Pertemuan 2

"KAMU!" Seru Moza kaget mendapati pria yang wajahnya sangat ia kenal, tapi sampai saat ini ia tidak tau namanya itu tengah berdiri di ambang pintu, tidak lupa sambil terkekeh karena berhasil menjahili Sean yang kini masih menangis. Sepertinya pria itu begitu bahagia karena bisa membuat Sean bocah sok gede itu menangis sesenggukan.

Abri beralih menatap Moza yang memang memiliki penampilan yang kelewat cantik malam ini. Sangat mempesona Abri akui itu, ia saja sampai terpaku begitu.

"Huwa... " Tangisan kencang dari mulut mungil Sean sekali lagi membuat Abri tersadar dari keterpukauannya akan kecantikan Moza saat ini.

"Heh, kenapa kok makin kencang nangisnya?" Panik Moza ia berjongkok di hadapan Sean.

Sementara para orang tua yang berada di ruang tamu juga langsung menghampiri mereka karena tangis Sean yang kali ini cukup kencang.

"Sean kenapa?" Tanya Hamzah menghampiri cucunya.

"Om itu- om itu- jahat- opa huwa..." Tangisnya dengan suara putus putus karena sesenggukan tidak lupa ia menunjuk Abri yang memang sudah membuatnya menangis.

Langsung saja tatapan orang orang yang ada di sana terpusat pada Abri. Segera ia menggeleng "izin jenderal, tapi gak saya apa apain—"

"Bohong om nya bohong!" Bantah Sean cepat. Enak saja si pangeran besar ini mau mengelak setelah berbuat salah.

Mata Abri langsung melotot, menatap bocah lima tahun yang sok dewasa itu. Bocah semprul!

"Memangnya omnya apain Sean?" Nada ikut bertanya.

Sean mendongak menatap Abri yang berdiri tegak menjulang tinggi dengan tatapan permusuhan begitu juga Abri. Yang sudah menatap bocah itu dengan penuh ancaman. Tapi namanya juga Sean bocah itu tidak gentar sedikitpun.

"Ini, om ini, nakal, jahat!" Jari telunjuk mungilnya itu menunjuk nunjuk Abri.

"Kenapa om nya jahat?" Tanya Julian ia mengangkat tubuh putranya kedalam gendongannya.

"Dia ngaku ngaku jadi calon suami my bebeb Sean, bunda Oza!"

Moza yang sejak tadi diam memperhatikan Abri di buat kaget dengan pengakuan Sean, begitu juga orang disana.

Abri melirik Moza dengan senyuman kikuk "Saya ber–"

"Tapi Omnya memang calon suami bunda Oza Sean."

Jedwer!

Bak petir di siang bolong, Moza terkejut sampai nyawanya juga ingin keluar dari tempat saat mendengar dia akan di jodohkan dengan pria yang ada di hadapannya ini yang pernah ia temui dalam beberapa momen memalukan. Sungguh kalau di ingatkan lagi di momen pertama mereka bertemu rasanya Moza ingin membenamkan dirinya saja di palung Mariana sangking malunya.

Jangan bercanda deh. Kalau Moza pingsan di tempat kan gak lucu ini.

Setelahnya Moza tertawa, lebih tepatnya tertawa yang di paksakan karena masih belum percaya, papinya pasti salah ngomong ini "hahaha, papi... Papi jangan bercanda, gak lucu banget Pi sumpah, papi bilang kan anaknya om Saga dan Tante Nada ini tentara," Moza melirik Abri dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dari postur mendukung sih tapikan belum tentu pria dengan tubuh ideal berkerja sebagai abdi negara kan? Buktinya masih banyak tuh polisi yang perutnya buncit "d-dia... Dia buka tentara Pi."

"Nak Abri itu tentara dek. Unit kopassus lagi."

Jedwer!

Dan penjabaran Clara membuat kaki Moza lemas. Serius ini Moza di giniin sama takdir? Boleh jerit gak sih? Soalnya selama ini dia terlalu kencang berdoa atau bagiamana sampai tuhan mengabulkan permintaannya pol Polan begini.

Benar benar di luar prediksi BMKG Moza ini mah, Moza pikir akan ada badai hujan yang datang, ternyata badai angin topan campur tsunami yang awalnya sudah memporak porandakan kini malah lanjut meluluh lantakkan perasaannya.

Moza senang gak ketulungan ini!! Mau sujud syukur gitu karena keinginan di hati paling dalamnya untuk memiliki Abri tercapai tapi apalah daya harus jaga image stay calm Moza, stay kemayu.

Tapi tunggu tunggu, kok sepertinya cuma Moza yang syok di sini. Abri kok biasa saja wajahnya. Jangan bilang dia sudah tau dari awal tentang perjodohan ini.

Moza menatap Abri yang ternyata juga tengah melihat kearahnya "Kamu udah tau?" Tanyanya pada Abri.

Abri mengangguk sekali.

"Tunggu, kalian udah saling kenal?" Tanya Hamzah menatap keduanya secara bergantian.

Keduanya mengangguk pelan membenarkan.

Tidak mungkinkan saat melakukan operasi penyelamatan waktu itu Abri mengungkapkan identitasnya. Selain Hamzah tidak ada yang tau bahwa Abri termasuk salah satu di antara tim penyelamatan Moza waktu itu.

"Kok bisa?" Tanya Clara bingung.

"Dia pernah datang ke saya hmp–" tiba-tiba saja Moza menutup mulut Abri dengan tangannya. Jangan sampai papinya tau kalau dia pernah bertemu pria di luar pekerjaannya. Bisa habis dia.

"Dia pernah datang ke studio Oza untuk foto," bohongnya menoleh ke arah Abri yang mulutnya masih ia bekap. "Eh, ma-maaf," Moza segera menurunkan tangannya sambil merutuki dirinya sendiri karena tiba-tiba membekap mulut Abri.

Bodoh, refleksnya buat malu saja.

Semua orang yang ada di sana lantas percaya dan kembali berjalan memasuki rumah. Sementara Vira dan Julian naik ke lantai dua untuk menenangkan Sean. Bocah itu benar benar tidak rela jika tantenya akan segera menikah.

"Berhubung Abri juga udah datang, gimana kalau kita makan dulu bang? Kan enak gitu waktu kita bahas hal serius perut kita udah kenyang." Ajak Hamzah "ya kan kak? Kita makan dulu ya."

Saga dan Nada pun akhirnya setuju, mereka semua kini beralih ke meja makan dan mulai menyantap makanan yang sudah tersedia disana. Sambil menyantap makan tersebut, mereka juga berbincang santai agar lebih akrab. Ya walaupun Saga dan Hamzah itu saling kenal, tapi mereka tidak sedekat itu juga, hanya akrab karena sering tugas bersama dan juga sebatas rekan kerja, terlebih mereka juga dulu pernah bersitegang.

"Saya dengar kamu pernah melanjutkan pendidikan militer mu di US Army Infantry School dan mendapatkan tap ranger?" Tanya Hamzah basa basi.

Hamzah sudah tau sejak lama hal itu karena pendidikan militer yang di lakukan di Fort Benning, Amerika Serikat bukanlah sembarang pendidikan karena itu harus di lakukan oleh tentara yang terpilih paling sehat, baik secara fisik dan mental. Dan untuk persentase kelulusan sekolah selama ini, berkisar 20-25% dari seluruh jumlah siswa pada masa pendidikan tersebut. Dan di Indonesia hanya ada segelintir tentara yang mendapatkan tap ranger salah satunya adalah jenderal TNI (purn) Susilo Bambang Yudhoyono mantan presiden republik Indonesia. Dan Abri merupakan siswa termuda dari Indonesia yang mampu mengenyam pendidikan di sana.

"Siap, benar jenderal." Jawab Abri. Lebih tepatnya ia pergi setelah melewati pendidikan di kopassus, saat itu komandannya yang mengusulkan untuk ikut seleksi pendidikan asal US tersebut, siapa tau terpilih karena melihat kemampuan Abri yang terbilang di atas rata rata rekannya dan ternyata dia benar-benar lolos dan mengenyam pendidikan militer disana selama lima bulan.

Hamzah tersenyum "papamu bilang kamu dapat nilai 30% Commandant List Award dan dan 100% untuk Gold APFT," ia melirik Saga dan ingat bagiamana songongnya wajah Saga saat mengatakan bahwa putranya masuk dalam jajaran prajurit terbaik yang lulus dari US Army Infantry School. Bahkan wajah songongnya itu sekali lagi ia tunjukkan di hadapan Hamzah saat ini sekarang akan mengatakan "keturunanku bibit unggul, bibit terbaik semua." Membuat Hamzah rasanya ingin meremas wajah menjengkelkan Saga saat itu juga.

"Siap, benar jenderal."

Commandant list award yang merupakan penilaian teratas bidang akademik sementara gold APFT merupakan penilaian Tes Kesegaran Jasmani Angkatan Darat.

Jujur saja saat itu Hamzah mendengar ada seorang perwira tentara asal Indonesia yang bisa lulus masuk ke US Army Infantry School rasanya bangga tak tertolong ada kebanggaan tersendiri memenuhi hatinya ia benar benar tak menduga bahwa perwira tersebut merupakan anak dari Saga rekan seperjuangannya.

Sementara di tempatnya Moza menunduk sambil menyantap makanannya dan dalam diamnya juga ia semakin mengangumi sosok Abri, makin kesini makin kelepek kelepek yang ada Moza mah. Dan sekarang Moza tau alasan kenapa papinya memilih menjodohkan dirinya dengan Abri.

Moza sesekali mencuri curi pandang ke arah Abri yang nampak tenang dalam duduknya sesekali pria itu memasukkan sesuap demi sesuap makannya sambil mendengarkan dan menanggapi pertanyaan Hamzah. Tetap tampan paripurna walau sedang makan sekalipun.

Ini minta di nikahkan besok pagi aja boleh gak sih?

Abri sendiri sebenarnya menyadari Moza yang sejak tadi curi curi pandang padanya tapi ya namanya anaknya Saga sifat bodo amatnya itu nurun ke semua anaknya termasuk Abri.

Makan malam pun telah usai, kembali dua keluarga itu duduk di ruang keluarga membicarakan hal yang memang menjadi pembahasan pertemuan mereka kali ini. Karena baik Abri dan Moza sudah saling setuju, kali ini dua keluarga itu mencari tanggal untuk persiapan lamaran dan itu hanya di bicarakan oleh para orangtua, sementara Abri dan Moza sendiri di beri waktu untuk mengobrol berdua, untuk saling mengenal lebih jauh kepribadian masing-masing.

Dan disinilah keduanya, di rooftop kediaman Hamzah yang terdapat kolam renang dan juga taman kecilnya disana. Cukup membuat Abri tenang.

Moza sebagai tuan rumah mempersilahkan Abri duduk lebih dulu di sofa panjang yang terdapat disana, lalu ia juga duduk tepat di bagian ujung sofa tersebut menjaga jarak aman agar jantungnya yang jedag jedug gak kedengeran Abri.

Moza duduk sambil memilin masing masing jarinya gugup karena sejak naik ke rooftop Abri tak berbicara sedikit pun. Sebenarnya juga Moza ingin mengajak ngobrol tapi ia takut suara yang keluar malah kayak semut keinjek dan akhirnya malah menundukkan kepala sambil memejamkan mata saja menetralisir rasa gugupnya.

"Boleh nanya?"

Seketika gerakan jemari Moza yang saling memilin terhenti, kepalanya juga menunduk seketika terangkat. Keheningan yang membelenggu keduanya pun langsung hilang "emm... Silahkan," tidak lupa ia menganggukan kepalanya.

"Saya dengar dari awal mula perjodohan ini di lakukan, kamu sudah menerima perjodohan ini. Boleh saya tau apa penyebab kamu menerimanya?"

"Gak ada alasan lain, karena ini pilihan kedua orangtua ku. Mami begitu antusias saat mengatakan perjodohan ini. Dan mereka yakin kalau abang bisa menjaga, membahagiakan dan membimbingku. Dan seumur umur aku gak pernah melihat ada cowok yang mampu merobohkan dinding pertahan papi begini, bahkan iparku aja gak bisa dan abang orang pertama yang berhasil melakukannya."

