Masuk pesantrenan

Beberapa hari kemudian, aku diajak ke salah satu pesantrenan oleh ibu. Pondok pesantren yang sudah banyak dikagumi oleh beberapa orang.

Pondok pesantren yang terletak di Lombok Barat. Pesantrenan itu pun cukup jauh, tetapi ibu tidak perduli seberapa jauhnya asalkan putri sulungnya ini bisa sekolah di pesantrenan tersebut.

Dengan memakai angkutan umum, butuh perjalanan lama agar bisa sampai ke pesantrenan yang akan dituju. Karena, Lombok Barat dengan Lombok Utara lumayan jauh. Jadi, butuh waktu berjam-jam untuk sampai di kota Mataram.

Aku merasa sangat senang sekali selama perjalanan aku melihat suasana di luar. Setelah lulus sekolah, ini ke dua kalinya aku akan menginjakkan kaki di kota Mataram. Yang penuh dengan keramaian dan banyak sekali pusat-pusat perbelanjaan yang kulihat.

“Kenapa kamu tidak kuliah saja?” tanya ibu kepadaku ketika sedang berada di dalam angkutan umum.

“Aku akan kuliah, Buk. Tapi ... Manda ingin menggali ilmu agama lebih mendalam lagi. Makanya milih sekolah dua tahun dulu di pondok. Nanti kalau sudah jadi Hafizah, semoga bisa melanjutkan kuliah di Universitas Cairo. Doakan, ya, Buk.” Aku berusaha tersenyum lebar menjawab ibu yang duduk di dekatku.

“Amin ya Allah. Semoga cita-cita muliamu bisa terwujud, anakku,” ujar ibu seraya mengelus lembut punggung tanganku.

Empat jam lebih berada di perjalanan untuk sampai di pondok pesantrenan Ar-Rahman cukup melelahkan. Di karenakan Lombok Utara ke Lombok Barat cukup jauh. Belum lagi aku dan ibu memakai angkutan umum sehingga harus lama berada di perjalanan.

Sesampai di pondok pesantren, aku pun menunggu ibu yang masuk untuk menemui pengurus pondok, membicarakan biaya yang akan di gunakan supaya bisa sekolah di sana.

Pesantrenan yang ingin aku masuki ini lumayan luas. Dan santri juga banyak, banyak sekali orang yang mengagumi pesantrenan itu. Banyak yang aku dengar, lulusan pesantren sini banyak yang bisa melanjutkan sekolah di Cairo. Aku yakin tidak ada yang tidak mungkin jika Allah memang berkehendak. Aku harus bisa menggapai mimpiku untuk sekolah di luar negeri sana. Betapa inginnya aku menjadi seorang hafizah dan menjadi seorang Ustazah.

Setelah lumayan lama duduk sendiri menunggu ibu, tiba-tiba saja ibu keluar dengan wajah murung. Tanpa basa basi, ibu langsung mengajakku pulang tanpa berkata apa pun dan hanya diam seperti memikirkan sesuatu. Aku yang melihat ibu seperti terasa tidak berani untuk bertanya. Aku hanya mengangguk saat beliau mengajak untuk pulang. Dan rasanya ragu untuk menegur beliau.

“Ibu. Ibu, kenapa?” tanyaku saat perjalanan untuk pulang.

“Tidak ada,” jawab ibu cepat dengan wajah murung dan seperti menyembunyikan sesuatu.

Rasanya berat untuk sekedar menegur beliau. “Ibu, tadi bicarain apa di dalam sama pengurusnya?” tanyaku lagi dengan penasaran.

“Bicarain bagaimana caranya supaya kamu bisa masuk di sekolah pesantrenan itu." Terlihat jelas ibu seperti berusaha menyembunyikan beban dalam dirinya, “kamu tenang saja, semuanya Ibu yang pikirkan.”

Mendengar perkataan ibu aku hanya bisa berusaha tersenyum di depan wanita yang memakai kerudung coklat itu seraya mengiyakannya. Di dalam pikiranku, apakah biaya masuk pesantrenan itu mahal atau tidak? Aku takut, jika harus membebani ibu gara-gara kemauanku.

Karena, jika ibu terbebani dengan kemauanku. Maka aku akan merasa sangat bersalah kepada ibu.

Di sisi lain aku merasa bingung dengan sikap Ibu, yang hanya diam semenjak pulang dari pondok pesantren Ar-Rahman. Di dalam pikiranku terus dikelilingi pertanyaan apakah biayanya mahal masuk sekolah pesantren? Apakah gara-gara itu ibu terus saja diam tanpa berkata apa-apa??

Ketika malamnya saat aku akan ke dapur untuk mengambil air, kulihat ibu duduk di teras depan rumah.

Aku masih bingung melihat ibu. Dengan perasaan ragu, aku mencoba memberanikan diri dan bertanya. Langkahku terasa berat.

“Buk,” tegurku memecahkan lamunan ibu yang sedang duduk di teras rumah.

Dengan wajah sedikit kaget, ibu seperti berusaha memasang wajah biasa-biasa saja di depanku.

“Loh, kenapa kamu belum tidur?” tanya ibu mendongaku.

“Seharusnya aku yang tanya? kenapa ibu belum tidur juga?” Aku kini duduk mendekatinya.

“Tidak ada, Nak. Ibu tidak bisa tidur.”

“Ya sudah, aku nemenin Ibu di sini.”

“Jangan. ini sudah malam, kamu tidur sana?” kata ibu lagi menyuruhku untuk tidur duluan.

“Nggak mau, Buk. Ibu kenapa? Cerita sama Manda, Buk.” Aku memegang ke dua tangan ibu yang terasa dingin.

“Hemmm ...” Ibu menarik nafas pelan melihatku. “Baik, Ibu akan cerita sama kamu.”

Namun, ibu pun terdiam lagi, karena seperti ada keraguan untuk mengatakan sesuatu di hadapanku. Sikap beliau semakin membuatku penasaran.

“Kok Ibu diam lagi?” tanyaku dengan sedikit kesal.

“Biaya di pondok pesantren itu ... mahal. Ibu bingung? Dari mana akan dapat uang untuk biaya kamu agar bisa sekolah di sana.” Terlihat wajah sedih dari ibu ketika menjelaskan semuanya kepadaku.

Aku yang melihat ibu sedih, merasa bersalah gara-gara ingin sekolah di pesantrenan membuatnya menjadi terbebani karena keinginanku.

“Maaf, Buk. Manda sudah buat Ibu sedih. Gara-gara ingin sekolah di pesantrenan,” ucapku seraya menunduk merasa bersalah kepada ibu.

“Heh, kamu tidak usah minta maaf. Kamu tidak salah apa-apa, ini sudah jadi kewajiban Ibu untuk membiayaimu.”

Tapi alih-alih ibu putus asa. Bahkan beliau berusaha meyakinkanku agar tetap yakin bahwa aku bisa sekolah di pondok. Walau pun sebenarnya berat untuk ia tanggung.

“Buk, kalau gara-gara ini buat Ibu sedih. Manda nggak apa-apa kok, nggak usah sekolah di pondok. Aku akan sekolah di sini-sini aja,” ucapku sedih di hadapan ibu.

“Eh, kamu jangan sedih. Ibu tidak mau lihat kamu sedih seperti ini.”

“Manda nggak sedih, Buk. Tapi ...”

“Ya, sudah. Ayok kita masuk,” ajak Ibu menghentikan ucapanku. “Intinya, insya Allah Ibu akan tetap usahakan agar kamu bisa masuk di pesantren sana.

Ibu pun mengajakku untuk masuk dan tidur karena sudah larut malam.

Jelas sekali ibu berusaha agar tidak membahas masalah biaya sekolah bersamaku. Aku tau karena ia tidak ingin jika aku harus ikut merasakan sedih seperti apa yang dirasakan. Orang tua mana pun, pasti akan tetap berusaha memberikan yang terbaik kepada anaknya. Kebahagian seorang anak juga kebahagiaan orang tua.

Begitu pula, jika seorang anak terluka maka orang tua pun akan merasakan apa yang dirasakan oleh anaknya.

******

Mentari pagi yang begitu cerah, ibu keluar entah kemana tanpa memberitahuku. Aku yang sendiri di rumah, pagi-pagi sudah mencuci baju-baju kotor. Dengan perlahan dan hati-hati aku mencuci baju yang kotor satu persatu.

“Manda ... Manda!” terdengar suara ibu yang memanggilku dari luar.

“Iya, Buk ...” Aku pun melepas cucian untuk menghampiri ibu yang berada diluar.

“Ada apa, Buk?” tanyaku yang melihat ibu berdiri didekat pintu.

“Nak, kamu tau. Besok ... kamu jadi sekolah di pesantrenan,” ucap ibu dengan senyuman lebar.

Aku menatap lekat netra ibu, dan bingung dengan perkataannya.

“Loh, kenapa bisa?” tanyaku lagi dengan heran dan bingung.

“Pokoknya, kamu tenang saja. Tugas kamu sekolah dan belajar yang rajin supaya apa yang kamu cita-citakan bisa terwujud.”

“Maksud ibu apa?”

“Intinya, kamu jadi sekolah di pesantren itu. Dan ibu sudah di beri tahu tadi. Pihak sana menghubungi ibu."

“Ibu beneran! Ibu nggak ngarang ‘kan. Aku bahagia sekali dengar semua ini, Buk.” Aku memeluk erat ibu. Karena betapa bahagianya aku akhirnya bisa sekolah di pesantrenan juga.

Semenjak berita yang kudengar akan jadi sekolah di pondok pesantren membuatku begitu sangat bahagia. Dari sanalah aku mulai mengurus berbagai macam surat-surat yang akan diperlukan untuk masuk di pesantrenan.

Dua hari setelah mengurus semua persyaratan, aku pun di antarkan oleh Ibu ke Lombok Barat, di mana tempatnya berdiri pesantrenan Ar-Rahman.

*****

Aku sangat sedih ketika tau akan jauh dari ibu dan jarang bertemu. Namun, dibalik kesedihan juga ada rasa bahagia ketika ibu bisa melihatku sekolah di pesantren menjadi kenyataan.

“Ibu pulang dulu, kamu baik-baik di sini, ya?” kata ibu kepadaku sebelum pulang.

“Iya, Buk. Hati-hati dan Ibu jaga kesehatan juga. Tidak usah khawatirin Manda. Aku ‘kan sudah besar,” ucapku lagi meyakinkan ibu.

“Ya sudah, Ibu pulang dulu. Ingat! belajar yang rajin supaya kamu bisa jadi hafizah dan bisa sekolah di Cairo yang kamu inginkan.”

“Iya, Buk. Pasti,” jawabku lagi dengan yakin.

Pertama masuk di pesantrenan, aku merasa asing dan hanya terdiam duduk di kamar. Karena belum aktip belajar, aku hanya diam di kamar tanpa adanya teman yang kukenal.

Maklum saja, karena aku santriwati baru. Sehingga aku juga merasa malu untuk menyapa duluan. Tapi ... saat duduk sendirian, tiba-tiba saja ada seorang gadis yang datang menghampiri dan seumuran denganku pastinya.

“Hai, nama kamu siapa?” tanya salah satu santriwati dengan ramah yang berada di pesantren mendekatiku.

Aku mendonga gadis bermata bulat yang berdiri menghampiriku penuh ramah. Dan dengan cepat aku membalas sapaan ramah dari gadis itu.

“Imanda, atau panggil saja Manda,” jawabku seraya bangun dari dudukku.

“Namaku Salsa,” jawabnya lagi dengan tersenyum lebar melihatku. Lalu menjulurkan tangan dihadapan untuk mengajak bersalaman.

“Oouhh ... nama kamu Salsa, ya, Kamu dari mana?”

“Aku dari Lombok Barat. Nggak terlalu jauh sih dari pondok ini,” jawab Salsa ramah kepadaku.

“Baguslah, rumah kamu nggak jauh dari sini.”

“Kalau kamu dari mana?” tanya Salsa lagi.

“Aku dari Lombok Utara,” jawabku singkat.

“Berarti jauh banget, ya,” kata Salsa lagi.

Semenjak perkenalan itu, Aku dan Salsa bersahabat dengan baik. Aku juga selalu bersama Salsa dan berbagi bersama satu sama lain. Salsa merupakan teman pertama yang kukenal ketika masuk di pesantrenan itu.

Terpopuler

Comments

kiki rizki

kiki rizki

jejak

2020-03-28

0

Oei Monica

Oei Monica

aku tinggalkan jejak ku Thor 😊 semangat nulisnya... aku fav dulu ya

2020-03-21

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Kelulusan Sekolah
3 Masuk pesantrenan
4 Awal Pertemuan
5 Perasaan membingungkan
6 Perasaan yang mulai muncul
7 Menunggu kepulangan
8 Berkunjung ke rumah
9 Membantu Ibu
10 Gugup
11 Perasaan Bahagia Tapi Khawatir
12 Jemput
13 Khawatir
14 Mulai curiga
15 Kepedulian
16 Rasa Takut
17 Cemburu
18 Gosip Beredar
19 Sedikit Lega
20 Merasa Tidak Enak
21 Lelah
22 Bingung, marah dan kesal.
23 Untuk pertama kalinya
24 Kaget
25 Teguran yang menyakitkan
26 Ingin segera menikah
27 Libur tiba
28 Suasana di pedesaan
29 Kesal dengan sahabat
30 Kepulangan saudara Ustaz Aris
31 Bersih-bersih
32 Gelisah
33 Di hina
34 Putus asa
35 Kesembuhan
36 Teringat
37 Keinginan Ibu
38 Niat Bekerja
39 Lamaran Pekerjaan
40 Pertemuan Mengejutkan
41 Kedatangan dan Perdebatan
42 Kedatangan Ibu dan Perdebatan
43 Mencoba membujuk Ibu
44 Kebingungan
45 Diizinkan
46 Kenyamanan
47 Mengambil Keputusan
48 Rasanya Berat
49 Pertemuan Lagi
50 Gelagapan
51 Mengejutkan
52 Melepas rindu dengan sahabat
53 Menginap
54 Ustaz Aris lagi.
55 Berkunjungnya sahabat
56 Kesal dan Dilema
57 Gelisah
58 Mencoba jujur
59 Curhat
60 Hadiah Tanpa Pengirim
61 Bertemu
62 Perasaan Hampa
63 Memberanikan Diri
64 Teringat Kembali
65 Takut dan Khawatir
66 Makan Bersama
67 Penasaran
68 Bertemu
69 Pertemuan
70 Khawatir
71 Ketauan Juga
72 Sampai Juga
73 Merasa Bodoh
74 Mimpi
75 Kepikiran
76 Mengejutkan
77 Membahas Ustaz Aris
78 Permohonan
79 Minta Pendapat
80 Terkejutnya Ibu
81 Berdebat Dengan Ibu
82 Kedatangan Tiba-tiba
83 Curhat
84 Rencana
Episodes

Updated 84 Episodes

1
Prolog
2
Kelulusan Sekolah
3
Masuk pesantrenan
4
Awal Pertemuan
5
Perasaan membingungkan
6
Perasaan yang mulai muncul
7
Menunggu kepulangan
8
Berkunjung ke rumah
9
Membantu Ibu
10
Gugup
11
Perasaan Bahagia Tapi Khawatir
12
Jemput
13
Khawatir
14
Mulai curiga
15
Kepedulian
16
Rasa Takut
17
Cemburu
18
Gosip Beredar
19
Sedikit Lega
20
Merasa Tidak Enak
21
Lelah
22
Bingung, marah dan kesal.
23
Untuk pertama kalinya
24
Kaget
25
Teguran yang menyakitkan
26
Ingin segera menikah
27
Libur tiba
28
Suasana di pedesaan
29
Kesal dengan sahabat
30
Kepulangan saudara Ustaz Aris
31
Bersih-bersih
32
Gelisah
33
Di hina
34
Putus asa
35
Kesembuhan
36
Teringat
37
Keinginan Ibu
38
Niat Bekerja
39
Lamaran Pekerjaan
40
Pertemuan Mengejutkan
41
Kedatangan dan Perdebatan
42
Kedatangan Ibu dan Perdebatan
43
Mencoba membujuk Ibu
44
Kebingungan
45
Diizinkan
46
Kenyamanan
47
Mengambil Keputusan
48
Rasanya Berat
49
Pertemuan Lagi
50
Gelagapan
51
Mengejutkan
52
Melepas rindu dengan sahabat
53
Menginap
54
Ustaz Aris lagi.
55
Berkunjungnya sahabat
56
Kesal dan Dilema
57
Gelisah
58
Mencoba jujur
59
Curhat
60
Hadiah Tanpa Pengirim
61
Bertemu
62
Perasaan Hampa
63
Memberanikan Diri
64
Teringat Kembali
65
Takut dan Khawatir
66
Makan Bersama
67
Penasaran
68
Bertemu
69
Pertemuan
70
Khawatir
71
Ketauan Juga
72
Sampai Juga
73
Merasa Bodoh
74
Mimpi
75
Kepikiran
76
Mengejutkan
77
Membahas Ustaz Aris
78
Permohonan
79
Minta Pendapat
80
Terkejutnya Ibu
81
Berdebat Dengan Ibu
82
Kedatangan Tiba-tiba
83
Curhat
84
Rencana

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!