Hari ini, aku berniat untuk ke kantin. Membeli makanan yang bisa mengganjal perutku yang sudah dari tadi memberontak karena kelaparan.
Akan tetapi ternyata kantin belum buka. Apa yang harus ku makan hari ini? Aku tidak bisa makan jika dengan lauk telur. Makan telur sangat pantang bagiku. Karena aku mempunyai penyakit alergi.
Aku pun balik arah menuju kamar. Dan langkahku terhenti saat mendengar seseorang memanggil namaku.
“Manda. Manda!” Lantas saja aku membalikkan badan. Yang memanggilku ternyata Ustaz Aris.
Awalnya aku merasa takut menghampiri Ustaz Aris yang memanggilku. Aku takut jika teman-teman akan mengguncing lagi. Sebenarnya melihat aku di panggil dan melihat ia tersenyum membuat hatiku begitu sangat bahagia. Tapi tetap saja aku merasa takut dan khawatir.
Namun, karena ingin bersikap sopan aku pun menghampiri laki-laki yang kusayangi itu.
“Ya, Ustaz.” Aku melemparkan senyuman lebar.
“Kenapa para santriwati pada sepi?” tanya Ustaz Aris.
“Semua santriwati lagi makan,” jawabku lagi kini berdiri di hadapan Ustaz Aris.
“Terus, kalau anti sudah makan?”
“Belum, Ustaz. Lauknya telur, Ana alergi sama telur, Ustaz.” Aku menjawab lagi.
“Oouhh, makanya anti ke kantin tadi?”
“Kok antum tau ana ke kantin?” tanyaku heran.
“Ana lihat anti tadi. Anti mau beli makanan."
“Eee ... iya,” jawabku dengan wajah malu.
Jadi, aku diperhatikan sama dia. Dasar lelaki! tanpa aku sadari dia memperhatikanku.
“Tunggu di sini dulu, nanti ana belikan nasi.”
“Eehh, jangan! jangan, Ustaz. Malu nanti kalau di lihat sama santriwati lainnya,” kataku dengan wajah takut.
“Tidak apa-apa, anti 'kan belum makan. Ana nggak mau lihat anti sakit.” Ia tetap saja memaksa untuk membelikanku nasi.
Aku pun bingung harus menjawab apalagi.
“Ustaz, jangan!!” Aku berusaha tetap melarang Ustaz Aris.
Namun, tetap saja ia tidak perduli denganku yang melarangnya.
Ia tetap saja ingin pergi, sampai\-sampai aku mengejarnya agar tidak membelikan nasi. Ketakutanku adalah hal yang wajar, aku takut jika akan di guncing lagi sama teman. Aku adalah seorang santriwati, jika seorang guru laki\-laki terus saja perduli dengan murid perempuannya secara terus menerus pasti membuat orang curiga.
Dan aku tidak menginginkan hal seperti itu.
“Ustaz! Ustaz ...!!” panggilku mengejar Ustaz Aris.
Sampai aku harus menghadang agar tidak pergi. Sikapku yang ingin mencegahnya memmbuatku harus tersangga oleh batuan kecil.
Badanku terjatuh begitu saja dan aku tidak bisa menopang tubuhku sendiri agar tidak terjatuh. Kejadian yang tidak di inginkan pun terjadi.
“Aduuhh,” kataku terjatuh di belakang Ustaz Aris saat mengejarnya.
“Astagfirulloh hal’azim, Manda.” Ustaz Aris membalikkan badan melihatku yang terjatuh. Laki-laki keras kepala! jika ia mendengarku agar tidak pergi.
Mungkin aku tidak akan mengejarnya dan terjatuh seperti ini. Sakit! yaaa, rasa sakit yang harus kurasakan.
Kejadian yang membuatku terjatuh di lihat oleh beberapa Ustazah termasuk Ustazah Anisa melihatku di hampiri oleh Ustaz Aris. Sungguh. Aku malu.
Kebetulan, santriwati juga baru selesai makan. Kejadian itu juga di lihat oleh santriwati lainnya termasuk sahabatku yaitu Salsa.
Sebagai sahabat Salsa yang melihatku terjatuh langsung cepat-cepat menghampiri.
Sementara Ustaz Aris masih di hadapanku terdiam. Melihat apakah baik-baik saja atau tidak. Rasanya aku ingin menjambaknya karena kesal.
“Anti tidak kenapa-kenapa, 'kan. Ayok bangun,” Ustaz Aris menyuruhku untuk bangun.
“Antum kenapa, Manda?” tanya Salsa menghampiriku dan Ustaz Aris.
Saat ingin bangun, aku meringis kesakitan. Mungkin saja, di sebabkan kakiku keseleo gara-gara tersangga bebatuan.
“Anti bisa bangun?” tanya Ustaz Aris yang berada di hadapanku.
“Iya, Ustaz. Ana bisa, Aaahh ... aduuhh ...,” Aku berusaha bangun meringis kesakitan.
“Ya Allah, Antum kenapa?” tanya Salsa kini memegang tanganku membantu untuk bangun.
“Apa Anti yang sakit?” tanya Ustaz Aris lagi.
“Antum sih, Ustaz. Kaki Ana terasa sakit, Ustaz.” Aku memegang sebelah kaki kananku seraya kesal melihat guruku itu.
“Sepertinya Manda keseleo, Ustaz. Anti nggak bisa bangun Manda?” tanya Salsa lagi kepadaku.
Aku berusaha untuk tetap bangun karena merasa malu sudah di lihat oleh banyak temannya. Seberusaha apapun tetap saja aku merasa kesakitan untuk bangun. Ustazah Erin dan Ustazah Anisa pun menghampiriku yang terjatuh.
“Anti kenapa Manda?” tanya Ustazah Erin kepadaku.
“Habis jatuh, Zah. Kakinya Manda keseleo, nggak kuat untuk berdiri.” Salsa menjawab Ustazah Erin.
“Gimana rasa sakit kaki Anti, nyeri ?” tanya Ustaz Aris. Apa ia merasa takut aku kenapa-kenapa. Entahlah??
“Na’am, Ustaz.” Aku menatap Ustaz Aris.
“Ya sudah, Anti bangunnya di bantu sama Ustazah dan Salsa, ya.” Ustaz Aris lalu meminta Ustazah Anisa dan Salsa untuk membantuku bangun.
Terlihat ia begitu khawatir saat aku meringis kesakitan. Aku merasakan kepeduliannya.
Ustazah Anisa dan Salsa membawaku ke kamar,
“Salsa, Anti tolong olesin kakinya. Kalau Manda kenapa-kenapa kasih tau Ana.” Ustaz Aris memberitahu Salsa ketika akan membawaku ke kamar.
“Na’am, Ustaz. Nanti ana kasih tau kalau Manda kenapa-kenapa,” jawab Salsa dan masih mengiringku untuk ke kamar.
Sesampai di kamar, Salsa pun mengoleskan balsem ke kakiku dengan perlahan.
“Anti kenapa bisa keseleo kakinya?” tanya Ustazah Anisa.
“Mmm ... nggak ada, Zah. Ana cuman jalan, terus tiba-tiba kaki ke sanggah sama batu.” Aku menjawab dengan terbata-bata.
“Tapi, kenapa Anti bisa sama Ustaz Aris?” tanya Ustazah Anisa yang duduk di dekat Salsa yang mengoles kakiku.
“Mungkin karena melihat Manda terjatuh, makanya Ustaz Aris menghampiri Manda, Zah.” Salsa cepat-cepat memberi tahu Ustazah Anisa sebelum aku menjawab.
Aku tau Salsa takut jika aku harus di tanya hal yang tidak-tidak oleh Ustazah Anisa.
Salsa memang tidak tahu pasti kenapa aku bisa terjatuh, dan kenapa bisa bersama Ustaz Aris. Tetapi semenjak Salsa tau Ustazah Anisa dan Ustaz Aris dijodohkan Salsa selalu berusaha menutupi segala hal yang berkaitan denganku dan Ustaz Aris.
Aku tidak tau pasti apakah betul mereka dijodohkan atau tidak. Yang kudengar hanya cerita saja tanpa tau apakah benar atau tidak.
Setelah dua hari berlalu, aku masih merasakan sakit di kaki. Sampai-sampai tidak bisa untuk mengikuti pelajaran seperti santriwati lainnya.
Aku hanya bisa duduk sendiri. Kepalaku pun tiba-tiba terasa sakit. Hingga aku memutuskan untuk tidur saja.
“Manda. Bangun. Mandaa ...."
Aku membuka mata mendengar seseorang memanggil namaku.
Aku terbangun dengan perasaaan yang tidak nyaman. Kepalaku rasanya seperti terkena benturan benda berat. Pening sekali.
"Kita mau bawa anti berobat. Ayok keluar, Ustaz Aris sudah nunggu di luar.”
"Kepalaku sakit, Sa."
Salsa membantuku untuk keluar. Dengan keadaan begitu pusing dan kakiku masih terasa sakit.
“Manda mau di bawa kemana?" tanya Ica teman seangkatanku dan Salsa saat Salsa mambawaku keluar.
“Mau di bawa berobat,” jawab Salsa.
“Sini aku bantu keluar,” kata Ica ikut membantuku keluar.
“Salsa, kita mau ke mana, sih?” tanyaku kepada Salsa.
“Nggak tau, Ustaz Aris. Mau ke tukang urut atau rumah sakit?” Salsa menjawab bingung.
“Jangan ke tukang urut, kaki ana bengkak, Sa.” Aku memberi tau Salsa dengan wajah lesuku.
“Kaki antum bengkak lagi?” tanya Salsa lagi.
“Iya,” jawabku.
“Ya Allah, ya sudah. Jangan di bawa ke tukang urut, suruh Ustaz Aris bawa Manda ke rumah sakit aja.” Cetus Ica memberi tahu Salsa.
“Ya, nanti kita kasih tau Ustaz Aris. Sekarang, ayok keluar. Kasihan Ustaz Aris sudah lama menunggu.” Salsa pun dan Ica membawaku keluar sampai masuk ke dalam mobil.
******
“Kaki Anti masih sakit sekali atau bagaimana?” tanya Ustaz Aris yang menyetir duduk di sampingku.
“Kakinya Manda bengkak, Ustaz.” Salsa memberitahunya.
Ica pun juga di ajak ikut oleh Salsa dan Ustaz Aris supaya ada yang menemaniku. Ia juga tidak ingin santriwati lain membicarakanku kalau hanya aku saja yang di bawa ke rumah sakit. Sehingga, dia mengajak Salsa dan Ica untuk menemaniku.
Setelah sampai di rumah sakit dan di periksa. Dokter pun memberikn obat untukku.
“Nanti minum obatnya, ya? anti juga harus banyak istirahat,” kata Ustaz Aris kepadaku yang sudah di berikan obat oleh Dokter.
“Iya, Ustaz. Terima kasih antum sudah bawa ana ke rumah sakit,” kataku lagi kepada Ustaz Aris.
“Anti mau makan apa?” tanya Ustaz Aris kepadaku ketika akan balik lagi ke pondok.
“Nggak ada, Ustaz. Kita langsung balik saja ke pondok,” jawabku.
“Anti pucat, Manda. Kita berhenti dulu beli makanan, ya.” Ustaz Aris kini berhenti di mini market untuk membelikanku makanan.
Ica mungkin penasaran kenapa Ustaz Aris begitu perhatian kepadaku. Sehingga ia bertanya kepada Salsa.
“Ustaz Aris, perhatian sekali sama Manda,” ucap Ica membisikkan Salsa. Aku pun mendengar walau Ica bertanya dengan cara berbisik-bisik.
“Hee, iya,” jawab Salsa hanya tersenyum kepada Ica.
“Memangnya, gosip tentang Manda sama Ustaz Aris itu, beneran?” tanya Ica membisikkan Salsa lagi. Walau dalam keadaan pusing, aku sedikit takut dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Ica kepada Salsa.
“Nggak tau,” dengan menggelengkan kepalanya, Salsa berusaha tutup mulut tentang hubunganku. Sesekali ku melirik Salsa. Aku takut Salsa menjawab secara keceplosan nantinya.
Ica pun terdiam karena tidak mendapatkan jawaban yang tidak pasti dari Salsa. Dan tidak lama kemudian, Ustaz Aris datang membawa bingkisan untukku. Ustaz Aris menyetir kembali, untuk membawa kami balik ke pondok pesantren.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments