Acara maulid pun tiba. Hari itu juga banyak para tamu yang datang menghadiri acara maulid di pesantren Ar-Rahman.
Para santri dan santriwati di berikan tugas masing-masing. Dan aku di berikan tugas untuk menyiapkan makanan untuk para tamu undangan.
Begitu sibuknya aku dengan teman\-teman yang lainnya mengatur makanan untuk para tamu. Tiba\-tiba saja Salsa mendekatiku.
“Manda, keluar sebentar.” Bisik Salsa di telingaku
“Ngapain?” tanyaku menoleh sahabatku itu seraya memindahkan makanan di piring lain.
“Ayok, dah. Cuman sebentar, nggak lama kok.” Salsa langsung merangkul tanganku untuk mengajak keluar. Tanpa basa basi lagi ia tidak perduli apakah aku mau atau tidak diajak keluar.
“Kita mau ke mana, sih?” tanyaku lagi yang di ajak berjalan menuju pondok santriwati.
“Sudah, nanti anti juga tahu,” jawab Salsa singkat.
Betapa bingungnya aku saat Salsa mempertemukanku dengan Ustaz Aris.
“Salsa, kenapa ada Ustaz Aris? Maksudnya?” tanyaku menoleh Salsa penuh bingung.
“Ana yang nyuruh Salsa panggil anti,” cetus Ustaz Aris kini berdiri di hadapanku.
“Memangnya, ada apa, Ustaz. Apakah ada yang harus ana kerjakan. Sehingga Ustaz panggil ana.” Aku menundukkan kepala, bertanya kepada Ustaz Aris.
Ia pun terdiam sejenak, kulihat menarik nafas dengan pelan.
“Ana mau bertanya sesuatu sama anti?” Ustaz Aris terdiam lagi, “anti kenapa seperti menghindar dari Ana?"
"Maksud antum?"
"Ana perhatiin beberapa hari ini. Kalau anti ketemu ana seperti takut dan berusaha untuk menghindar. Ada apa sebenarnya?"
“Mmmm ... afwan, Ustaz. Sebelumnya ana sudah menjelaskan semuanya lewat surat sama antum. Semuanya sudah jelas, tidak ada yang perlu di tanyakan lagi.”
“Ana bingung sama anti. Siapa orang-orang yang sering bilang tidak-tidak sama anti. Kasih tau Ana!” dengan nada suara sedikit keras. Untuk pertama kalinya aku melihat Ustaz Aris kesal.
“Banyak, Ustaz. Bukan satu ataupun dua orang,” jawabku lagi.
“Heemm,” Ustaz Aris menarik nafas lagi yang juga kesal mungkin denganku.
“Ustaz. Ana di sini untuk sekolah dan menggali ilmu. Bukan untuk mencari jodoh!” tegasku kini berani untuk melihat Ustaz Aris.
Tanpa kusadari. Netra kami pun bertemu satu sama lain. Tatapan kami begitu sangat tajam. Dengan cepat Ustaz Aris langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain seraya mengucapkan istigfar ketidak sengajaannya yang sudah menatapku.
“Ana tau, Manda. Ana juga sudah janji sama anti. Kalau kita jadi menikah, ana akan tetap memberikan kebebasan untuk anti melanjutkan sekolah.” Ustaz Adam yang berusaha menjelaskanku.
“Tapi antum akan di jodohkan dengan Ustazah Anisa. Antum mau bilang apa lagi!" bentakku mulai marah.
"Astagfirullah hal'azim. Ana 'kan pernah bilang sama anti. Ana tidak akan pernah mau menikah sama Anisa. Kenapa anti bahas ini lagi?"
"Tapi tetap saja ..."
“Sabar, Da. Sabar.” Salsa mengelus punggungku agar tidak terbawa emosi.
"Tapi tetap saja apa!! Aaa." Ustaz Aris kini benar-benar marah kepadaku. "Semuanya tidak benar Manda."
“Apanya yang tidak benar,” kataku lagi. "Sesekali ana sering dengar orang-orang membicarakan antum dan Ustazah Nisa."
“Tentang perjodohan itu tidak benar. Berapa kali lagi ana harus jelasin sama anti?" kata Ustaz Aris berusaha sabar menjawabku.
Ketika aku dan Ustaz Aris saling marah-marahan. Tidak sengaja Ustazah Nisa lewat dan mungkin juga mendengar percakapan kami. Yang membuat ia bingung dan bertanya tanpa rasa malu kepada kami.
“Ustazah Anisa? maksudnya? Ana jadi kepedean, ya. Ini maksudnya ana atau orang lain?” Ustazah Anisa bertanya dan berdiri di dekatku. Seraya menoleh melihatku dengan mata sinisnya.
“Iihhh, kenapa dia harus datang sihh?” Salsa membisik di dekatku.
“Emmm ... tidak ada kok, Zah. Maksudnya Ustazah Anisa yang memperintahkan ana menyiapkan makanan untuk para tamu.” Aku memberi tau Ustazah Nisa dengan suara gugup.
Matilah aku. Kenapa Salsa harus mempertemukan aku dengan Ustaz Aris. Kali ini apalagi yang ingin Ustazah Nisa tanyakan. Aku kesal. Takut. Dan intinya aku ingin marah. Apalagi cara Ustazah Nisa melihatku seperti orang tidak suka.
“Iya, Zah. Bener kata, Manda. Kami permisi dulu, Zah, Ustaz. Assalamu’alaikum.” Salsa mengajakku pergi untuk menghindari pertanyaan Ustaz Aris dan Ustazah Anisa.
Tidak lama kemudian, acara maulid berlangsung dengan lancar. Sesekali aku berpapasan dengan Ustazah Nisa. Seperti ia ingin marah kepaku. Entah kenapa perasaanku tidak enak jika bertemu langsung dengan Ustazah Nisa. Apa mungkin hanya perasaanku saja?"
“Salsa,” tegurku yang duduk di samping Salsa setelah acara sudah selesai.
“Hm,”
“Antum, lihat nggak tadi Ustazah Anisa.”
“Lihat. Maksudnya?” tanya Salsa menoleh melihatku.
“Cara Ustazah Nisa nglihat ana itu ... seperti orang yang tidak suka. Dia dengar percakapan kita yang tadi?” tanyaku bingung.
“Percakapan yang mana?” tanya Salsa lagi.
“Ana nanya, kok antum balik nanya lagi. Hm, itu pembicaraan waktu sama Ustaz Aris. Dan sepertinya waktu jelasin Ustaz Aris dia dengar semuanya.” Aku menekuk ke dua lututku dan kini memeluknya.
“Iya, ya, kayaknya sih? Ustazah Nisa dengar, berarti dia tau antum punya hubungan sama Ustaz Aris.”
“Iya, makanya dia nglihat ana seperti itu.” Aku memanyunkan mulut. “Astagfirulloh hal’azim, nggak boleh se’ uzon.”
“Hee, iya, Astagfirulloh hal’azim.”
Saat kami sedang duduk bersama mengobrol. Para santriwati datang berkumpul untuk makan bersama. Aku dan Salsa bangun dari tempat duduk untuk membantu para santriwati lainnya mengangkat makanan yang akan di makan bersama santriwati dan para Ustazah. Semua makanan siap, para santriwati dan Ustazah duduk bersama membentuk lingkaran.
“Baca doa dulu,” ucap Ustazah Erin duduk di sekeliling para Ustazah.
“Iya, siapa yang baca doa,” kata mudhabiroh Puji lagi.
“Manda. Anti yang baca doa makan,” kata Ustazah Erin menyuruhku lagi.
“Oouhh, ya, Zah.” Aku mulai mengangkat tangan memimpin doa makan.
Baru saja mengangkat tangan untuk berdoa. Aku mendengar suara Ustaz Aris di sebelah tempat ia berkumpul bersama santriwan lainnya.
Acara maulid di laksanakan di Aula, tetapi jarak santriwati dan santri laki-laki hanya di pisah menggunakan triplek panjang. Sehingga para santriwati dan santri laki-laki tidak bisa saling lihat. Namun, kita berada di satu tempat.
“Sekarang kita berdoa dulu sebelum makan,” ucap Ustaz Aris.
Aku mendengar suaranya. Tersenyum sebentar menundukkan kepala.
Aku pun juga begitu mulai membaca basmalah. Aku memulai membaca do’a. Tiba-tiba Nadia dan Ustazah Nisa datang, hingga doa yang kubaca pun terhenti.
“Bismillahhi rohmanirrohim, Allah humma ba’rik...” Aku terdiam ketika Nadia menyuruh Ustazah Nisa untuk membaca doa.
“Ustazah Nisa yang baca doa, Zah Erin.” Nadia duduk di dekat Ustazah Erin.
“Siapa-siapa sama saja,” jawab Ustazah Erin.
“Iya, Nadia. Ayok di ulangi lagi Manda,” kata Ustazah Nisa melihatku dengan tidak suka.
"Hem, Ustazah saja sudah yang baca doa. Suara Ustazah 'kan lebih bagus juga,” kata Nadia menjawab lagi. Terus saja memaksa menyuruh agar Ustazah Nisa membaca doa makan.
“Ya sudah, Zah. Ayokk Ustazah saja yang baca,” kataku lagi.
Aku menunduk sedih saat Nadia memaksa agar Ustazah Nisa yang memimpin doa. Jujur saja, aku tersinggung di saat akan membaca doa tapi mereka tidak mau melihatku yang membaca.
Salsa sangat kesal melihat aku yang di perlakukan begitu. Ia bahkan bilang jika tidak suka aku di perlakukan seperti itu.
“Bismillahhi rohmanirrohim, Allah humma ba’rik lana pima rojak tana wakinna aza bannar. Amin,” baca doa makan sudah selesai di bacakan oleh Ustazah Nisa.
Semua santriwati pun mulai makan, begitu juga denganku yang mulai makan. Tidak bisa di sembunyikan betapa tersinggungnya aku ketik tadinya ingin membacakan doa malah di ganti oleh Ustazah Nisa.
Belum lagi aku harus mendengar Nadia mengolok-ngolok Ustazah Nisa. Ustazah Nisa juga tau kalau Ustaz Aris dan santri laki-laki berada di sebelah santriwati. Kulihat ia begitu seperti bahagia jika dipasang-pasangkan dengan Ustaz Aris.
Aku mulai bertanya pada diriku. Apakah mungkin ia mencintai Ustaz Aris. Apakah perasaan yang kurasakan kepada Ustaz Aris juga ia rasakan??
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Sun Dari Nizar
hemmm..... Q jadi geregetan
2020-05-17
1