“Ustaz Aris jam berapa mau ke sini?” tanya ibu kepadaku.
“Hm, nggak tau, Buk.” Aku membereskan barang-barang yang akan di bawa balik ke pesantrenan.
“Kamu yakin mau berangkat sama Ustaz Aris?” tanya ibu duduk di tepi tempat tidurku.
“Insya Allah, yakin, Buk.” Aku berusaha tersenyum melihat beliau.
“Ibu khawatir, nanti kalau sampai pondok. Terus kamu di lihatin sama teman-teman kamu satu mobil sama Ustaz Aris. Apa tidak menjadi fitnah.” Ibu kini menatapku dengan wajah khawatirnya.
“Insya Allah, nggak akan terjadi hal-hal seperti itu, Buk. Jangan khawatir.” Aku berusaha meyakinkan Ibu, dengan melebarkan senyum di hadapannya.
Semua barang pun siap akan di bawa ke pondok. Tidak lama kemudian terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Ibu dengan cepat langsung keluar dari kamarku melihat siapa yang datang.
Terlintas terdengar suara seseorang memberikan salam. Aku sangat mengenal suara itu, yaitu suara Ustaz Aris. Suara lembut nan halus membuat kakiku melangkah untuk keluar dari kamar dengan raut wajah sangat senang. Saat ustaz Aris datang untuk menjemputku. Siapapun wanita di dunia ini. Jika bertemu dengan seorang laki-laki yang disukai pasti perasaan bahagia akan tetap kita rasakan. Karena itulah kenyataan yang kurasakan saat itu.
Ibu mempersilahkan ustaz Aris untuk duduk dulu. Tidak lupa juga ibu sudah menyiapkan tempat duduk untuk laki-laki yang kucintai tersebut.
“Kamu temenin Ustaz duduk dulu, Ibu mau buat minuman untuknya.” Aku pun di suruh duduk untuk menemaninya. Rasa bahagia dan gugup yang kurasakan ketika itu. Apa hanya aku saja sebagai seorang perempuan, bertemu dengan laki-laki yang kita suka akan merasa gugup. Apakah kalian sama sepertiku?
“Ustaz. Ke sini sama siapa?” tanyaku dengan wajah malu.
“Ya, sendiri,” jawab ustaz Aris.
“Oouuhh,” Aku tersenyum tersipu malu.
Tidak lama kemudian ibu pun datang membawakan teh. Dan menyediakan sedikit kue.
“Di minum dulu, tehnya," ucap ibu kepada ustaz Aris. “Kuenya juga, mumpung masih hangat.”
“Iya, Buk. Terima kasih. Saya ngerepotin Ibu lagi,” jawab ustaz Aris.
“Tidak kok, malahan Ibu senang dan berterima kasih Nak Aris mau jemput Manda lagi untuk balik ke pondok.”
“Ini sudah menjadi tugas saya menjaga Manda, Buk.”
Dan ibu pun mengangguk tersenyum melihat ustaz Aris. Aku berharap ibu tidak curiga. Aku takut jika beliau tau aku dan ustaz Aris punya hubungan. Maka, beliau pasti akan sangat marah dan kecewa. Dan masih sangat sulit untukku menjelaskan semuanya.
Sekitar setengah jam ustaz Aris mengobrol duduk bersama aku dan ibu. Ustaz Aris lalu mengajakku untuk berangkat ke pondok.
“Manda berangkat, Buk. Hati-hati di rumah,” kini pelukan hangat mendekap tubuhku, pelukan untuk anak dari seorang ibu yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun jua.
“Kamu juga hati-hati di jalan sama Ustaz Aris. Rajin-rajin belajar, semoga apa yang kamu cita-citakan bisa terwujud.” Ibu mengelus puncak kepalaku dengan lembut.
“Amin ya rabbal alamin, Buk.” Aku mencium tangan Ibu. Lalu menuju keluar untuk masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan ustaz Aris.
“Assalamu’alaikum,” ucapku dan ustaz Aris kepada ibu ketika sudah berada di dalam mobil.
Aku dan Ustaz Aris berangkat. Untuk ke dua kalinya pun aku duduk di sampingnya lagi.
Tidak bisa dipungkiri aku cukup gemetar berada di dekat beliau. Saat di perjalanan, aku berusaha tidak malu atau pun canggung untuk membahas ini itu bersama laki-laki yang menyukaiku itu. Ustaz Aris bahkan menceritakan hal-hal lucu sehingga membuatku tertawa dengan terbahak-bahak. Aku cukup terhibur. Ternyata, ia begitu baik. Aku bersyukur dipertemukan dengannya.
“Oh ya, Ustaz. Ada yang tau tidak kalau antum jemput ana?” tanyaku menoleh ustaz Aris.
“Insya Allah, tidak ada. Tapi, nggak tau juga nanti pas sampai di pondok,” jawab ustaz Aris menggantung.
“Terus ... ana harus turun di mana, Ustaz. Takutnya nanti mereka ngomongin kalau antum yang jemput ana.” Dengan wajah cemas aku menoleh ustaz Aris yang sedang menyetir.
“Anti tenang saja, tidak usah mikir yang nggak-nggak. Nanti turunnya di pondok lah, kalau anti di tanya kenapa satu mobil. Bilang saja tadi ketemu di jalan, makanya di suruh naik sama Ustaz Aris. Bilang gitu aja alasannya.” Tanpa ada rasa khawatir ustaz Aris meyakinkanku seraya fokus menghadap depan sambil menyetir.
“Hmm.” Aku hanya terdiam menerima nasehat guruku itu. Walau pun nyatanya, aku sedikit takut.
Ada banyak hal yang tidak di beri tahukan ustaz Aris kepadaku. Salsa sebagai sahabatku sempat mendengar cerita kalau sudah ada yang tahu tentang hubunganku dan sudah di curigai oleh Abi Ustaz Aris. Barangkali ustaz Aris menyembunyikan semuanya semata-mata aku tidak takut. Mungkin saja begitu. Dan aku juga tidak mau menegurnya sama sekali atas informasi yang kudengar dari Salsa.
Saat di perjalanan, tiba-tiba saja handphone ustaz Aris berdering. Dengan segera ia pun menjawab telponan tersebut.
“Ya, Wa’alaikumsalam, Zah.” Ustaz Aris menjawab seraya menyetir.
“Ustaz lagi di mana? Pak Kyai nyari?” Terdengar suara perempuan bertanya kepada Ustaz Aris. Entahlah, aku tidak tau pasti. Namun, aku bisa mendengar percakapan ustaz Aris dan seseorang yang menelponnya tersebut.
Mungkin saja ustaz Aris menekan tombol speaker lewat pengaturan handphone-Nya. Sehingga aku bisa mendengarnya.
“Hallo. Aris,” kata seseorang yang bertanya kepadanya.
“Ya, Bi. Kenapa?” tanya ustaz Aris.
Ternyata suara itu adalah suara Mudir. Kepala sekolah pesantrenan dan sekaligus Abinya ustaz Aris.
“Kamu di mana?” tanya Abinya lagi dengan suara sedikit keras.
“Di jalan, Bi. Bentar lagi sampai kok."
“Kamu habis dari mana?” tanya Abinya dengan nada sedikit keras.
“Ke rumah teman, Bi. Tunggu saja dulu,” jawab ustaz Aris dengan menyetir kencang. “Assalamu’alaikum.”
Aku perhatikan ustaz Aris begitu kesal ketika menutup telponan dari Mudir. Apakah Mudir memarahinya atau tidak. Intinya, terdengar nada suara mudir sedikit keras kepadanya.
Setelah selesai telponan. Ustaz Aris menyetir dengan cepat. Sehingga membuatku takut dengan sifat anehnya.
“Ustaz. Pelan-pelan, ana takut!” Dengan suara keras berteriak di dekat guruku itu.
“Maaf, ya, Abi marah. Makanya ana cepat-cepat, anti jangan sedih. Anti tenang dulu, atau tidur aja. Nanti kalau sudah sampai, ana bangunin anti.” Ustaz Aris menyentir lagi dengan pelan kembali agar aku bisa tenang.
Perjalanan yang begitu cukup lama akhirnya terbayar juga. Aku pun tidak menyadari ternyata kami sudah sampai di depan pondok. Bahkan, aku menyadarinya ketika ustaz Aris membangunkanku dari tidur nyenyakku seraya memeluk tas.
“Anti kalau tidur cantik, ya?” kata ustaz Aris tersenyum menggodaku.
“Afwan, Ustaz. Ana ketiduran tadi,” jawabku tersipu malu.
“Anti nggak, turun ?” tanya ustaz Aris.
“Astaga ...! Astagfirullah hal’azim, kenapa antum nggak bilang kalau kita sudah sampai." Aku menganga dan merasa kaget saat melihat santriwati lainnya rame berkumpul bermain.
Aku yang melihat dari dalam mobil, merasa takut untuk keluar dari mobil. Jika dilihat oleh teman-teman nanti entah apa yang mereka katakan kepadaku. Aku bingung?
“Manda,” tegur ustaz Aris lagi memanggil namaku.
“Iya, Ustaz.”
“Ayok, keluar.” Ajak ustaz Aris.
Aku pun mengiyakannya dengan wajah gugup. Seakan aku merasa tidak ingin keluar dari mobil tersebut.
“Ustaz, ana takut rasanya untuk keluar.” Aku menoleh melihat guruku itu dengan wajah cemas.
“Hm, anti tidak usah takut. tidak usah perdulikan kata orang. Oh ya, ana punya sesuatu buat anti, tunggu dulu.” Kali ini, pria yang kukagumi itu mengambil sesuatu. Entah sesuatu apa itu.
“Nih, buat anti. Di simpan, ya ?” Ustaz Aris memberikan sebuah Al-Qur’an kecil untukku. Sebuah al-quran mungil. Yang untuk pertama kalinya aku diberikan oleh seseorang.
“Ini buat ana, Ustaz?” tanyaku.
“Iya, buat anti. Masak buat orang,” jawab ustaz Aris tersenyum lebar melihatku.
Al-Qur’an kecil yang di berikan membuatku sangat senang sekali. Baru pertama kali ini aku di berikan barang seperti itu oleh seseorang. Sebelumnya ia pernah memberikan sebuah boneka untukku. Dan itu pun membuatku tidak akan pernah melupakannya.
Namun, hari ini hadiah Al-Quran kecil buatku sangat berharga untuk di terima dari seseorang yang sangat kusayangi. Dengan memberanikan diri dan di yakinkan oleh ustaz Aris, aku keluar dari mobil.
“Ukhti Manda ..." suara cempreng terdengar memanggil namaku, yaitu Silva adik kelasku.
Aku hanya tersenyum melihat Silva yang memanggilku. Terlihat semua mata tertuju kepadaku ketika keluar dari mobil. Mungkin saja hanya perasaanku saja. Aku berusaha untuk tidak berfikir tidak-tidak kepada teman-temanku.
Berusaha tetap biasa saja saat teman-teman memandangiku dengan aneh.
Saat ustaz Aris akan balik ke pondok santriwan.
Tiba-tiba Mudir yaitu Abinya sendiri datang menegurnya. Yang kini berdiri di depan ustaz Aris. Lantas membuatku yang akan menuju ke kamar santriwati kaget melihat ustaz Aris di tegur oleh Abinya sendiri. Di dalam pikiranku apakah ia akan dimarahi atau tidak?
Sungguh aku sangat takut.
“Aris,” tegur Mudir memanggil Ustaz Aris.
“Abi,” yang tadinya ustaz Aris akan melangkahkan kakinya untuk pergi. Kini berhenti karena harus melihat Abinya berada di hadapannya. Aku pun juga berdiri mematung dari jarak yang tidak terlalu jauh melihat ustaz Aris ditegur oleh Mudir. Aku bahkan mendengar tegur-teguran dari Mudir untuk anaknya itu.
“Kamu habis dari mana?” tanya Abinya.
“Dari teman, Bi. Memangnya ada apa?” Ustaz Aris yang balik bertanya.
“Kenapa kamu sama, Manda. Ada apa dengan kamu?” tanya Pak Kyai.
“Aris barusan ketemu di jalan. Makanya Aris suruh masuk. Dari pada dia harus jalan kaki untuk sampai di pondok, kan kasihan,” jawab ustaz Aris berusaha tenang di hadapan Abinya.
Sementara aku yang melihat Mudir dan ustaz Aris memilih untuk pergi ke kamar santriwati. Pikiranku terus saja takut dan cemas seraya memasukkan baju-baju ke dalam lemari.
“Darr ...!!” Salsa menagetkanku dari belakang, hingga membuatku terkejut.
Untung saja jantungku tidak copot saking kagetnya.
“Antum, ya. nagetin aja!” Dengan wajah marah aku cuek kepada Salsa.
“Hei, antum kenapa? Datang-datang malah mulutnya manyun kaya orang kurang kebagian jatah aja.” Salsa duduk bersandar di dekat lemariku.
“Jatah apa maksud, antum?” tanyaku balik ke Salsa.
“Jatah raskin,” Salsa cekikan sendiri, “antum, kenapa? Ceritain Ana?"
“Nggak ada, kok.” Aku kini duduk merangkul ke dua lututku. "Antum, kapan nyampai di pondok?"
“Kemarin." Salsa memegang sebelah tanganku, “Antum, kenapa? Cerita sama ana. Oh ya, tadi ntum ke sini di anterin sama siapa?"
“Ana ke sini sama Ustaz Aris, Sa.” Aku melihat lurus ke arah jendela menjawab Salsa.
"Apa!” jelas Salsa kaget mendengar perkataanku.
Teman-teman yang berada di kamar tersebut, kaget mendengar Salsa yang berkata apa dengan suara kerasnya.
“Iiihhh, antum apa-apaan sih?” Aku semakin kesal terhadap Salsa yang menanggapi seperti itu.
“Afwan, afwan, keceplosan. Lanjutin ceritanya, antum.”
“Sebenarnya, Ibu mau anterin. Tapi, karena Ustaz Aris sudah datang menjemput. Jadi, ana sama dia,” jawabku membisikkan Salsa.
“Kenapa dia bisa tahu, antum berangkat hari ini? Teruss ... kenapa Ibu antum mau kasih pergi sama Ustaz Aris?” tanya Salsa bingung mendengar ceritaku.
“Antum tau nggak, hampir setiap hari Ustaz Aris nelpon sama sms. Dan dia setiap hari nanyain kapan ana balik ke pondok. Ana kira dia nggak akan datang, tetapi nyatanya dia datang ke rumah mau jemput. Ya sudah, Ibu terpaksa mengizinkan.”
“Parah, ya?” Salsa menyangga dagu dengan wajah terheran-heran.
“Hm, tapi nggak apa-apalah. Intinya ana bahagia ... banget, walau pun ada rasa takut dan khawatir.” Aku sumringah merangkul tangan Salsa dengan wajah berbinar-binar bahagia.
Apakah ini yang namanya cinta?
Hingga tidak perduli dengan ini itu. Masa bodohlah. Intinya aku bahagia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments