Tiga hari berlalu. Alhamdulillah kakiku sudah sembuh dari rasa sakit. Bengkaknya pun sudah mulai berkurang.
Aku bisa mengikuti pelajaran seperti biasanya. Semenjak Ustaz Aris membawaku ke rumah sakit. Pening di kepalaku pun juga hilang.
Perhatian Ustaz Aris pun kepadaku semakin bertambah saat aku megalami sakit kemarin.
Di sore hari dengan suasana pondok yang bersih membuatku terfikir untuk jalan-jalan di sekeliling pondok santriwati. Maklum saja, selama berbaring tiga hari di tempat tidur membuatku begitu jenuh.
Hingga akhirnya, aku berkeinginan untuk meringankan kakiku.
Dan tumben\-tumbenan aku tidak bersama Salsa. Biasanya aku sering ditemani oleh sahabatku itu. Tapi entah kemana, sore ini aku tidak melihat batang hidungnya sama sekali.
Aku melewati matbah yaitu dapur. Kulihat dari luar ada beberapa santriwati di dalam dapur. Dan si bibik yang sering masak buat kami juga ikut berkumpul bersama teman\-teman yang lainnya.
Aku pun tertarik untuk masuk dan ikut bergabung bersama mereka. Aku melangkahkan kaki menuju untuk masuk.
Entah apa yang kudengar. Bibik dan santriwati lainnya menyebut nama Ustaz Aris dan Ustazah Nisa. Aku sempat kaget saat mendengar nama laki\-laki yang akan berjanji menikahiku itu disebut.
Aku hanya berdiri mendengar percakapan mereka. Dan mengurungkan niatku untuk masuk dapur.
Hatiku terasa sakit saat mendengar bibik bercerita jika Ustaz Aris dan Ustazah Nisa akan dijodohkan oleh mudir.
Dadaku terasa bergemuruh seketika. Pipiku tiba\-tiba basah seperti ada air yang mengalir pelan.
Sesekali aku masih tidak percaya dengan apa yang kudengar sendiri. Tapi inilah kenyataannya.
Untuk pertama kalinya aku merasakan suka kepada seorang laki\-laki. Apakah mungkin yang kudengar ini beneran atau bibik hanya membuat cerita saja.
"Bibik nggak bohong 'kan. Masak iya Ustaz Aris mau dijodohkan dengan Ustazah Nisa?" tanya Ica yang berada di dalam. Aku pun mendengar pertanyaan teman seangkatanku itu.
"Iya. Orang bibik denger dan lihat sendiri mudir, Ustaz Aris, Zah Nisa dikumoukin di ruang tamu. Tapi ... Ustaz Aris sepertinya tidak mau dijodohkan," jawab bibik lagi seraya memotong kacang panjang.
Begitu penasarannya aku. Begitu khawatirnya diriku mendengar laki\-laki yang kicintai akan dijodohkan.
Dan alhamdulillah. Rasa sakit di dadaku hilang ketika aku mendengar bahwa Ustaz Aris tidak mau dijodohkan.
Aku hanya bisa berdoa. Semoga apa yang kudengar tidak akan pernah terjadi. Aku tidak mau jik Ustaz Aris harus menikah dengan wanita lain.
Ia sudah berjanji kepadaku. Aku yakin ia tidak akan lupa dengan janjinya.
*******
Begitu banyak bintang yang bertebaran di atas sana. Menghiasa langit dan menerangi malam yang begitu sejuk.
Santriwati dan termasuk aku melakukan latihan pidato atau ceramah yang di lakukan tiga kali seminggu. Malam ini tepatnya malam jum’at. Giliranku untuk menyampaikan pidato.
Yang jadi juri adalah mudhabiroh. Walaupun mereka jadi juri tetapi mereka juga tetap melakukan latihan pidato seperti kami. Bagaimanapun juga, mereka masih belajar sama sepertiku.
“Manda Ramdhani,” panggil mudhabiroh Puji. Aku maju dan naik ke panggung sederhana yang sudah disiapkan.
“Bismillahhi rohmanirrohim, Assalamu’alaikum warahmatullahhi wabarokatuh. Alhamdulillah alhamdulillah alhamdulillahhirobbil alamin, wassalatuwassala mu’ala asrofil anbiya iwal mursalin. Sayyidina muhammadin wa’ala alihi wasohbihi ajma’in am’ma ba’du. Sebelumnya, saya berterima kasih karena sudah di berikan kesempatan untuk menyampaikan pidato singkat saya ini. Pada malam ini saya akan menyampaikan ceramah singkat yang berjudul Berbakti kepada kedua orang tua. Berbakti kepada kedua orang tua bukanlah hal asing untuk kita dengar. Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada sesama manusia, begitu juga dengan orang tua kita. Kita yang setidaknya membalas kebaikan beliau yang sudah membesarkan kita hingga bisa tumbuh seperti sekarang ini.”
Ketika aku sedang menyampaikan pidato, tiba-tiba Ustaz Aris datang dan berdiri di belakang barisan santriwati yang sedang duduk. Kehadirannya jelas membuatku gugup, hingga yang tadinya aku menyampaikan pidato dengan baik.
Kini berubah menjadi keadaan gugup dan hati mulai berdegup dengan kencang.
Aku terdiam sejenak, keringat terasa bercucuran di belakang punggungku. Terlihat jelas Ustaz Aris tersenyum melihatku seraya memberikan semangat mengangkat sebelah tangannya memberi semangat.
Aku menarik nafas panjang mulai melanjutkan pidatoku
“Namun, di zaman sekarang ini banyak yang kita lihat anak tidak bisa menghargai orang tuanya. Sampai-sampai banyak anak melawan bahkan menjadikan orang tuanya seperti pembantu. Ini secara nyata, bisa kita lihat di sekeliling kita. Jika sudah menjadi orang sukses. Banyak sekali yang menjadikan orang tuanya seperti pembantu, seperti babu. Na’uzu billahhimin zalik. Padahal jika kita tau, orang tua dulu melindungi kita sewaktu masih kecil, beliau yang takut jika kita terkena panas, beliau yang takut jika kita terluka, beliau sedih jika kita kenapa-kenapa sewaktu masih kecil dulu. Masya Allah, tidak bisakah kita membalas budi mereka, padahal sudah jelas-jelas di dalam Al-qur’an pun kita di larang untuk tidak mengatakan perkataan kasar juga kepada orang tua. Tapi entah kenapa, banyak di antara kita tidak bisakah berkata lemah lembut di hadapan kedua orang tua yang selama ini menyayangi kita sepenuh hati. Marilah saudara-saudara ku, perbaiki hubungan kita dengan orang tua. Ingat lah betapa besarnya pengorbanan beliau membesarkan kita di dunia ini.” Itulah sepenggal ceramah dariku.
Selesai menyampaikan ceramah. Aku pun turun dari panggung, teman-teman juga memberikan tepukan tangan untukku. Begitu juga dengan Ustaz Aris yang masih berdiri memberikan tepuk tangan untukku sambil tersenyum lebar.
Aku dibuatnya tersipu malu menundukkan kepala, lalu duduk kembali bersama santriwati lainnya.
Giliran santriwati yang lain pun di panggil. Aku juga menyaksikan santriwati yang lain sedang berpidato.
Keasyikanku pun diganggu oleh Ustaz Aris saat ia memanggiku. Bukan hanya aku saja yang di panggil. Melainkan Salsa sahabatku juga di panggil.
Perlu apalagi ia memanggilku dengan suasan yang tidak tepat seperti ini.
“Manda. Manda!” panggil Ustaz Aris dari belakang.
“Ukhti Manda di panggil tuh sama, Ustaz.” Aku di beri tahu oleh salah satu adik kelas yang tepat berada di belakangku.
Aku membalikkan badan, mengangkat alis melihat Ustaz Aris. Dengan hati ragu-ragu aku menghampiri laki-laki yang berbadan tinggi itu.
“Ustaz, ada apa?” tanyaku kepada Ustaz Aris.
“Anti bantuin Ana buat undangan, ajak Salsa juga. Cuman Antum sama Salsa saja, ya? Nanti temuin ana di perpustakaan.”
“Oouuhh ... Na’am, Ustaz. Nanti Ana ke sana, sekarang ini juga, Ustaz?” tanyaku lagi.
“Iya, sekarang. Minta izin dulu sama mudhabiroh.” Ustaz Aris pun pergi duluan ke perpustakaan.
Aku mendekati Salsa, membisikkan untuk mengajaknya ke perpustakaan.
“Ngapain ke perpustakaan?” tanya Salsa.
“Di suruh bantuin Ustaz Aris buat undangan.” Aku membisikkan Salsa lagi.
“Oouhh, sekarang?” tanya Salsa lagi.
“Iya, sekarang.” Jelasku.
“Ya, sudah, minta izin dulu sama Puji di depan.” Suruh Salsa.
Aku pun maju bersama Salsa untuk meminta izin kepada mudhabiroh Puji. Setelah di izinkan kami menuju ke perpustakaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments