Beberapa bulan di pesantren akhirnya membuatku betah. Apalagi semenjak berteman dengan Salsa. Aku tidak merasa bosan berada di pondok pesantren. Tantangan jadi santriwati membendung rasa rindu yang tak tertahankan kepada orang tua. Air mata bahkan sering mengalir membasahi pipi. Pertama di pesantrenan sering nangis karna merindukan rumah dan Ibu.
Perasaan seperti itu tidak di rasakan oleh aku saja. Melainkan teman-teman yang lain juga merasakan hal seperti itu. Kehidupan menjadi anak pondok pesantren tidak semudah yang kubayangkan. Semua harus tepat waktu, yang mau tidak mau harus kujalani agar bisa meraih mimpi.
“Manda. Manda ... ,” panggil Salsa yang menepuk punggungku dari belakang.
“Ada apa?” tanyaku membalikkan badan melihat gadis yang kuanggap sahabat semenjak tinggal di pondok.
“Tugas bahasa Arab Antum sudah jadi?” tanya Salsa yang duduk di bangku belakangku.
“Ya, sudah. kenapa?” jawabku menghadap belakang.
“Ana nggak ngerti yang nomor lima, ajarin dong?” dengan wajah memelas dari seorang Salsa menatapku. “Kalau kosa kata, Antum sudah hafal.”
“Insya Allah, hafal kok. Ya udah mana PR Antum. Sini Ana ajarin, cepetan! takutnya nanti ustaz Firdaus datang.”
Aku pun masih menghadap belakang untuk mengajarkan tugas yang belum Salsa bisa. Ketika aku baru saja akan menjelaskan sahabatku itu, tiba-tiba salah satu ustaz di pondok datang ke ruang kelas kami.
“Ikhtirom ... Hayyun,” ucap ketua kelas yang memberikan aba-aba agar semua santriwati berdiri.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.”
Aku juga cepat-cepat langsung berdiri saat teman-teman memberi salam kepada guru yang datang dan sempat membuatku merasa kaget juga ketika akan mengajarkan Salsa tiba-tiba ustaz datang ke kelas.
Dengan langkah kaki sedikit pelan dan sangat berwibawa masuk ke dalam kelas kami. Sosok lelaki tampan dan tinggi memasuki kelasku.
Semua santriwati pun salah tingkah saat melihat sosok Ustaz tersebut yang tidak lain adalah ... katanya namanya ustaz Aris.
Kecuali aku yang hanya cuek dengan sikap teman-teman yang lainnya. Ustaz yang datang bukan ustaz Firdaus melainkan yang datang adalah Ustaz Aris yang sekaligus anak dari pendiri pondok pesantren Ar-Rahman. Ustaz yang kini berdiri di depan kelas, yang memiliki wajah tampan dan postur badan yang tinggi seperti laki-laki Arab membuat para santriwati salah tingkah melihatnya.
Aku tidak tau pasti apa yang membuat teman-teman yang lainnya bersikap seperti itu. Dan tidak denganku yang hanya menganga melihat ustaz Aris. Ini baru pertama kali aku melihatnya semenjak bersekolah di pondok. Rasa penasaran pun membuatku harus bertanya kepada teman sebangku yaitu Ica.
“Ca ... dia siapa?” tanyaku yang membisikkan Ica.
“Antum nggak tau dia? Dia itu anaknya Mudir (Kepala sekolah),” jawab Ica lagi yang membisikkanku.
“Maksudnya? anak kepala sekolah?” tanyaku lagi dengan penuh penasaran.
“Iya, Manda. Kok bisa, Antum nggak tau Ustaz Aris yang begitu ganteng minta ampiuunnn.” Ica memanyunkan mulutnya memberi tahuku dengan wajah senyum-senyum sendiri.
“Gimana Ana bisa tau, Ana ‘kan baru di sini,” jawabku lagi dengan cuek.
“Dia itu lulusan Universitas Cairo, Manda. Dia itu salah satu anak Mudir yang pinter plus ganteng.” Ica begitu sumringah hadap depan melihat ustaz Aris.
Entah apa yang membuat para santri mengagumi anak mudir. Apakah karena kegantengannya atau pintarnya? Bagiku ustaz Aris biasa-biasa saja. Apanya yang istimewa??
******
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Shobahul khaer (selamat pagi),” ucap ustaz Aris yang mengucapkan selamat pagi untuk para santriwati dengan berbahasa Arab.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarokaaatuh. Shobaa hun nur (selamat pagi juga),” jawab semua santriwati termasuk aku juga.
“Ustaz langsung ke intinya saja, mungkin di sini ada yang sudah mengenal ana dan yang belum mengenal. Ini kelas Intensif ‘kan, untuk yang pernah Aliyah di sini pasti kenal dengan ana. Tapi ... untuk santriwati yang baru mungkin belum mengenal.”
Aku yang mendengar perkataan ustaz Aris hanya terdiam dan menunduk. Saat aku tidak terlalu memperhatikan, kudengar teman-teman menegur ustaz Aris karena terdiam.
“Kenapa diam, Ustaz?” tanya para santriwati kepada ustaz Aris.
“Afwan. Jadi ... yang belum mengenal ana, silahkan tanyakan nanti kepada teman-teman anti yang sudah lama di sini,” kata ustaz Aris lagi menjawab para santriwati.
“Kaifahalukum jami’an,” ucap ustaz Aris (menanyakan kabar kepada santriwati).
“Alhamdulillah nahnu bikhairi,” jawab para santriwati yang mengatakan mereka (semua baik-baik saja).
“Wa antum, Ustaz. Kaifahaluka?” cetus Ica teman dudukku yang tiba-tiba saja menanyakan kabar ustaz Aris. Sehingga membuat para santriwati mentertawakannya. Ica memberanikan diri menanyakan balik kabar ustaz Aris. Aku pun yang mendengar cetusan Ica mengkerutkan dahi dan kaget melihat reaksinya yang begitu sumringah dengan kedatangan ustaz kami itu.
“Weeehhh, antum ini ... kecentilan!” kata salah satu teman yang ngatain.
“Kalau ana, alhamdulillah,” jawab ustaz Aris dengan tersenyum lebar.
Aku yang menjadi teman duduk Ica hanya tersenyum melihat teman sebangkuku itu. Teman-teman yang lain mentertawakan Ica. Dan ustaz Aris menjawab dengan Alhamdulillah. Aku secara tidak sengaja melihat ustaz Aris. Bahkan tanpa disengaja netra kami pun bertemu satu sama lain.
Aku berusaha menjaga pandangan karena bukan mahrom cepat-cepat menundukkan kepala. Tidak bisa dipungkiri selain tampan dan soleh, ustaz Aris termasuk orang yang sangat pintar sehingga ia bisa sampai sekolah di Universitas Cairo dengan cara mendapatkan beasiswa. Itupun kudengar dari bisikan-bisikan para santriwati lainnya.
Kata Ica Umurnya masih muda juga mampu buat para santriwati terpana dan kagum dengan semua kelebihan yang dimilikinya.
“Hari ini, ustaz Firdaus tidak bisa mengajar kalian. Karena beliau juga harus mengurus sesuatu hal. Oh ya, kata ustaz Firdaus sebelum belajar bahasa Arab. Katanya kalian harus menghafal kosa kata dulu minimal lima kata?” ustaz Aris yang bertanya kepada para kami semua.
“Iya, Ustaz. Terus dipanggil satu persatu,” jawab ketua kelas kami yang bernama Arum.
“Baiklah, sebelum belajar bahasa Arab. Ustaz akan panggil kalian satu persatu untuk maju menghafal kosa kata.
Ustaz Aris lalu memanggil santriwati satu persatu untuk menghafal kosa kata, setelah para santriwati di panggil.
Kini giliranku yang dipanggil untuk menghafal kosa kata. Aku pun maju berdiri tegak di depan kelas tanpa rasa ragu sama sekali. Memulai menghafal kosa kata satu persatu.
“Sabbu rhatun : Papan tulis, Syakpun : Atap, Thobasirun : Kapur tulis, Suratun: gambar, Tollasatun : penghapus papan, Kursi’yun : Kursi.” Itulah kosa kata bahasa Arab yang aku hafalkan di depan kelas dan didengar oleh ustaz Aris dan para santriwati lainnya.
“Nama Anti siapa?” tanya ustaz Aris saat aku hendak duduk kembali di bangkuku. Aku pun mengurungkan kaki untuk dilangkahkan.
“Ismi Imanda Ramdhani,” jawabku dengan menunduk menjaga pandangan.
“Ouuhh,”
Lalu aku duduk setelah memberitahu ustaz Aris namaku.
“Dia nanya nama Antum?” tanya Ica yang duduk di dekatku. Mungkin, ia mendengar pertanyaan ustaz Aris makanya bertanya seperti itu kepadaku.
“Iya,” jawabku. “Kenapa?”
“Nggak ada. Kok dia nggak nanya nama ana.”
“Mungkin, dia sudah kenal sama antum. Apa untungnya juga walaupun dia nanya nama,nggak penting! Ca.” Aku pun menjawab teman sebangku itu dengan sewotnya. Aku juga tidak tau, kenapa tiba-tiba kesal dengan pertanyaan Ica.
******
Selesai salat isya, malam itu aku dan santriwati lainnya mengganti mukenah di kamar santriwati. Kemudian pergi bersama Salsa ke dapur untuk makan.
Sesampai di dapur terlihat para santriwati antrian untuk menunggu jatah nasi masing\-masing. Inilah kehidupan di pesantren harus mengantri saat mengambil jatah makanan.
“Lama sekali anak-anak ini ambil nasi,” kata Salsa dengan wajah kesalnya, berdiri di kerumunan teman-teman yang sedang antrian. Sungguh menyebalkan.
“Sabar, nanti juga kebagian,” jawabku kepada Salsa.
“Padahal ya, Da. Nasi yang di bagiin sama aja, tetapi nggak tau aja mereka kalau dibagiin nasi suka milih-milih. Heran!” Salsa memberitahuku seraya memanyunkan mulut karena kesal dengan santriwati lainnya.
Tidak lama kemudian, datanglah giliranku dan Salsa untuk mengambil nasi yang di berikan oleh mudhabiroh yang bertugas memasak. Nasi pun diambil lewat lubang jendela oleh aku dan Salsa.
Kami akhirnya mendapatkan jatah nasi. Salsa dan aku pun mencari tempat untuk duduk makan bersama.
“Kita duduk di sana aja,” kata Salsa kepadaku.
Aku dan Salsa memilih duduk di dekat kolam ikan. Saat kami baru saja memakan setengah nasi, tiba-tiba bel selesai makan dibunyikan.
Tettt ... tettt ...
“Iiihhh ... sumpah! pingin ana marah rasanya! baru aja makan, bel udah dibunyiin.” Salsa yang berada didekatku begitu sangat kesal seraya membejek-bejek nasinya karna kesal.
“Makanya kamu cepetan makannya! jangan marah-marah mulu,” tegurku yang ikut kesal juga.
“Apanya yang cepet. Ini udah lebih dari cepat, Manda.”
Aku yang mendengar kekesalan Salsa hanya mengangguk mengiyakannya.
“Wahid (Satu) .... ,” ucap mudhabiroh mulai menghitung dengan bahasa Arab agar para santriwati tepat waktu untuk kembali berkumpul.
“Tu kan ... ana bilang juga, apa. Mudhabiroh udah mulai ngitung,” Salsa bergegas berdiri untuk membuang nasi dan mencuci piringnya.
“Nasinya mau di buang?” tanyaku kepada Salsa. “Jangan di buang! Kita kasih ikan saja, dari pada mubazir.” Aku melangkah mengajak Salsa menuju kolam untuk memberikan ikan sisa nasi yang kami makan.
“Isnani (Dua) ..!” teriakan Mudhabiroh mengucapkan hitungan ke dua untuk para santriwati.
“Cepetan, Salsa.”
Aku berlari bersama Salsa agar cepat sampai untuk belajar bersama. Karna jika tidak tepat waktu para santriwati yang telat akan di hukum. Yaaa dan memang itu sudah menjadi peraturan di pondok untuk tepat waktu.
“Sala ... ,” saat hitungan ketiga di ucapkan oleh Mudhabiroh. Aku dan Salsa sudah duduk di tempat bersama santriwati yang lainnya. Jika dibayangkan, perut terasa tidak enak. Kita baru selesai makan harus lari-larian karena takut di hukum oleh para mudhabiroh. Haduhh, sabar sabar.
Belajar bersama pun mulai berlangsung setiap malamnya seperti biasa. Malam itu juga ada yang sibuk membuat tugas, ada yang sibuk menghafalkan ayat-ayat al-qur’an, bahkan ada yang sibuk menghafal pidato. Belajar bersama dilakukan dari jam delapan sampai dengan jam sebelas malam. Begitu pula denganku yang ikut berbaur belajar bersama dengan santriwati lainnya.
Proses belajar bersama pun berlangsung, Mudhabiroh maju ke depan untuk mengumumkan sesuatu.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh,” ucap salah satu Mudhabiroh yang berdiri di depan para santriwati.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahhi wabarokaatuh,” jawab kami para santriwati.
“Malam ini, ana akan mengumumkan yang akan bertugas piked malam. 1. Khairunnisa, 2. Imanda Ramdhani, 3. Salsa Wardani, 4. Mudhabiroh Aini Jannati. Itulah yang akan tugas malam ini. Ingat! tugasnya mulai jam dua belas malam.” Tegas Mudhabiroh mengumumkan yang akan tugas untuk malam itu. Piked malam diartikan untuk berjaga-jaga pada malam hari, dimana piked tersebut dimulai dari jam dua belas malam sampai adanya waktu subuh.
“Berarti ana, Ica, sama antum Manda. Satu kelompok jaga malam ini. Iiiihhh ... mana kalian lenye-lenye banget, penakutnya minta ampiuun ... ?? kok bisa kita satu kelom ...”
Salsa yang sedang berbicara memberitahuku, tiba-tiba Mudhabiroh mendengarnya. Sehingga membuat ia di marahi. Jika boleh jujur, aku tidak suka dengan sikap para mudhabiroh jika memarahi kami.
“Hehh ... siapa yang suruh ngomong? Ana belum selesai ngomong. Kenapa Ukhti Salsa malah main ngomong aja, gosipnya nanti saja!” kata Mudhabiroh yang memarahi Salsa dengan nada suara sedikit keras.
Salsa seketika diam dan memanyunkan mulutnya karena kesal di marahi oleh Mudhabiroh. Mudhabiroh adalah suatu pengurus di pesantrenan yang sudah memang bisa dipercaya. Namun, tugas-tugas mereka berbeda. Bisa di ibaratkan Mudhabiroh adalah seperti ikatan OSIS. Tapi karena di pesantrenan sehingga di sebut Mudhabiroh atau Mudhabir.
******
“Manda. Manda ...”
“Iya, bentar, ana mau naruh buku dulu.” Aku tidak perduli dengan panggilan Salsa. Aku tetap masih fokus merapikan buku dan memasukkannya ke dalam tas.
Selsesai merapikan buku aku dan Salsa keluar untuk siap-siap berjaga malam. Bisa di sebut juga kalau orang-orang di rumah atau di kampung, ini di sebut dengan ngronda. Di pesantrenan Ar-Rahman setiap Malamnya mempunyai giliran untuk jaga malam. Jaga malam pun bukan untuk para santriwati saja, melainkan santriwan juga mempunyai giliran untuk berjaga malam.
“Ica mana, Da?” tanya Salsa kepadaku ketika sedang berdiri di depan pintu kamar santriwati.
“Ana nggak tau, Sa. ‘Kan baru keluar juga sama antum.”
“Kamu tunggu di sini, aku mau kekamar cari dia.” Salsa pun pergi meninggalkanku sendirian.
Aku mempunyai teman yang aneh!” tadi pake bahasa Arab, sekarang bahasanya nggak jelas gitu. Udah aku? udah ana?” Bagaimana pun juga, walau sering membuatku kesal. Kuakui Salsa sahabat paling baik selama sekolah di pesantrenan.
Aku berdiri sendiri dengan diiringi suasana sunyi sepi. Terdengar suara jangkrik, dan hembusan angin yang berlalu pelan. Suara jangkring yang kini berhenti didengar olehku, kini giliran suara ngaungan anjing membuat bulu kuduku berdiri karena ngeri mendengarnya. Jika kalian tau, pondok pesantren kami dekat dengan kebun dan sawah. Dan sangat jauh dari keramaian. Jadi, tidak heran juga di pondok kami sangat banyak sekali anjing. Jika malam harinya, terasa ngeri dan angker.
Suasana seram, yang membuatku tidak nyaman akhirnya memutuskan memanggil Salsa yang begitu sangat lama memanggil Ica. Sebelum memanggil mereka, aku berdiri melihat sekeliling halaman yang ada di pondok. Aku terus saja menggerumu sendiri seraya mengusap-ngusap belakang leherku.
Aku menunggu Salsa untuk memanggil Ica dan Mudhabiroh Aini pun belum tampak datang. Semakin lama menunggu sendiri, membuatku semakin merinding.
Namun, aku berusaha untuk menepis rasa takut. Menunggu memang hal yang sangat menyebalkan dan mungkin banyak orang yang tidak suka menunggu lama. Ditambah lagi dengan suasana sepi membuat suasana semakin seram. Karena menunggu lama, aku langsung pergi menghampiri Salsa yang berada di kamar santriwati lainnya. Rasa takut itu manusiawi.
“Salsa! antum ngapain sih! Lama banget?” Dengan wajah kesal aku melihat Salsa yang sedang memakan sesuatu bersama Ica. Rasanya aku ingin marah. Punya teman, sudah di tunggu lama malah asyik-asyikan makan.
“Mmmm ... Afwan, Da. Ini Ica ngajak makan mie, jadi aku ikutan makan. Kamu mau makan?” Salsa menawarkan mie kepadaku tanpa rasa bersalah sama sekali ia mengajakku makan.
“Nggak! ayok keluar, nanti kalau dilihat sama ustazah nggak ada yang jaga, kita bisa dimarahin!!” dengan wajah kesal aku meninggalkan mereka yang masih memakan mie.
Malam sudah mulai larut aku bersama santriwati yang lainnya berjaga sambil berkeliling disekitaran pondok santriwati. Dan santriwan yang bertugas juga seperti itu, berkeliling di sekitaran pondok santri putra saja. Saat kami berkeliling bersama, tanpa disengaja aku seperti mendengar suara sesuatu.
“Eeh ... bentar dulu, antum nggak denger suara orang nangis nggak.” Aku memberitahu Ica, Salsa, dan mudhabiroh Aini yang berjaga pada malam itu.
“Suara apa sih, Manda?” tanya Ica.
“Bentar dulu, kok ada suara orang nangis sih?” kata Mudhabiroh Aini lagi.
Plakkk .... (Terdengar suara benda terjatuh)
Aku dan teman-teman mendengar suara itu pun merasa kaget. Dan ... ada rasa takut sedikit yang kurasakan.
“Suara apa itu ...,” Salsa mulai mendekat seraya memegang erat tanganku yang sudah mulai dingin.
“Iiihh ... antum apa-apaan sih, Sa. Lepasin!” kataku kepada Salsa dengan menarik tanganku.
Lalu, tanpa ingin penasaran aku mengajak Ica, Salsa, dan Mudhabiroh Aini untuk melihat benda yang terjatuh tadi.
Di pondok pesantren ada beberapa pohon kelapa, dan adanya sebuah kebun di pondok tersebut. Sehingga jika malam karena tidak ada lampu membuat keadaan semakin seram.
Aku segera mengajak Ica, Salsa, dan Aini untuk melihat benda yang terjatuh. Sementara Mudhabiroh Aini bertugas mengarahkan cahaya santer di sekeliling semak-semak.
“Nggak ada apa-apa,” kata Mudhabiroh Aini.
“Aaa ...!!! ya Allah, Da. Itu apa!!” Salsa berteriak sekeras-kerasnya didekatku sambil menarik jilbabku dengan erat.
Entah apa yang aku lihat bersama teman-teman lainnya. Seorang perempuan memakai baju putih dengan wajah yang tertutup oleh rambut.
Apa yang kami lihat Apakah itu hantu beneran? Atau hanya ada seseorang yang ingin menakuti-nakuti kami? Pertanyaan mulai mengelilingi pikiranku.
“Astagfirullah hal’azim ... ya Allah,” kata Aini menundukkan cahaya senternya dengan tangan yang mulai gemeteran.
Sementara Salsa dan Ica langsung berlari dengan berteriak histeris meninggalkanku dan Aini.
“Manda. ayok pergi. Cepetan! Aini ikut berlari karena ketakutan aku pun ditinggalkannya.
Dan akhirnya aku ikut berlari, karna tidak bisa di pungkiri bahwa aku juga takut dan merinding. Dengan tempat yang begitu gelap apalagi tambah ditinggalkan oleh teman-teman lain membuatku berlari sekencang mungkin untuk kembali ke pondok santriwati.
Aku berlari dengan begitu kencang, dan tiba-tiba tertabrak oleh sesuatu. Sehingga membuatku pun berteriak sekeras mungkin.
Daakkk .... (Aku menabrak sesuatu)
“Aduuuhhh ... huuu huuu huuu, Aaaaaa ...!!!” Aku ngos ngosan kini berteriak histeris. Saat melihat seseorang berbadan tinggi di depanku.
“Heh, anti kenapa?” tanpa sengaja ustaz Aris memegang tanganku. Aku terdiam kaku, kukira yang di depanku adalah hantu. Tapi ternyata tidak. Dan cahaya senter yang diarahkan kewajahku oleh ustaz Aris.
Aku cepat-cepat menarik tanganku dari genggaman tangan ustaz Aris. Detakan jantung seketika berdegup kencang dirasakan olehku saat itu. Perasaan apa ini? Aku tidak tau mengartikannya seperti apa. Dan aku bingung dengan detakan jantung yang kurasakan.
Apakah yang kurasakan detakan jantung takut atau karna pandangan ustaz Aris yang begitu tajam kepadaku. Tanpa sengaja tatapan kami bertemu satu sama lain.
“Astagfirullah hal’azim ... ,” ucapku menundukkan kepala mengalihkan pandangan.
“Anti kenapa?” tanya ustaz Aris.
Hanya diam yang aku lakukan dengan diiringi ketakutan dan berkeringat.
Ustaz Aris lalu mengajakku untuk balik ke pondok santriwati. Mungkin? Karena beliau melihatku ketakutan sehingga mengajak untuk balik ke pondok santriwati.
Sesampai di depan teras pondok santriwati. Ustaz Aris bertanya kepadaku.
“Anti kenapa tadi?” tanya ustaz Aris lagi kepadaku, saat aku sedang duduk.
“Hemm ... Afwan, Ustaz. Ana sudah teriak-teriak tadi.” Dengan wajah masih ketakutan, aku berusaha memberi tahu Ustaz Aris tentang apa yang aku lihat bersama santriwati lainnya.
Sementara ustaz Aris yang di beritahu tidak percaya dengan ceritaku. Akhirnya, beliau pergi ke tempat di mana aku dan teman-santriwati lainnya melihat sosok makhluk yang membuat kami ketakutan.
Hanya butuh waktu sepuluh menit, ustaz Arus kembali lagi. “Mungkin cuman perasaan anti saja. Di sana tidak ada apa\-apa kok," ucap ustaz Aris setelah kembali.
“Nggak kok, Ustaz. Tadi bukan ana aja yang lihat. Ica, Salsa, dan Mudhabiroh Aini juga lihat.” Aku berusaha menjelaskan.
“Ya sudah, anti sama teman-teman anti di sini-sini saja. Tidak usah keliling untuk malam ini. Sebentar lagi juga jam tiga, jangan lupa bangunin santriwati yang lainnya untuk salat tengah malam.”
Ustaz Aris lalu pergi setelah memerintahkanku dan teman-teman lainnya untuk tetap berada di depan teras pondok santriwati agar tidak berkeliling lagi.
“Na’am, Ustaz.” Aku mengangguk mengiyakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Bu Niti
novel anda bener" bagus karna ceritanya sangat logis tidak menggada" ini namanya kehidupan yg sebenarnya
2020-07-01
0
Erny II
suasana asrama yg mengingatkanku dgn asrama BLKI dulu ...sama persis aturannya ...hanya saja beda jurusan .hehe
2020-05-22
0
Sun Dari Nizar
Thor maaf yaa.... kalo bisa ada artinya dalam kurung gitu, biar kita yg baca dapet ilmu juga, berbahasa Arab.
2020-05-16
0