Jawaban jujur dan polos Moza membuat Abri tertegun. Siang tadi Dwika juga mengatakan hal yang sama seperti yang Moza katakan. Apa memang sesusah itu meluluhkan Hamzah? Tapi Abri kok merasa gak begitu ya? Dan jawaban Moza juga mampu memberikan kesan menarik di matanya. Berarti Moza ini tipikal gadis penurut seperti apa yang mamanya ucapkan. Buktinya walaupun tidak tau dengan siapa ia di jodohkan, Moza tidak berontak seperti Abri. Malah dengan lapang dada menerimanya.

"Aku boleh tanya balik gak?" Kelihatannya Moza sudah bisa menetralkan detak jantungnya.

Abri lantas menoleh "silahkan."

"Abang... Dari awal kita ketemu Abang udah tau kita akan di jodohkan?"

Abri menggeleng "gak, saya gak tau. Pertemuan pertama itu memang kebetulan yang memalukan." Ia menoleh sekilas kearah Moza dengan senyuman tipis. Ia ingat betul bagaimana percaya diri gadis itu menyampaikan pesan temannya untuk membatalkan perjodohan. Sudahlah salah orang percaya diri di atas awan pula.

Moza seketika menunduk malu, kenapa harus di ingatkan lagi sih?

"Jadi tau dari mana Abang tau aku orang yang di jodohkan dengan Abang?"

Abri mencoba memikirkan jawaban yang tepat, tidak mungkinkan dia membongkar identitasnya hari itu di saat misi penyelamatan. Itu salah satu misi rahasia, siapapun tak boleh tahu. "Dari jenderal Hamzah," ia tak bohongkan, Abri taunya memang dari ayah gadis ini kan tiba tiba datang saat misi penyelamatan manggil Moza dengan sebutan putriku.

Dan Moza percaya begitu saja, memangnya dari siapa lagi Abri tau kalau bukan dari papinya.

"Terus bagiamana dengan Abang sendiri? Kenapa Abang menerima perjodohan ini?"

Abri melirik Moza sekilas, lalu mendongak menatap langit yang luas bertabur bintang cukup indah malam itu "gak bedah jauh sama kamu, saya juga menuruti perintah orangtua."

Abri baru sadar bahwa sejak tadi gadis itu menganti panggilannya dari yang dulu memanggilnya 'mas' sekarang menjadi 'Abang'. Entahlah, Abri senang mendengarnya. Ia bahkan sampai tersenyum karena itu.

Tapi senyumnya langsung luntur kala bayangan wajah mantan kekasihnya tanpa permisi melintas begitu saja. Abri benar benar benci situasi seperti ini. Dia baru mulia loh ini masak iya sudah di uji. Abri menundukkan kepalanya dan menghela nafas cukup panjang.

Mungkin ya, Abri bisa menjamin gadis ini akan aman bersamanya tapi Abri tidak yakin soal memberikan kebahagiaan itu untuk Moza, apa ia benar benar bisa kelak membahagiakan gadis ini?

Abri menoleh menatap intens wajah Moza dari samping, wajah ayu itu begitu damai dan terlihat bahagia saat ini seakan akan ia tak memiliki masalah besar dalam hidupnya, padahal Abri tau betul ada trauma mendalam yang Moza simpan begitu rapat saat ini di hadapannya, Abri sekarang malah takut jika suatu saat nanti menambah parah trauma gadis ini. Kembali Abri menghela nafas cukup panjang.

Semoga apa yang di harapkan gadis ini benar-benar bisa dapat ia lakukan. Dan apa kemungkinan kemungkinan yang terjadi di kepala Abri itu tidak akan pernah ia lakukan.

Terpopuler

Comments

Sukemi Nak Murtukiyo

Sukemi Nak Murtukiyo

ayoo kak Up lgi donk,,,,,,,

2024-10-15

1

Surtinah Tina

Surtinah Tina

ayolah move on kamu bang abri....

2024-10-14

1

Surtinah Tina

Surtinah Tina

boleh banget

2024-10-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!