Sebagian banyak orang berpikir bahwa tinggal di kampung itu lebih nyaman di bandingkan tinggal di kota, tetapi lain halnya dengan gadis berusia 23 tahun bernama Cahaya Sukma Anjani. Setiap harinya Cahaya mendengar ocehan tetangganya yang rese, di umurnya yang baru menginjak angka 23 di gunjing karena belum menikah, bagi mereka di umur segitu sudah cukup untuk menikah. Banyak juga yang umurnya baru menginjak angka 20 sudah memiliki anak, pernikahan di kampung Cahaya bagaikan perlombaan, siapa yang duluan dan siapa yang paling megah pernikahannya.
Seperti sekarang ini, Cahaya membantu Ibunya menanam singkong di ladang, menjelang ashar nanti juga dia harus ikut ke sawah bersama Adiknya yang bernama Dandi. Tetapi tetangganya mulai menggunjingnya, ada tiga orang ibu-ibu yang saling berbisik-bisik membuat Cahaya mendengus kesal.
"Lihat tuh, ibu-ibu. Gimana mau punya suami, kerjaannya di kebon terus, mana makin item lagi.. Hahaha, laki mana yang mau sama perawan tua."
"Iya, perempuan kok ireng.. Hihi.."
"Mukanya aja ireng, apalagi yang bawahnya."
Ketiga ibu-ibu itu saling melempar tawa, Cahaya yang mendengarnya pun mengepalkan tangannya, sudah cukup sabar dia mendengar hinaan mereka hanya karena dia belum menikah. Padahal, di usianya saat ini justru harus di gunakan sebaik mungkin, jangan terpengaruh dengan lingkungan orang-orang yang menikah terburu-buru. Banyak dari mereka juga yang gagal dalam pernikahan, bagi Cahaya menikah adalah ibadah dan hanya di lakukan sekali seumur hidup, bukan menikah hanya untuk melanjutkan hidup.
"Ngapain nikah buru-buru kalau akhirnya jadi janda, miris sekali ya. Jadi Jamur cuman karena liat yang lain udah nikah, duh amit-amit deh ya." Sahut Cahaya dengan wajah santainya. Tentu dia berucap seperti itu untuk menyindir salah satu biang gosip, anaknya seumuran dengannya dan memiliki anak satu, tetapi bercerai karena suaminya selingkuh.
"Hus, Neng jangan kayak gitu ah. Biarin aja atuh mereka mau ngomong apa juga, yang penting mah kita sabar aja soalnya gak ada gunanya juga." Tegur Ibu Cahaya.
"Gapapa, Bu. Biar mereka gak seenaknya terus." Ucap Cahaya kesal.
Salah satu diantara ketiganya itu merasa tersindir, ia memalingkan wajahnya yang memerah karena malu. Dua yang lainnya hanya saling senggol saja, mereka juga tahu siapa yang Cahaya sindir.
"Kamu nyindir saya, hah!" Bentak Marni.
"IYA! Emangnya kenapa? Bicara fakta aja saya mah, makanya jangan sok sibuk ngurusin kehidupan orang kalau hidupnya sendiri aja belum bener. Urusin aja tuh si Susi jamur, jangan kelayapan terus! Bunting tau rasa loh." Cahaya lantas berdiri, dia berkacak pinggang dengan wajah menantang, sudah cukup ia berdiam selama ini menghadapi hama tiga itu.
"Berani kamu ya!" Tunjuk Marni.
"Heh, Cahaya redup! Jangan so jagoan deh, gak baik ngatain anak orang jamur, nanti balik ke diri sendiri tau rasa!" Dina membela temannya, meskipun memang ucapan Cahaya adalah faktanya, dia tetap berada di pihak Marni selaku sahabat ghibahnya.
"Iya, lagian kan si Susi cantik, gak kaya kamu. Udah item, gak laku, bau keringet lagi." Timpal Sani dengan wajah julidnya.
Marni mengangkat dagunya, tangannya di lipat di depan dadanya merasa puas hati karena ada yang membelanya.
"Ceu Dinamo, mending bayar hutang deh daripada julid ke orang. Janjinya mana, hah! Katanya seminggu di bayar, ini udah sebulan gak ada tuh uang balik lagi ke aku." Cahaya menyodorkan tangannya kearah Dina, ia tersenyum miring begitu melihat wajah Dina berubah pias dan gelagapan begitu ia tagih hutangnya.
Dina dan suaminya mendatangi rumah Cahaya sebulan yang lalu, anak lelakinya yang masih remaja di tangkap polisi karena sudah membuat anak orang babak belur, untuk membebaskan putra mereka membutuhkan uang sebagai tebusannya. Waktu itu, uang Dina kurang sampai akhirnya berani meminjam pada Cahaya 3 juta dan berjanji akan membayarnya dalam jangka waktu seminggu. Tetapi sampai detik ini tidak ada sepeserpun Dina membayarnya, parahnya wanita itu malah gencar mencibirnya bersama teman-temannya.
"Y-ya n-nanti, cuman uang segitu kok di tagih-tagih." Dina gugup, dia sungguh malu di hadapan teman-temannya.
"Aku kasih waktu dua hari, kalau dalam dua hari itu gak di bayar juga, liat aja aku bikin viral di media sosial kalau seorang Dina gak mau bayar hutangnya!" Ancam Cahaya dengan nada tegas.
Dina membulatkan matanya, sepertinya Cahaya tidak main-main dengan ucapannya, dia takut kalau Cahaya benar-benar memviralkannya sampai satu kampung tahu. Sebenarnya uang itu sudah ada, namun dia sudah membelanjakannya tanpa sepengetahuan suaminya.
"J-jangan dong, jangan..." Dina memelas di hadapan cahaya, ia mengatupkan kedua tangannya.
"Makanya bayar!" Sewot Cahaya.
Tanpa basa-basi lagi, Cahaya mengajak ibunya pergi dari hadapan para hama itu. Cahaya mendengus karena sejujurnya ia ingin sekali merobek mulut tetangganya itu, tetapi dia harus bisa mengendalikan dirinya karena tidak mau mengambil resiko yang pastinya akan merugikan dirinya. Ketiga wanita yang menjadi ratu gosip di kampungnya sangat berbahaya, mereka sangat pandai berakting dan juga bersilat lidah.
"Sabar ya, Neng. Jangan di dengerin omongan mereka mah, bukan kamu aja yang suka mereka ejek, lagian anak ibu teh kan cantik, nanti juga pasti banyak yang antri. Ibu mah gak bakalan maksa anak-anak ibu atau nyuruh cepet-cepet nikah, namanya juga menikah itu sekali seumur hidup, jadinya harus cari calon yang bener biar pernikahannya langgeng." Ucap Euis.
"Iya, Bu. Cuman ya kesel aja, tiap hari gak ada bahasan lain selain perkara nikah." Gerutu Cahaya.
"Kita sholat dzuhur dulu, nanti di sambung lagi nanem singkongnya ya. Maafkan ibu ya, karena ibu kamu harus ikut panas-panasan cari uang segala macem buat keluarga. Andai bapak masih ada, kamu sama Dandi gak perlu kotor-kotoran kayak gini, bisa main sama temen-temen kalian yang lain." Ucap Euis merasa bersalah.
Cahaya pun tersenyum, dia merangkul kedua bahu ibunya. Sejatinya dia memang bercita-cita untuk kuliah sampai sarjana, tapi apalah daya dengan takdir yang maha kuasa, dia terpaksa harus putus sekolah dan membantu ibunya berjualan, berkebun atau melakukan pekerjaan yang lainnya asal mendapatkan upah untuk makan.
"Udah ya, Bu. Bapak udah tenang di syurga, udah jadi kewajiban Cahaya juga bantuin ibu cari uang, setidaknya kita harus bersyukur masih bisa makan dan punya tempat tinggal. Selebihnya, kita pasrahkan aja sama Allah." Ucap Cahaya.
Euis menganggukkan kepalanya dengan ari mata yang berlinang, di usapnya tangan anak sulungnya penuh kelembutan. Sejak meninggalnya sang suami, tak pernah sekalipun Euis mendengar keluhan dari putrinya yang bekerja dari pagi buta sampai sore menjelang malam tiba.
Sesudah sholat Dzuhur, Cahaya tak langsung beranjak dari kamarnya. Dia menetap lurus ke arah luar jendela, semakin lama rasanya ia semakin muak tinggal di kampungnya. Dandi pun butuh biaya yang pastinya banyak untuk pendidikannya kelak, walaupun adiknya yang baru menginjak usia remaja itu mengatakan tak masalah bila putus sekolah. Sebagai kakak, Cahaya tak mau Dandi berhenti sekolah hanya karena masalah biaya, tentunya Cahaya ingin mewujudkan keinginan Almarhum ayahnya.
"Mau cari uang kemana, ya? Bingung juga, Bapak pengen banget ngelihat anaknya punya gelar sarjana dan di foto pakai toga. Mana bulan depan Dandi masuk SMA lagi, huffttt... Ngandelin kerja di kampung mah rada susah, apa merantau aja ya." Gumam Cahaya.
Menjadi anak sulung itu tidaklah mudah, banyak yang harus ia pikirkan untuk masa depan keluarganya kelak. Masa bodoh dengan pernikahan, tidak peduli seberapa banyak temannya yang sudah menikah. Bila sudah menikah pun belum tentu suaminya mau membantu ekonomi keluarganya, bagaimana bila hidup setelah menikah pun pas-pasan. Makin pusing pula nantinya.
Saat asyik melamun, ibunya memanggil. Buru-buru Cahaya keluar menghampiri ibunya, dia segera mengambil peralatan berkebun yang di butuhkan.
Sisa batang singkong yang harus di tanam tinggal sedikit, tak butuh waktu lama pun semuanya sudah berhasil di tanam.
Tiba waktu Ashar. Dandi pulang dalam keadaan tubuh penuh lumpur, Euis menyuruhnya bersih-bersih dan mengajaknya sholat bersama, setelah itu pun mereka makan.
"Dan, semuanya udah beres belum?" Tanya Cahaya.
"Udah atuh teh, tadi di bantuin mang Asep. Tinggal tandurnya, ceu Kokom sama Ceu Edoh katanya rada telat datangnya, mau nganterin anak-anaknya madrasah dulu." Jawab Dandi.
"Iya gapapa, kita kan tinggal tandurnya aja." Ucap Cahaya.
Dandi biasanya mencari pekerjaan sampingan di saat libur sekolah, dia seringkali ikut dengan tetangganya membajak sawah dan juga mengangkut bibit padi yang sudah di kumpulkan, membawanya ke setiap penjuru sawah.
Euis dan Cahaya serta ada tetangganya yang lain bagian tandurnya, biasanya mereka di bayar oleh juragan selaku pemilik sawah untuk menanam padinya. Begitulah kehidupan di kampung, untuk biaya hidup sehari-hari mereka melakukan pekerjaan, entah itu pergi ke sawah ataupun ke kebun. Jika biasanya Cahaya dan ibunya bagian mencabut bibit padi, sekarang tugas itu di lakukan oleh pekerja pria atas perintah dari juragannya. Maka dari itu, Cahaya dan Euis bisa menggunakan waktunya untuk menanam singkong.
******
Tepat pukul 5 sore, Cahaya dan yang lainnya pun pulang ke rumah masing-masing. Mereka mendapatkan upah dan juga makanan ringan dari pemilik sawah.
Beberapa menit kemudian.
Cahaya duduk di depan teras rumahnya, ia kembali melamun memikirkan masa depan keluarganya kelak. Teman sebayanya datang ke rumahnya, lebih tepatnya teman masa kecil yang selalu ada untuknya.
"Aya, kenapa atuh bengong aja?" Tanya Erik sambil duduk di samping Cahaya.
Cahaya menoleh ke sampingnya, dia hanya tersenyum mendapati pertanyaan Erik. Saat ini dia benar-benar bingung, belum menemukan solusi.
"Aku teh bingung, Rik. Dandi kan mau masuk SMA, sedangkan biaya kedepannya gimana? Buat sehari-hari aja kadang pas-pasan aja, kalo ada lebih ya mending bisa nabung, kalo gak ada kan bingung. Apa merantau aja ya? Apa ada kerjaan yang bisa nerima lulusan smp doang?" Jelas Cahaya seraya menenggelamkan wajahnya di lututnya.
Erik mengangguk-anggukkan kepalanya paham akan jalan pikir Cahaya, sebagai sahabat dekatnya tentu Erik tahu apa yang Cahaya inginkan.
"Jadi pembantu mau gak? Lumayan sih gajinya, lu tau kan Ceu Lela?" Ujar Erik memberi tawaran pada Cahaya.
"Tau, yang kerja di luar kota itu ya? Kenapa emangnya?" Tanya Cahaya kembali menegakkan kepalanya.
"Ceu Lela katanya izin pulang buat ngurus surat nikah, sekalian cari orang yang mau kerja bareng dia. Kalo mau mah nanti di bilangin ke Ceu Lela, sebenernya sih butuh buat nanti gantiin dia kalo udah nikah nanti." Jelas Erik.
"Mau, mau!" Tanpa berpikir panjang lagi, Cahaya mengiyakan tawaran Erik. Sesekali Cahaya pernah mengobrol dengan perempuan bernama Lela, banyak juga yang membicarakan gadis itu akan penghasilannya yang bisa dikatakan lumayan besar.
Selain menjadi pembantu, pekerjaan apalagi yang cocok untuk lulusan SMP seperti Cahaya pikirnya. Erik pun mengacungkan jempolnya, dia senang bisa membantu sahabatnya walaupun hanya sekedar memberi tawaran saja.
"Yaudah, ayo ke rumah Ceu Lela. Keburu berangkat lagi orangnya, katanya cutinya cuman 3 hari dan kemungkinan besok sore juga berangkat lagi." Ajak Erik.
"Ayo! Aku cobain dulu aja kayaknya mah ya, tanya-tanya dulu, nanti kan kalo udah tahu kayak apa kerjanya mah enak biar tinggal ngurus izin ibu." Ucap Cahaya bersemangat.
Tanpa berpamitan kepada Ibu dan adiknya, Cahaya segera pergi ke rumah Lela yang di bicarakan tadi. Bukan tanpa alasan Cahaya pergi begitu saja, hanya saja dia tak mau mengganggu Ibu dan adiknya yang tengah beristirahat.
Erik dan Cahaya pun pergi. Namun, di balik jendela yang tertutup gorden berwarna merah, ada ibunya yang menguping pembicaraan putrinya dan sahabatnya. Euis sedih mendengar Cahaya yang kekeh ingin bekerja demi kelangsungan hidup keluarganya.
"Ya Allah, Neng. Maafkan ibu ya, ibu ikut keputusan kamu aja nantinya, di larang pun kamu gak bakal mau karena merasa sudah janji sama almarhum bapak." Ucap Euis sambil menitikkan air matanya.
Cahaya adalah gadis yang baik, dia rela mengemban tanggung jawab mengurus adiknya dan juga ibunya sesuai amanah sang ayah. Sebelum kepergian sang ayah, Cahaya berjanji akan melakukan apapun demi pendidikan Dandi.
*****
Di Rumah Lela.
Cahaya dan Erik benar-benar menemui Lela, usianya lebih tua dari Cahaya. Mereka berdua di sambut dengan ramah oleh keluarga Lela, di jamu dengan baik pula.
Cahaya memulai obrolannya mengenai kabar yang dia dapatkan, ia mulai menawarkan dirinya untuk bekerja menggantikan Lela nantinya. Tentu saja Lela senang mendengarnya, karena dia sudah kesana-kemari mencari orang yang mau bekerja pada majikannya. Tetapi tidak ada satu pun yang mau, sebagian banyak perempuan di kampungnya sudah menikah dan majikannya mau yang masih single.
"Begini Cahaya, sebenarnya menjadi pembantunya itu bukan di rumah Utama. Jadi, majikan aku teh punya anak 3 dan ada 2 yang udah berumah tangga. Cuman yang kedua itu duda dan Euceu di pindah kerja disana, udah banyak pembantu yang mengundurkan diri dan malah kabur tanpa pikir panjang lagi. Cuman Ceu Lela yang bertahan di sana, cuman kan Ceu Lela mau berhenti solanya mau nikah sekaligus mau buka usaha kecil-kecilan sama suami nantinya." Jelas Lela.
"Memangnya mereka gak tahan kenapa, Ya ceu?" Tanya Cahaya penasaran.
"Kan yang punya rumah itu duda, punya anak cowok satu. Ya ampun, itu anak buaanndeelll nya minta ampun! Banyak yang di jahilin sama anak majikan Ceu Lela, malahan ada yang di kunci di kamar mandi berjam-jam. Ceu Lela juga kalo gak butuh uang mah, udah lama kabur juga. Yang kabur itu kebanyakan ya keburu takut sendiri, majikan Ceu Lela itu jarang banget ada di rumah, otomatis Den Bima kurang perhatian dan kasih sayang. Tuan ngelarang Den Bima ke rumah neneknya, soalnya kalau Tuan jemput neneknya Den Bima pasti desak Tuan untuk menikah lagi." Jawab Lela panjang lebar.
"Kalau mau ya sok aja, tinggal di pikir mateng-mateng ya, Cahaya. Ceu Lela tunggu jawabannya sampai besok, sekitar habis ashar Ceu Lela berangkat lagi. Kalau ibu kamu udah setuju, kamunya juga udah bertekad ya besok kita berangkat bareng." Tambah Lela.
"Emang gak cari Baby sitter ya, Ceu?" Tanya Erik penasaran.
"Udah yang ke 20 kalinya. Gak ada yang sanggup jadi baby sitternya Den Bima, kalo ada yang sanggup mah udah dari dulu atuh, Erik. Masalahnya, pembantu aja yang tugasnya cuman kerjain tugas rumah aja kebagian nakalnya Den Bima, apalagi baby sitternya yang harus terus dampingi Den Bima. Kata Tuan, kalau ada pembantu yang sanggup dan bisa taklukin anaknya, nanti bakalan di ganti tugasnya jadi baby sitter sekaligus dapet bonus 50 juta." Ucap Lela.
"Buset! Gede amat, Ceu?!" Pekik Cahaya terkejut.
Cahaya dan Erik melongo mendengarnya, siapa yang tidak suka uang di dunia ini. Semua orang pasti membutuhkan uang untuk kelangsungan hidup, maupun menopang gaya hidup. Tentu Cahaya sangat tertarik dengan pekerjaan itu, tetapi dia penasaran seperti apa sosok Bima yang membuat banyak orang dewasa mundur menghadapinya.
Cahaya dan Lela mengobrol banyak, Lela tentunya memaparkan apa pekerjaan dia disana dan tentunya Cahaya harus tahu agar bisa mempersiapkan dirinya sendiri. Lela tidak mau gagal membawa orang lagi, pasalnya ayah dari Bima itu mendesaknya mencari gantinya agar tidak perlu merekrut pembantu baru lagi. Sejauh ini, Lela sudah membawa sekitar 7 orang untuk pergi bersamanya, sayangnya ke 7 orang tersebut tidak ada yang kuat. Paling lama ya 2 minggu, itu pun di kuat-kuatin.
Keesokan harinya.
Cahaya membicarakan semuanya pada sang ibu, Dandi pula ikut mendengarkan dan merasa keberatan karena sang kakak bekerja demi dirinya. Euis mengusap tangan Cahaya lengkap dengan senyum tulusnya, ia mengizinkan Cahaya pergi asalkan tetap memberi kabar walau pun hanya satu menggu sekali. Cahaya pun mengangguk antusias begitu mendapat izin sang ibu, Dandi pun hanya bisa mengikuti keputusan ibunya.
"Jaga diri baik-baik ya, Neng. Meskipun mendadak banget perginya, tapi ibu pasti akan tetap mendoakan kemana pun langkah anak-anak ibu pergi, maafkan ibu ya gak bisa berbuat banyak." Ucap Euis.
"Doa ibu aja sudah cukup kok, bu." Ucap Cahaya.
"Buat ongkos di jalannya gimana, Neng? Ibu cuma punya pegangan sedikit, kamu bawa aja ya," Tanya Euis. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang yang sudah di kumpulkannya.
"Cahaya mau ke rumah bu Dina, bu. Enak aja dia bisa foya-foya sedangkan kita kesusahan, lumayan juga itu tabungan bisa buat ibu sama Dandi makan selama nunggu Cahaya gajian nanti." Ucap Cahaya memasang wajah kesal, dia memang sudah berniat mendatangi rumah Dina salah satu anggota nyinyir di kampungnya.
"YAYA..!"
Dari arah luar terdengar Erik berteriak memanggil Cahaya, sahabatnya itu datang untuk menemani Cahaya menemui Dina untuk menagih hutangnya.
Cahaya berpamitan kepada ibunya, dia dan Erik melenggang pergi ke tempat tujuannya.
Beberapa saat kemudian. Cahaya menyapa suami Dina yang sedang menyiram tanaman, kebetulan juga Dina keluar dari dalam rumah lengkap dengan nampan berisikan teh hangat dan juga makanan. Tak mau berbasa-basi lagi, Cahaya ikut duduk bersama suami Dina dan ia pun mengutarakan niatnya. Dina memainkan ujung bajunya gugup karena Cahaya benar-benar membeberkan semuanya, suami Dina pun syok karena ternyata uang yang selama ini ia berikan untuk bayar hutang tidak tersampaikan kepada pemilik uang tersebut.
"Begitu, Mang. Saya teh kesini ya memang sudah jauh dari tempo, terus saya juga sore ini mau berangkat ke luar kota, maklum lah mang saya teh bukan orang berada, pastinya uang segitu tuh gede buat Yaya mah." Ucap Cahaya.
"Iya, Yaya. Mamang teh ngerti. Maafin istri mamang ya, soalnya mamang serahin semua uangnya sama istri mamang, kirain mah bakal di bayarin. Tunggu sebentar ya. Mamang ambil uang dulu, kebetulan ada lemburan terus jadinya mamang bisa tabung." Ucap Suami Dina beranjak dari duduknya mengambil uang untuk membayar hutangnya.
Cahaya pun menganggukkan kepalanya, ia menatap Dina yang memasang wajah judes sekaligus jengkel akan kedatangan Cahaya.
Sambil masuk ke dalam rumah, suami Dina menyeret istrinya dan mengomelinya sepanjang jalan karena tak kuasa menahan malu di depan Cahaya.
Tak berselang lama, suami Dina membawa uang pecahan berwarna biru dan terlihat tebal. Cahaya tersenyum karena usahanya membuahkan hasil, ia tak perlu memakai tabungan ibunya untuk berangkat ke kota. Sambil beberapa kali minta maaf, suami Dina menyerahkan uang yang sudah di pinjamnya, Cahaya menerima uang tersebut dan membalas permintaan maaf suami Dina dengan lapang dada. Setelah itu, Cahaya dan Erik pun berpamitan pulang.
*
*
Sore hari.
Cahaya diantar menuju terminal oleh sahabat dan juga ibu serta adiknya, disana juga sudah ada Lela dan juga keluarganya yang ikut serta mengantar.
"Hati-hati ya, Neng. Kalau udah sampai, jangan lupa kabarin ibu." Pesan Euis.
"Pasti atuh, Bu." Ucap Cahaya.
"Cahaya, hayu atuh, busnya udah dateng." Ajak Lela menghampiri Cahaya.
Cahaya pun menganggukkan kepalanya seraya menatap bus yang sedang berhenti di hadapannya, ia menyalimi tangan ibunya dan berpamitan kepada yang lainnya. Euis pun mengusap air matanya menggunakan kerudung yang sedang di pakainya, Lela dan Cahaya meletakkan barang bawaannya ke bagasi bus, ada rasa berat hati namun Cahaya tetap menguatkan tekadnya. Keduanya pun naik ke atas dan memilih tempat duduk, semua orang yang mengantar pun melambaikan tangannya begitu melihat Cahaya dan Lela sudah duduk di dalam Bus.
"Kalau mau nangis, nangis aja kok. Ceu Lela juga waktu pertama kayak gitu, namanya juga kita ada tujuan ya berarti harus ada yang di korbankan." Ucap Lela.
"Cahaya mah gak mau keliatan sedih di depan ibu, biar nanti ibu gak kepikiran terus." Ucap Cahaya menahan ari matanya yang sudah menganak, senyum yang ia tampilkan pula ialah senyum palsu.
Bus pun melaju meninggalkan tempat kelahiran Cahaya, saat itu juga Cahaya menangis dan di kuatkan oleh Lela.
Di sepanjang perjalanan, Cahaya menatap kearah luar mobil Bus yang tinggi melihat setiap jalur yang di lewati.
"Doakan anakmu ini ya, Bu. Semoga Cahaya bisa menaklukkan anak calon majikan Cahaya, biar bisa sekolahin Dandi dan juga biar bisa renovasi rumah Ibu." Batin Cahaya.
4 jam kemudian.
Cahaya dan Lela sudah sampai di kota tujuan, mereka menaiki taksi menuju rumah majikan Lela yang letaknya di sebuah perumahan elit.
Cahaya begitu takjub begitu melewati rumah-rumah gedong tinggi menjulang, bahkan desainnya begitu mewah dan elegan. Meskipun mereka tiba pada waktu malam, Cahaya tetap bisa melihat keindahan yang ia pandang saat ini.
Hanya selang 15 menit, keduanya pun sampai di depan gerbang tinggi bercat emas. Lela memanggil penjaga rumah untuk membukakan pintu gerbang.
Keduanya pun masuk, Cahaya melongo melihat betapa besarnya rumah tersebut. Di dalam hatinya ia berandai-andai kalau dirinya juga memiliki rumah yang sama besarnya. Tak terasa kakinya berhenti melangkah, dia berdiri di depan pintu utama yang terbuka lebar.
"Ayo..!" Lela menarik tangan Cahaya masuk kedalam rumah.
"Woooaaahhh...!"
Cahaya membuka mulutnya dengan lebar, isi rumahnya sangat amat luar biasa. Namun, siapa sangka ada kejadian yang tak terduga di dapatinya.
ZIUUUSSSS...
HAP.....!
Sebuah pesawat kecil masuk ke mulut Cahaya, tentunya Cahaya tersentak kaget sampai membulatkan matanya. Tetapi matanya beralih begitu mendengar suara tawa renyah anak kecil yang tak jauh darinya, ia melepaskan pesawat dari mulutnya dan beralih menatap bocah yang sudah di ceritakan oleh Lela.
"Astagfirullah..! Baru masuk udah dapat kejutan aja, yang sabar ya Cahaya, ini baru permulaan." Lela hanya mampu mengelus dadanya, ia beralih mengusap punggung Cahaya.
"Hm, menarik." Ucap Cahaya menyunggingkan senyumnya, tatapannya tak beralih sedikit pun dari anak kecil yang di taksir umurnya baru menginjak 6 tahun tersebut.
"RADEN BIMA MAHARDIKA..!" Suara bariton menggema yang berasal dari arah tangga.
Cahaya dan Lela menatap ke atas, mereka berdua melihat raut wajah dingin dari pemilik rumah yang tengah berdiri memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Bocah kecil yang di panggil lengkap namanya itu memutar bola matanya malas, ia segera berlari entah kemana membuat mata sang ayah semakin menajam.
Derap langkah terdengar menyusuri satu persatu anak tangga. Lela menarik tangan Cahaya untuk menghampiri pemilik rumah.
"Selamat malam, Tuan." Ucap Lela menundukkan kepalanya diikuti oleh Cahaya.
"Selamat malam, maaf atas kejadian tadi." Balas Sagara dengan nada dingin khasnya menatap kearah Cahaya.
"Tidak masalah, Tuan. Saya memakluminya." Ucap Cahaya.
"Apa dia yang akan menggantikanmu, Lela?" Tanya Sagara.
"Benar, Tuan. Seperti yang sudah saya jelaskan di telpon siang tadi, Cahaya yang akan menggantikan saya." Jawab Lela.
"Baiklah, berikan dia arahan." Ucap Sagara, tak banyak bertanya lagi karena Sagara sudah menyerahkan semuanya pada Lela untuk mengurus pekerja baru di rumahnya.
Sagara pergi begitu saja, dia mencari anak semata wayangnya yang baru saja membuat kenakalan. Anak itu menyambut kedatangan Cahaya dengan sebuah pesawat yang landing di mulut pembantu barunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!