2. Desa manusia buangan

"Aku? Aku Bjorn" jawabnya sambil memutar badan menghadap kerumunan penduduk desa yang menatapnya dengan tatapan takjub.

Jawaban polos Bjorn justru disambut dengan gelak tawa riuh dari para penduduk desa. "Kami tahu kau itu Bjorn, sudahlah!" seru salah seorang dari mereka, "Desa kami sudah memiliki pahlawan!"

Sorak sorai dan tepuk tangan bergemuruh, mengelilingi Bjorn dan memenuhi seluruh penjuru ladang. Mata Bjorn berbinar, hatinya dipenuhi kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Selama ini, sorakan dan tepuk tangan yang ia terima hanyalah untuk kemenangannya di atas arena, sebuah pengakuan atas kemampuan bertarungnya. Namun, sorakan yang ia terima saat ini terasa berbeda. Ia melihat kegembiraan dan rasa syukur yang tulus di mata para penduduk desa, seolah-olah mereka benar-benar senang memiliki dirinya. Ini bukan lagi tentang pertarungan, tentang menang atau kalah. Ini tentang melindungi, tentang arti kemenangan yang sesungguhnya.

Bjorn tersenyum, sebuah senyuman tulus yang lahir dari lubuk hatinya. Ia merasakan kekosongan di dalam dirinya perlahan terisi, digantikan oleh rasa kebersamaan dan tujuan hidup yang baru. Di desa kecil yang damai ini, di antara orang-orang sederhana yang menerima dirinya dengan tangan terbuka, Bjorn menemukan arti kemenangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Kegembiraan penduduk desa tiba-tiba terusik oleh sebuah suara lantang dari tengah kerumunan. "Kakek Pluto" ucap seorang pria dengan nada bersemangat "Monster itu bisa membuat desa kita makmur jika kita jual di Serikat!"

Ucapannya sontak membuat suasana hening sejenak. Semua mata tertuju pada pria itu, lalu pada bangkai singa yang tergeletak tak bernyawa. Singa jenis Taring Beruang memang dikenal sebagai monster langka dan sangat sulit ditaklukkan. Tak heran jika harga jualnya di Serikat sangat tinggi.

Kakek Pluto terdiam, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia tergiur dengan keuntungan besar yang bisa didapatkan desa. Namun di sisi lain, ia merasa ngeri membayangkan bagaimana monster itu akan dimanfaatkan di Serikat. Ketakutan dan keraguan terpancar jelas di wajahnya.

"Nak Bjorn" Kakek Pluto akhirnya angkat bicara, menatap Bjorn dengan tatapan memohon "Apa tidak masalah jika bangkai monster itu kami jual?"

Bjorn, yang masih terkesima dengan sambutan meriah penduduk desa, tersentak dari lamunannya.

"Tidak apa-apa, Kek" jawabnya ringan. "Aku juga tidak punya niatan untuk mengubur hewan itu"

"Baiklah kalau begitu" Kakek Pluto menghela napas lega, "Kami para warga desa akan mengangkatnya ke kereta kuda." Ia kemudian memberi instruksi kepada beberapa warga untuk mengurus bangkai singa tersebut.

...****************...

Kakek Pluto berdiri di tengah ruangan megah dengan pilar-pilar menjulang tinggi dan lantai marmer yang berkilau.

Aroma dupa dan rempah-rempah yang eksotis menguar di udara, bercampur dengan bau kertas dan tinta yang khas. Di balik meja kayu yang kokoh, seorang pelayan resepsionis dengan seragam rapi menyambutnya dengan ramah.

"Halo, Kek? Apa kamu ingin membeli benih jagung lagi di musim ini?" sapa pelayan itu, mengenali Kakek Pluto yang memang sering datang ke Serikat untuk membeli kebutuhan pertanian.

"Kedatanganku ke sini tidak hanya untuk benih jagung, Nak" jawab Kakek Pluto dengan senyum lebar. "Aku menginginkan beberapa benih buah yang nikmat. Musim panen kali ini, aku ingin menanam sesuatu yang istimewa untuk desa kami."

"Oh? Pastikan kau membawa emas yang banyak, Kek" ucap pelayan itu sambil tersenyum, mengira Kakek Pluto akan membeli banyak barang.

"Aku tidak membawa emas ataupun perak sama sekali" jawab Kakek Pluto dengan tenang "tapi aku membawa mayat Singa Taring Beruang"

Suasana di dalam ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Kakek Pluto, termasuk para pelayan dan pengunjung lain yang sedang bertransaksi. Raut wajah mereka bercampur antara terkejut, tidak percaya, dan penasaran.

"Ka-kalau aku boleh tahu" pelayan itu tergagap, "Siapa yang melawan Singa itu, Kek?"

"Hoho," Kakek Pluto terkekeh, "Singa itu mati di ladangku, tanpa aku tahu penyebabnya" Ia sengaja menyembunyikan identitas Bjorn, takut jika anak muda itu akan terlibat masalah dengan para bangsawan licik yang haus kekuasaan.

"Baiklah, Kek" pelayan itu mengangguk hormat, "Silakan pilih benih dan peralatan yang ingin kau tukarkan. Para pelayan lainnya akan menurunkan bangkai Singa itu" Ia memberi isyarat kepada beberapa pelayan untuk segera mengurus bangkai singa yang dibawa Kakek Pluto.

...****************...

Mentari mulai terbenam, menghujani desa kecil itu dengan cahaya keemasan. Siluet gerobak Kakek Pluto tampak di kejauhan, membelah jalan setapak yang berdebu, kembali dari Serikat dengan muatan penuh barang berharga.

Para penduduk desa telah menanti kepulangannya dengan penuh harap, berkumpul di pintu masuk desa, mata mereka berbinar-binar menyaksikan gerobak yang semakin mendekat.

"Hoi, Kakek! Kami menunggumu!" seru mereka riuh, suara mereka dipenuhi kegembiraan dan rasa syukur.

Bjorn berdiri di antara kerumunan, hatinya dipenuhi kehangatan. Ia menyaksikan Kakek Pluto membagikan benih-benih unggul, peralatan pertanian baru, dan bahan makanan yang melimpah kepada penduduk desa. Wajah-wajah mereka berseri-seri, pancaran kebahagiaan terukir jelas di setiap kerutan dan senyuman. Bjorn merasakan kebersamaan yang erat di desa ini, sebuah ikatan yang terjalin oleh rasa saling peduli dan berbagi. Ia merasa diterima, diperlakukan dengan baik bahkan sejak mereka belum mengenalnya. Rasa syukur dan keharuan memenuhi hatinya. Ia telah menemukan tempat di mana ia bisa merasa diterima dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

......................

Malam ini, di meja kayu lusuh yang sama, keluarga Kakek Pluto berkumpul untuk menikmati makan malam. Namun, suasana terasa berbeda. Tak ada lagi semangkuk sup kentang sederhana yang menjadi hidangan utama mereka. Malam ini, Sveilla telah menyiapkan berbagai hidangan istimewa. Daging sapi panggang yang menggugah selera, ikan bakar dengan aroma rempah yang harum, dan ayam panggang yang berkilauan dengan lapisan madu.

Aroma lezat memenuhi ruangan, membuat perut keroncongan dan air liur menetes. "Hari ini kita tidak perlu memakan sup kentang" ucap Sveilla dengan senyum bahagia, sambil meletakkan hidangan terakhir di atas meja. "Setidaknya, makanlah dengan rasa syukur hidangan nikmat ini."

"Aku mau daging sapinya, Bu!" pinta Neil, matanya berbinar-binar menatap potongan daging sapi panggang yang menggiurkan.

"Hei, hei, itu milik Paman Bjorn" larang Sveilla sambil menepuk pelan tangan Neil yang hendak meraih daging tersebut.

Neil langsung cemberut, bibirnya manyun, wajahnya berubah murung. Ia mengelus-elus tangannya yang ditepuk Sveilla, seolah merasa sedih karena tidak diizinkan mengambil daging yang diinginkannya.

Melihat ekspresi Neil, Bjorn pun merasa kasihan. "Kamu boleh memakannya, kok" ucap Bjorn sambil tersenyum ramah dan mengelus kepala Neil. "Makan yang banyak, ya, supaya kamu cepat tumbuh besar dan kuat"

Wajah Neil seketika berbinar kembali. "Terima kasih, Paman!" serunya riang, lalu dengan lahap menyantap daging sapi panggang yang diberikan Bjorn.

"Yasudah, sebentar lagi daging yang lainnya akan segera matang," sambung Sveilla, membalikkan daging ayam dan ikan di atas panggangan agar matang merata. "Tunggu sebentar, ya."

...****************...

Di dalam gedung Serikat yang megah, di sebuah ruangan yang dipenuhi peta-peta kuno dan dokumen-dokumen penting, para petinggi Serikat sedang mengadakan rapat mendadak.

Suasana terasa tegang, aura kekhawatiran menyelimuti ruangan yang biasanya dipenuhi dengan perbincangan bisnis dan strategi ekonomi.

"Aku dengar tadi siang ada seseorang yang menjual bangkai Singa Taring Beruang" ucap Parley, kepala Serikat, dengan nada serius. Ia duduk di balik meja kerjanya yang terbuat dari kayu mahoni, wajahnya yang tegas tampak berkerut.

"Benar, Tuan" jawab salah seorang anggota Serikat, "Dan orang yang membawa monster itu berasal dari desa jelata."

Berita tentang Singa Taring Beruang yang tiba-tiba muncul dan dibawa oleh penduduk desa jelata telah mengguncang Serikat. Para pelayan dan anggota Serikat merasa ketakutan, berbagai spekulasi dan pertanyaan muncul di benak mereka.

"Apakah ini pertanda kalau Ras Iblis sudah bergerak?" bisik salah seorang pelayan dengan cemas, menyuarakan ketakutan yang menghantui mereka semua.

"Berhenti bicara seperti itu!" potong Parley dengan tegas, suaranya berwibawa menggema di ruangan itu.

"Kita tidak boleh gegabah mengambil kesimpulan. Belum ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Ras Iblis dalam hal ini."

"Lalu ini ulah siapa, Tuan?" bantah salah seorang anggota Serikat. "Saat diotopsi, kami melihat bekas luka parah di dagunya, dan tidak ada luka lain selain itu. Ini terlihat jelas kalau monster ini mati dengan sekali serang. Aku berasumsi kalau monster ini menerima Palu Dosa dari Raja Iblis"

Raut wajah Parley semakin serius. Ia mondar-mandir di ruangan itu, kegelisahan terpancar jelas dari gerak-geriknya. "Adry" panggilnya kepada salah seorang pelayan yang berdiri di dekat pintu, "tolong selidiki lagi kematian singa itu. Cari tahu siapa yang membunuhnya dan apa motifnya. Berhati-hatilah, jangan libatkan dirimu dalam bahaya"

Parley mengusap keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. Firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang mungkin akan mengguncang dunia mereka.

Tanpa disadari oleh Parley dan para petinggi Serikat yang sedang asyik berdiskusi, sesosok bayangan gelap bergerak di luar gedung. Dengan lincah dan senyap, ia menyelinap di antara pepohonan dan semak-semak, mendekati jendela ruangan rapat. Telinganya yang tajam menangkap setiap kata yang terucap di dalam, menyerap informasi penting tentang Singa Taring Beruang dan spekulasi tentang keterlibatan Ras Iblis. Setelah merasa cukup puas, bayangan itu menghilang kembali ke dalam kegelapan malam, meninggalkan Serikat tanpa jejak, membawa rahasia yang baru saja ia curi.

Di dalam ruang singgasana yang megah, dihiasi ornamen-ornamen emas dan batu permata yang berkilauan, Raja Iblis Asmodeus duduk dengan angkuh di singgasananya.

Sosoknya yang tinggi besar dan menakutkan memancarkan aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Di hadapannya, Kartos, pelayan setianya yang baru saja kembali dari misi pengintaian, berlutut dengan kepala tertunduk.

"Yang Mulia Asmodeus" lapor Kartos dengan suara rendah, "Saya mendapatkan informasi dari manusia, bahwa Anda diduga membunuh Singa Taring Beruang"

Asmodeus mengangkat sebelah alisnya, ekspresi wajahnya tak terbaca. Jari-jarinya yang lentik mengetuk-ngetuk pelan di pipinya, seolah sedang merenungkan sesuatu. "Huh?" gumamnya dengan nada heran, "Aku bahkan hanya tertidur di dalam istana ini seharian."

*(istana raja Asmodeus berada di puncak gunung, itu karena puncak gunung adalah tempat kesukaan para iblis)

"Saya hanya menyampaikan informasi yang saya terima, Yang Mulia" jawab Kartos dengan nada datar, tetap mempertahankan sikap tunduknya.

Asmodeus terdiam sejenak, jemarinya berhenti mengetuk. Tatapan matanya yang tajam seolah menembus Kartos, membuat pelayan setianya itu semakin menundukkan kepala. "Anak pintar" ucap Asmodeus akhirnya, nada suaranya terdengar dingin dan menusuk, "kalau begitu aku ingin kau segera menyelidiki desa jelata itu. Bawa 100 pasukanmu. Cari tahu siapa yang membunuh Singa Taring Beruang itu. Dan ingat" Asmodeus memberi penekanan pada kalimat berikutnya, "pastikan kau tidak membakar sedikit pun desa itu"

"Baik, Yang Mulia" jawab Kartos patuh. "Saya permisi" Ia membungkuk dalam-dalam, lalu berbalik meninggalkan ruang singgasana, meninggalkan Asmodeus yang kembali termenung di singgasananya, pikirannya dipenuhi pertanyaan dan rencana yang belum terungkap.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!