilang! Kami tidak mencabutnya!" bantah Amoria dengan nada sedikit tinggi.
"Tapi... kertas itu ada di tangan temanmu" kata Thena sambil menunjuk Sulpha yang memegang selembar kertas misi mdengan tangan gemetar.
"Ti-tidak, kau salah paham" Sulpha mencoba menjelaskan dengan gugup.
...----------------...
Dengan langkah gontai dan wajah lesu, Amoria dan Sulpha kembali menuju markas. "Hei, Sulpha" keluh Amoria, "kakiku lemas setelah menerima kertas ini."
"Kau pikir aku tidak?" balas Sulpha dengan nada lelah. "Tanganku rasanya mau copot karena harus memegang kertas ini erat-erat"
Sesampainya di markas, mereka disambut oleh pemandangan yang sungguh mencengangkan. Januza terkapar pingsan di halaman, dengan berbagai luka memar di sekujur tubuhnya. Bjorn duduk dengan santai di sampingnya, menyeruput teh hangat.
"Oh, kalian sudah kembali" sapa Bjorn dengan tenang. "Tolong sembuhkan luka Januza"
"Bajingan kau, Bjorn!" Amoria meledak marah. "Aku ini sedang pusing memikirkan misi yang kita ambil! Kau malah menyuruhku menyembuhkan orang ini?!"
"Apa yang terjadi?" tanya Sulpha dengan mendekati Januza dan memeriksa lukanya.
"Kak Januza mengajak paman untuk latih tanding" jawab Neil. "Tapi karena dia memprovokasinya, paman menjadi tidak segan-segan"
"Hanya sedikit latihan fisik" ucap Bjorn dengan enteng.
"Latihan fisik apanya?!" Amoria berteriak kesal. "Kau pikir dia karung tinju, hah?!"
"Bjorn, ini misinya," kata Sulpha sambil menyerahkan selembar kertas misi kepadanya.
Bjorn membaca misi itu dengan cepat, lalu melipatnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya, "Ayo pergi" katanya dengan santai.
"Kemana?" tanya Sulpha dengan heran.
"Menyelesaikan misi" jawab Bjorn dengan singkat.
"Menyelesaikan misi gigi-mu!" Amoria meledak marah. "Januza bahkan baru siuman dari pingsannya!" dengan tangan yang masih memompa jantung pria itu.
"Kami juga mendapat informasi kalau ular itu bukanlah monster biasa" Sulpha menambahkan dengan nada serius. "Dia adalah spesies kuno. Kita tidak tahu apa yang akan ular itu lakukan saat kita berhadapan dengannya langsung. Setidaknya kondisikan tubuh kalian dalam keadaan prima"
"Aku sedang prima" jawab Bjorn dengan percaya diri.
"Tidak... aku gemetar, jantungku mau copot" Amoria berkata dengan dramatis sambil memegang dadanya. "Aku mau tidur siang agar wajahku jauh dari kerutan karena stres" Ia pun meninggalkan Januza dan berjalan menuju markas.
"Tunggu! Pasienmu belum sembuh total!" teriak Januza dengan lemas, melambaikan tangannya kepada Amoria.
"Tidak, aku tidak dengar" jawab Amoria dengan santai, menutup kedua telinganya dengan tangan dan melanjutkan langkahnya masuk ke dalam markas.
........
Langit telah berganti rupa menjadi lembaran hitam pekat, dihiasi taburan bintang yang berkelap-kelip. Suara jangkrik dan tonggeret saling bersahutan, hembusan angin sepoi-sepoi menyibakkan dedaunan pepohonan di sekitar markas, menghasilkan suara gemerisik yang menenangkan.
Di halaman markas, The Punish berkumpul mengelilingi api unggun yang menyala, menghangatkan tubuh mereka dari dinginnya malam. Aroma sedap daging panggang dan ikan bakar mengisi udara, membuat perut keroncongan. Mereka berbagi makan malam dengan lahap, sesekali diselingi canda tawa dan obrolan ringan.
"Kak Amoria, aku mau tambah ikan bakarnya" pinta Neil dengan mata berbinar.
"Sini, kamu boleh makan sebanyak mungkin" jawab Amoria dengan senyum ramah.
"Aku mau tambah juga" sahut Januza dengan nada meminta.
"Tidak boleh" balas Amoria sinis. "Kau sudah makan terlalu banyak"
Tiba-tiba, Bjorn berdeham, menarik perhatian semua orang. "Sudah kuputuskan, besok pagi kita akan menjalankan misi pertama kita" ucapnya dengan tegas.
Amoria, Sulpha, Neil, dan Januza terdiam, menatap Bjorn dengan berbagai ekspresi. Ada yang antusias, ada yang khawatir, dan ada pula yang pasrah.
Bjorn berdiri dari duduknya, mengibaskan debu dari celananya. "Aku mau tidur duluan" katanya. "Kalian semua jangan tidur larut malam" Ia pun meninggalkan api unggun dan memasuki markas.
Amoria mendesah kesal "Duh, dasar kepala batu" keluhnya.
"Baiklah, ayo kita semua masuk" ajak Januza.
Mereka pun meninggalkan api unggun dan masuk ke dalam markas, menyiapkan diri untuk misi pertama mereka esok hari.
...****************...
Sinar mentari pagi yang hangat menyapa bumi, membangunkan hutan dari tidurnya. Di tengah hutan yang masih diselimuti kabut tipis, terlihat sebuah bangunan tua yang tampak usang dan memprihatinkan. Itulah markas The Punish.
Pintu markas yang bobrok itu terbuka lebar, menyambut angin segar dan semangat baru. Bjorn, sang pemimpin The Punish, berdiri di ambang pintu dengan tatapan berapi-api. "Baiklah" ucapnya dengan suara lantang "Dengan begini kita akan memulai misi pertama kita. Dan biar kuingatkan lagi kepada kalian, alasan kita ikut campur ke dalam petualangan ini adalah untuk mencari kebenaran, mengungkap teka-teki, dan menemukan sangkut paut yang tidak kita ketahui di balik semua kesialan yang menimpa kita. Ini awal kita, awal perjalanan panjang kita"
Bjorn merentangkan tangannya, menghirup udara pagi yang segar dengan penuh semangat.
Satu per satu, anggota The Punish melangkahkan kaki keluar dari markas, mengikuti jejak pemimpin mereka.
Mereka semua berdiri tegap di samping Bjorn, siap menghadapi apapun yang menanti mereka.
"Nama regu kita tidak dangkal" Bjorn melanjutkan dengan suara berwibawa. "Berjanjilah, kita akan memberantas semua ketidakadilan di dunia ini. Kita adalah para penghukum!"
"YAAA!!" sorak mereka serempak, dipenuhi semangat juang yang membara. Berlima, dengan tampang sangar dan percaya diri, mereka melangkahkan kaki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments