Menunggu kepulangan

Satu minggu sudah, semester telah berlalu. Akhirnya hari yang kutunggu datang juga.

Di mana aku meminjam handphone di salah satu ustazah untuk menelpon ibu. Aku berharap bisa pulang secepatnya.

Ustazah pun memberikanku meminjam handphone, tanpa menunggu waktu lama aku menelpon ke rumah.

“Hallo. Assalamu’alaikum, Bik Mah?” ucapku kepada Bik Mah, yaitu tetanggaku.

“Wa’alaikumsalam, Ini siapa?” jawab Bik Mah.

“Ini Manda, Bik. Bik, minta tolong. Tolong ke rumah, ya, saya mau ngomong sama, Ibu.”

“Oouuhhh, iya, Manda. Bibik kasih Ibu mu handphonenya dulu."

Rumah bik Imah tidak jauh dari rumahku, hanya berjarak 2 rumah saja. Setiap menelpon ibu, aku selalu menelpon lewat Bik Imah. Bik imah begitu sangat baik kepadaku dan ibuku. Sebenarnya, di rumah juga ada handphone. Tapi ... saat ingin menelpon tidak bisa dihubungi. Makannya telpon lewat Bik Imah.

 

Dulu, waktu belum sekolah di pesantren. Jika kesulitan apa pun atau ibu ingin meminta tolong ia yang selalu menolong kami. Intinya, Bik Imah itu sangat baik sekali. Tidak lama kemudian, ibu menjawab telpon dariku.

 

“Hallo, Da. Assalamu’alaikum,” ucap Ibu.

“Wa’alaikumsalam, Buk. Ibu, ulangan semesternya sudah selesai. Satu minggu kemudian aku akan mulai libur, mungkin minggu depan pembagian rapot.” aku memberitahu ibu dengan penuh semangat.

“Iya, sudah. Satu minggu ke depan Ibu jemput kamu, Nak.”

“Iya, Buk. Sudah dulu, ya, Buk. Manda mau balikin handphonenya, Ustazah.”

“Oya, Da. Kenapa kamu nggak telpon lewat hape kamu saja?”

“Hapenya nggak aktif di hubungi, Buk. Makanya Manda telpon lewat Bik Mah.”

“Oouuhh, mungkin habis baterai. Ibu tidak sempat lihat, karena lagi kerja di dapur.”

“Iya, Buk. Nggak apa-apa, sudah dulu ya, Buk. Manda mau balikin handphonenya ustazah. Assalamu’alaikum,” kataku menutup telpon setelah selesai berbicara dengan ibu.

Selesai menelpon dengan ibu, aku mengembalikan handphone ustazah. Lalu pergi menuju dapur untuk mengambil makanan.

Suasana siang, panas. Tapi aku tetap menikmati makan siangku seperti santriwati lainnya.

“Darrr ...,” Salsa menepuk ke dua punggungku dari belakang.

“Iiihhh ... antum ini naget-nagetin aja kerjaannya," ujarku dengan wajah marah.

“Afwan, gitu aja marah. Nihhh balesan surat dari Abinya sntum.” Salsa memberikanku surat balasan dari ustaz Aris. Aku dengan cepat langsung mengambilnya dari tangan sahabatku itu dan membuka surat tersebut.

[Assalamu’alaikum warahmatullahhi wabarokatuh. Maaf, baru bisa bales sekarang surat anti. Masalah pertanyaan anti?? Ana nggak tau harus bilang apa lagi. Bagi ana surat itu sudah sangat jelas. Bahwa ana menyukai anti, semuanya terserah anti entah mencintai ana atau tidak. Oya, besok pas pulang ke Lombok utara mau tidak ana antrin. Tolong di balas lagi surat ini, salam manis dari ustaz Aris.]

Isi surat dari ustaz Aris membuatku terkejut. Tertulis disurat tersebut bahwa ia ingin mengantarku? Di sisi lain juga, sebenarnya aku ingin.

Namun, aku sudah menelpon ibu untuk menjemput dan tidak mungkin juga aku mau. Aku takut jika ada teman-teman yang melihat kedekatan kami nantinya.

Hubunganku begitu sangat sulit sekali untuk dilakukan membuatku kadang bingung. Jika ingin berkomunikasi kami harus melalui surat. Bahkan, aku juga ragu tentang perasaan ustaz Aris kepadaku. Ini saja baru kiriman surat beberapa kali dan dikasih sesuatu olehnya sudah membuat beberapa santriwati curiga kepadaku.

Kata Salsa, waktu diberikan makanan oleh ustaz Aris saja aku dibilang sering nglirik makannya dikasih makananan. Aku yang mendengar hal itu merasa tidak enak. Rasa takut sering menghantui pikiranku, takut jika ada yang tau tentang hubungan yang secara sembunyi-sembunyi dengan guruku sendir. Walau pun aku ragu dengan perasaan ustaz Aris, tetapi isi suratnya sudah mengatakan bahwa dia mempunyai rasa kepadaku.

“Antum kenapa?? Bengong aja kerjaannya, habisin dulu nasi, antum.” Salsa menegurku sambil mengunyah nasi yang ada di mulutnya.

Aku hanya diam tidak menjawab teguran dari Salsa. Nafsu makanku saja terasa hilang seketika waktu itu, gara-gara memikirkan ustaz Aris.

Awalnya aku merasa senang juga ingin diantarkan pulang. Namun, rasa senangku berubah menjadi rasa khawatir menghantui diriku yang berhubungan secara diam-diam dengan Ustaz Aris. Aku merasa bersalah melakukan semua itu, aku takut jika kedekatan kami akan jadi masalah nantinya di pondok.

.

“Manda. Manda ...,” Salsa melambaikan tangannya di depan mataku. Hingga aku dibuat terkejut, dan lamunanku pun langsung hilang begitu saja.

“Iihh, antum apa-apaan sih?”

“Abisin nasi antum, kasian itu nasi donga antum yang lagi bengong dari tadi!" Salsa menasehatiku dengan suara sedikit keras.

“Antum saja yang habisin nasinya.” Aku menjawab Salsa dengan wajah murungku.

“Antum kenapa? Kasih tau ana? Memangnya ustaz Aris bilang apa lewat surat tadi?” tanya Salsa lagi penasaran.

“Nggak ada, sih, Sa. Tapi ... ana bingung, Salsa. Ustaz Aris mau antrin pulang besok pas libur. Sementara, ana sudah telpon Ibu untuk jemput ke sini.”

“Bagus dong? Ya sudah, biarin aja ibu antum ke sini jemput. Besok pas beliau ke sini, kasih tau Ibu antum. Suruh aja Ustaz Aris anterin antum sama ibu antum. Beres ‘kan.” Salsa memberikanku saran.

“Tapi, kan ...?” aku terdiam sejenak.

“Sudah, nggak usah pake tapi-tapi. Bales suratnya sekarang,” kata Salsa menepuk sebelah pundakku.

Tanpa di sadari, percakapanku di dengar oleh ustazah Nisa. Salah satu Ustazah yang mengajar kami di pondok juga. Aku melihat ustazah Nisa sudah berdiri dibelakang kami. Aku tidak tau apakah ia mendengar percakapanku dengan Salsa atau tidak. Ia tidak menegur kami, tapi wajahnya seperti mencurigai kami.

 

Di saat aku merasa Ustazah Nisa mencurigai kami. Aku berusaha menepis perasaan seuzon terhadap guruku itu.

 

Selesai makan, aku dan Salsa lalu balik ke kamar santriwati.

Aku berusaha mencari tempat yang nyaman untuk membalas surat ustaz Aris.

Tanpa disadari, aku yang fokus menorehkan kata-kata di tegur oleh temanku.

“Antum nulis apa, Da?” tanya Erin teman seangkatanku.

“Mmm. Nggak ada kok, cuman mau nulis sesuatu aja.” Dengan wajah kaget dan khawatir, aku berusaha menyembunyikan surat tersebut dari Erin.

Karna Erin bertanya dan memperhatikanku menulis. Aku cepat-cepat keluar dari kamar, mencari tempat nyaman untuk duduk.

Di pondok tempatku menggali ilmu ini, di tumbuhi oleh beberapa pohon besar. Aku bahkan memilih pohon besar tersebut untuk berteduh dan membalas surat dari ustaz Aris, yang tidak jauh dari kelas para santriwati.

Hanya butuh waktu 10 menit untuk merangkai kata. Tanpa menunggu lama aku bergegas mencari Salsa ke kamar. Saat balik ke pondok, secara tidak sengaja aku bertemu dengan ustaz Aris.

Ya Allah ... sorotan mata terlihat jelas di matanya. Ketika siang itu, sinar matahari tertuju kepadaku dan ustaz Aris. Silaunya sinar matahari membuatku untuk menjaga pandangan dari tatapan tajam. Aku takut, jika akan menjadi dosa bagiku dan ustaz Aris nanti.

“Kamu ... mau ke mana?” tanya ustaz Aris berdiri tepat dihadapanku.

Tanpa menjawab apa-apa, aku menjulurkan surat di hadapannya. Ia juga dengan cepat mengambil surat yang aku berikan.

“Afwan, Ustaz. Ana harus pergi. Assalamu’alaikum,” Aku cepat pergi meninggalkannya menuju pondok santriwati. Dengan detakan jantung berdegup kencang ketika aku bertemu dengannya secara tidak sengaja.

Selama ini aku hanya menitipkan surat lewat Salsa sahabatku, tetapi kini aku harus memberikannya langsung. Dengan perasaan yang tidak karuan.

“Hei, antum dari mana?” tanya Salsa menghadangku ketika akan masuk ke kamar.

“Hmm. Habis dari sana,” jawabku kepada Salsa menolehkan sedikit kepala dengan perasaan gugup. Aku meninggalkan Salsa begitu saja yang masih berdiri di samping pintu kamar santriwati.

Walau pembagian rapot tinggal satu minggu, tapi aku sudah mulai merapikan pakaian-pakaian yang akan di bawa pulang. Barangkali, jika ibu datang tiba-tiba menjemput aku tinggal mengambil tas saja tanpa harus tergesa-gesa merapikan semuanya.

“Kok cepet banget, kamu rapiin baju, Da?” tanya Salsa.

Aku hanya tersenyum hambar mendonga Salsa, Salsa pun duduk di dekatku. "Aku pasti kangen sama antum, apalagi kita sering bareng selama di pondok."

Aku yang mendengar perkataan Salsa, memanyunkan mulut.

“Kamu apa-apaan sih? Kata-kata antum kayak kita mau berpisah, yang nggak bakalan ketemu lagi.”

“Heee, iya, tapi tetep aja kamarnya berpisah untuk beberapa minggu, Manda.” Salsa mencubit pipiku.

“Lebay antum, udah ana mau mandi dulu. Terus ... ke musalla.” Aku lalu memasukkan baju-baju terlebih dahulu ke dalam tas.

Lalu aku dan Salsa pergi ke kamar mandi untuk bersiap\-siap ke musalla.

Episodes
1 Prolog
2 Kelulusan Sekolah
3 Masuk pesantrenan
4 Awal Pertemuan
5 Perasaan membingungkan
6 Perasaan yang mulai muncul
7 Menunggu kepulangan
8 Berkunjung ke rumah
9 Membantu Ibu
10 Gugup
11 Perasaan Bahagia Tapi Khawatir
12 Jemput
13 Khawatir
14 Mulai curiga
15 Kepedulian
16 Rasa Takut
17 Cemburu
18 Gosip Beredar
19 Sedikit Lega
20 Merasa Tidak Enak
21 Lelah
22 Bingung, marah dan kesal.
23 Untuk pertama kalinya
24 Kaget
25 Teguran yang menyakitkan
26 Ingin segera menikah
27 Libur tiba
28 Suasana di pedesaan
29 Kesal dengan sahabat
30 Kepulangan saudara Ustaz Aris
31 Bersih-bersih
32 Gelisah
33 Di hina
34 Putus asa
35 Kesembuhan
36 Teringat
37 Keinginan Ibu
38 Niat Bekerja
39 Lamaran Pekerjaan
40 Pertemuan Mengejutkan
41 Kedatangan dan Perdebatan
42 Kedatangan Ibu dan Perdebatan
43 Mencoba membujuk Ibu
44 Kebingungan
45 Diizinkan
46 Kenyamanan
47 Mengambil Keputusan
48 Rasanya Berat
49 Pertemuan Lagi
50 Gelagapan
51 Mengejutkan
52 Melepas rindu dengan sahabat
53 Menginap
54 Ustaz Aris lagi.
55 Berkunjungnya sahabat
56 Kesal dan Dilema
57 Gelisah
58 Mencoba jujur
59 Curhat
60 Hadiah Tanpa Pengirim
61 Bertemu
62 Perasaan Hampa
63 Memberanikan Diri
64 Teringat Kembali
65 Takut dan Khawatir
66 Makan Bersama
67 Penasaran
68 Bertemu
69 Pertemuan
70 Khawatir
71 Ketauan Juga
72 Sampai Juga
73 Merasa Bodoh
74 Mimpi
75 Kepikiran
76 Mengejutkan
77 Membahas Ustaz Aris
78 Permohonan
79 Minta Pendapat
80 Terkejutnya Ibu
81 Berdebat Dengan Ibu
82 Kedatangan Tiba-tiba
83 Curhat
84 Rencana
Episodes

Updated 84 Episodes

1
Prolog
2
Kelulusan Sekolah
3
Masuk pesantrenan
4
Awal Pertemuan
5
Perasaan membingungkan
6
Perasaan yang mulai muncul
7
Menunggu kepulangan
8
Berkunjung ke rumah
9
Membantu Ibu
10
Gugup
11
Perasaan Bahagia Tapi Khawatir
12
Jemput
13
Khawatir
14
Mulai curiga
15
Kepedulian
16
Rasa Takut
17
Cemburu
18
Gosip Beredar
19
Sedikit Lega
20
Merasa Tidak Enak
21
Lelah
22
Bingung, marah dan kesal.
23
Untuk pertama kalinya
24
Kaget
25
Teguran yang menyakitkan
26
Ingin segera menikah
27
Libur tiba
28
Suasana di pedesaan
29
Kesal dengan sahabat
30
Kepulangan saudara Ustaz Aris
31
Bersih-bersih
32
Gelisah
33
Di hina
34
Putus asa
35
Kesembuhan
36
Teringat
37
Keinginan Ibu
38
Niat Bekerja
39
Lamaran Pekerjaan
40
Pertemuan Mengejutkan
41
Kedatangan dan Perdebatan
42
Kedatangan Ibu dan Perdebatan
43
Mencoba membujuk Ibu
44
Kebingungan
45
Diizinkan
46
Kenyamanan
47
Mengambil Keputusan
48
Rasanya Berat
49
Pertemuan Lagi
50
Gelagapan
51
Mengejutkan
52
Melepas rindu dengan sahabat
53
Menginap
54
Ustaz Aris lagi.
55
Berkunjungnya sahabat
56
Kesal dan Dilema
57
Gelisah
58
Mencoba jujur
59
Curhat
60
Hadiah Tanpa Pengirim
61
Bertemu
62
Perasaan Hampa
63
Memberanikan Diri
64
Teringat Kembali
65
Takut dan Khawatir
66
Makan Bersama
67
Penasaran
68
Bertemu
69
Pertemuan
70
Khawatir
71
Ketauan Juga
72
Sampai Juga
73
Merasa Bodoh
74
Mimpi
75
Kepikiran
76
Mengejutkan
77
Membahas Ustaz Aris
78
Permohonan
79
Minta Pendapat
80
Terkejutnya Ibu
81
Berdebat Dengan Ibu
82
Kedatangan Tiba-tiba
83
Curhat
84
Rencana

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!