Jum’at pagi, di mana santriwati yang lain memanfaatkan waktu untuk mencuci baju kotor masing-masing. Karena memang itulah kegiatan kami.
Hari jum’at merupakan hari libur untuk para santriwan dan santriwati di pondok pesantren. Teman-temanku sibuk dengan kesibukan masing-masing begitu pula aku yang mencuci di kamar mandi.
Saat begitu asyik-asyiknya mencuci, terdengar suara pengumuman untuk para santriwati berkumpul di depan halaman pondok santriwati. Aku berusaha cepat menyikat baju setelah mendengar pengumuman untuk berkumpul.
“Wahid ... ,” itulah hitungan dari salah satu seorang ustazah lewat mikropon.
Padahal aku belum selesai apa-apa. Namun sudah disuruh kumpul-kumpul saja.
Dan cucianku juga belum kelar. Dengan wajah kesal kutaruh pakaian yang sudah cuci diember.
Setiap kali, aku merasa kesal dengan peraturan pondok. Di pondok tempatku menggali ilmu ini, sangat sering jika di hari libur mengumpulkan para santri untuk mengerjakan sesuatu.
Padahal hari libur, akan tetapi terus saja ada kegiatan. Walau seperti itu, aku tidak mau mengeluh atau jenuh dengan semua ini.
Aku berusaha tetap yakin dan mampu melewati semuanya demi apa yang kucita-citakan.
“Isnani ...,” hitungan kedua dari ustazah lagi.
Tanpa menunggu lama aku pun langsung cepat berlari, dan meninggalkan cucian. Karena jika telat, maka siapa saja santriwati yang telat akan di hukum. Dan itu semua sudah menjadi ketentuan di pondok. Jika di hukum, aku sangat malu di lihat oleh santriwati lainnya.
“Antum udah selesai nyucinya?” tanya Salsa kepadaku, tapi karena capek lari dari kamar mandi, aku hanya mengangguk menjawab Salsa.
Pagi itu jua para santriwati disuruh berkumpul untuk membersihkan halaman kotor di pondok. Kami pun disuruh mencabut rumput yang sudah mulai panjang, dan tentunya aku juga ikut melakukannya bersama teman-teman.
Selesai mencabut rumput, aku juga tidak lupa memindahkan batu-batuan yang berserakan. Karena kesal dan lelah aku pun melemparkkan batu yang akan di pindahkan. Tanpa disengaja tiba-tiba saja batunya melayang di depan ustaz Aris saat beliau sedang lewat. Sungguh, aku tidak tau jika ia akan lewat. Tamatlah aku.
“Aaaa ... astaga!" Aku langsung menghampirinya dan pastinya meminta maaf kepadanya. “Aduhh ... afwan, Ustaz. Ana tidak sengaja? Ustaz tidak kenapa-kenapa ‘kan.”
“Alhamdulillah, tidak. Anti lain kali jangan lempar seperti itu. Nanti kalau ada yang lewat terus kena, ‘kan anti yang di salahin nantinya,” ujar ustaz Aris menasehatiku. Jelas saja aku mengangguk seraya meminta maaf ketika ia bilang seperti itu.
“Na’am, Ustaz. Sekali lagi ana minta maaf,” balasku lagi menundukkan kepala.
“La’basa (tidak apa-apa), nama anti Manda, ‘kan?”
“Na’am, Ustaz. Nama ana Manda.” Ternyata ustaz tampan yang sering dikagumi oleh para santriwati ini masih inget dengan namaku. Tapi ... ia hanya menanyakan nama dan pergi begitu saja lalu meninggalkan senyuman lebar dihadapanku.
Tidak bisa dipungkiri, ia begitu tampan, tinggi, bagaikan pangeran Arab. Tapi ... itu kata teman-temanku tidak denganku. Bagiku, ustaz Aris itu biasa-biasa saja.
Mungkin, jika aku ingin mengaguminya maka akan kagum dengan kecerdasan yang ia miliki sampe bisa sekolah di Universitas Cairo dan mendapatkan beasiswa. Itu yang aku banggakan dari dirinya. Tidak dengan ketampanannya.
******
Seperti hari biasanya, aku mengikuti pelajaran dengan santriwati lainnya di dalam kelas. Pelajaran berlangsung di kelas dengan tenang.
Waktu itu, semua fokus memperhatikan ustazah yang sedang menjelaskan di depan kelas. Pelajaran yang berlangsung terhenti ketika datangnya seseorang mengetuk pintu kelas kami.
Ia tidak lain adalah ustaz Aris. Ustazah Maesaroh yang sedang menjelaskan pun menoleh melihat ia mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum, Zah. Maaf mengganggu, mau manggil Imanda Ramdhani. Dicari sama Ibunya,” kata ustaz Aris memberitahu ustazah Maesaroh.
Lantas aku mendengar bahwa Ibu datang, sangat bahagia sekali. Akhirnya, ibu datang untuk mengunjungiku. Ustazah pun yang mendengar langsung mengizinkan keluar menemui Ibu.
Dengan wajah begitu kegirangan aku berjalan mengikuti ustaz Aris.
“Oh ya, Anti dari mana?” tanya ustaz Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badan melihatku.
“Dari Lombok utara, Ustaz,” jawabku.
“Jauh sekali, Desa mana?”
“Desa Angan, Ustaz.” Aku menjawab dengan suara sedikit ragu.
“Kamu punya saudara?”
“Tidak, ana anak tunggal. Tidak ada saudara.”
“Oouuhh.”
Ustaz Aris bertanya dengan penuh akrab kepadaku. Bahkan, saudaraku pun ditanya oleh beliau. Sebisa mungkin aku menjawab pertanyaan beliau.
Dari kejauhan, kulihat Ibu yang duduk di depan teras pondok santriwati. Aku segera menghampirinya yang sedang duduk sendiri menunggu.
“Ibu,” tegurku menyapa Ibu dengan tersenyum lebar. Betapa rindunya aku dengan ibu. Hari itu juga terbayar dengan kedatangan beliau.
“Ya Allah. Nak.” Ibu kini memelukku erat.
“Kamu apa kabar? Ibu kangen sama kamu. Ibu kira kamu akan pulang? Tapi, ternyata tidak, memangnya kamu nggak diliburin.”
“Maaf, Buk. Di pondok banyak acara, makanya Manda nggak pulang waktu libur semester kemarin. Tapi, nanti kalo libur semester kenaikan kelas. Insya Allah Manda pulang, Buk.”
Bagaimana pun juga ibu menyembunyikan sedihnya, tetap saja genangan air mata mengelilingi netranya terlihat jelas. Namun, aku sebagai anak berusaha untuk meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja di pondok.
Padahal jika berkata jujur, betapa rindunya aku kepadanya dan kampung halaman. Apalagi selama sepuluh bulan aku belum pulang semenjak dititipkan dipondok pesantren. Seperti orang tua lainnya, Ibu membawakan makanan dan uang jajan untukku.
Selama di pondok aku jarang dikunjungi oleh Ibu, tetapi aku masih punya teman-teman baik yang mau selalu berbagi bersama. Untuk melepas rasa rindu, aku dan ibu sempat berbincang lama dan membicarakan keadaan kampung yang lumayan lama tidak pernah kulihat.
“Ya sudah, Ibu pulang dulu, ya? Kamu baik-baik di sini, rajin-rajin belajarnya.” Seraya ibu mengelus puncak kepalaku dengan lembut.
“Iya, Buk. Terima kasih sudah mau jenguk,” jawabku kepada ibu sebelum beliau pulang meninggalkanku.
******
Siang hari semua santri lainnya sibuk dengan kesibukan masing-masing. Sementara aku yang sedang berada di musholla sibuk meghafal ayat-ayat suci al-qur’an. Dengan kekhusuan menghafal, Salsa datang mendekati dan menggangguku.
“Da. Kayaknya?” Salsa duduk di dekatku seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi agak ragu.
“Mmm ... Apa!” jawabku.
“Kayanya ... ?? Ustaz Aris itu ... suka sama antum?” kata Salsa berada didekatku.
Sontak perkataan Salsa seperti itu jelas membuatku taget. Dan merasakan jika tenggorokanku tiba-tiba terasa terselak oleh sesuatu. “Uhuk ... Uhuk ... Uhuk!! antum apa-apaan sih, Sa.” Aku mendorong Salsa yang berada didekatku.
“Kok apa-apaan sih? Antum nggak lihat cara ustaz Aris nglihat antum. Tajem banget! Semenjak pertama masuk kelas kita, antum aja yang di tanya nama. Terus ... pas kita lihat makhluk halus, nggak sengaja Allah mempertemukan antum lagi sama dia. Terus ... saat Ibu antum datang, yang manggil dia juga. Terus ... ??” Salsa menggerak-gerakkan tanggannya berbicara di hadapanku. Itulah ciri khas temanku yang satu ini, ia sering kali jika berbicara tangannya tidak bisa diam. Terus saja digerak-gerakan.
“Terus apa! Udah! antum jangan aneh-aneh dah Salsa, mana mungkin ustaz suka sama ana. Ingat! kita di sini untuk belajar, ana nggak ngerti sama suka-sukaan juga. Ana nggak ngerti sama namanya cintalah apa itu namanya. Umur ana sama ustaz Aris itu jauh beda. Nggak mungkin!” jawabku agak sedikit kesal dengan tuduhan sahabatku itu.
“Satu hal yang perlu antum tau. Di Dunia ini nggak ada yang nggak mungkin! kalau Allah sudah berkehendak, untuk nyatuin antum sama ustaz Aris, gimana?” Salsa melototin aku dan tetap bersi keras meyakinkanku bahwa ustaz Aris memang seperti berbeda setiap melihatku. Bagiku, apa yang dikatakan oleh Salsa terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Masak iya guru suka sama siswinya. Nggak banget kan.
“Umur ana sama Ustaz Aris itu lumayan jauh. Jadi, nggak mungkin juga.”
“Apanya yang beda jauh, cuman beda enam tahun, kok. Antum 19 dan dia 25,” kata Salsa lagi menjelaskanku dengan yakin.
Mendengar ocehan Salsa terus menyebut ustaz Aris membuatku kesal dan pergi meninggalkannya. Mencari tempat duduk lain agar sahabatku itu tidak mengganggu lagi. Kapan bisa menghafal kalau ia tetap mengganggu.
Aku meneruskan menghafal ayat-ayat al-qur’an, tiba-tiba ustaz Aris pun datang. Aku dan santriwati lain di suruh untuk berkumpul saat semua berpencar duduk.
Siang itu pun penyetoran hafalan al-qur’an akan di awasi oleh ustaz Aris. Biasanya di awasi oleh para ustazah, tetapi hari itu untuk pertama kalinya seorang ustaz tempat para santriwati menyetor hafalan.
Yang terjadi lagi Santriwati yang lain sangat senang ketika tau ustaz Aris mengawasi. Sementara aku antara bahagia atau tidak. Terasa, jantungku berdegup kencang saat tau ustaz Aris tempat penyetoran hafalan hari itu.
Entah gugup yang kurasakan, atau apa mungkin karena belum yakin dengan hafalanku atau bagaimana? Seringkali aku tidak mengerti, dan untuk kedua kalinya aku harus merasakan detakan jantung yang berdegup kencang. Bingung sendiri jadinya.
“Manda, lihat deh? Ustaz Aris merhatiin antum lagi tuh,” ucap Salsa mulai menggodaku lagi.
Rasanya, aku pingin jambak sahabatku itu. Gara-gara dibilang ustaz Aris sering merhatiin aku. Perasaan tidak karuan datang lagi, padahal aku tidak tau tentang bagaimana adanya rasa kepada seseorang.
Aku tidak mengerti tentang cinta? Walau sering kali mendengarnya, tetap saja aku tidak pernah pacaran atau tau arti dari kata tentang rasa kepada seseorang.
Satu persatu santriwati maju untuk menyetor hafalan. Setelah selesai menghafal, aku pun maju untuk menghafalkan ayat-ayat yang sudah dihafalkan.
Sesekali ustaz Aris tersenyum saat aku mulai menghafal ayat-ayat al-qur’an. Aku berusaha biasa-biasa saja menanggapi senyuman beliau. Barangkali ... senyuman beliau hanya suatu keramahan untuk para santriwatinya saja.
“Bismillah hirrohmanirrohim,” ucapku.
“Sebentar dulu, nama anti Manda siapa?” tanya ustaz Aris kepadaku.
“Imanda Ramdhani.”
“Ya sudah. mulai hafalannya.”
“Bismillah hirrohmanirrohim, Aaaam’mayatasa alun ... anin na’bail azim,” Aku menghafal surat An-naba sampai dengan selesai.
Setelah selesai menghafal, aku balik ke tempat duduk. Dan lagi lagi Salsa datang menghampiri dan menggodaku.
“Ana bilang juga apa, Da. Dia senyum lagi ‘kan sama antum.” Salsa menggodaku lagi, dengan menyenggol-menyenggolkan pundaknya ke aku, seraya cekikan sendiri.
Karena sangat kesal digoda terus, aku pun pindah duduk untuk menghindari jahilnya seorang Salsa. Jika tidak ada orang sudah kujambak habis-habisan dia.
******
Selesai menyetor hafalan, aku dan santriwati lainnya keluar dari musholla. Menuju kamar untuk menaruh mukenah. Lalu para santriwati pun berkumpul bersama untuk makan siang seperti biasanya. Begitu juga denganku yang ikut menuju dapur untuk makan.
Dan tentunya aku tidak lupa selalu bersama Salsa. Walaupun kadang Salsa sering membuatku kesal. Namun, aku menyayanginya sebagai sahabat. Kami berdua pun asyik menyantap makanan siang itu.
Siang itu pula, saat semua santriwati dengan tenangnya menyantap makanan masing-masing. Ustaz Aris lewat di hadapan santriwati-santriwati yang sedang makan.
Kemunculan ustaz Aris bahkan membuat semua santriwati langsung gagal fokus untuk menyantap makanan masing-masing. Semua mata tertuju kepadanya, kecuali aku yang hanya kesal dan buang muka untuk melihatnya.
Yang masih aku bingungkan, kenapa sih semua sangat mengagumi sosok seorang ustaz Aris. Bahkan Salsa sahabatku langsung salah tingkah juga melihatnya seperti santriwati yang lainnya.
“Ya Allah ... sumpah! ganteng banget?”Salsa mulai menggerumu, salah tingkah saat melihat ustaz Aris.
Sedangkan aku yang melihat tingkah sahabatku itu terasa ingin muntah. Pikirku bahwa semua teman-temanku genit dan kecentilan. Yang tidak bisa melihat laki-laki tampan langsung ngiler. Aku pun meneruskan memakan nasi. Tidak perduli dengan santriwati yang lainnya membicarakan ustaz Aris.
“Manda,” terdengar suara dari belakang yang memanggil namaku.
Yang tadinya aku akan memasukkan nasi kemulut, mengurungkan dan melepas nasi dari tanganku.
Aku kini menoleh ke belakang, sebuah tangan yang menjulurkan ayam goreng di hadapanku. Aku membalikkan badan, dan yang memberikan sepotong ayam adalah ustaz Aris.
“Ambil,” ucap ustaz Aris.
Aku hanya menganga melihat ayam yang diberikan kepadaku. Jantungnya terasa berdegup kencang lagi dan untuk ketiga kalinya membuatku hanya terdiam melihat sosok laki-laki tampan berwajah Arab sudah di hadapanku memberikan sepotong ayam.
“Syuk ... syukron, Ustaz.” aku berterima kasih kepadanya lalu ia pergi setelah memberikan sepotong ayam kepadaku.
“Kenapa antum yang dikasih, Da?” tanya Salsa dengan heran.
“Mana aku tau,” jawabku lagi.
“Ana juga bilang apa. Dia kayaknya suka sama antum.” Salsa sumringah dengan menggodaku.
Aku yang tadinya biasa-biasa saja, mulai kesal dengan Salsa yang menggodaku tentang ustaz Aris lagi. Ternyata, dan tidak lama kemudian. Ustaz Aris balik lagi untuk membagikan para santriwati sama-sama sepotong ayam goreng.
Melihat semua itu merasa kaget. Kenapa semua santriwati lainnya juga dibagikan. Aku mengira hanya aku saja yang dikasih.
Aku berusaha untuk melanjutkan memakan nasiku. Menyembunyikan rasa kesal. Tapi, kenyataannya semua santriwati dibagikan.
“Hahahahaha ... kayaknya tanggepan na yang satu ini salah deh, Da.” Salsa tertawa lepas di dekatku.
“Siapa suruh antum nebak-nebak orang suka sama ana. Itu ‘kan, sudah jadi bukti! bukan ana saja yang di kasih. Tapi ... semua santriwati lainnya!” jawabku kepada Salsa seraya cembrut.
Aku berusaha untuk menyembunyikan kekecewaan dan rasa kesalku kepada ustaz Aris.
Kejadian itu pula menjadi bukti nyata bahwa dugaan Salsa kepada ustaz Aris yang menyukaiku. Salah!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
melniss
hai thor aku mampir nih..!! dan udh ku like!! feedback novelku jg y "Park hidding Love"
2020-03-22
1