"Proses khitbah batal Han, kenapa harus begini"
Syara makin deras menangis, Hana menarik tubuh sahabatnya itu kepelukan. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain berada di sisi Syara. Ia ingin memberi nasehat, namun hati kecilnya berkata.
"Semua ulah Daddymu"
Akhirnya Hana menemani hingga Syara lelah menangis dan tertidur. Setelah agak lama Hana beranjak keluar menemui kakaknya.
"Sejak kapan kakak jadi perokok"
"Sudah mau pulang?"
"Belum, Hana menginap di sini kak nemenin Syara dulu kasihan dia"
"Kenapa, bukannya saat ini sedang bahagia jangan merusak suasananya pergilah ke rumah sakit jagalah Mbak Arindramu itu"
"Siapa bilang Syara sedang bahagia, lamarannya batal kak. Pasti kakak tau apa yang Daddy katakan"
"Apa....jangan menuduh sembarangan begitu, kakak tidak tau apa-apa berkaitan dengan rencana Daddy, sayang padahal kakak ingin melihat bagaimana tampilan calon suami si cupu itu"
"Kak, Syara sedih banget keadaannya sekarang, tolong jaga bicara kakak bagaimanapun Hana tak terima Syara dikatakan seperti itu"
"Duhhh yang punya sahabat enggak boleh bener diledek sedikit. Ya udah kakak pulang dulu"
"Kakak enggak sholat ashar dulu, dari tadi malah duduk di sini"
"Nanti aja di jalan, oh ya mana Abi Hasan kakak mau pamit"
"Hana enggak tau kak, dari tadi belum ketemu Abi. Nanti Hana sampaikan saja sama Umi ya, Umi juga kayaknya lagi sedih"
"Ya sudah, kakak pamit dulu bye"
"Assalamualaikum dulu kak, hati-hati dijalan"
"Walaikumsalam ok"
"Kebalik tau salamnya"
Namun Hans tak mengindahkan, ia segera mengendari mobilnya dan menjauh. Hana masuk ke dalam dan melihat Umi Ami yang baru saja tiba entah dari mana.
"Umi Hasan ke mana Mi?"
"Umi dan Abi Hasan lagi ada di kamarnya saat Umi tadi pergi. Bagaimana keadaan Syara"
"Tadi tidur mi, setelah habis menangis. Oh ya, katanya Abi nolak lamaran pria itu Mi, kenapa?"
Meskipun Hana tau bahwa Abi Hasan menolak lamaran orang yang dijodohkan dengan putrinya. Namun dirinya masih belum yakin alasan dari penolakan Abi itu karena Daddy atau bukan. Karena semalam mereka membicarakan baru memutuskan masalah pernikahan kakaknya dengan Syara, mana mungkin secepat itu Daddynya bertindak. Begitulah yang ada di pemikiran Hana.
"Yang Umi dengar, Abi Hasan sudah menerima lamaran laki-laki lain tadi malam, padahal Afdan adalah calon menantu yang sudah lama abi siapkan untuk Syara, tapi entah kenapa tiba-tiba saja berubah fikiran"
"Tadi malam umi"
Umi Ami mengangguk, Hana syok. Alasan apa yang membuat Abi langsung nurut nerima lamaran Daddy. Jikapun hanya balas budi, Abi bukan orang yang akan dengan mudah tunduk dengan hal seperti itu. Ingin mendapat menantu kaya, jelas bukan Abi orangnya yang memandang segala sesuatunya dari harta, status sosial ataupun jabatan. Abi hanya memandang akhlaq, apalagi jika orang itu sudah disiapkan sejak lama oleh Abi sendiri.
"Aihh Daddy pake jurus apa dia hingga bisa buat Abi Hasan takluk" batin Hana.
"Ya sudah Umi mau pulang dulu, tadinya Umi mau menemani Syara tapi kayaknya Hana menginap di sini ya, jadi Umi pulang dulu ya"
"Tunggu Umi, ada yang ingin Hana tanyakan berkaitan dengan pasien Hana"
"Kita duduk di dalam saja ya, biar lebih nyaman"
Hana mengangguk dan mengikuti langkah Umi Ami yang duduk di ruang tengah.
"Umi, apakah boleh menikahi wanita yang sedang koma?, dan apakah boleh wanita yang hamil dinikahi dan yang mau menikahi adalah ayah janin yang dikandungnya"
"Hana memiliki pasien seperti itu?"
Hana sekali lagi mengangguk,
"Dalam kasus ini, Umi akan merujuk pada salah satu buku karya Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashhal fi Ahkam al-Mar’ati .
Beliau memberikan batasan dan ketentuan apa yang dimaksud dengan sekarat tersebut berdasarkan persepektif ulama mazhab. Dalam istilah fikih, dikenal dengan maradh al-maut.
Menurut Mazhab Hanafi, kriteria sakit parah atau sekarat itu, antara lain, yang bersangkutan tak lagi mampu melakukan tugas kesehariannya, dalam konteks perempuan, misalnya, sudah uzur dari mengurus urusan rumah. Sedangkan, untuk laki-laki, terhalang dari mencari nafkah.
Kriteria berikutnya, sakit tersebut tak kunjung sembuh dan dikhawatirkan meninggal, menurut kacamata kedokteran. Mazhab ini juga memberi batasan satu tahun untuk sakit tersebut. Bila lepas satu tahun sembuh, tidak termasuk sakit sekarat.
Dalam Mazhab Hanbali, hanya ada dua kriteria, yakni sakit yang didiagnosis akan meninggal dan keterikatan dengan kematian, seperti penyakit jantung akut, paru-paru, atau kanker yang mematikan. Mazhab ini menegaskan, vonis sakit tersebut harus berdasarkandiagnosis dokter. Ketentuan serupa juga berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i.
Berangkat dari pembatasan ini, Prof Zaidan melengkapi bahasan topik di atas dengan menguraikan pandangan masing-masing mazhab menyikapi hukum pernikahaan saat kondisi sedang sekarat atau sakit parah.
Mazhab Maliki berpandangan, akad nikah yang dilangsungkan ketika salah satu pasangan tengah menderita sakit akut dinyatakan tidak sah. Jika tetap dilaksanakan, harus dibatalkan. Ini dengan catatan selama yang bersangkutan dinyatakan tidak lagi sembuh.
Bila pada kemudian hari sembuh, menurut mazhab yang berafiliasi ke Imam Malik bin Anas ini, ketentuan pernikahan kembali ke hukum dasar, yakni boleh. Kemudian, jika salah satunya meninggal sebelum akad nikah dibatalkan, tidak berhak atas waris.
Sedangkan, Mazhab Hanafi berpendapat, boleh hukumnya melangsungkan pernikahan di saat salah satu calon pasangannya menderita sakit parah dengan mahar sepadan (mahar mitsil). Jika melebihi mahar tersebut, hukumnya tidak boleh.
Mazhab yang berafiliasi kepada Imam Abu Hanifah ini berargumentasi, pernikahan adalah kebutuhan asasi manusia yang tidak boleh dikekang. Seperti halnya kebutuhan akan makan dan minum. Tak satu pun berhak mencegah. Penegasan yang sama juga dikuatkan oleh para ulama yang bermazhab Hanbali.
Dalam pandangan mazhab yang merujuk pada metode ijtihad Ahmad bin Hanbal ini, nikah boleh dilangsungkan, baik ketika kondisi sehat maupun saat diterpa sakit. Akad yang dilaksanakan pun dianggap sah dan berimplikasi hukum, seperti waris. Mahar mitsil wajib dibayarkan dalam kasus ini dan tidak ada kaitannya dengan hak piutang ataupun ahli waris.
Sementara itu, Mazhab Syafi’i menyatakan, pernikahan yang dilaksanakan dalam kondisi sakit, hukumnya sah sekalipun kebutuhan biologis salah satu pasangan tidak bisa terpenuhi. Dalam kasus seperti ini, sang suami berkewajiban membayar mahar mitsil.
Jadi intinya boleh jika ada pasien koma menikah selama ada keterangan dokter yang menyatakan dia bisa sembuh"
"Meskipun harapan sembuhnya kecil ya mi?"
"Jika merujuk Mahzab Syafii yang di negara kita ikuti, sah-sah saja dan masalah maharnya bisa diperbincangkan dengan keluarga calon pengantin perempuan, memangnya ada yang tetap mau menikahi wanita koma. Sungguh mulia sekali laki-lakinya"
"Kurang tau Mu, hanya dengar-dengar aja mi dari keluarga dari pihak laki-lakinya begitu"
#######
**Alhamdulillah selesai juga chapter 12nya.
Hemm dapat ilmu baru alhamdulillah, author juga sama baru nemu heheee oh ya mengenai pembahasan tentang pernikahan dimana calon mempelai sakit. Author ambil dari artikel yang sumbernya dari Republika. co.id dengan judul Hukum Nikah pada kondisi sekarat yang terbit pada tanggal Sabtu, 23 Nove 2013.
Seperti biasa ya author selalu mengingatkan
pesan cinta buat kalian semua
Jejak-jejak kalian selalu author nantikan
vote comen like follow karya-karya Lesta Lestari and kasih poin hehehe
authir sayaaaang kalian semua
❤❤❤❤❤❤**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
DEVI MAULINA
maaf aku skip
2020-11-15
2
Rie-Rie Ajja
trimksh ilmu'y
2020-10-11
0
Eka Lestari
maaf thor, masih bingung sama ketentuan yang memperbolehkan wanita yang koma untuk dinikahi. bukankah wanita tersebut dalam keadaan tidak sadar?
kalo dalam keadaan sakit,mungkin masih boleh,tapi wanita tersebut dalam keadaan tidak sadar. dan hamil.
bukankah ada masa ida hamil bagi seseorang wanita untuk dinikahi. maaf jika saya salah 🙏🙏🙏
2020-10-02
0